Oleh : Pdt. Budi Asali, M. Div
Note : Warna hitam adalah tulisan Steven Liauw dan warna biru adalah tanggapan Pdt. Budi Asali.
IV. Penolakan Kalvinis Akan Konsekuensi Kalvinisme
A. Tidak Konsisten Secara Logis
Kita telah melihat di atas, bahwa segala sesuatu memiliki konsekuensi. Kalvinisme, yang mengajukan premis dasar bahwa Allah menentukan segala sesuatu, juga tidak terlepas dari hukum sebab-akibat ini. Mereka tidak bisa berkata: “Karena kami Kalvinis, kami tidak perlu menerima konsekuensi logis dari premis dasar kami.”
Namun demikian, mayoritas Kalvinis menolak konsekuensi logis dari kepercayaan mereka sendiri. Mereka tetap mempertahankan bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, segala tindakan dan pikiran manusia, namun tidak mau mengakui bahwa dengan demikian manusia tidak bebas. Mereka kekeh (?) bahwa manusia bebas, walaupun segala sesuatu tentang manusia telah ditentukan sebelumnya. Lebih lanjut lagi, Kalvinis tetap mempersalahkan manusia, walaupun manusia itu hanyalah melakukan apa yang ditetapkan. Budi Asali, misalnya, mengatakan: “Pada waktu manusia berbuat dosa, ia tetap bertanggung jawab terhadap Allah akan dosanya itu, artinya ia tetap akan dihukum karena dosanya itu…… Karena itu jangan sembarangan berbuat dosa, apalagi dengan alasan bahwa dosa itu sudah ditentukan oleh Allah!”
Tanggapan saya:
1) Itu ajaran Alkitab, yang dipercaya oleh para Calvinist. Mau salahkan Alkitab?
2) Anda menentang doktrin Calvinisme bahwa orang kristen yang sejati tidak bisa kehilangan keselamatannya, bukan? Anda berpendapat bahwa orang kristen yang sejati bisa saja jatuh dalam dosa, mundur dari Tuhan, sehingga akhirnya binasa / masuk neraka. Benar bukan? Sekarang, konsekwensi logis dari ajaran anda, adalah: kalau begitu, supaya tetap selamat, orang Kristen itu harus mati-matian berusaha menghindari dosa. Bukankah ini menunjukkan bahwa anda percaya keselamatan karena iman + perbuatan baik?? Ini konsekwensi logis, tetapi saya tahu anda tidak mungkin menerimanya.
Contoh lain: anda percaya Allah menciptakan neraka, bukan? Dan neraka harus ada isinya bukan? Lalu Allah menciptakan orang-orang yang Ia tahu akan masuk neraka selama-lamanya. Konsekwensi logis: Allah itu tidak kasih! Tetapi anda menolak konsekwensi logis ini, bukan?
Lalu, mengapa menyalahkan kami, kalau tidak menerima konsekwensi logis anda?
Jadi, Kalvinis mengajarkan bahwa manusia akan dihukum karena melakukan sesuatu yang Allah tentukan! Ini hanya logis dalam dunia Kalvinis. Dalam dunia nyata, ini sama sekali tidak logis. Seorang Jenderal yang baik tidak akan menghukum prajurit bawahannya yang hanya menjalankan instruksi Jenderal itu sendiri, tidak peduli apakah prajurit itu senang atau tidak senang ketika melakukan perintah itu. Anda ada di dunia nyata atau di dunia imajiner Kalvinis?
Tanggapan saya:
Contoh yang bodoh, Liauw! Kalau jendral itu menginstruksikan, tentu tentara tak salah. Tetapi kami hanya percaya Allah menentukan, bukan memerintahkan / menginstruksikan orang untuk berbuat dosa! Jangan ngawur kalau membuat contoh, Arminian!
Saya bosan dengan logika anda yang tidak Alkitabiah, Arminian!
Coba kita ambil kasus kejatuhan Adam ke dalam dosa. Kita telah mengutip tokoh-tokoh Kalvinis yang menegaskan bahwa adalah ketentuan Allah agar Adam jatuh ke dalam dosa. Dalam tarikan nafas yang sama, para Kalvinis mengatakan bahwa Adam, dan juga segala anak cucu Adam, harus bertanggung jawab atas dosa Adam tersebut! Apakah anda bisa melihat keanehan di sini?
Tanggapan saya:
Jangan sengaja membuat ruwet dengan mencampur-adukkan penetapan Allah dengan doktrin dosa asal. Anda percaya dosa asal, bukan? Kalau percaya, jangan ributkan di sini. Kalau tidak percaya, mari kita debatkan di tempat lain. Tetapi yang dipersoalkan di sini adalah penetapan dosa, bukan dosa asal.
Supaya Adam tidak dihukum, artinya dia harus tidak boleh jatuh ke dalam dosa! Sedangkan Allah menentukan supaya Adam berdosa. Artinya, supaya Adam tidak dihukum, dia harus melawan keputusan Allah (yang tidak bisa dilawan). STOP! Sebentar dulu, bukannya justru orang yang melawan keputusan Allah itu yang dihukum? Tetapi kalau Adam mengikuti keputusan Allah, dia jatuh dalam dosa, dan dia harus dihukum! Kalau Adam tidak mengikuti keputusan Allah, bukankah itu melawan Allah juga? Dan bukankah itu dosa juga? Artinya, mengikuti keputusan Allah atau tidak mengikuti keputusan Allah, Adam harus kena hukum. Tetapi kita harus ingat bahwa ini hipotetis, karena menurut Kalvinis, sebenarnya Adam tidak bisa tidak melakukan keputusan Allah. Jadi, pada intinya, Allah sudah menetapkan Adam dan seluruh manusia untuk dihukum. Dosa hanyalah cara Tuhan membenarkan hukuman tersebut!
Tanggapan saya:
Bandingkan kata-kata anda dengan ayat ini, Liauw!
Ro 9:19-21 - “(19) Sekarang kamu akan berkata kepadaku: ‘Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkanNya? Sebab siapa yang menentang kehendakNya?’ (20) Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku demikian?’ (21) Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?”.
Bukan hanya itu saja, premis Kalvinis bahwa Allah menetapkan segala sesuatu juga menciderai pribadi Allah sendiri. Allah jelas-jelas menyuruh Adam untuk tidak makan buah terlarang di tengah taman Eden tersebut (Kej. 2:16-17). Namun Kalvinis ingin meyakinkan kita, bahwa Allah menentukan Adam untuk melanggar perintahNya sendiri. Tidak berhenti sampai di sana, lalu Allah menghukum dan menyalahkan Adam karena telah melaksanakan apa yang Allah tetapkan dalam dekrit yang tak dapat Adam lawan. Kalau hal yang sama dilakukan oleh manusia, kita semua tidak akan ragu-ragu untuk memvonisnya sebagai pribadi yang sangat licik dan jahat. Apakah itu Allah yang anda percayai? Saya katakan bahwa Allah dalam Alkitab tidak berlaku seperti itu! Oleh karena itulah saya katakan bahwa “allah” Kalvinis berbeda dengan Allah saya. Dan oleh sebab itu pulalah saya katakan bahwa Kalvinisme adalah serangan terhadap pribadi Allah itu sendiri!
Tanggapan saya:
Sekarang mari kita bicarakan orang-orang lain, misalnya Yudas Iskariot. Luk 22:22 di atas, sudah jelas menunjukkan bahwa pengkhianatan yang ia lakukan terhadap Yesus sudah ditetapkan oleh Allah. Tetapi bagaimana perintah Allah kepada Yudas Iskariot? Harus mengasihi Tuhan, bukan? Jadi, ada pertentangan juga, Liauw? Bagaimana anda menjelaskan ini?
Lalu Luk 22:22 itu mengatakan celakalah ia. Jadi, Alkitab jelas mengajarkan bahwa sekalipun dosa Yudas Iskariot itu sudah ditetapkan dan pasti akan terjadi tetapi pada saat dosa itu terjadi, ia dipersalahkan. Kalau semua ini bisa berlaku untuk dosa Yudas Iskariot, mengapa tidak bisa berlaku untuk Adam?
Dalam kasus Yudas Iskariot, apakah anda menganggap Allah kejam? Atau anda punya jalan / cara untuk menjelaskan Luk 22:22 itu? Coba jelaskan, saya tantang anda!
Sekarang tentang kata-kata anda ‘Kalau hal yang sama dilakukan oleh manusia, kita semua tidak akan ragu-ragu untuk memvonisnya sebagai pribadi yang sangat licik dan jahat’. Ada beberapa hal yang perlu saya berikan sebagai jawaban:
a) Manusia tidak mungkin bisa melakukan penetapan seperti yang Allah lakukan. Jadi, tidak mungkin bisa dianalogikan seperti itu.
b) Kalau manusia salah pada waktu melakukan X, Allah belum tentu salah pada waktu melakukan X. Contoh: manusia salah kalau membunuh. Allah membunuh ribuan orang tiap hari, tetapi Ia tidak salah! Anda mau menyamakan manusia dengan Allah, Liauw?
