By. Esra Alfred Soru
Pada tanggal 1
Juni lalu Dr. Suhento Liauw mengadakan seminar Eskatologi di Surabaya. Hadir
dalam seminar ini Pdt. Budi Asali yang setelah itu memberikan beberapa
sanggahan terhadap beberapa point ajaran Dr. Suhento Liauw (Baca di sini)
Nah, tanggapan Pdt. Budi Asali ini lalu ditanggapi balik oleh seorang murid
Suhento Liauw bernama Dji Ji Liong (Baca di sini).
Dan Berikut ini adalah sanggahan balik saya terhadap tanggapan Dji Ji Liong.
Keterangan :
·
Tulisan berwarna hijau adalah ajaran
Suhento Liauw dalam seminar Eskatologi di Surabaya
sebagaimana yang dicatat Pdt. Budi Asali.
·
Tulisan berwarna biru adalah tanggapan Pdt.
Budi Asali atas materi seminar itu.
·
Tulisan berwarna hitam adalah tanggapan Dji ji Liong
terhadap tanggapan Pdt. Budi Asali.
·
Tulisan berwarna merah adalah sanggahan
balik saya atas tanggapan Dji ji Liong.
**********
1. Seminar berhubungan dengan pengetahuan /
pikiran, kalau KKR hanya dengan perasaan. Karena itu dia buat seminar, bukan
KKR.
Tanggapan
Budi Asali:
Omong
kosong, semua tergantung siapa yang berkhotbah dalam seminar atau KKR itu.
Kalau yang berkhotbah memang adalah orang-orang yang senang mengobarkan emosi,
baik KKR ataupun seminar akan berhubungan dengan perasaan saja. Sebaliknya
kalau yang berkhotbah adalah orang-orang yang memang menekankan pendidikan dan
pengajaran, maka baik KKR maupun seminar akan berhubungan dengan pikiran dan
memberikan pengetahuan.
Tanggapan Dji:
Saya yakin semua
orang setuju bahwa seminar tentu lebih MENEKANKAN PENGETAHUAN dari pada KKR.
Karena dalam seminar yang diadakan oleh Dr. Suhento Liauw selalu ADA SESI TANYA
JAWAB. Sedangkan dalam KKR tidak mungkin ada sesi tanya jawab. Fakta yang sulit
dipungkiri bahwa hampir semua KKR mengedepankan emosi (perasaan). Seminar
adalah pola belajar yang akademis, seminar berbeda dengan KKR. Seminar bersifat
Pendalaman Alkitab (PA) sedangkan KKR bersifat Pendalaman Emosi (Perasaan).
Seminar menyelidiki kitab suci (Alkitab) apakah benar demikian, persis seperti
dalam Kis 17:11 Orang-orang
Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di
Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan
setiap hari mereka menyelidiki Kitab
Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.
Tanggapan Esra Soru :
1. Anda berkata “Saya yakin semua orang setuju bahwa seminar
tentu lebih MENEKANKAN PENGETAHUAN dari pada KKR”, darimana keyakinan anda
itu? Buktinya ada orang seperti Budi Asali, juga saya tidak mempercayai hal
itu.
2. Anda menganggap bahwa tidak adanya sesi tanya jawab di dalam KKR
sebagai bukti bahwa KKR hanya mengedepankan emosi / perasaan? Supaya anda tahu
juga bahwa adakalanya dalam acara KKR, Pdt. Stephen Tong membuka acara tanya
jawab. Juga apakah dengan tidak adanya sesi tanya jawab lalu menjadikan suatu
acara hanya menekankan emosi belaka? No! Pdt. Budi Asali biasa KKR, saya juga
biasa KKR, tapi KKR yang kami lakukan penuh dengan pengajaran dan argumentasi.
Bahkan lebih argumentatif dan ketat dalam pengajaran daripada seminar yang
kalian buat. Jika itu tidak ada tanya jawab berarti sama dengan mengedepankan
emosi?
3. Jikalau ada banyak KKR yang mengedepankan emosi, itu harus berarti
bahwa semua KKR mengedepankan emosi? Anda salah besar! Jikalau ada 1 saja kasus
di mana KKR tidak mengedepankan emosi maka kesimpulan Suhento Liauw sudah bisa
dianggap gugur.
2. Kalau ada free will - harus ada pilihan, berbuat
dosa atau berbuat baik.
Tanggapan
Budi Asali:
Jawaban
tentang kebodohan ini tidak saya berikan di sini karena ini berhubungan dengan
debat tanggal 24 Agustus 2012 antara Esra + saya vs Steven Liauw + partnernya.
Saya tak mau tunjukkan ‘senjata’ saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu
terlaksana.
Tanggapan Dji: Karena
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div merasa “belum saatnya” untuk memberikan
tanggapan, maka tidak ada yang perlu ditanggapi selain saya hanya melihat
Kebenaran dari pernyataan Dr. Suhento Liauw bahwa setiap manusia mempunyai free
will (mempunyai kehendak bebas yaitu mempunyai pilihan untuk berbuat dosa atau
berbuat baik).
Tanggapan Esra Soru :
Itu masih akan diperdebatkan jadi jangan buru2 menganggap penyataan Suhento Liauw sebagai kebenaran.
Itu masih akan diperdebatkan jadi jangan buru2 menganggap penyataan Suhento Liauw sebagai kebenaran.
3. Ia percaya komandan setan namanya Lucifer.
Tanggapan
Budi Asali:
Ini
memang kesalahan yang umum, tetapi salah.
Kata
/ nama ‘Lucifer’ muncul dalam terjemahan KJV dalam Yes 14:12 (dalam
Kitab Suci Indonesia diterjemahkan ‘Bintang Timur’), dan kalau saudara
membaca kontextnya jelas bahwa istilah ini menunjuk kepada raja
Babel, bukan kepada komandan setan.
Yes
14:4,12,22,23 - “(4) maka engkau akan memperdengarkan ejekan ini
tentang raja Babel, dan berkata: ‘Wah, sudah berakhir si penindas sudah
berakhir orang lalim! ... (12) ‘Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang
Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai
yang mengalahkan bangsa-bangsa! ... (22) ‘Aku akan bangkit melawan mereka,’
demikianlah firman TUHAN semesta alam, ‘Aku akan melenyapkan
nama Babel dan sisanya, anak cucu dan anak cicitnya,’ demikianlah
firman TUHAN. (23) ‘Aku akan membuat Babel menjadi milik landak dan
menjadi air rawa-rawa, dan kota itu akan Kusapu bersih dan Kupunahkan,’ demikianlah
firman TUHAN semesta alam”.
