Dalam bab pertama telah dijelaskan dan dibuktikan bahwa sesungguhnya bahasa roh yang Alkitabiah itu bukanlah suatu bahasa aneh yang berasal dari luar dunia, bukan bahasa ‘surgawi’ dan bukan suatu bahasa ekstase rohani melainkan bahasa yang ada di dunia ini yang bisa dipahami oleh pemilik bahasa itu. Nilai adikodrati dari bahasa roh ini terletak pada kemampuan berbahasa yang tidak didahului dengan pembelajaran sebelumnya bahkan sama sekali tidak mengetahuinya. Warren L. Litzman berkata bahwa :
“Berkata-kata dengan bahasa roh adalah tuturan adikodrati oleh Roh Kudus dalam bahasa-bahasa yang tidak pernah dipelajari oleh si penutur-tidak dipahami oleh akal si penutur…Bahasa roh ini sama sekali tidak bertalian dengan kecakapan ilmu bahasa, juga tidak berhubungan dengan akal atau kecerdasan manusia”[1]
Contoh yang sangat kuat untuk konsep semacam ini adalah bahasa roh dalam kasus hari Pentakosta (Kis 2).
Namun demikian, bagaimana dengan bahasa roh yang dipraktekkan dalam jemaat Korintus? Apakah bahasa roh yang dipakai oleh jemaat Korintus itu adalah bahasa roh yang sama dengan konsep bahasa roh Pentakosta? Apakah ajaran Paulus tentang bahasa roh di Korintus menunjuk pada pengertian yang sama dengan bahasa roh Pentakosta?[2] Pertama-tama kita harus melihat bahwa ada sejumlah ayat yang mengindikasikan bahwa bahasa roh (konsep Paulus) yang disampaikan kepada jemaat Korintus berbeda dengan bahasa roh Pentakosta dan itulah sebabnya ada orang yang meyakini bahwa bahasa roh yang Alkitabiah juga adalah suatu bahasa dari luar dunia, suatu bahasa surgawi, bahasa malaikat, bahasa komunikasi antara Allah dan manusia di samping bahasa dari dalam dunia seperti kasus Pentakosta sebagaimana kata William W. Menzies dan Stanley M. Horton :
“Fenomena bahasa roh sekurang-kurangnya mempunyai dua fungsi penting lainnya. Bahasa roh pribadi, yaitu karunia berkata-kata dalam bahasa yang tidak dikenal dalam ibadah pribadi, mempunyai nilai yang sangat bermanfaat yang mendatangkan kemajuan bagi orang yang sedang berdoa…Bahasa roh yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul merupakan bukti dan bersifat pribadi, sedangkan bahasa roh yang disebutkan dalam surat-surat kiriman adalah umum dan dimaksudkan untuk meneguhkan orang secara umum.[3]
Robert V. Morris juga berkata :
“Bagi saya…karunia bahasa roh ternyata merupakan karunia pujian. Dengan menggunakan bahasa tak dikenal yang telah Allah berikan pada saya, saya merasakan bangkit dalam diriku kasih, rasa kagum, hormat yang murni dan bebas, yang tak pernah bisa saya capai dalam doa yang tercerna”.[4]
Dengan demikian itu dapat menjadi standar bagi bahasa roh yang benar dan Alkitabiah. Adapun perbedaan ini terletak pada beberapa hal yakni :
1. Bahasa roh pada hari Pentakosta bisa dimengerti oleh orang-orang yang mendengarkannya sedangkan bahasa roh di Korintus tidak dapat dimengerti dan karenanya membutuhkan penafsiran/penerjemahan.
2. Bahasa roh pada hari Pentakosta ditujukan kepada manusia berupa kesaksian tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah (Kis 2:11) sedangkan bahasa roh di Korintus ditujukan kepada Allah berupa doa sebagaimana kata 1 Kor 14:2 : “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah…” dan ayat 14 : “Sebab jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak turut berdoa. Benarkah demikian? Apakah ayat-ayat di atas dapat menambah atau memperluas pengertian dari bahasa roh? Sebelum kita menjawabnya, baiklah kita lihat dulu sedikit latar belakang jemaat Korintus.