Tetapi, apakah Kalvinis mau mengikuti aturan logika dalam hal ini? Jawabannya adalah tidak. Mayoritas Kalvinis tidak mau menerima konsekuensi bahwa premis dasar mereka membuat manusia menjadi robot-robot canggih (yang punya kesadaran diri, bahkan yang merasa melakukan tindakan itu atas “kehendaknya” dan “kemauannya” sendiri, tetapi yang sebenarnya telah ditentukan segala-galanya, termasuk “kehendak” dan “kemauan” tersebut). Kalvinis tidak mau mengakui bahwa ajaran mereka membuat manusia lepas dari tanggung jawab dosa. Justru, teman-teman mereka yang mau menerima konsekuensi Kalvinisme, mereka cap sebagai “Hyper” Kalvinis. Sebenarnya, Hyper-Calvinist hanyalah orang-orang yang secara konsisten menerapkan premis dasar Kalvinisme bahwa Allah menetapkan segala sesuatu.
Tanggapan saya:
Saya tidak heran kalau anda mengatakan hyper-Calvinist sebagai konsisten. Memang cara berpikir orang Arminian dan orang yang hyper-Calvinist adalah sama (sama bodohnya maupum tidak Alkitabiahnya). Keduanya menganggap bahwa kedaulatan Allah / penetapan Allah bertentangan dengan tanggung jawab manusia. Karena itu, mereka beranggapan salah satu harus dibuang. Bedanya, Arminian membuang kedaulatan Allah / penetapan Allah, sedangkan hyper-Calvinist membuang tanggung jawab manusia.
Edwin H. Palmer: “Hyper-Calvinism. Diametrically opposite to the Arminian is the hyper-Calvinist. He looks at both sets of facts - the sovereignty of God and the freedom of man - and, like the Arminian, says he cannot reconcile the two apparently contradictory forces. Like the Arminian, he solves the problem in a rationalistic way by denying one side of the problem. Whereas the Arminian denies the sovereignty of God, the hyper-Calvinist denies the responsibility of man. He sees the clear Biblical statements concerning God’s foreordination and holds firmly to that. But being logically unable to reconcile it with man’s responsibility, he denies the latter. Thus the Arminian and the hyper-Calvinist, although poles apart, are really very close together in their rationalism” (= Hyper-Calvinisme. Bertentangan frontal dengan orang Arminian adalah orang yang hyper-Calvinist. Ia melihat pada kedua fakta - kedaulatan Allah dan kebebasan manusia - dan, seperti orang Arminian, ia mengatakan bahwa ia tidak dapat mendamaikan kedua kekuatan yang tampaknya bertentangan itu. Seperti orang Arminian, ia memecahkan problem itu dengan cara yang logis dengan menyangkal satu sisi dari problem itu. Sementara orang Arminian menyangkal kedaulatan Allah, maka penganut Hyper-Calvinisme meninggalkan fakta tanggung jawab manusia. Ia melihat pernyataan yang jelas dari Alkitab mengenai penentuan lebih dulu dari Allah dan memegang hal itu dengan teguh. Tetapi karena tidak mampu mendamaikannya secara logis dengan tanggung jawab manusia, ia menyangkal tanggung jawab manusia itu. Jadi orang Arminian dan orang hyper-Calvinist, sekalipun merupakan kutub-kutub yang bertentangan, sebetulnya sangat dekat dalam cara berpikirnya) - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 84.
Tetapi Calvinist yang sejati, hanya melihat bahwa Alkitab dengan jelas mengajarkan keduanya, dan karena itu kami menerima keduanya!
Lalu apa jawab mereka terhadap ketidakkonsistenan logis yang muncul? Asali mewakili para Kalvinis dengan jawaban: “Terus terang, tidak ada orang yang bisa mengharmoniskan 2 hal yang kelihatannya bertentangan ini.” Asali bukan satu-satunya Kalvinis yang melarikan diri dari logika dengan cara demikian. Spurgeon berkata, “Bagaimana dua hal ini bisa benar saya tidak bisa mengatakan….Saya tidak yakin bahwa di surga kita akan bisa mengetahui dimana tindakan bebas manusia dan kedaulatan Allah bertemu, tetapi keduanya adalah kebenaran yang besar. Allah telah mempredestinasikan segala sesuatu tetapi manusia bertanggungjawab.” Jadi, Spurgeon berkata bahwa bahkan di Surga pun mungkin kita tidak akan bisa menjelaskan kontradiksi antara kebebasan manusia dan kedaulatan Allah! Apakah tidak lebih baik untuk berkesimpulan bahwa justru konsep kedaulatan Allah Kalvinislah yang salah? Perlukah kita ngotot sedemikian rupa hanya untuk mempertahankan suatu filosofi?
Tanggapan saya:
Saya melarikan diri dari logika? OK, tetapi anda melarikan diri dari Firman Tuhan / Alkitab. Yang mana yang lebih buruk, Liauw? Saya tidak merasa malu untuk disebut sebagai ‘lari dari logika’ apalagi kalau itu adalah logika bodoh dari anda! Tetapi bagaimana kalau anda lari dari Alkitab? Dari awal anda belum menggunakan Alkitab, untuk ‘argumentasi Alkitabiah’ anda, Liauw! Dalam menjawab buku saya, anda juga tidak menjawab ayat-ayat Alkitab yang sangat banyak saya berikan. Saya yakin anda tak bisa menjawab sampai kapanpun! Bisa tidak malu kalau lari dari Alkitab, Liauw? Kalau bisa, ya memang tidak tahu malu!
Sekarang saya bahas kata-kata bagian akhir dari kutipan dari anda di atas. Anda mengatakan: ‘Apakah tidak lebih baik untuk berkesimpulan bahwa justru konsep kedaulatan Allah Kalvinislah yang salah? Perlukah kita ngotot sedemikian rupa hanya untuk mempertahankan suatu filosofi?’. Mempertahankan filosofi? Kami mempertahankan Alkitab / Firman Tuhan, Liauw!
Kalau kami membuang ajaran Calvinisme, mohon petunjukmu, tuan Arminian, bagaimana kira-kira kami harus menafsirkan ayat di bawah ini?
Mat 10:29-30 - “(29) Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. (30) Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya”.
Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
Charles Hodge: “The crucifixion of Christ was beyond doubt foreordained of God. It was, however, the greatest crime ever committed. It is therefore beyond all doubt the doctrine of the Bible that sin is foreordained” (= Penyaliban Kristus tidak diragukan lagi ditentukan lebih dulu oleh Allah. Tetapi itu adalah tindakan kriminal terbesar yang pernah dilakukan. Karena itu tidak perlu diragukan lagi bahwa dosa ditentukan lebih dulu merupakan doktrin / ajaran dari Alkitab) - ‘Systematic Theology’, vol I, hal 544.
Charles Hodge: “it is utterly irrational to contend that God cannot foreordain sin, if He foreordained (as no Christian doubts) the crucifixion of Christ” [= adalah sama sekali tidak rasionil untuk berpendapat bahwa Allah tidak bisa menentukan dosa, jika Ia menentukan (seperti yang tidak ada orang kristen yang meragukan) penyaliban Kristus] - ‘Systematic Theology’, vol I, hal 547.
Jika sedang mengargumentasikan poin-poin mereka, Kalvinis senang sekali menggunakan logika. Bahkan mereka menuntut bahwa kita, non-Kalvinis, harus mengikuti alur logika yang mereka sampaikan.
Tanggapan saya:
Hehehe, lucu sekali. Bukankah dari tadi anda yang menggunakan logika terus menerus, dan memaksa kami mengikuti logika tolol anda? Dari tadi saya yang menggunakan Alkitab, Liauw!
Sebagai contoh, ketika sedang mengargumentasikan bahwa kemahatahuan Allah berarti manusia tidak memiliki pilihan, Boettner berkata: “Kecuali Arminianisme menyangkal pengetahuan lebih dulu dari Allah, ia tidak mempunyai pertahanan di depan kekonsistenan yang logis dari Calvinisme; karena pengetahuan lebih dulu secara tidak langsung menunjuk pada kepastian, dan kepastian secara tidak langsung menunjuk pada penetapan lebih dulu.”,
Saya menekankan frase “kekonsistenan yang logis dari Calvinisme.” Kalau begitu, Boettner, mengapa tidak melanjutkan logika yang konsisten itu dan menyimpulkan bahwa kalau segala sesuatu sudah ditentukan Allah secara pasti, maka manusia tidak bebas? Mengapa tidak menggunakan logika yang telah diberikan Tuhan dan menyimpulkan bahwa jika manusia ditentukan untuk berdosa, maka berarti manusia tidak perlu dihukum, karena ia sekedar melakukan dekrit Tuhan? Di manakah kekonsistenan yang logis dari Calvinisme itu saat berhadapan dengan konsekuensi dari pengajaran mereka sendiri?