Yes
14:12 (KJV): ‘How art thou fallen from heaven, O Lucifer, son
of the morning! how art thou cut down to the ground, which didst
weaken the nations!’.
Calvin (tentang Yes 14:12): “The
exposition of this passage, which some have given, as if it referred to Satan,
has arisen from ignorance; for the context plainly shows that these statements
must be understood in reference to the king of the Babylonians. But when
passages of Scripture are taken at random, and no attention is paid to the context,
we need not wonder that mistake of this kind frequently arise. Yet it was an
instance of very gross ignorance, to imagine that Lucifer was the king of
devils, and that the Prophet gave him this name. But as these inventions have
no probability whatever, let us pass by them as useless fables” (=
Exposisi yang diberikan oleh beberapa orang tentang text ini, seakan-akan text
ini menunjuk kepada setan / berkenaan dengan setan, muncul / timbul dari
ketidaktahuan; karena kontex secara jelas menunjukkan bahwa pernyataan-pernyataan
ini harus dimengerti dalam hubungannya dengan raja Babel. Tetapi pada waktu
bagian-bagian Kitab Suci diambil secara sembarangan, dan kontex tidak
diperhatikan, kita tidak perlu heran bahwa kesalahan seperti ini muncul /
timbul. Tetapi itu merupakan contoh dari ketidaktahuan yang sangat hebat, untuk
membayangkan bahwa Lucifer adalah raja dari setan-setan, dan bahwa sang nabi
memberikan dia nama ini. Tetapi karena penemuan-penemuan ini tidak mempunyai
kemungkinan apapun, marilah kita mengabaikan mereka sebagai dongeng / cerita
bohong yang tidak ada gunanya) - hal 442.
Adam Clarke (tantang Yes 14:12): “And although the context speaks
explicitly concerning Nebuchadnezzar, yet this has been, I know not why,
applied to the chief of the fallen angels, who is most incongruously
denominated Lucifer, (the bringer of light!) an epithet as common to him as
those of Satan and Devil. That the Holy Spirit by his prophets should call this
arch-enemy of God and man the light-bringer, would be strange indeed. But the
truth is, the text speaks nothing at all concerning Satan nor his fall, nor the
occasion of that fall, which many divines have with great confidence deduced
from this text. O how necessary it is to understand the literal meaning of
Scripture, that preposterous comments may be prevented!” [= Dan
sekalipun kontexnya berbicara secara explicit tentang Nebukadnezar, tetapi
entah mengapa kontex ini telah diterapkan kepada kepala dari malaikat-malaikat
yang jatuh, yang secara sangat tidak pantas disebut / dinamakan Lucifer
(pembawa terang!), suatu julukan yang sama umumnya bagi dia, seperti Iblis dan
Setan. Bahwa Roh Kudus oleh nabiNya menyebut musuh utama dari Allah dan manusia
sebagai pembawa terang, betul-betul merupakan hal yang sangat aneh. Tetapi
kebenarannya adalah, text ini tidak berbicara sama sekali tentang Setan maupun
kejatuhannya, ataupun saat / alasan kejatuhan itu, yang dengan keyakinan yang
besar telah disimpulkan dari text ini oleh banyak ahli theologia. O alangkah
pentingnya untuk mengerti arti hurufiah dari Kitab Suci, supaya
komentar-komentar yang gila-gilaan / tidak masuk akal bisa dicegah!] -
hal 82.
Tanggapan Dji:
Yesaya 14:1-16 konteksnya
berbicara tentang Raja Babel, dan tentu di situ ada OKNUM DI BALIK Raja Babel
yaitu Lucifer (Bintang Timur). Dalam Yesaya 14:12 “Wah, engkau sudah jatuh dari
langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke
bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! (konteksnya harus lanjut baca minimal
hingga ayat 13-14) Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke
langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku
hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik
mengatasi ketinggian awan-awan, HENDAK MENYAMAI
Yang Mahatinggi!....”
Orang yang Sekolah Dasar (SD)
saja sudah dapat mengerti dan memahami bahwa konteks di sini adalah menunjuk
kepada komandan setan yaitu Lucifer. Tidak mungkin HANYA menunjuk kepada raja
Babel dalam pandangan Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div. Jadi, konteksnya jelas
menunjuk Lucifer yang ingin mengatasi bintang-bintang Allah, ingin duduk di
bukit pertemuan, ingin mengatasi ketinggian awan-awan bahkan ingin MENYAMAI Yang Mahatinggi (Tuhan).
Bagaimana mungkin orang sekaliber
Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div hanya berkata “ini memang kesalahan yang umum,
tetapi salah.” Dan juga TERLIHAT JELAS Bpk. Pdt. Budi Asali, M.
Div lebih percaya kpd komentar
Calvin dan Adam Clarke yang menyebut (Yes. 14:12) Lucifer ini sebagai “dongeng
dan cerita bohong. Dan menganggapnya sebagai sesuatu yang
sangat aneh/gila/tidak masuk akal.” Justru menurut saya: Bpk. Pdt. Budi
Asali beserta Calvin dan Adam Clarke yang aneh KARENA TIDAK MAU MEMPERCAYAI kata-kata Alkitab itu sendiri.
Tanggapan Esra Soru :
- Anda berkata :
Yesaya 14:1-16 konteksnya
berbicara tentang Raja Babel, dan tentu di situ ada OKNUM DI BALIK Raja Babel
yaitu Lucifer (Bintang Timur). Dalam Yesaya 14:12 “Wah, engkau sudah jatuh dari
langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke
bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa! (konteksnya harus lanjut baca minimal
hingga ayat 13-14) Engkau yang tadinya berkata dalam hatimu: Aku hendak naik ke
langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah, dan aku
hendak duduk di atas bukit pertemuan, jauh di sebelah utara. Aku hendak naik
mengatasi ketinggian awan-awan, HENDAK MENYAMAI
Yang Mahatinggi!....”
Hehehe....darimana anda
bisa simpulkan bahwa Lucifer itu adalah OKNUM DI BALIK Raja Babel? Jika Alkitab
mengatakan bahwa ini adalah nubuatan tentang Raja Babel, berarti ini adalah
pembicaraan tentang Raja Babel, lalu darimana tiba2 anda menganggap ada oknum
lain di balik Raja Babel? Anda bermimpikah?
- Anda menulis :
Orang yang Sekolah Dasar (SD)
saja sudah dapat mengerti dan memahami bahwa konteks di sini adalah menunjuk
kepada komandan setan yaitu Lucifer. Tidak mungkin HANYA menunjuk kepada raja
Babel dalam pandangan Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div. Jadi, konteksnya jelas
menunjuk Lucifer yang ingin mengatasi bintang-bintang Allah, ingin duduk di
bukit pertemuan, ingin mengatasi ketinggian awan-awan bahkan ingin MENYAMAI Yang Mahatinggi (Tuhan).