Latar Belakang Korintus
Ada sejumlah hal yang sangat menonjol dari kota Korintus :
1. Korintus adalah kota yang hebat.
Kota ini adalah sebuah kota kuno di Yunani, dalam banyak hal merupakan kota metropolitan Yunani yang terkemuka pada zaman Paulus. Kota ini adalah ibu kota propinsi Akhaya yang termasuk wilayah pemerintahan Roma yang terletak di tempat yang strategis dan penting, yakni di persimpangan jalan raya dari sebelah barat dan jalan raya dari sebelah timur. Letaknya di antara teluk Korintus dan teluk Sardonis (bagian selatan negara Yunani) yang menghubungkan daratan utama Yunani dan kepulauan Peloponesos, penduduknya terdiri dari banyak macam bangsa (Roma, Yunani dan Asia), terkenal karena kemajuannya dalam perdagangan dan kebudayaannya yang tinggi sehingga disebut juga sebagai ‘Kerajaan Roma mini’. Seperti halnya banyak kota yang makmur pada masa kini, Korintus menjadi kota yang angkuh secara intelek dan kaya secara materi.
2. Korintus adalah kota yang bejat.
Di samping kemajuan dan kehebatan kota ini, segala macam dosa pun merajalela di kota ini yang terkenal karena perbuatan cabul dan hawa nafsu. Di kota ini terdapat pusat penyembahan dewi Aproditi yang mana menyediakan 1000 perempuan pelacur (pelacur bakti) yang dianggap keramat untuk melayani nafsu para penyembah. Mac Arthur mengutip kata-kata William Barclay tentang hal ini :
‘Di atas tanah genting...tegak bukit Akropolis, dan di atasnya berdiri kuil besar Aphrodit, dewi cinta. Di kuil itu tinggal seribu nabiah sebagai pelacur-pelacur suci, dan di malam hari mereka turun dari Akropolis dan menawarkan ‘dagangan’ mereka di jalan-jalan Korintus hingga muncul pepatah Yunani : ‘Bukan setiap laki-laki yang bisa menempuh perjalanan ke Korintus’.[5]
Jadi dosa seksual mewarnai kehidupan Korintus sampai-sampai jika ada orang yang tidur dengan pelacur diistilahkan sebagai ‘berkorintus’. Jadi jika seseorang berkata : ‘saya mau pergi berkorintus’ artinya ia hendak tidur dengan seorang pelacur. Selain itu pula pesta pora, kemabukan juga mewarnai kehidupan kota ini. William Barclay mengatakan bahwa :
‘Aelian, penulis Yunani, menceritakan kepada kita bahwa jika ada orang Korintus yang ditampilkan di panggung pertunjukkan Yunani, maka peran yang diberikan kepadanya pastilah peran orang mabuk’.[6]