Tanggapan saya:
1) Coba jawab argumentasi Loraine Boettner itu, dan jangan lari ke hal selanjutnya (tentang manusia tidak bebas).
2) Calvinisme memang mengajar bahwa manusia tidak bebas, selama ‘bebas’ itu dimaksudkan seperti yang Arminianisme maksudkan. Saya sudah jelaskan itu, bukan? Kalau Calvinisme mengajar bahwa Allah menetukan segala sesuatu, lalu Calvinisme juga mengajar bahwa manusia itu bebas, dengan kebebasan seperti yang diajarkan oleh Arminianisme, maka itu memang kontradiksi. Tetapi Calvinisme tidak mengajar demikian. Allah menentukan segala sesuatu, dan karena itu manusia pasti akan melakukan apapun yang Allah tentukan. Lalu apanya yang tidak konsisten? Jangan lupa bahwa kami mendefinisikan kata ‘bebas’ dengan cara yang berbeda dengan kalian, tuan Arminian! Dan itu sebabnya tidak ada kontradiksi dalam persoalan ini!
Mereka begitu ngotot dengan logika di satu sisi, tetapi ketika pengajaran mereka tidak konsisten, mereka mencari perlindungan di balik “misteri,” “rahasia Allah yang tidak dapat diselami,” “dua hal yang tidak dapat dijelaskan,” “dua hal yang nampak bertentangan tetapi pasti ada penjelasannya,” atau bahkan “dua hal yang bahkan di Surga pun belum tentu bisa kita jelaskan”! Bukankah semua ini adalah pengakuan bahwa pengajaran mereka tidak konsisten, tetapi mereka tidak mau menerimanya?
Tanggapan saya:
Alkitab yang mengajar seperti itu, dan Alkitab tidak pernah mengharmoniskannya, maka kami juga melakukan hal yang sama. Kami mengajar, sekalipun tidak mengharmoniskannya.
Contoh lain, Liauw!
Fil 2:12-13 - “(12) Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, (13) karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaanNya”.
Ay 12 menekankan tanggung jawab manusia, tetapi ay 13 (khususnya perhatikan kata-kata ‘menurut kerelaanNya’) menekankan kedaulatan Allah.
A. T. Robertson mengatakan: “Paul makes no attempt to reconcile divine sovereignty and human free agency, but boldly proclaim both” (= Paulus tidak berusaha untuk mendamaikan kedaulatan ilahi dan kebebasan manusia, tapi dengan berani memberitakan keduanya).
Hal yang sama terjadi dalam Ro 9:19-21 yang sudah saya berikan di depan. Demikian juga dengan Luk 22:22 dan sebagainya.
Loraine Boettner: “But while the Bible repeatedly teaches that this providential control is universal, powerful, wise, and holy, it nowhere attempts to inform us how it is to be reconciled with man’s free agency” (= Tetapi sementara Alkitab berulangkali mengajar bahwa pengua-saan providensia ini bersifat universal, berkuasa, bijaksana, dan suci, Alkitab tidak pernah berusaha untuk memberi informasi kepada kita tentang bagaimana hal itu bisa diperdamaikan / diharmoniskan dengan kebebasan manusia) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 38.
Kalau ini disebut lari dari logika, terserah. Tetapi kalau saya, saya lebih baik lari dari logika, khususnya dari logika bodoh anda, dari pada lari dari Alkitab / Firman Tuhan! Kalau anda bagaimana, Liauw? Kalau anda setuju dengan saya dalam hal ini, jelaskan ayat-ayat yang saya berikan dalam buku saya!
Mungkin ada Kalvinis yang akan berkata: “Mungkin tidak masuk logika kita, tetapi ALLAH BISA membuat manusia yang sudah ditentukan segala-galanya, tetapi yang sekaligus bebas. Apakah anda tidak percaya bahwa ALLAH BISA melakukan itu?”
Tanggapan saya:
‘Bebas’nya Calvinisme berbeda arti dengan ‘bebas’nya Arminian, bodoh! Seandainya sama, kami memang gila! Tetapi faktanya, kita menggunakan istilah itu dalam arti yang berbeda!
Pertanyaan semacam ini mengingatkan saya akan pertanyaan-pertanyaan jebakan ala atheis. Atheis tidak percaya bahwa ada Allah yang mahakuasa, sehingga mereka sering menantang dengan pertanyaan, seperti: Jika Allah mahakuasa, bisakah Allah menciptakan batu yang begitu besar sehingga Ia sendiri tidak bisa angkat? Tentu ini pertanyaan jebakan. Jawabannya adalah: Allah bisa membuat batu seperti apapun, dan Dia bisa mengangkat semua batu itu. Batu yang begitu besar sehingga tidak dapat Allah angkat, tidak bisa eksis bahkan dalam lingkup probabilitas sekalipun. Atau ada pertanyaan jebakan lagi yang seperti ini: Jika Allah mahakuasa, bisakah Ia menciptakan sebuah segitiga yang bersisi empat? Tentu ini adalah pertanyaan jebakan juga. Ini tidak ada hubungannya dengan “kuasa” tetapi dengan definisi. Sebuah segitiga yang bersisi empat adalah sesuatu yang sudah bertentangan dengan definisi dirinya, jadi tidak mungkin eksis bahkan dalam lingkup probabilitas sekalipun. Demikian juga dengan pertanyaan: Bukankah Allah bisa menciptakan manusia yang tidak bebas (ditentukan segalanya) yang memiliki sifat bebas? Saya bukan meragukan kemampuan Tuhan. Tetapi, sama seperti pertanyaan-pertanyaan jebakan di atas, ini bukan masalah kuasa. Ini masalah definisi. Makhluk yang “tidak bebas sekaligus bebas” tidak eksis secara definisi bahkan dalam lingkup probabilitas sekalipun. Ia mirip dengan segitiga yang bersisi empat.
Tanggapan saya:
Tak usah lari ke pertanyaan-pertanyaan konyol itu, Liauw. Jawaban saya seperti di atas. Definisi kita berbeda tentang kata ‘bebas’ itu. Coba jelaskan bahwa definisi kami tentang kata ‘bebas’ itu tetap bertentangan dengan penentuan Allah!
Kadang-kadang orang Kalvinis, demi menyelamatkan doktrin mereka yang bahkan mereka akui sendiri tidak harmonis (tidak konsisten), mencoba untuk mengatakan bahwa ada banyak doktrin Alkitab lain yang juga tidak harmonis. Saya akan mengutip lagi Asali sebagai representatif dari Kalvinis. Untuk membela ketidakharmonisan doktrin kedaulatan Allah versi Kalvinis, Asali mengatakan:
“Dalam hal yang lain, kita juga melihat hal yang sama. Misalnya: kita percaya bahwa Allah itu mahakasih dan mahatahu. Tetapi kita juga percaya bahwa Allah menciptakan neraka dan orang tertentu yang Ia tahu bakal masuk ke neraka. Kalau memang Ia mahakasih dan mahatahu, mengapa Ia tidak hanya menciptakan orang yang akan masuk ke surga? Saya yakin tidak ada orang yang bisa mengharmoniskan 2 hal itu, termasuk orang Arminian, tetapi toh semua orang kristen percaya dan mengajarkan ke 2 hal itu, karena Kitab Suci memang jelas mengajarkan kedua hal itu. Lalu mengapa dalam hal doktrin ini kita tidak mau bersikap sama?”
Tanggapan saya:
Bagaimana kalau jangan teruskan kata-kata anda di bawah, tetapi dahulukan untuk menjawab kata-kata saya di atas? Bisakah anda jawab? Anda menghindar, bukan demikian, Liauw? Anda memang, seperti saya katakan dalam kata-kata saya yang anda kutip di atas, mempunyai ketidak-konsistenan, yang tetap anda terima. Tetapi ketidak-konsistenan yang ini, anda tak mau terima. Apakah itu konsisten, Liauw?
Walaupun Asali mungkin tidak senang dengan kesimpulan saya ini, tetapi pada intinya dia seolah ingin mengatakan: “banyak kok doktrin Alkitab yang tidak harmonis (tidak ada orang yang bisa harmoniskan). Jadi kalau Kalvinisme tidak harmonis, tidak apa-apa!” Tetapi benarkah banyak doktrin dalam Alkitab tidak harmonis? Saya menolak hal semacam itu! Alkitab adalah kitab yang paling konsisten dan harmonis!
Tanggapan saya:
Bagus sekali. Kalau begitu, jelaskan ketidak-konsistenan yang saya bicarakan di atas! Untuk jelasnya, saya kutip ulang kata-kata saya yang di atas telah anda kutip.
“Dalam hal yang lain, kita juga melihat hal yang sama. Misalnya: kita percaya bahwa Allah itu mahakasih dan mahatahu. Tetapi kita juga percaya bahwa Allah menciptakan neraka dan orang tertentu yang Ia tahu bakal masuk ke neraka. Kalau memang Ia mahakasih dan mahatahu, mengapa Ia tidak hanya menciptakan orang yang akan masuk ke surga? Saya yakin tidak ada orang yang bisa mengharmoniskan 2 hal itu, termasuk orang Arminian, tetapi toh semua orang kristen percaya dan mengajarkan ke 2 hal itu, karena Kitab Suci memang jelas mengajarkan kedua hal itu. Lalu mengapa dalam hal doktrin ini kita tidak mau bersikap sama?”