Konteks apa? Kenapa
tidak mungkin hanya menunjuk pada Raja Babel? Justru anda lebih ngawur dari
anak SD sampai tahu-tahu bisa memasukan ide adanya oknum lain di balik Raja Babel itu. Kata2 : “mengatasi bintang-bintang Allah, ingin duduk di bukit pertemuan, ingin
mengatasi ketinggian awan-awan bahkan ingin
MENYAMAI Yang Mahatinggi (Tuhan)” kenapa harus diartikan menunjuk
pada oknum lain? Kata2 itu tetap ditujukan pada Raja Babel. Mungkin anda
bertanya kalau memang itu untuk Raja Babel, lalu mengapa ada kata2 “ketinggian awan-awan” dan “ingin
MENYAMAI Yang Mahatinggi (Tuhan)”. Soal “awan-awan”, ini kan bahasa puisi. Kenapa anda hurufiahkan? Itu
sama sekali bukan alasan menjadikannya sebagai dasar bahwa ada oknum lain di
balik Raja babel. Soal “ingin menyamai
yang Mahatinggi”, apakah tidak mungkin sikap dari Raja Babel menunjukkan
adanya keinginan untuk menyamai Allah? Haruskah adanya keinginan berarti harus
bukan raja Babel tetapi oknum lain? Jadi pandangan anda ini bodoh dan sangat
lemah. Anda bukannya memahami Alkitab apa adanya tetapi memasukkan pikiran anda
sendiri ke dalam teks2 Alkitab. Itukah yang diajarkan kepada anda oleh Suhento
Liauw?
4. Waktu Nuh keluar dari bahtera, lalu beri
persembahan kepada Allah, dan Allah mencium baunya dan lalu ‘menjadi
bahagia’!
Tanggapan
Budi Asali:
a)
Dari mana gerangan omong kosong itu? Dalam Kitab Suci saya tak ada!
Kej
8:20-22 - “(20) Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala
binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah
beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu.
(21) Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah
TUHAN dalam hatiNya: ‘Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia,
sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku
takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. (22)
Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin
dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.’”.
Tanggapan Dji:
Dalam Kejadian 8:21 SECARA JELAS
DAN GAMPANG DIMENGERTI bahwa TUHAN mencium persembahan yang HARUM itu. HARUM dalam pengertian bahasa manusia bahwa Tuhan senang atau Tuhan
bahagia. Oleh karena itu Tuhan berfirman dalam hatiNya: Aku takkan mengutuk
bumi ini lagi........
Saya yakin bahwa Bpk. Budi Asali,
M. Div tentu tidak akan ketemu dalam Alkitabnya yg tertulis “lalu bahagia”.
Karena “Tuhan mencium persembahan yang HARUM itu” adalah bahasa
antromorfisme (bahasa yang Tuhan pakai supaya manusia tahu, bahwa Tuhan senang
/ bahagia atas persembahan Nuh itu.)
Bagaimana mungkin orang seperti
Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div tidak bisa mengerti ini?..... hehehehe... sabar ya
pak?....
Tanggapan Esra Soru :
1.
Anda perhatikan kata2 Pak Budi
Asali yang bergaris bawah itu. Jadi yang ditekankan bukan soal Allah mencium
persembahan yang harum melainkan kata2 “dan
lalu menjadi bahagia”. Soal persembahan yang harum memang eksplisit, tetapi
“lalu menjadi bahagia” itu darimana?
Karang sendiri? Tentang Lucifer, kalian sudah memasukan ide ke dalam teks,
tentang ini kalian memasukkan lagi kata2 di dalam teks yang sama sekali tidak
mengatakan hal itu.
2. Pak Budi Asali memang tidak
akan menemukan kata2 “dan lalu menjadi
bahagia” karena kata2 itu tidak ada dalam Alkitab tetapi karangan Suhento
Liauw. Dan itulah sebabnya Pak Budi Asali mempersoalkannya kan?
3. Hehehe....Alkitab memang
memakai bahasa antropomorfisme. Jadi kadang2 Alkitab menggunakan bahasa manusia
untuk Allah, tetapi persoalannya bukan di situ, persoalannya adalah kata2 itu
sama sekali tidak dipakai oleh Alkitab dan Suhento Liauw lah yang memakainya
atau menambahkannya. Memang dia siapa sampai bisa menambahkan kata2
antropomorfismenya ke dalam ayat2 Alkitab?
b)
Kalau Allah ‘menjadi bahagia’, berarti tadinya tidak bahagia?
Tanggapan Dji:
Ini adalah asumsi Bapak Pdt. Budi
Asali, M. Div sendiri yang berlebihan
dan membuat pertanyaan ukuran anak SD.
Padahal tidak ada pernyataan Dr. Suhento Liauw yang mengatakan “tadinya Allah
tidak bahagia”. Allah selalu bahagia sekalipun tidak ada manusia. jadi, jangan
membuat asumsi-asumsi yang berlebihan
dan konyol, Bapak Pendeta Budi Asali, M. Div!.
Tanggapan Esra Soru :
Ini juga komentar anak
TK.
1.
Perhatikan baik2 kata2 Pak
Budi Asali. Kalimatnya diakhiri dengan tanda tanya bukan? Jadi ini bukan
pernyataan tetapi pertanyaan.
2. Memang bisa saja Suhento Liauw
tidak mengatakan bahwa sebelumnya Allah tidak bahagia tetapi kata2 dia bahwa Allah menjadi bahagia secara
implisit mengatakan bahwa tadinya Allah tidak bahagia.
Memang yang begini
tidak bisa dimengerti oleh anak TK.
5. Darah di ambang pintu (tulah ke 10)
diberikan di atas, kiri dan kanan, membentuk salib! Juga ular tembaga ditaruh
di atas tiang, supaya tidak melorot diberi kayu horizontal, dan lagi-lagi
membentuk salib!
Tanggapan
Budi Asali:
Tafsiran
kampungan dan menambahi Alkitab (bertentangan dengan Sola Scriptura)!
Kel 12:7
- “Kemudian dari darahnya haruslah diambil sedikit dan dibubuhkan pada
kedua tiang pintu dan pada ambang atas, pada rumah-rumah di mana orang
memakannya.”.
Memang
ada kata-kata ‘kedua tiang pintu’, berarti di kiri dan kanan, lalu ada ‘ambang
atas’, berarti di atas, tetapi kalau tidak ada ‘di bawah’, bagaimana bisa
membentuk salib???