3. Korintus merupakan produk agama-agama misteri.
Mac Arthur memberikan sejumlah informasi yang akurat bahwa ternyata di Korintus telah tumbuh cukup banyak agama-agama misteri dalam berbagai bentuk yang berkaitan dengan agama-agama kafir Babel. Agama-agama misteri ini memiliki tata cara dan upacara-upacara yang canggih, yang mencakup kelahiran kembali lewat baptisan, korban untuk dosa, pesta dan puasa. Para penganut agama misteri ini pun mempraktekkan pemotongan anggota tubuh sendiri serta penyiksaan diri (askese). Mereka juga percaya akan peziarahan, pengakuan dosa bersama, persembahan, penyucian keagamaan, pembayaran hukuman karena dosa. Sementara agama-agama misteri ini mencakup banyak tata cara dan upacara, mungkin tak ada yang lebih khas pada mereka dari keterlibatan dalam apa yang mereka sebut ekstase. Ekstase dimaksudkan sebagai cara untuk mengembangkan persekutuan magis lewat perasaan dengan para dewa. Mereka akan melakukan hampir apa saja untuk masuk ke dalam halusinasi setengah sadar lewat pesona hipnotis (termasuk mengeluarkan bunyi/suara ricuhan ekstase yang aneh seperti kerasukan). Di sana mereka yakin mereka secara sensual berhubungan dengan para dewa. Sementara memasuki keadaan yang menyenangkan, mereka seolah-olah terbius. Mereka menganggap diri bersatu dengan Allah.[7] S. Angus mengatakan bahwa :
“Ekstase yang dialami oleh para penyembah agama misteri membawa mereka ke dalam kondisi mistik yang tak terelakkan di mana fungsi-fungsi normal seseorang berada dalam keadaan tak menentu dan pergumulan moral yang membentuk kepribadian sungguh-sungguh hilang atau dikendurkan sementara yang emosional dan naluri dikuatkan”.[8]
Angus menambahkan :
“Keadaan-keadaan ekstase ini dapat dibangkitkan melalui berjaga, berpuasa, penantian religius yang ketat, tari-tarian cepat, rangsangan fisik, perenungan terhadap benda-benda kudus, dampak dari musik yang merangsang, penghiburan bau-bauan, tularan revivalistik (seperti yang terjadi di gereja Korintus), halusinasi, sugesti, dan segala cara lainnya termasuk pada peralatan misteri”.[9]
Inilah kondisi kota Korintus pada zaman itu. Denis Green dengan baik menyimpulkan keadaan Korintus ini dengan berkata :
‘Maka kota Korintus sangat strategis (untuk pekabaran Injil), penduduknya cerdik pandai (karena pengaruh ilmu pengetahuan Yunani), cukup kaya (oleh karena usaha dagang), tetapi bermoral buruk’[10]
Jemaat Korintus dan Persoalannya
Dalam keadaan semacam inilah bersama dengan Priskila dan Akwila (1 Kor 16:19) dan rombongan rasulinya sendiri (Kis 18:5), Paulus mendirikan jemaat Korintus itu selama delapan belas bulan pelayanannya di Korintus pada masa perjalanan misinya yang kedua (Kis 18:1-17). Jemaat di Korintus terdiri dari beberapa orang Yahudi tetapi kebanyakan adalah orang bukan Yahudi yang dahulu menyembah berhala yang tentunya pernah mengalami semua gejala ekstase kafir seperti yang disebutkan di atas. Setelah Paulus meninggalkan Korintus, berbagai macam masalah timbul dalam gereja yang masih muda itu, yang memerlukan wewenang dan pengajaran rasulinya melalui surat-menyurat dan kunjungan pribadi. Itulah sebabnya Paulus menulis surat kepada mereka untuk membahas persoalan-persoalan yang timbul di dalam jemaat yang telah didirikan oleh Paulus di Korintus itu. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam jemaat Korintus sesungguhnya adalah penyusupan sisa-sisa kebudayaan kafir Korintus ke dalam gereja. Sejumlah kasus dosa seksual yang dibicarakan Paulus jelas bersumber dari latar belakang kota ini yang memang bejat secara moral dan yang paling penting dalam pembahasan kita adalah bahwa sejumlah kasus dalam ibadah jemaat terutama penggunaan karunia-karunia roh dalam hal ini ‘bahasa roh’ (1 Kor 14) adalah penyusupan dari ajaran/ciri khas agama-agama misteri itu yang biasanya mempraktekkan ‘bahasa roh’ ekstase yang tidak dapat dipahami, suatu bahasa komunikasi dengan para dewa. Dapat dipikirkan kemungkinan bahwa jemaat di Korintus ketika dipenuhi Roh Kudus pernah berbicara dalam bahasa roh yang sejati (seperti bahasa roh Pentakosta) sebagaimana kata J. Ruef :
‘Bahwa berpijak dari peristiwa para rasul, mungkin sekali-sekali anggota-anggota jemaat di Korintus juga telah mengalami bahasa roh pada waktu menjadi Kristen, dan oleh karena itu mereka sangat menghargai karunia itu, yang menandai satu titik yang menentukan dalam hidup mereka’[11]
Namun penghargaan dan penekanan yang berlebih-lebihan terhadap karunia ini lama kelamaan berkembang menjadi sebuah kesesatan di mana mereka berusaha dan memaksakan diri untuk berbahasa roh dan akibatnya adalah menyusupnya ‘bahasa roh’ kafir dari agama-agama misteri ke dalam gereja tanpa mereka sadari dan ‘bahasa roh’ semacam inilah yang berkembang dengan subur dalam jemaat Korintus. Mac Arthur berkata : ‘...mereka menyeret ke dalam kehidupan gereja mereka segala ciri keberadaan kafir mereka yang lama’.[12] Benarlah juga kata-kata Morley :
‘Selain itu yang membuat sebagian jemaat begitu menghormati bahasa lidah adalah pengaruh dari sisa-sisa budaya dan agama kafir dari latar belakang jemaat Korintus sendiri, yang mungkin sekali sudah pernah terpesona (ekstase) atau kesurupan. Di mana ucapan yang tidak dapat dimengerti adalah salah satu bagian dari agama kafir’.[13]
Bandingkan kata-kata Morley ini dengan komentar Mac Arthur yang lain :
“Korintus adalah kota yang dipenuhi oleh para imam kafir, laki-laki dan perempuan, juru tenung dan sihir. Orang dalam berbagai keadaan ekstase mengaku memiliki kuasa dan inspirasi ilahi. Dan karena gereja Korintus telah menjadi jasmani, banyak dari kegiatan kafir seperti ini terus menyusup. Satu alasan hingga hal itu bisa masuk ialah bahwa orang-orang percaya di Korintus menantikan Roh Kudus bekerja. Mereka percaya bahwa pencurahan Roh dalam Yoel 2 kini mulai dipenuhi”.[14]
Karena alasan inilah maka Paulus menulis surat tersebut kepada jemaat Korintus sebagaimana dikatakan Donald Guthrie :
“Nampaknya bahasa lidah, yang hanya dibahas oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, telah berkembang di Korintus tanpa arah dan diberi penilaian yang berlebihan sehingga terjadi kekacauan. Orang-orang yang belum percaya menyebut orang-orang Kristen itu gila (1 Kor 14:23)”.[15]
Jadi surat Paulus ini bersifat kritikan seperti diungkapkan Gordon D. Fee :
‘Kalau hanya membaca 1 Kor 12 saja, maka kelihatannya rasul Paulus sementara menginformasikan atau memberi pengajaran tentang karunia-karunia Roh, namun setelah membaca 1 Kor 14, maka jelaslah bahwa maksud rasul Paulus dalam tulisan ini bukanlah sedang mengajarkan atau menginformasikan karunia-karunia Roh, tetapi bertujuan untuk mengoreksi jemaat Korintus akan penyalahgunaan bahasa Roh’.[16]
Ada kesan yang sangat kuat bahwa dalam tulisannya Paulus menyindir jemaat Korintus dengan menghubungkan bahasa roh yang mereka pakai dengan latar belakang kekafiran mereka. Contohnya seperti dalam 1 Kor 13:1 :
“Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing”.