Sekarang, tolong jelaskan apa yang saya anggap ‘tidak konsisten’ ini! Anda cuma berkata ‘Tetapi benarkah banyak doktrin dalam Alkitab tidak harmonis? Saya menolak hal semacam itu! Alkitab adalah kitab yang paling konsisten dan harmonis!’. Tetapi anda tidak memberi pengharmonisannya? Anda cuma bermulut besar, tetapi berkepala kosong, Liauw!
Saya bisa mengerti, mengapa Asali merasa sulit untuk mengharmoniskan kemahatahuan Allah dengan sifatNya yang mahakasih. Karena kedua hal ini memang tidak konsisten jika dilihat dari sudut Kalvinisme! Allah sudah tahu banyak orang akan masuk neraka. Tapi Kalvinis mengatakan bahwa Allah tahu karena Allah menentukan. Jadi, “allah” Kalvinis menentukan manusia masuk neraka! Memang sulit untuk melihat bagaimana “allah” yang demikian bisa mahakasih. Seharusnya, Asali dan Kalvinis lainnya tidak mencoba menggunakan poin ini untuk mendukung ketidakkonsistenan mereka dalam hal kedaulatan Allah. Seharusnya mereka melihat kontradiksi ini sebagai bukti lain bahwa Kalvinisme memang tidak adekuat untuk menggambarkan realita Alkitab.
Tanggapan saya:
Anda lari, Liauw! Anda tidak menjelaskan! Anda lari ke ajaran Calvinisme, padahal yang dipersoalkan di sini adalah ajaran Arminianisme. Saya tidak mau anda lari. Jelaskan ajaran Arminianisme yang saya serang ketidak-konsistenannya! ‘Allah’ Arminianisme memang tidak menentukan manusia masuk neraka tetapi Ia menciptakan neraka dan orang-orang yang Ia tahu akan masuk neraka! Bagaimana ‘Allah’ yang seperti itu bisa disebut maha kasih? Jawab ini, Liauw! Kami menjawab serangan terhadap ‘ketidak-konsistenan’ kami dengan menunjukkan bahwa kalau ada orang-orang yang menolak Calvinisme dan menerima Arminianisme, maka mereka juga mendapatkan ketidak-konsistenan yang sama!
Jika kita tilik lebih lanjut, perbandingan antara kedua hal ini pun sebenarnya tidak setara. Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa Allah itu kasih (1 Yoh. 4:6), dan bahwa Allah mahatahu (Maz. 139 misalnya), dan bahwa ada neraka (Wahyu 20:14-15). Tetapi, tidak ada satu ayatpun yang mengajarkan bahwa “Allah menentukan segala sesuatu sejak kekekalan dalam dekrit-dekrit rahasia.”
Tanggapan saya:
Anda pendusta, Liauw! Anda sudah membaca buku saya, dan dalam buku saya ada sangat banyak ayat yang menunjukkan hal itu. Mengapa tak menunjukkan ayat-ayat itu di sini dan membahasnya, dari pada mengatakan suatu dusta bahwa tidak ada satu ayatpun yang seperti itu? Demi para pembaca, saya berikan ayat-ayat itu di sini.
· Ef 1:4-5 - “(4) Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapanNya. (5) Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya, sesuai dengan kerelaan kehendakNya”.
· 2Tes 2:13 - “Akan tetapi kami harus selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu, saudara-saudara, yang dikasihi Tuhan, sebab Allah dari mulanya telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai”.
· 2Tim 1:9 - “Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan kasih karuniaNya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman”.
· Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.
· Kis 4:27-28 - “Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.
· Maz 139:16 - “... dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya”.
Tentu kita akan melihat dan membahas berbagai ayat yang dipakai Kalvinis di bagian-bagian berikut.
Sebenarnya, bahwa Allah mahatahu sekaligus mahakasih, sama sekali tidak bertentangan jika kita tidak beranggapan Allah menentukan segala sesuatu. Allah memberikan manusia pilihan (kehendak bebas), dan mereka bisa memilih untuk menentang Allah atau percaya pada Allah. Allah bahkan menjadi manusia dan mati bagi semua orang (baik yang menentang maupun percaya), dan itu membuktikan kasihNya. Tetapi, Allah bukan hanya mahakasih, tetapi juga mahaadil, dan mahakudus. Setiap manusia yang menentang Allah dan tidak diselesaikan dosanya oleh Yesus, dihukum secara kekal dalam Neraka. Mengapa Allah tidak hanya menciptakan orang yang akan masuk Surga? Karena Allah tidak ingin disembah hanya oleh “robot” yang ditentukan untuk percaya. Allah ingin ada pribadi-pribadi yang dapat memilih dengan bebas, yang pada akhirnya memilih untuk menyembah Allah. Karena ada pilihan yang bebas (dengan konsekuensi masing-masing yang sudah diumumkan sebelumnya), maka Allah tidak berlawanan dengan kasihNya jika Ia menghukum mereka yang menentangNya. Ini karena bukan Allah yang menetapkan pilihan tersebut, melainkan pribadi yang bersangkutan.
Tanggapan saya:
1) Anda mengatakan ‘Tentu kita akan melihat dan membahas berbagai ayat yang dipakai Kalvinis di bagian-bagian berikut’. Padahal barusan saja di atas anda mengatakan ‘Tetapi, tidak ada satu ayatpun yang mengajarkan bahwa “Allah menentukan segala sesuatu sejak kekekalan dalam dekrit-dekrit rahasia’. Yang mana yang benar, Liauw? Kalau benar nanti anda membahasnya, saya akan tunggu dan lihat bagaimana anda membahasnya!
2) Anda menghindari argumentasi saya, bukan menjawabnya. Argumentasi saya adalah sebagai berikut:
“Salah satu pertanyaan yang paling sering keluar dalam persoalan ini adalah: Jika Allah sudah menentukan dan mengatur segala sesuatu, bagaimana mungkin manusia masih bisa mempunyai kebebasan, dan bahkan harus bertanggung jawab atas dosanya?
Jawab:
1. Terus terang, tidak ada orang yang bisa mengharmoniskan 2 hal yang kelihatannya bertentangan ini. Orang Reformed hanya melihat bahwa 2 hal itu sama-sama diajarkan oleh Kitab Suci (bdk. Ro 9:19-21), tetapi Kitab Suci tidak pernah mengharmoniskannya. Karena itu orang Reformed juga juga mengajarkan kedua hal itu, tanpa mengharmoniskannya. Ini merupakan wujud kesetiaan dan ketundukan kepada Kitab Suci, sekalipun Kitab Suci itu melampaui akal kita!
Dalam hal yang lain, kita juga melihat hal yang sama. Misalnya: kita percaya bahwa Allah itu maha kasih dan mahatahu. Tetapi kita juga percaya bahwa Allah menciptakan neraka dan orang tertentu yang Ia tahu bakal masuk ke neraka. Kalau memang Ia maha kasih dan maha tahu, mengapa Ia tidak hanya menciptakan orang yang akan masuk ke surga? Saya yakin tidak ada orang yang bisa mengharmoniskan 2 hal itu, termasuk orang Arminian, tetapi toh semua orang kristen percaya dan mengajarkan ke 2 hal itu, karena Kitab Suci memang jelas mengajarkan kedua hal itu. Lalu mengapa dalam hal doktrin Providence of God ini kita tidak mau bersikap sama?” (kutipan dari buku saya berjudul ‘Providence of God’).
Tetapi anda lari dan membahas free will / kehendak bebas, ‘robot’, dsb.
Ada beberapa hal yang perlu saya soroti dari kata-kata anda ini:
a) Allah maha tahu bukan? Jadi, Ia tahu mana pribadi yang nanti akan memilih untuk menyembahNya dan mana yang tidak. Kalau Ia hanya menciptakan orang-orang yang nanti akan memilih untuk menyembahNya, bagaimana mungkin itu dianggap sebagai menciptakan ‘robot’?
b) Yang saya pertentangkan dengan kasih Allah, bukan penghukuman yang Ia berikan kepada orang-orang yang tidak percaya, tetapi penciptaan orang-orang yang Ia tahu bakal tidak percaya!
c) Anda bicara seakan-akan datang atau tidak datangnya manusia kepada Yesus betul-betul tergantung pada manusia itu sendiri. Padahal manusia tidak mempunyai kemampuan dari dirinya sendiri untuk percaya kepada Yesus.
Yoh 6:44,65 - “(44) Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman. ... (65) Lalu Ia berkata: ‘Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorangpun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.’”.