Lalu
tentang peristiwa ular tembaga, mari kita lihat ceritanya dalam Alkitab.
Bil
21:4-9 - “(4) Setelah mereka berangkat dari gunung Hor, berjalan ke
arah Laut Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, maka bangsa itu tidak dapat
lagi menahan hati di tengah jalan. (5) Lalu mereka berkata-kata melawan Allah
dan Musa: ‘Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di
padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan
makanan hambar ini kami telah muak.’ (6) Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung
ke antara bangsa itu, yang memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel
yang mati. (7) Kemudian datanglah bangsa itu mendapatkan Musa dan berkata:
‘Kami telah berdosa, sebab kami berkata-kata melawan TUHAN dan engkau;
berdoalah kepada TUHAN, supaya dijauhkanNya ular-ular ini dari pada kami.’ Lalu
Musa berdoa untuk bangsa itu. (8) Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa:
‘Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang
terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.’ (9) Lalu Musa membuat ular
tembaga dan menaruhnya pada sebuah tiang; maka jika seseorang dipagut ular, dan
ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup”.
Dimana
gerangan ada kata-kata ‘supaya tidak melorot lalu diberi kayu horizontal’? Lagi
mengigau, Pak Suhento?
Hal
lain yang harus diketahui adalah: sebetulnya kita tidak tahu bagaimana bentuk
salib Kristus. Kata ‘salib’ dalam bahasa Yunani adalah STAUROS, dan sebetulnya berarti ‘an
upright pole’ (= tiang tegak). Dan salib yang paling awal memang hanya
berbentuk satu tiang tegak. Karena itu tak perlu merasa heran kalau Saksi
Yehuwa menggunakan tiang tegak sebagai salib Kristus. Tetapi memang belakangan
muncul variasi-variasi bentuk salib, sehingga ada yang berbentuk X, Y, T, dan
juga seperti salib yang kita kenal. Lalu yang mana yang merupakan salib yang
digunakan untuk Yesus? Satu-satunya alasan untuk memilih salib yang paling umum
adalah karena dikatakan bahwa di atas kepala Yesus dituliskan kata-kata ‘Yesus
dari Nazaret, raja orang Yahudi’. Kalau salib berbentuk X, Y, atau T, dimana
tulisan itu mau diletakkan? Jadi, dipilih salib yang kita kenal itu. Tetapi ini
argumentasi yang sangat lemah, karena untuk salib yang manapun, bisa diberi
tulisan, menggunakan papan yang diikat dengan tali. Apalagi salib yang
berbentuk tiang tegak, tentu tak ada masalah dengan pemberian tulisan itu.
Kesimpulan:
bahwa salib Yesus dikatakan berbentuk seperti yang sekarang kita kenal,
merupakan sesuatu yang sangat tidak pasti!
Tanggapan Dji:
Dr. Suhento Liauw seorang Kristen
Fundamental Alkitabiah mengajarkan Alkitab adalah satu-satunya Firman Tuhan (di luar Alkitab tidak ada Firman Tuhan),
TIDAK MUNGKIN menambahi Firman Tuhan atau mengurangkan Firman Tuhan, karena itu
bertentangan dengan pengajaran dan keyakinannya sendiri.
Darah di ambang pintu (Domba
Paskah dalam tulah ke 10 ) jelas mengacu kepada Yesus Kristus yang disalibkan
(Yoh. 1:29 “Pada keesokan harinya
Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: “Lihatlah Anak
domba Allah, yang menghapus dosa dunia.”) Darah domba paskah yang dibubuhkan
kedua tiang pintu dan ambang atas hanya mengingatkan
kita bahwa Yesus Kristus disalibkan
untuk semua manusia yang berdosa. Adalah sangat mengherankan saya jika Bapak
Pendeta Budi Asali, M. Div ini meributkan/mempermasalahkan “bentuk salibnya”. Beliau mengkritik lambang yang dibubuhkan,
bukannya melihat inti/hakekat dari
perayaan domba paskah dan ular tembaga itu sendiri. Tentang ular tembaga yang
dibuat oleh Musa ini Rasul Yohanes berkata: (Yoh. 3:14-15) “Dan sama seperti
Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus
ditinggikan, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”
Tanggapan Esra Soru :
- Anda berkata :
Dr. Suhento Liauw seorang Kristen
Fundamental Alkitabiah mengajarkan Alkitab adalah satu-satunya Firman Tuhan (di luar Alkitab tidak ada Firman Tuhan),
TIDAK MUNGKIN menambahi Firman Tuhan atau mengurangkan Firman Tuhan, karena itu
bertentangan dengan pengajaran dan keyakinannya sendiri.
Tidak mungkin? Faktanya
dia sudah melakukan itu dan itu menunjukkan bahwa Kristen Fundamentalnya Cuma
slogan.
- Anda berkata :
Darah di ambang pintu (Domba
Paskah dalam tulah ke 10 ) jelas mengacu kepada Yesus Kristus yang disalibkan
(Yoh. 1:29 “Pada keesokan harinya
Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: “Lihatlah Anak
domba Allah, yang menghapus dosa dunia.”) Darah domba paskah yang dibubuhkan
kedua tiang pintu dan ambang atas hanya mengingatkan
kita bahwa Yesus Kristus disalibkan
untuk semua manusia yang berdosa.
Hehehe...anda tidak
jawab persoalannya. Tidak ada masalah bahwa darah domba Paskah dan ular yang
ditinggikan itu sebagai gambaran dari Kristus. Itu kami percayai juga. Yang
dipersoalkan pak Budi adalah darimana muncul kata2 atau pandangan bahwa darah
di ambang pintu (tulah ke 10) diberikan di atas, kiri dan kanan, membentuk
salib? Juga ular tembaga ditaruh di atas tiang, supaya tidak melorot diberi
kayu horizontal, dan lagi-lagi membentuk salib? Kenapa anda tidak jawab ini? Di
sini terlihat bahwa Suhento Liauw benar2 menambahi Kitab Suci. Berarti dia
bukan lagi Kristen Fundamentalis sesuai kata2 anda di atas kan?
- Anda menulis :
Adalah sangat mengherankan saya
jika Bapak Pendeta Budi Asali, M. Div ini meributkan/mempermasalahkan “bentuk salibnya”. Beliau mengkritik
lambang yang dibubuhkan, bukannya melihat inti/hakekat
dari perayaan domba paskah dan ular tembaga itu sendiri. Tentang ular tembaga
yang dibuat oleh Musa ini Rasul Yohanes berkata: (Yoh. 3:14-15) “Dan sama
seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus
ditinggikan, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.”