Ini jelas mengarah pada kekafiran karena gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing menunjuk kepada ibadah kafir, karena alat-alat tersebut sering digunakan dalam acara-acara agama pada saat itu.[17]
Dari pemahaman yang mendalam tentang konteks dan latar belakang jemaat Korintus ini maka kita dapat berkata bahwa bahasa roh yang dipraktekkan dalam jemaat Korintus sangat berbeda dengan bahasa roh Pentakosta dan dengan demikian bukanlah bahasa roh yang sejati melainkan penyusupan dan pengaruh ‘bahasa roh’ kafir. Dengan demikian ciri khas bahasa roh dalam jemaat Korintus tidak bisa bahkan tidak boleh menjadi standar bahasa roh gereja Kristen yang sejati. Yang harus menjadi standar bahasa roh yang sejati adalah yang terjadi pada hari Pentakosta karena Alkitab mencatat dengan pasti bahwa bahasa roh itu terjadi karena pekerjaan Roh Kudus. Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh S Lewis Johnson, Jr, seorang profesor bidang eksegese dan literatur Perjanjian Baru pada Dallas Theological Seminary :
“In view of the fact that Luke was a close companion of Paul (he may even have been in Corinth) and wrote Acts after the Corinthian correspondence, it would seem logical for him to note the distinction between the phenomenon in Acts and that in Corinth, if any existed. In other words, 1 Corinthians should be interpreted by Acts, the unknown by the known, a good hermeneutical principle” (Mengingat fakta bahwa Lukas adalah sahabat dekat Paulus (mungkin dia sendiri juga di Korintus waktu itu) dan menulis kitab Kisah Para Rasul sesudah korespondensi Korintus, rasanya logis bila Lukas memperhatikan perbedaan di antara peristiwa yang terjadi di Kisah Para Rasul dengan keadaan di Korintus, jika perbedaan itu memang ada. Dengan kata lain, 1 Korintus harus ditafsirkan sesuai dengan Kisah Para Rasul, yang tidak dikenal harus ditafsirkan oleh yang dikenal, sebuah prinsip hermeneutika yang baik).[18]
Johnson melanjutkan :
“Furthermore, the terminology of Paul is identical with that of Luke in Acts, although Luke further defines his terminology. Paul uses the Greek word glossa meaning tongue; Luke uses this word and further defines it as being a dialektos (Acts 1:19; 2:6,8; 21:40; 22:2; 26:14), a word which in every case refers to a language of a nation or a region. It is quite unlikely that the phenomena, described by the two writers in identical terms, would be dissimilar” (Selanjutnya, peristilahan yang dipakai Paulus identik dengan peristilahan yang dipakai Lukas di dalam Kisah Para Rasul, sekalipun Lukas mendefinisikannya lebih jauh peristilahan yang dipakainya itu. Paulus menggunakan istilah Yunani “glossa”, yang artinya “lidah”; Lukas juga mempergunakan kata ini dan mendefinisikannya sebagai sebuah diakletos (Kis 1:19; 2:6-8; 21:40; 22:2; 26:14), sebuah istilah yang selalu mengacu kepada bahasa suatu bangsa atau suatu daerah. Sangat kecil kemungkinan bahwa satu fenomena yang dilukiskan oleh dua penulis dengan istilah yang sama memiliki arti yang berbeda”).[19]
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa bahasa roh Pentakosta dan bahasa roh yang dipraktekkan jemaat Korintus itu berbeda namun bahasa roh Pentakosta dan bahasa roh yang diajarkan Paulus kepada jemaat Korintus (melalui kritikan-kritikan) adalah sama. Jadi bahasa roh yang sejati adalah bahasa roh Pentakosta di mana :
1. Bahasa yang digunakan adalah bahasa di dalam dunia ini, yang dikenal dan bukan sebuah ricuhan atau suatu bahasa ekstase religius.
2. Fungsi bahasa roh itu adalah sebagai sarana penginjilan kepada orang-orang Yahudi maupun kepada orang-orang kafir (non Yahudi) yang belum percaya dan bukan sarana untuk berkomunikasi dengan Allah.
Bagaimana dengan ‘Bahasa malaikat’? (1 Kor 13:1)
Untuk membantah pandangan dan kesimpulan di atas, ada juga yang mengajukan argumentasi dengan istilah yang terdapat dalam 1 Kor 13 :1 yakni ‘bahasa malaikat’ yang diyakininya sebagai sebutan untuk bahasa roh. Dengan demikian bahasa roh itu adalah bahasa malaikat atau dengan kata lain bahasa roh yang sebenarnya adalah bahasa malaikat. Jadi sangat mungkin bahwa bahasa roh itu adalah sebuah bahasa ekstatik. Ini tentu menarik namun kita harus kembali pada prinsip hermeneutika Alkitab yang benar yang selalu memperhatikan konteks pembahasan.