Berdasarkan ayat ini, datang atau tidak datangnya manusia kepada Yesus tergantung kepada Allah! Lalu yang mana yang ditarik / dikaruniai, dan yang mana yang tidak? Jelas itu didasarkan pada predestinasi.
d) Calvinisme tidak mempercayai ‘robot’ karena semua orang, sekalipun melakukan ketetapan Allah, tetap melakukannya dengan kehendaknya sendiri, bukan dipaksa.
3) Sekarang mari kita perhatikan kata-kata anda di atas yang saya beri garis bawah tunggal dan yang saya beri garis bawah ganda! Bukankah keduanya bertentangan? Untuk jelasnya saya kutip ulang bagian itu.
‘Allah bahkan menjadi manusia dan mati bagi semua orang (baik yang menentang maupun percaya), dan itu membuktikan kasihNya. Tetapi, Allah bukan hanya mahakasih, tetapi juga mahaadil, dan mahakudus. Setiap manusia yang menentang Allah dan tidak diselesaikan dosanya oleh Yesus, dihukum secara kekal dalam Neraka’.
Kalau anda mengatakan Yesus mati bagi semua orang, baik yang menentang maupun yang percaya, lalu bagaimana mungkin manusia yang menentang Allah itu tidak diselesaikan dosanya oleh Yesus, sehingga mereka lalu dihukum secara kekal di neraka??? Jelaskan omongan yang kontradiksi ini, Liauw!
Dalam bahasa Theologia, anda percaya ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas) atau ‘Universal Atonement’ (= Penebusan Universal)? Kalau dilihat bagian yang saya beri garis bawah tunggal, anda percaya ‘Universal Atonement’ (= Penebusan Universal). Tetapi kalau dilihat yang saya beri garis bawah ganda, anda percaya ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas)!
Bagi setiap orang yang percaya ‘Universal Atonement’ (= Penebusan Universal), mereka harus menjelaskan bagaimana mungkin orang-orang yang sudah dibayar hutang dosanya oleh Yesus, lalu bisa ditagih lagi oleh Allah, dan dimasukkan neraka selama-lamanya! Ini menunjukkan Allah menagih satu hutang 2 x, dan ini tidak adil! Itu sebabnya Calvinisme mempercayai Yesus mati hanya untuk orang-orang pilihan!
Masalah timbul ketika sifat-sifat Allah didefinisikan menurut manusia. Manusia mengatakan bahwa “kasih” tidak mungkin menghukum. Tetapi ini adalah definisi yang salah. Jika definisi ini dipakai, maka sifat Allah yang “mahakasih” akan bertentangan dengan “kekudusan” dan “keadilan”Nya. Karena ada ketidakharmonisan, kita perlu merevisi premis dasar kita. Ternyata, kasih bukan tidak dapat menghukum.
Tanggapan saya:
1) Siapa yang mengatakan kasih tidak mungkin menghukum? Yang mengajar seperti itu bukan Calvinisme tetapi Saksi Yehuwa! Calvinisme percaya bahwa Allah yang maha kasih bisa menghukum!
2) Lagi-lagi anda membelokkan argumentasi saya dan karena itu saya ulang kata-kata saya di atas. Yang saya pertentangkan dengan kasih Allah dalam argumentasi saya di atas, bukan penghukuman yang Ia berikan kepada orang-orang yang tidak percaya, tetapi penciptaan orang-orang yang Ia tahu bakal tidak percaya!
Demikian juga dengan kedaulatan Allah. Manusia (Kalvinis) berkata bahwa “Allah yang berdaulat menentukan segala sesuatu.” Tetapi, ini menjadi bertentangan dengan sifat Allah yang kudus (tidak mungkin menentukan manusia untuk berdosa) dan juga keadilanNya (tidak mungkin menghukum manusia yang hanya menjalankan dekrit). Seharusnya ada kerendahan hati di sini untuk introspeksi: kalau begitu, mungkin premis dasarnya salah. Barangkali, Allah yang berdaulat tidak perlu menentukan segala sesuatu!
Tanggapan saya:
1) Calvinisme memang percaya bahwa Allah yang berdaulat menentukan segala sesuatu. Kalau ada apapun yang terjadi di luar ketentuan Allah, itu berarti hal itu ada di luar kedaulatan Allah. Itu menjadikan Allahnya tidak berdaulat, dan Allah yang tidak berdaulat bukanlah Allah!
Anda mengatakan ‘Barangkali, Allah yang berdaulat tidak perlu menentukan segala sesuatu!’?? Ada 2 hal yang ingin saya soroti:
a) Mengapa anda menggunakan kata ‘barangkali’? Anda sendiri tidak yakin?
b) Itu bertentangan dengan arti dari kata ‘berdaulat’ itu sendiri! Tentang arti kata itu, saya kutipkan dari buku ‘Providence of God’ saya sendiri, sekaligus dengan beberapa komentar dari para ahli theologia Reformed / Calvinisme.
“Kata ‘berdaulat’ dalam bahasa Inggris adalah ‘sovereign’, yang berasal dari bahasa Latin superanus (super = above, over). Dan dalam Kamus Webster diberikan definisi sebagai berikut tentang kata ‘sovereign’:
a) Above or superior to all others; chief; greatest; supreme (= Di atas atau lebih tinggi dari semua yang lain; pemimpin / kepala; terbesar; tertinggi).
b) supreme in power, rank, or authority (= tertinggi dalam kuasa, tingkat, atau otoritas).
c) of or holding the position of a ruler; royal; reigning (= mempunyai atau memegang posisi sebagai pemerintah; raja; bertahta).
d) independent of all others (= tidak tergantung pada semua yang lain).
Karena itu kalau kita percaya bahwa Allah itu berdaulat, maka kita juga harus percaya bahwa Ia menetapkan segala sesuatu, dan bahwa Ia melaksanakan ketetapanNya itu tanpa tergantung pada siapapun dan apapun di luar diriNya! Jelas adalah omong kosong kalau seseorang berbicara tentang kedaulatan Allah / mengakui kedaulatan Allah, tetapi tidak mempercayai bahwa Rencana Allah dan Providence of God itu mencakup segala sesuatu dalam arti kata yang mutlak!
Louis Berkhof: “Reformed Theology stresses the sovereignty of God in virtue of which He has sovereignly determined from all eternity whatsoever will come to pass, and works His sovereign will in His entire creation, both natural and spiritual, according to His predetermined plan. It is in full agreement with Paul when he says that God ‘worketh all things after the counsel of His will’ (Eph 1:11)” [= Theologia Reformed menekankan kedaulatan Allah atas dasar mana Ia secara berdaulat telah menentukan dari sejak kekekalan apapun yang akan terjadi, dan mengerjakan kehendakNya yang berdaulat dalam seluruh ciptaanNya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, menurut rencanaNya yang sudah ditentukan sebelumnya. Ini sesuai dengan Paulus pada waktu ia berkata bahwa Allah ‘mengerjakan segala sesuatu menurut keputusan kehendakNya’ (Ef 1:11)] - ‘Systematic Theology’, hal 100.
Charles Hodge: “And as God is absolutely sovereign and independent, all his purposes must be determined from within or according to the counsel of his own will. They cannot be supposed to be contingent or suspended on the action of his creatures, or upon anything out of Himself” (= Dan karena Allah itu berdaulat dan tak tergantung secara mutlak, semua rencanaNya harus ditentukan dari dalam atau menurut keputusan kehendakNya sendiri. Mereka tidak bisa dianggap sebagai kebetulan atau tergantung pada tindakan-tindakan dari makhluk-makhluk ciptaanNya, atau pada apapun di luar diriNya sendiri) - ‘Systematic Theology’, vol II, hal 320.
William G. T. Shedd: “Whatever undecreed must be by hap-hazard and accident. If sin does not occur by the Divine purpose and permission, it occurs by chance. And if sin occurs by chance, the deity, as in the ancient pagan theologies, is limited and hampered by it. He is not ‘God over all’. Dualism is introduced into the theory of the universe. Evil is an independent and uncontrollable principle. God governs only in part. Sin with all its effects is beyond his sway. This dualism God condemns as error, in his words to Cyrus by Isaiah, ‘I make peace and create evil’; and in the words of Proverbs 16:4, ‘The Lord hath made all things for himself; yea, even the wicked for the day of evil’” (= Apapun yang tidak ditetapkan pasti ada karena kebetulan. Jika dosa tidak terjadi karena rencana dan ijin ilahi, maka itu terjadi karena kebetulan. Dan jika dosa terjadi karena kebetulan, keilahian, seperti dalam teologi kafir kuno, dibatasi dan dirintangi olehnya. Ia bukanlah ‘Allah atas segala sesuatu’. Dualisme dimasukkan ke dalam teori alam semesta. Kejahatan merupakan suatu elemen hakiki yang tak tergantung dan tak terkontrol. Allah memerintah hanya sebagian. Dosa dengan semua akibatnya ada di luar kekuasaanNya. Dualisme seperti ini dikecam Allah sebagai salah, dalam kata-kata Yesaya kepada Koresy, ‘Aku membuat damai dan men-ciptakan malapetaka / kejahatan’; dan dalam kata-kata dari Amsal 16:4, ‘Tuhan telah membuat segala sesuatu untuk diriNya sendiri; ya, bahkan orang jahat untuk hari malapetaka’) - ‘Calvinism: Pure & Mixed’, hal 36.