Hehe...bukankah kata2
itu lebih cocok untuk anda? Pak Budi mempersoalkan tambahan yang Suhento Liauw
berikan pada Kitab Suci, lalu ketika anda mau menanggapinya, anda justru
mengalihkan persoalannya pada domba Paskah dan ular tembaga itu sebagai type
dari Kristus. Supaya anda tahu, pekerjaan kami adalah berdebat jadi kami tahu
siapa yang menjawab pertanyaan dan siapa yang lari dari persoalan yang dibahas.
Pak Budi membahas soal
tanda salib karena dengan tambahan dari Suhento Liauw itu menunjukkan bahwa dia
berasumsi salib Kristus adalah persis sama seperti yang dikenal pada masa kini.
Dan karena itu Pak Budi menunjukkan bahwa hal itu sama sekali tidak pasti. Anda
mengerti? Dengan tidak mengertinya anda mengapa pembahasan tentang bentuk salib
dilakukan Pdt. Budi Asali di sini menunjukkan bahwa tingkatan anda memang hanya
kelas SD atau TK saja. Kenapa bukan Suhento Liauw saja yang
mempertanggungjawabkan kekonyolannya di sini?
6. Baptisan harus selam, kalau tidak seperti
Kain yang beri persembahan hasil bumi dan bukan binatang. Kata Yunani BAPTIZO
artinya dicelup / direndam. Jadi, orang yang dibaptis percik sama saja dengan
belum dibaptis!
Tanggapan
Budi Asali:
Dalam
seminar itu mula-mula ia mengatakan baptisan itu bukan merupakan sesuatu yang
hakiki untuk keselamatan, tetapi anehnya pada waktu menekankan keharusan
baptisan selam, ia mengatakan bahwa orang yang menggunakan baptisan
percik adalah seperti Kain, yang bukannya mempersembahkan binatang tetapi
mempersembahkan tanaman. Bukankah ia menjadikannya sebagai sesuatu yang
bersifat hakiki / mutlak untuk keselamatan? Ia secara bodoh mengajarkan sesuatu
yang bertentangan dengan ajarannya di bagian depan.
Kata
Yunani BAPTIZO memang bisa berarti ‘celup’ atau ‘rendam’, tetapi tidak harus
berarti seperti itu! Akan saya buktikan dari penggunaan kata itu dalam Alkitab
sendiri.
1. Mark 7:4 - “dan kalau pulang dari pasar
mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak
warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci (BAPTISMOUS) cawan,
kendi dan perkakas-perkakas tembaga”.
KJV: ‘And when they come from the market,
except they wash, they eat not. And many other things there be, which they have
received to hold, as the washing of cups, and pots, brasen vessels, and
of tables’ (= Dan pada waktu mereka pulang dari pasar, kecuali mereka
mencuci, mereka tidak makan. Dan banyak hal-hal lain yang mereka terima untuk
dipegang, seperti pencucian cawan, belanga / panci, bejana / tempat dari
tembaga, dan meja-meja).
Kata-kata ‘and of tables’ (= dan
meja-meja) tidak ada dalam terjemahan-terjemahan yang lain, tetapi footnote NIV
memberikan keterangan bahwa ada beberapa manuscripts yang kuno yang memberikan
kata-kata itu.
Kalau kata-kata itu memang orisinil, maka itu makin
jelas membuktikan bahwa pembaptisan / pencucian dalam ayat ini tidak dilakukan
dengan merendam, karena bagaimana mungkin orang merendam meja? Berapa besarnya
bak cuci yang dibutuhkan? Jauh lebih masuk akal, bahwa pencucian dilakukan
dengan mencurahkan air ke benda yang akan dicuci tersebut. Dan kalau kata-kata
itu tidak orisinil, tetap aneh bahwa orang mencuci belanga, dsb dengan cara
merendam. Biasanya orang mencuci barang-barang itu dengan mencurahkan air ke
benda tersebut.
Tanggapan Dji:
Hampir semua mahasiswa theologi
tahu apa arti literal / hurufiah kata “BAPTIZ = selam/celup,” sedangkan ”RANTIZ
= percik”.
Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div SENDIRI
DI ATAS MENGAKUI bahwa “Dr. Suhento Liauw mengajarkan baptisan itu bukan merupakan sesuatu yang hakiki
untuk keselamatan.” Tetapi kemudian justru
komentar Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri yang “menyerang balik” dengan berkata “Dr. Suhento menjadikannya
(baptisan) sebagai sesuatu yang bersifat hakiki/mutlak untuk keselamatan?”
ini adalah BUKTI FITNAH
seorang Bapak yang bernama Pdt. Budi Asali, M. Div, yang bertentangan
dengan ajaran guru kami Dr. Suhento Liauw.
Mengenai “Baptizo” dalam Markus
7:4 penggunaan Yunaninya (TR) adalah
BAPTISONTAI. Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri juga MENGAKUI bahwa arti
Baptizo adalah “celup atau rendam”. Tetapi herannya ia tidak mau menaati perintah baptis itu sendiri, dengan mengatakan
kata itu (baptizo) “tidak harus berarti seperti itu (maksudnya tidak harus
celup/rendam).”
Kalau ada orang berkata “jalan”
tetapi maksudnya “lari” atau ia berkata “duduk” tetapi maksudnya “berdiri”...
yah.....akan repot kita memahami omongan orang demikian.
Kesimpulan saya: Kalau Alkitab
bilangnya “Baptis” maka itu harusnya selam/rendam/celup ke dalam air, bukan
percik seperti yang DI-INGIN-KAN oleh
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini.
Seharusnya sebagai orang yang
mengakui Alkitab satu-satunya firman Tuhan (Sola Scriptura) kita tidak perlu
meragukan ada kebiasaan orang Yahudi yang merendam belanga atau meja sekalipun,
dengan mencari alasan-alasan yg “aneh” untuk tidak mau menaati Firman Tuhan,
dengan gampangnya Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div berkata “biasanya orang mencuci barang-barang itu dengan
mencurahkan air ke benda tersebut.” Padahal ini hanya sebuah asumsi praduga
beliau belaka. Dari mana Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div mengetahui bahwa “biasanya” orang mencuci barang-barang
itu dengan mencurahkan air? Ini adalah praduga tanpa bukti.
Dalam imamat 14:5 “imam harus
memerintahkan supaya burung yg seekor disembelih di atas belanga tanah berisi
air mengalir (tentu pencucian belanga ini terjadi di dalam sungai), bukan
dibasuh atau disiram. ini salah satu contoh ayat yg mendukung belanga di rendam/dicelup di dalam air.
Tanggapan Esra Soru :
1.