Dalam surat 1 Korintus, Paulus secara khusus membicarakan masalah karunia (termasuk di dalamnya karunia bahasa roh) dalam 2 pasal sekaligus yakni pasal 12 dan 14. Tentu kita bertanya, mengapa bukan pasal 12 dan 13 atau 13 dan 14? Mengapa harus ada 1 pasal tentang kasih di antara 2 pasal yang membicarakan masalah karunia Roh? Di sini kita bisa melihat maksud Paulus bahwa penerapan karunia rohani selalu harus didasarkan pada kasih sebab tanpa kasih semua karunia, sehebat apa pun menjadi tidak berguna. Larry Christenson dalam artikelnya mengatakan :
‘Paulus menerangkan bahwa walaupun ada banyak karunia, semuanya berasal dari satu sumber, Allah ; dan semuanya harus dipakai dengan kasih untuk kebaikan bersama’.[20]
Sedangkan Mangapul Sagala mengatakan bahwa :
‘Ini berarti bahwa kasih adalah unsur yang sangat penting. Berbagai karunia tersebut di atas hanya dapat berfungsi dengan benar bila dikerjakan dalam kasih’.[21]
Itulah sebabnya Paulus berkata dalam ayat 1-3 :
‘Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku’.
Jika kita memahami konteks ini dengan baik maka kita dapat melihat bahwa sesungguhnya Paulus sementara menggunakan suatu gaya bahasa hiperbola untuk menunjukkan kontras bahasa roh dan kasih bahwa sehebat apa pun karunia bahasa roh, tidak akan berarti apa-apa tanpa kasih. Bukankah ayat ini lengkapnya berbunyi : ‘Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat,...’ Kenyataannya, adakah Paulus atau seorang yang lain yang dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia di dunia ini? Jelas tidak ! Ini hanyalah hiperbola. Demikian juga dengan bahasa malaikat. Jadi bahasa malaikat yang disebutkan di sini bukanlah dalam pengertian yang sesungguhnya sebagaimana yang dipahami Billy Graham :
‘Di dalam 1 Korintus Paulus membicarakan bahasa sebagai karunia yang datang dari Roh Kudus, jadi ada kemungkinan juga bahwa Ia, memberi kemampuan kepada seseorang untuk dapat berbicara dalam bahasa malaikat’.[22]
melainkan sekedar suatu gaya bahasa untuk mempertajam kontras. Albert Barnes mengatakan :
“The language of angels here seems to be used to denote the highest power of using language…” (Bahasa para malaikat di sini sepertinya digunakan untuk menandakan kemampuan yang paling tinggi dalam menggunakan bahasa).[23]
Tampemawa ketika membahas ayat ini menulis :
“…seandainya kita berbahasa malaikat (hal yang sebenarnya tidak mungkin, band. 2 Kor 12:4; Wah 14:2-3) tetapi tidak menunjukkan kasih…”.[24]
Dan juga Paul Enns ketika menyebutkan “bahasa malaikat” memberikan footnote yang berbunyi :
“Adalah berspekulasi bila mengartikan bahasa lidah dari orang-orang Korintus adalah bahasa-bahasa malaikat berdasarkan pada 1 Kor 13:1. Dalam teks itu Paulus tidak mengatakan bahwa di sana terdapat bahasa-bahasa malaikat, ia juga tidak menjelaskan karunia bahasa lidah sebagai bahasa lidah malaikat. Sebagai gantinya Paulus menjelaskan sebuah situasi yang bersifat sebuah dugaan untuk menekankan pentingnya kasih”.[25]
Sangat mungkin malaikat mempunyai bahasa sendiri,[26] tetapi dalam hubungan dengan manusia, selalu ia mendatangi/berbicara kepada manusia dengan bahasa manusia yang normal (Luk 1:26). Selain itu pula satu-satunya bahasa selain bahasa manusia yang ditemukan dalam Alkitab hanyalah yang digunakan oleh Roh Kudus ketika Ia mengkomunikasikan kebutuhan kita kepada Bapa (Roma 8:26). Dengan demikian jelaslah sudah bahwa istilah ‘bahasa malaikat’ hanyalah sebuah hiperbola dan tidak menunjuk pada bahasa roh yang sejati.
Shalom pak. saya agak bingung dengan alasan Paulus membenarkan mereka menggunakan bahasa i2 tetapi harus ada yang menafsirkan. bukankah ini menunjukkan bahwa Bahasa Roh di Korintus i2 benar? 1 kor 14:27-28
BalasHapus