Catatan: kata-kata Yesaya kepada Koresy itu diambil dari Yes 45:7 versi KJV. Demikian juga Amsal 16:4 diambil dan diterjemahkan dari KJV.
R. C. Sproul: “That God in some sense foreordains whatever comes to pass is a necessary result of his sovereignty. ... everything that happens must at least happen by his permission. If he permits something, then he must decide to allow it. If He decides to allow something, then is a sense he is foreordaining it. ... To say that God foreordains all that comes to pass is simply to say that God is sovereign over his entire creation. If something could come to pass apart from his sovereign permission, then that which came to pass would frustrate his sovereignty. If God refused to permit something to happen and it happened anyway, then whatever caused it to happen would have more authority and power than God himself. If there is any part of creation outside of God’s sovereignty, then God is simply not sovereign. If God is not sovereign, then God is not God. ... Without sovereignty God cannot be God. If we reject divine sovereignty then we must embrace atheism” (= Bahwa Allah dalam arti tertentu menentukan apapun yang akan terjadi merupakan akibat yang harus ada dari kedaulatanNya. ... segala sesuatu yang terjadi setidaknya harus terjadi karena ijinNya. Jika Ia mengijinkan sesuatu, maka Ia pasti memutuskan untuk mengijinkannya. Jika Ia memutuskan untuk mengijinkan sesuatu, maka dalam arti tertentu Ia menentukannya. ... Mengatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi adalah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu berdaulat atas segala ciptaanNya. Jika ada sesuatu yang bisa terjadi di luar ijinNya yang berdaulat, maka apa yang terjadi itu menghalangi kedaulatanNya. Jika Allah menolak untuk mengijinkan sesuatu dan hal itu tetap terjadi, maka apapun yang menyebabkan hal itu terjadi mempunyai otoritas dan kuasa yang lebih besar dari Allah sendiri. Jika ada bagian dari ciptaan berada di luar kedaulatan Allah, maka Allah itu tidak berdaulat. Jika Allah tidak berdaulat, maka Allah itu bukanlah Allah. ... Tanpa kedaulatan Allah tidak bisa menjadi / adalah Allah. Jika kita menolak kedaulatan ilahi, maka kita harus mempercayai atheisme) - ‘Chosen By God’, hal 26-27.
Bagian terakhir kata-kata R. C. Sproul ini memang patut diperhatikan / dicamkan. Allah haruslah berdaulat, dan Allah yang tidak berdaulat, bukanlah Allah.
John Murray: “to say that God is sovereign is but to affirm that God is one and that God is God” (= mengatakan bahwa Allah itu berdaulat adalah sama dengan menegaskan bahwa Allah itu satu / esa dan bahwa Allah adalah Allah) - ‘Collected Writings of John Murray’, vol IV, hal 191.
Karena itulah maka menolak penetapan dan pengaturan ilahi atas segala sesuatu, adalah sama dengan menjadi atheis!”.
2) Dari Alkitab sebelah mana anda mendapatkan kata-kata / pandangan bahwa sifat Allah yang kudus tidak memungkinkanNya untuk menentukan dosa? Kalau Ia melakukan dosa, atau menciptakan dosa, maka itu memang bertentangan dengan kekudusanNya. Tetapi kalau hanya menentukan, itu tidak bertentangan dengan kekudusanNya.
3) Anda mengatakan ‘Manusia yang hanya menjalankan dekrit’? Ingat bahwa Calvinisme mengajar bahwa:
a) Dekrit yang tidak kita ketahui itu bukanlah pedoman hidup kita. Pedoman hidup kita adalah Firman Tuhan. Jadi, pada saat seseorang melakukan apa yang Allah tetapkan, itu tetap dosa kalau hal itu tak sesuai dengan Firman Tuhan!
b) Pada waktu manusia melakukan apa yang ditetapkan oleh Allah, ia melakukan dengan kemauannya sendiri dan bukan dengan motivasi untuk menjalankan ketetapan Allah! Buang kata ‘hanya’ yang anda pakai! Itu membuat artinya jadi sangat berbeda!
B. Tidak Konsisten Secara Praktis
Walaupun penerapan Kalvinisme yang konsisten akan membawa seseorang kepada Fatalisme, tetapi pada kenyataannya mayoritas Kalvinis bukanlah Fatalis. Tidak peduli betapa tidak mampunya para Kalvinis menjelaskan bagaimana manusia bisa bebas dalam skema theologi mereka, toh banyak Kalvinis tetap mengajarkan manusia untuk bertanggung jawab. Asali berkata: “Tetapi seperti saudara sudah lihat, sekalipun saya percaya dan mengajarkan kedaulatan Allah / penentuan Allah, tetapi saya tidak mengajarkan untuk hidup secara apatis / acuh tak acuh dan tak bertanggung jawab!”
Terhadap hal ini, saya justru mengucap syukur. Hal ini adalah apa yang dapat kita sebut ketidakkonsistenan yang menguntungkan (felicitous inconsistency). Artinya, jika Kalvinis konsisten dengan premis dasar mereka, mereka akan menjadi Fatalis yang tidak memiliki inisiatif sama sekali. Tetapi untunglah mereka tidak konsisten di sini! Sehingga walaupun teori mereka menuntut kehidupan yang menghalalkan segala sesuatu atau yang sama sekali tidak berinisiatif, namun pada prakteknya mereka berfungsi rata-rata sama dengan manusia lain pada umumnya.
Tanggapan saya:
1) Anda mengatakan ‘Walaupun penerapan Kalvinisme yang konsisten akan membawa seseorang kepada Fatalisme’. Anda sudah menyimpulkan sebelum selesai melihat ajaran Calvinisme. Calvinisme memang mempercayai bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Seandainya hanya ini yang dipercayai oleh Calvinisme, maka mungkin kata-kata anda benar. Tetapi Calvinisme bukan hanya mempercayai ini, tetapi juga bahwa manusia tetap melakukan dosa dengan kehendaknya sendiri, dan dengan demikian manusia bertanggung jawab.
2) Dengan cara yang sama saya bisa menyerang Arminianisme. Kepercayaan Arminianisme bahwa keselamatan bisa hilang membuat seorang Kristen harus berusaha taat, tidak murtad dsb, kalau mau tetap selamat. Kalau mau konsisten, maka ini menjadi ajaran keselamatan karena iman + perbuatan baik. Tetapi puji Tuhan, Arminianisme yang sejati melakukan ‘ketidakkonsistenan yang menguntungkan (felicitous inconsistency)’ dengan tetap mempercayai keselamatan karena iman saja!
3) Anda mengatakan ‘pada kenyataannya mayoritas Kalvinis bukanlah Fatalis’. Ini salah! Yang benar adalah: ‘semua Calvinist bukanlah fatalis’. Yang fatalis bukan Calvinist, tetapi Hyper-Calvinist!
4) Sekarang saya soroti kata-kata terakhir dari kutipan kata-kata anda di atas. Anda mengatakan ‘Sehingga walaupun teori mereka menuntut kehidupan yang menghalalkan segala sesuatu atau yang sama sekali tidak berinisiatif, namun pada prakteknya mereka berfungsi rata-rata sama dengan manusia lain pada umumnya’. Kalau yang saya beri garis bawah ganda itu masih cocok dengan apa yang anda sedang bicarakan, tetapi yang saya beri garis bawah tunggal itu dari mana???? Jangan memfitnah, Liauw!
Bahwa banyak Kalvinis yang masih berfungsi normal, bukan berarti Kalvinisme tidak bermasalah. Di bagian Pendahuluan, kita sudah melihat contoh orang atheis. Jika atheisme benar, maka penerapannya secara konsisten akan membuat manusia menjadi tidak bermoral sama sekali. Nyatanya, banyak orang atheis yang masih bermoral (moral relatif), malah banyak menyumbang sana sini untuk acara-acara kemanusiaan. Apakah itu berarti atheisme membangkitkan moralitas? Sama sekali tidak! Moralitas yang ditunjukkan seorang atheis adalah sisa-sisa kebenaran ilahi yang sudah sedemikian terpatri dalam sanubari manusia, sehingga sulit untuk dihilangkan begitu saja. Walaupun dalam pikirannya dia menolak Allah (dan juga sebagai konsekuensinya menolak segala aturan moral), tetapi hati nuraninya belum bisa menerapkan itu dalam perilakunya. Atheismenya belum sempat mengikis habis kebenaran ilahi universal bahwa manusia bertanggung jawab kepada Pribadi di atasnya.
Tanggapan saya:
Oh, anda percaya ada orang yang betul-betul atheis / tidak percaya adanya Allah? Saya tidak, dan anda seharusnya juga tidak, kalau anda memang Alkitabiah.