Anda menulis :
Hampir semua mahasiswa theologi
tahu apa arti literal / hurufiah kata “BAPTIZ = selam/celup,” sedangkan ”RANTIZ
= percik”.
Hanya karena semua
mahasiswa theologia tahu berarti itu adalah mutlak benar? Itu tidak bisa
dijadikan dasar sama sekali. Mungkin saja kebanyakan mahasiswa itu adalah
mahasiswa di sekolah kalian yang memang diajarkan seperti itu dan menerima
dengan buta apa saja yang diajarkan pada kalian.
2.
Anda menulis :
Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div SENDIRI
DI ATAS MENGAKUI bahwa “Dr. Suhento Liauw mengajarkan baptisan itu bukan merupakan sesuatu yang hakiki
untuk keselamatan.” Tetapi kemudian justru
komentar Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri yang “menyerang balik” dengan berkata “Dr. Suhento menjadikannya
(baptisan) sebagai sesuatu yang bersifat hakiki/mutlak untuk keselamatan?”
ini adalah BUKTI FITNAH
seorang Bapak yang bernama Pdt. Budi Asali, M. Div, yang bertentangan
dengan ajaran guru kami Dr. Suhento Liauw.
Apanya yang fitnah?
Apakah anda terlalu buta untuk melihatnya atau terlalu bodoh untuk memahaminya?
Jikalau baptisan bukan hakiki, lalu mengapa mengajarkan bahwa baptisan harus
selam? Mengapa mengajarkan bahwa bahwa orang yang menggunakan baptisan percik
adalah seperti Kain, yang bukannya mempersembahkan binatang tetapi
mempersembahkan tanaman?
3.
Anda menulis :
Mengenai “Baptizo” dalam Markus
7:4 penggunaan Yunaninya (TR) adalah
BAPTISONTAI. Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri juga MENGAKUI bahwa arti
Baptizo adalah “celup atau rendam”. Tetapi herannya ia tidak mau menaati perintah baptis itu sendiri, dengan mengatakan
kata itu (baptizo) “tidak harus berarti seperti itu (maksudnya tidak harus
celup/rendam).” Kalau ada orang berkata “jalan” tetapi maksudnya “lari” atau ia
berkata “duduk” tetapi maksudnya “berdiri”... yah.....akan repot kita memahami
omongan orang demikian.
Anda memang benar2
ngawur dan tidak bisa memahami esensi sebuah argumntasi. Baptizo memang bisa
berarti diselamkan. Tetapi itu bukan satu2nya arti dari kata itu dan karena itu
baptisan tidak harus diselam. Ingat Pdt. Budi Asali mengatakan “tidak harus selam” bukan “harus tidak selam”. Jikalau Pdt. Budi
Asali mengatakan “harus tidak selam” itu
baru bertentangan dengan pernyataan beliau bahwa baptizo juga berarti celup
atau rendam.
4.
Anda menulis :
Kesimpulan saya: Kalau Alkitab
bilangnya “Baptis” maka itu harusnya selam/rendam/celup ke dalam air, bukan
percik seperti yang DI-INGIN-KAN oleh
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini.
Hehehe...anda belum
tanggapi apa2 tentang argumentasi Pak Budi tentang Mat 7:4, tiba2 langsung buat
kesimpulan? Seperti inikah yang diajarkan pada anda?
5.
Anda menulis :
Seharusnya sebagai orang yang mengakui
Alkitab satu-satunya firman Tuhan (Sola Scriptura) kita tidak perlu meragukan
ada kebiasaan orang Yahudi yang merendam belanga atau meja sekalipun, dengan
mencari alasan-alasan yg “aneh” untuk tidak mau menaati Firman Tuhan, dengan
gampangnya Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div berkata “biasanya orang mencuci barang-barang itu dengan
mencurahkan air ke benda tersebut.” Padahal ini hanya sebuah asumsi praduga
beliau belaka. Dari mana Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div mengetahui bahwa “biasanya” orang mencuci barang-barang
itu dengan mencurahkan air? Ini adalah praduga tanpa bukti.
Mencari alasan aneh
bagaimana? Apakah justru mencuci meja dengan merendam seluruhnya yang lebih
aneh? Dan sama sekali tidak aneh kalau “orang
mencuci barang-barang itu dengan mencurahkan air ke benda tersebut.” Itu
kebiasaan yang tidak usah dipertanyakan darimana mengetahuinya. Itu sama dengan
darimana anda tahu kalau orang mandi biasa mengguyur tubuhnya dengan air?
2. Luk 11:38 - “Orang Farisi itu melihat hal
itu dan ia heran, karena Yesus tidak mencuci (EBAPTISTHE) tanganNya
sebelum makan”.
Orang mencuci tangan tidak harus merendam tangannya
dalam air, tetapi bisa dengan mencurahkan air pada tangan. Jadi jelas bahwa
‘baptis’ di sini tidak harus berarti ‘celup / selam’.
Tanggapan Dji:
Lukas 11:38 “tidak mencuci” di
sini berarti tidak mencuci dengan tidak
mencelupkan/tidak merendamkan tangan-Nya ke dalam air. Justru tidak ada bukti kuat bahwa ayat ini bisa berarti mencurahkan air pada tangan. “Mencurahkan air pada tangan” adalah hasil penafsiran Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri untuk mendukung
doktrinnya.
Tanggapan Esra Soru :
1.
Hehe..sekarang justru saya
yang bertanya, ayat itu dengan jelas mengatakan “tidak mencuci” lalu darimana
gerangan tiba2 anda berkata “tidak mencuci dengan tidak mencelupkan/tidak merendamkan tangan-Nya ke dalam air”? Anda
tidak ada beda dengan guru anda yang suka sekali menambahkan pikiran liar
kalian ke dalam teks2 Alkitab.
2. Anda mau tahu bagaimana tradisi pencucian tangan atau pembersihan
diri atau tangan sebelum makan menurut tradisi Yahudi?
William
Barclay : “Menurut hukum itu sebelum
makan tangan harus dicuci dengan hukum-hukum yang sangat mendetail. Dengan
sengaja disimpan air khusus untuk keperluan tersebut sebab air biasa
dikuatirkan tidak bersih. Air yang dipakai paling kurang sebanyak satu
perempat dari batang bambu. Pertama-tama air itu harus dituangkan
ke atas tangan dimulai dari jari kelingking dan terus sampai ke pergelangan.
Kemudian telapak tangan haruslah dibersihkan dengan menggosokkan genggam yang
satu kepada yang lainnya. Akhirnya sekali lagi air dituangkan ke atas
tangan, kali ini dimulai dari pergelangan dan berakhir pada ujung-ujung jari”
(Injil Lukas, hal.224).