Ro 1:19-20 menunjukkan bahwa Allah menanamkan dalam diri setiap orang suatu perasaan tentang keberadaannya. Tetapi Ro 1:19-20 versi Kitab Suci Indonesia salah / kurang tepat terjemahannya, dan karena itu saya memberikan Ro 1:19-20 versi NASB di bawah ini.
Ro 1:19-20 (NASB): “because that which is known about God is evident within them; for God made it evident to them. For since the creation of the world His invisible attributes, His eternal power and divine nature, have been clearly seen, being understood through what has been made, so that they are without excuse” (= karena apa yang diketahui tentang Allah nyata di dalam mereka; karena Allah telah membuatnya nyata bagi mereka. Karena sejak penciptaan dunia / alam semesta, sifat-sifatNya yang tak terlihat, kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, telah terlihat dengan jelas, dimengerti melalui apa yang telah diciptakan, sehingga mereka tidak mempunyai alasan).
Ini menunjukkan bahwa tidak ada orang yang terlahir sebagai atheist. Ide / pemikiran tentang adanya Allah adalah sesuatu yang bersifat universal, dan bahkan ada di antara suku-suku yang bersifat primitif / biadab.
John Calvin: “There is within the human mind, and indeed by natural instinct, an awareness of divinity. ... To prevent anyone from taking refuge in the pretense of ignorance, God himself has implanted in all men a certain understanding of his divine majesty. ... a sense of deity inscribed in the hearts of all” (= Di dalam pikiran manusia, oleh suatu naluri yang bersifat alamiah, ada suatu kesadaran tentang keilahian. ... Untuk mencegah siapapun untuk berlindung dalam ketidaktahuan, Allah sendiri telah menanamkan dalam semua manusia suatu pengertian tertentu tentang keagungan ilahinya. ... suatu perasaan tentang Allah dituliskan dalam hati dari semua orang) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter III, no 1.
Demikian juga dengan Kalvinisme. Bahwa masih banyak Kalvinis yang hidup secara bertanggung jawab, bukanlah karena Kalvinisme membangkitkan rasa tanggung jawab bagi para pemegangnya. Sebaliknya, Kalvinisme yang konsisten memimpin kepada Fatalisme. Justru di sini para Kalvinis melakukan ketidakkonsistenan yang menguntungkan! Rasa tanggung jawab dalam diri seorang Kalvinis adalah kebenaran ilahi universal yang sudah terpatri dalam sanubarinya, dan yang belum sempat dikikis habis oleh Kalvinisme yang dianut secara intelektual.
Tanggapan saya:
Analogi yang sama sekali tidak cocok. Mengapa? Karena dalam atheisme memang tak ada ajaran untuk tetap bermoral, melakukan apa yang baik dan sebagainya. Tetapi dalam Calvinisme, sekalipun ada ajaran tentang penentuan segala sesuatu, tetapi juga ada ajaran tentang tanggung jawab dan keharusan menjadikan Firman Tuhan, dan bukannya dekrit ilahi, sebagai pedoman hidup!
Secara sama saya bisa mengatakan bahwa Arminian yang konsisten seharusnya tidak bisa mempunyai sukacita atau damai sama sekali. Mengapa? Kalau mereka percaya bahwa keselamatan bisa hilang, berarti ada kemungkinan mereka masuk neraka selama-lamanya, disiksa dan mengalami rasa sakit yang luar biasa untuk selama-lamanya! Tak peduli berapa persen kemungkinan terjadinya hal ini, kalau kemungkinan itu ada, itu seharusnya membuat mereka terus menerus hidup dalam ketakutan dan kekuatiran! Itu seharusnya membuat mereka tidak bisa tidur, bahkan jadi gila! Anda pernah pikirkan ini, Liauw?? Ajaib juga kalau anda bisa tidur dan tidak menjadi gila! (Tapi mungkin juga ada gilanya sedikit, kalau dilihat ajaran anda yang tak punya logika!! Pengaruh ajaran Arminian? Hehehe!).
Saya beranggapan bahwa kesalahan Liauw disini adalah penggunaan logika secara berlebihan dalam menilai Calvinisme. Memang logika harus digunakan dalam menafsirkan suatu ajaran, tetapi bagaimanapun, Firman Tuhan harus diletakkan di atas logika. Kalau Calvinisme mempercayai bahwa Allah menentukan segala sesuatu, dan manusia pasti akan melakukan apa yang ditentukan Allah, maka secara logika memang manusia tak harus bertanggung jawab, menjadi robot, dan sebagainya. Tetapi pada waktu apa yang kelihatannya logis ini ternyata bertentangan dengan ayat-ayat Firman Tuhan / Alkitab, yang menunjukkan secara jelas bahwa Alkitab tidak menganggap manusia sebagai robot yang tidak bertanggung jawab, dan sebaliknya, menunjukkan manusia sebagai oknum yang berttanggung jawab atas perbuatannya, maka logika harus disingkirkan.
Mungkin dipertanyakan: dimana Alkitab menunjukkan bahwa Allah menentukan, tetapi manusia tetap bertanggung jawab? Dalam buku saya, saya memberikan banyak ayat. Di sini saya berikan satu saja.
Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.
Bagian awal dari ayat itu menunjukkan bahwa Allah telah menetapkan bahwa Yesus akan mati melalui pengkhianatan Yudas Iskariot, tetapi bagian akhirnya mengatakan bahwa Yudas Iskariot bertanggung jawab atas hal itu.
Saya akan memberikan contoh penggunaan logika secara berlebihan, yang akhirnya menabrak ayat-ayat Firman Tuhan. Dalam Gereja Roma Katolik dipercaya bahwa Maria lahir dan hidup tanpa dosa. Apa alasannya? Hanya alasan secara logika, yaitu karena Yesus lahir dan hidup tanpa dosa. Mereka beranggapan bahwa Yesus tidak mungkin lahir tanpa dosa, kecuali ibuNya yang melahirkanNya juga suci. Tetapi dengan menarik kesimpulan dengan menggunakan logika seperti itu, mereka menabrak banyak ayat Alkitab yang menyatakan bahwa semua manusia berdosa (Ro 3:23 dsb). Alkitab hanya mengecualikan Yesusnya sendiri (Ibr 4:15 2Kor 5:21), bukan Marianya! Jadi, jelas kesimpulan berdasarkan logika seperti ini harus ditolak.
Contoh lain yang seperti ini. Alkitab mengatakan semua manusia berdosa (Ro 3:23). Alkitab juga menyatakan bahwa Yesus adalah manusia sama dengan kita (Ibr 2:14-17 Fil 2:7). Kesimpulan secara logika, Yesus juga berdosa. Tetapi kesimpulan ini bertentangan dengan Ibr 4:15 dan 2Kor 5:21 yang menyatakan bahwa Yesus tidak berdosa. Juga bertentangan dengan fakta bahwa Yesus bisa menjadi Juruselamat / Penebus. Kalau Ia berdosa tidak mungkin Ia bisa menjadi Juruselamat / Penebus. Jadi, kesimpulan yang berdasarkan logika ini harus ditolak, karena bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab yang lain.
Saya ingin memberikan lagi contoh lain yang seperti ini. Alkitab jelas mengatakan bahwa Allah itu hanya satu (Ul 6:4). Alkitab jelas juga menunjukkan bahwa Bapa itu Allah dan Yesus berbeda (‘distinct’, bukan ‘different’) dari Bapa (Yoh 1:1b). Apakah kita lalu boleh menggunakan logika, dan lalu meloncat pada kesimpulan bahwa Yesus bukanlah Allah? Seandainya tak ada ayat yang menentang kesimpulan ini, maka itu boleh dilakukan. Tetapi ternyata bagian akhir dari Yoh 1:1 (Yoh 1:1c) mengatakan ‘dan Firman itu adalah Allah’. Dan banyak ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah. Jadi kesimpulan yang didasarkan pada logika itu bertentangan dengan banyak ayat Firman Tuhan. Dalam hal seperti ini tentu saja salah kalau kita tetap bersandarkan pada logika. Akhirnya yang dilakukan adalah: menciptakan doktrin Allah Tritunggal, yang bisa mengharmoniskan semua ayat-ayat itu.
Saya kira sudah cukup banyak contoh yang saya berikan. Sekarang kembali pada apa yang dilakukan oleh Liauw dengan ajaran Calvinisme. Semua contoh itu sebetulnya sama dengan apa yang dilakukan oleh Liauw dengan ajaran Calvinisme. Memang Calvinisme mengajarkan bahwa Allah menentukan segala sesuatu, dan apapun yang ditentukan Allah pasti akan terjadi. Logika Liauw lalu mengatakan bahwa kalau begitu manusia itu seperti robot yang tidak bertanggung jawab. Bolehkah menyimpulkan seperti ini? Boleh, seandainya itu tidak bertentangan dengan ayat-ayat lain dalam Firman Tuhan. Tetapi sudah saya tunjukkan bahwa kesimpulan logis seperti itu bertentangan dengan ayat-ayat Firman Tuhan, dan karena itu, kesimpulan itu tidak boleh diambil.