Dari tradisi ini kita ketahui bahwa air untuk mencuci (membaptis)
tangan ini hanya sedikit saja dan ditaruh di dalam bambu, juga aktifitas
pencuciannya selalu dilakukan dengan
cara dituangkan. Dengan demikian arti kata “baptis” yang digunakan di sini
lebih kepada dituangkan dan bukan ditenggelamkan atau diselamkan. Jika anda
ingin “ngotot”, silahkan jawab bagaimana mungkin orang menenggelamkan seluruh
tangannya ke dalam sedikit air yang berada dalam bambu?
3. 1Kor 10:2 - ‘dibaptis dalam awan
dan dalam laut’.
Kata Yunaninya adalah EBAPTISANTO.
Dua hal yang harus diperhatikan:
a. Orang Israel berjalan di tempat kering
(Kel 14:22). Yang terendam air adalah orang Mesir!
b. Awan tidak ada di atas mereka, tetapi
di belakang mereka (Kel 14:19-20). Juga awan itu tujuannya untuk memimpin /
melindungi Israel;
itu bukan awan untuk memberi hujan. Kalau toh awan itu memberi hujan, itu lebih
cocok dengan baptisan percik, bukan selam.
Jadi jelas bahwa orang Israel tidak direndam / diselam
dalam awan dan dalam laut!
Barnes’ Notes: “This
passage is a very important one to prove that the word baptism does not
necessarily mean entire immersion in water. It is perfectly clear that neither
the cloud nor the waters touched them” (= Text ini adalah text yang
sangat penting untuk membuktikan bahwa kata baptisan tidak harus berarti
penyelaman seluruhnya di dalam air. Adalah sangat jelas bahwa baik awan maupun
air tidak menyentuh mereka).
Tanggapan Dji:
I Kor. 10:2 “Untuk menjadi
pengikut Musa mereka semua (orang-orang Israel yg menyeberangi laut Merah)
telah dibaptis dalam awan dan dalam laut.” Paulus sendiri mencatatkan begitu
adanya, dan memang begitu fakta sejarahnya. Theologi Rasul Paulus mengatakan “mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut. Ini
bertentangan dengan theologi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div yang mengatakan
“mereka (orang Israel) tidak direndam/diselam
dalam awan dan dalam laut!.” Ajaran Dr. Suhento Liauw adalah sama seperti yg
diajarkan oleh Rasul Paulus, yaitu melihat orang-orang Israel telah dibaptis
dalam awan dan laut, ini bertentangan dengan ajaran Bapak Pdt. Budi Asali, M.
Div yg mengatakan mereka tidak dibaptis dalam awan dan dalam laut.
Jelas orang Israel berjalan di
tempat kering (Kel. 14:22 dan ayat 29) tetapi tempat kering di dalam laut (di tengah-tengah laut). “Sedang di
kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka.” Bukankah ini
sudah sangat jelas bahwa mereka semua telah masuk ke dalam laut Merah? Tidakkah ini membuat Bapak Pdt. Budi
Asali, M. Div mengerti Baptisan yg dimaksud oleh Rasul Paulus dalam I Kor. 10:2
?........ atau adakah bangsa Israel
melewati laut Merah dengan dipercik/dicurahkan air laut?...atau diteteskan air
seperti dugaan Bpk. Budi Asali, M. Div?......... (tidak ada yang salah dengan
pernyataan Barnes di atas, karena orang Israel memang awan dan air tidak
menyentuh mereka), tetapi ini juga bukan
otomatis berarti mereka tidak dibaptis dalam awan dan air, karena Theologi Rasul Paulus meneguhkan
bahwa bangsa Israel dibaptis dalam awan
dan dalam laut. (1Kor. 10:2). Sekali lagi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini
bertentangan dengan theologi Paulus.
Tanggapan Esra Soru :
1.
Anda menulis :
I Kor. 10:2 “Untuk menjadi
pengikut Musa mereka semua (orang-orang Israel yg menyeberangi laut Merah)
telah dibaptis dalam awan dan dalam laut.” Paulus sendiri mencatatkan begitu
adanya, dan memang begitu fakta sejarahnya. Theologi Rasul Paulus mengatakan “mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut. Ini
bertentangan dengan theologi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div yang mengatakan
“mereka (orang Israel) tidak direndam/diselam
dalam awan dan dalam laut!.”
Bukan main ngawurnya
anda di sini. Anda sama sekali bodoh dan tidak bisa memahami argumentasi yang
dibangun. Pak Budi mengakui bahwa Paulus mengatakan mereka semua telah dibaptis
dalam awan dan dalam laut. Masalahnya adalah dalam fakta yang dituju yaitu
kasus tiang awan dan penyeberangan Laut Terebau sama sekali orang Israel tidak
mengalami perendaman / pencelupan seluruhnya. Jadi karena itu kata “baptis” di
sana tidak bisa diartikan penyelaman. Paham hai anak TK?
2.
Anda menulis :
Ajaran Dr. Suhento Liauw adalah
sama seperti yg diajarkan oleh Rasul Paulus, yaitu melihat orang-orang Israel
telah dibaptis dalam awan dan laut, ini bertentangan dengan ajaran Bapak Pdt.
Budi Asali, M. Div yg mengatakan mereka tidak dibaptis dalam awan dan dalam
laut.
Lagi2 seperti point 1
di atas ini menunjukkan kebodohan anda. Pak Budi sama sekali tidak mengatakan
mereka tidak dibaptis tapi mereka tidak diselam.
3.
Anda menulis :
Jelas orang Israel berjalan di
tempat kering (Kel. 14:22 dan ayat 29) tetapi tempat kering di dalam laut (di tengah-tengah laut). “Sedang di
kiri dan di kanan mereka air itu sebagai tembok bagi mereka.” Bukankah ini
sudah sangat jelas bahwa mereka semua telah masuk ke dalam laut Merah? Tidakkah ini membuat Bapak Pdt. Budi
Asali, M. Div mengerti Baptisan yg dimaksud oleh Rasul Paulus dalam I Kor. 10:2
?
Justru karena orang
Israel berjalan di tempat kering itu yang jadi persoalan. Jikalau kata baptis
harus berarti diselam, kapan bangsa Israel diselam di dalam air? Bukankah
mereka berjalan di tanah yang kering?
4.
Anda menulis :
atau adakah bangsa Israel
melewati laut Merah dengan dipercik/dicurahkan air laut?...atau diteteskan air
seperti dugaan Bpk. Budi Asali, M. Div?
Minimal itu masih lebih
mungkin dan masuk akan daripada diselam karena Alkitab secara eksplisit
mengatakan bahwa mereka berjalan di tanah yang kering.