Sebenarnya, Kalvinisme yang konsisten sama sekali tidak adekuat untuk dijadikan pedoman praktek kehidupan manusia. Saya akan mencoba untuk memperlihatkan kelemahan Kalvinisme dalam praktek hidup sehari-hari. Sebelumnya saya mengajak pembaca untuk mengingat bahwa Kalvinisme percaya;
1. Allah telah menentukan segala sesuatu, termasuk tindakan dan pikiran manusia, dalam dekrit rahasia di kekekalan lampau
2. Manusia pasti melakukan seperti yang Allah dekritkan, tidak dapat menyimpang dari itu.
Untuk menghindari Fatalisme, Kalvinis berkata: “Jangan hidup berpedomankan kepada ketetapan rahasia Allah, itu adalah rahasia. Hiduplah berpedomankan kepada Firman Allah!” Saya senang ketika siapapun juga mengajarkan umat untuk hidup berpedomankan kepada Firman Allah. Tetapi, sambil Kalvinis menghimbau umatnya untuk hidup sesuai Firman Tuhan, premis dasar Kalvinisme itu sendiri memperlemah seruan tersebut. Seseorang yang mempercayai premis dasar Kalvinisme dengan serius, walaupun dihimbau untuk taat Alkitab, akan bergumul dengan pikiran-pikiran berikut:
1. “Walaupun saat ini saya seolah-olah dapat memilih untuk taat Firman Tuhan atau untuk membangkang, sebenarnya pilihan saya sudah ditentukan oleh Tuhan sejak kekekalan.”
2. “Kalau saya membangkangi Firman Tuhan, saya akan dihukum. Tetapi kalau misalnya Tuhan memang sudah menetapkan saya untuk membangkang, saya tidak bisa melawan itu. Semoga Tuhan tidak menetapkan saya untuk membangkang!” Apakah pembaca dapat melihat, bahwa Kalvinisme yang diimani secara konsisten menimbulkan suatu harapan yang aneh: “Semoga saya bukan telah ditetapkan untuk membangkang!”
3. Ketika melakukan introspeksi, atau mengilas kembali masa lalu, seorang Kalvinis sah-sah saja berpikir demikian: “Apa yang tadi saya lakukan memang bertentangan dengan Firman Tuhan. Saya sungguh menyesal…..Tetapi, bukankah itu sudah ditentukan Tuhan? Artinya, saya tidak mungkin taat tadi. Guru Kalvinis saya mengajarkan bahwa apapun yang terjadi di dunia tidak lepas dari ketetapan dan rencana Tuhan. Apa saya perlu menyesali suatu rencana Allah dalam hidup saya? Saya rasa saya tidak perlu menyesal lagi, saya hanya perlu terima saja bahwa Allah telah menentukan bahwa tadi saya tidak taat dalam hal ini.” Apakah menurut pembaca skenario ini terlalu mengada-ada? Coba renungkan, bukankah premis dasar Kalvinisme berpotensi untuk menimbulkan pikiran-pikiran seperti demikian?
Tanggapan saya:
Saya mengakui kalau kemungkinan itu ada, tetapi Calvinist yang berpikir demikian adalah Calvinist yang digodai setan. Memang kalau orang percaya kebenaran, setan selalu menyerang dengan menggunakan ayat-ayat / kebenaran yang disalah-gunakan. Misalnya Yesus digoda dengan menggunakan Firman Tuhan yang disalah-artikan / disalah-gunakan dalam Mat 4:5-6! Anda cocok jadi setan, Liauw!
Tetapi ingat, adanya godaan setan seperti itu tidak menyebabkan kita bisa mengartikan kebenaran itu sendiri sebagai salah! Apakah orang yang percaya Injil, tidak bisa digodai setan untuk berbuat dosa saja, karena dosanya toh sudah ditebus Yesus? Tentu bisa! Apakah ini membuktikan Injil itu salah? Terkutuklah orang yang berpikir demikian!
Kepercayaan bahwa Allah sudah menentukan segala sesuatu juga tidak dapat secara adekuat mengajari orang percaya perihal doa dan penginjilan. Jika Allah sudah menentukan segala sesuatu, maka doa-doa kita sama sekali tidak mengubah sesuatu apapun. Demikian juga dengan penginjilan. Seiring dengan doktrin Unconditional Election juga (yang belum dibahas), Allah sudah menentukan siapa yang masuk Surga dan siapa yang masuk neraka. Kalau begitu, usaha penginjilan orang percaya tidak akan menambahi atau mengurangi hal ini.
Tanggapan saya:
Idem di atas.
Calvinist yang tidak berdoa ataupun memberitakan Injil, bukanlah Calvinist, bahkan bukan Kristen!
Dan jangan lupa, Allah justru melaksanakan rencanaNya untuk menyelamatkan orang-orang pilihan melalui penginjilan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen.
Kis 13:48 - “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya”.
Perhatikan siapa yang menjadi percaya pada waktu ada penginjilan? Hanya orang-orang pilihan, Liauw!
Bukan berarti Kalvinis tidak mengajari orang untuk berdoa atau menginjil. Mereka berkata bahwa orang percaya perlu berdoa dan menginjil karena itu adalah perintah Allah bagi kita. Namun seberapa efektifkah seruan ini jika dibandingkan dengan konsep Alkitab bahwa doa kita benar-benar mengubah situasi? Seberapa efektifkah seruan Kalvinis untuk menginjil karena itu adalah keharusan, dibandingkan seruan untuk menginjil karena usaha penginjilanmu membuat perbedaan bagi jiwa-jiwa yang terhilang?
Tidak usah jauh-jauh, kita bisa melihat ilustrasi seorang salesman. Katakanlah ada dua salesman di dua perusahaan berbeda. Perusahaan pertama memberi gaji tetap kepada salesman mereka. Jadi, berapapun hasil penjualan sang salesman, gajinya sama. Sebaliknya, di perusahaan kedua, salesman diberi gaji tetap yang kecil, tetapi insentif yang besar untuk setiap penjualan yang dia hasilkan. Menurut anda, salesman mana yang akan lebih tinggi penjualannya? Saya rasa saya tidak perlu menjawab lagi, anda sudah mengerti. Itulah sebabnya hampir semua perusahaan kini memakai sistem yang kedua.
Dapatkah pembaca memahami, bahwa seruan Kalvinis untuk berdoa, menginjil, ataupun bentuk ketaatan lainnya, diperlemah oleh premis dasar mereka sendiri? Saya sama sekali tidak menyangkal bahwa Kalvinis masih berdoa. Saya tidak meragukan bahwa ada Kalvinis yang menginjil. Tetapi mereka berdoa dan menginjil, bukan karena mereka Kalvinis (because of their Calvinism), melainkan walaupun mereka Kalvinis (in spite of their Calvinism). Jika ada Kalvinis yang rajin menginjil, saya mengucap syukur untuk hal itu. Tetapi kerajinannya menginjil bukanlah karena ia seorang Kalvinis. Kalau dia bukan Kalvinis, dia bisa lebih rajin lagi menginjil. Mungkin ada Kalvinis yang berkata, “Kalvinisme tidak melemahkan semangat saya menginjil.” Terlepas dari benar tidaknya pernyataan dia, apakah dia yakin bahwa semua Kalvinis yang lain tidak melemah, padahal premis dasar Kalvinisme itu sendiri memperlemah semangat menginjil?
Tanggapan saya:
Lagi-lagi anda cuma menyoroti satu sisi ajaran Calvinisme. Yang anda soroti hanyalah Allah menentukan sesuatu. Tetapi ajaran yang menyeimbangkan dalam Calvinisme, yaitu manusia harus bertanggung jawab dsb, anda anggap tidak ada. Dan itu sebabnya anda katakan tidak konsisten.
Saya adalah salah satu Calvinist yang paling keras di Indonesia, tetapi saya berani diadu / dibandingkan dengan orang-orang dari kalangan Arminian, dalam persoalan memberitakan Injil! Bagaimana kalau dibandingkan dengan anda saja, Liauw? Mana yang lebih banyak memberitakan Injil, anda atau saya? Lihat tulisan-tulisan saya di web, dan perhatikan betapa banyak saya memberitakan Injil. Bahkan kalau saya mengajar di sekolah theologia, atau kalau saya khotbah di depan pendeta-pendeta, saya tetap memberitakan Injil, karena saya percaya bahwa selalu ada banyak lalang di antara gandum, dan anda mungkin salah satunya!
Bersambung....
Saya bukan pengikut Calvin, tapi sya percaya dosa asal pak, Adam dan Hawa di Taman eden punya pilihan Netral, setelah mereka manusia jatuh dalam dosa, jadi kit DISEBUT BERDOSA KETIKA MELAKUKAN NOL DOSA, DAN KITA DIBENARKAN KETIKA MELAKUKAN NOL KEBENARAN
BalasHapus