5.
Anda menulis :
(tidak ada yang salah dengan
pernyataan Barnes di atas, karena orang Israel memang awan dan air tidak
menyentuh mereka), tetapi ini juga bukan
otomatis berarti mereka tidak dibaptis dalam awan dan air, karena Theologi Rasul Paulus meneguhkan
bahwa bangsa Israel dibaptis dalam awan
dan dalam laut. (1Kor. 10:2). Sekali lagi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini
bertentangan dengan theologi Paulus.
Lagi2 kebodohan anda
terlihat. Siapa yang membantah kalau mereka dibaptis? Yang dipersoalkan di sini
adalah bahwa mereka sama sekali tidak disentuh oleh awan dan air tetapi itu
dianggap sebagai baptisan oleh Paulus. Dan karena itu harus disimpulkan bahwa
kata “baptis” tidak bisa selamanya berarti diselamkan. Paham nak?
4. Ibr 9:10 - “karena semuanya itu, di
samping makanan minuman dan pelbagai macampembasuhan (BAPTISMOIS),
hanyalah peraturan-peraturan untuk hidup insani, yang hanya berlaku sampai
tibanya waktu pembaharuan”.
Catatan: ada edisi Kitab
Suci Indonesia
yang mengatakan ‘pelbagai macampersembahan’. Ini salah
cetak, dan dalam edisi yang baru sudah diperbaiki.
Terjemahan Lama: ‘berbagai-bagai basuhan’.
NASB: various washings (=
bermacam-macam pembasuhan).
NIV: various ceremonial washings (=
bermacam-macam pembasuhan yang bersifat upacara keagamaan).
RSV: various ablutions (=
bermacam-macam pembersihan / pencucian).
KJV: divers washings (=
bermacam-macam pembasuhan).
Kata Yunaninya adalah BAPTISMOIS. Jadi terjemahan
hurufiahnya adalah ‘bermacam-macam baptisan’.
Kalau kita memperhatikan kontex dari Ibr 9 itu, maka
pasti Ibr 9:10 ini menunjuk pada ‘pemercikan’ dalam Ibr 9:13,19,21.
Karena itu jelas bahwa di sini kata ‘baptis’ tidak diartikan selam / celup,
tetapi percik.
Tanggapan Dji:
Dalam Ibrani 9:10 memang bahasa
Yunani yang digunakan di situ adalah BAPTISMOIS (LAI.2009 Terjemahkan: pelbagai
macam pembasuhan). Ayat ini tidak
otomatis mendukung pembasuhan dgn cara percik, karena kata yang dipakai
adalah BAPTISMOIS. Jadi, ayat ini justru mendukung pembasuhan dengan cara
direndam/dicelup, karena arti Baptis adalah rendam/celup. Sedangkan dalam
Ibrani 9:13 kasusnya berbeda, (bukan menggunakan BAPTIMOIS) kata yg dipakai
adalah RANTIZOUZA dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik), Ibr. 9:19 kata yg dipakai
adalah ERRANTISEN dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik), Ibr. 9:21 kata yg dipakai
adalah ERRANTISEN dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik). Jadi, dalam bahasa aslinya
(Yunani) Ibr. 9:10 dari kata BAPTISMOIS (celup/rendam) sedangkan dalam Ibr.
9:13, 19, 21 dari kata RANTIZ (percik), bukan dari kata “baptis” seperti dugaan
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas yg tidak teliti memperhatikan bahasa
Yunani dalam Ibr. 9:13, 19, 21 dengan berkata “karena itu jelas bahwa disini
kata “baptis”tidak diartikan selam/celup, tetapi percik.” Padahal dalam
bahasa aslinya untuk ke tiga ayat ini
(ibr. 9:13, 19, 21) memang menggunakan
kata “Rantiz” (bukan kata “Baptiz” yg diduga oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M.
Div). Jangan disama-ratakan dong Pak?..... kasihan orang yg tidak teliti nanti.
Karena dalam ayat Ibrani 9:10 saja
yg menggunakan kata Baptiz di situ, yg lainnya memang menggunakan kata Rantiz.
Sekali
lagi ini membuktikan keinginan Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div yg ingin mencomot
ayat-ayat tertentu (tanpa memperhatikan akar kata ibr. 9:13, 19, 21) untuk
mendukung doktrin perciknya.
Ini saya MASIH BELUM MENGUTIP BUKTI-BUKTI bahwa Alkitab mendukung Baptisan selam
/ rendam / celup ke dalam air.
Tanggapan Esra Soru :
1.
Anda menulis :
Dalam Ibrani 9:10 memang bahasa
Yunani yang digunakan di situ adalah BAPTISMOIS (LAI.2009 Terjemahkan: pelbagai
macam pembasuhan). Ayat ini tidak
otomatis mendukung pembasuhan dgn cara percik, karena kata yang dipakai adalah
BAPTISMOIS. Jadi, ayat ini justru mendukung pembasuhan dengan cara
direndam/dicelup, karena arti Baptis adalah rendam/celup.
Hehe...lagi2 anda
ngawur. Yang jadi masalah yang diperdebatkan sekarang adalah makna kata
“baptis” itu sendiri. Lalu bagaimana anda tiba2 langsung mengartikan bahwa kata
baptis adalah rendam atau celup? Bukankah itu yang sementara mau dibuktikan?
Mengapa menggunakan itu sebagai kesimpulan untuk membantah apa yang masih harus
dibuktikan? Logika anda kelihatannya ruwet tidak karuan!
Pak Budi Asali sudah
memperlihatkan dari sisi konteksnya, jelas kata bapatis itu harus diartikan
pemercikan.
Saya akan berikan
tambahan dari buku saya tentang Baptisan :
Ibrani 9:10 :
“Karena semuanya itu, di samping makanan minuman dan pelbagai macam pembasuhan
(baptismoiV), hanyalah
peraturan-peraturan untuk hidup insani, yang hanya berlaku sampai tibanya waktu
pembaharuan”
Perhatikan dengan seksama
kalimat “pelbagai macam pembasuhan!” Kata “pembasuhan” di sini menggunakan kata
bahasa Yunani baptismoiV (baptismois) yang adalah
bentuk datif dari kata baptismoV (baptismos) yang
berarti pembersihan, pembaptisan atau
pencucian.
Jika kita lihat konteks
ayat ini maka sesungguhnya penulis surat Ibrani
sementara memberi penjelasan tentang ordinasi penyucian yang bersifat rohani
dibandingkan dengan ordinasi penyucian yang bersifat duniawi dalam hal ini
menunjuk kepada aktifitas dalam Kemah Suci orang Israel. Sekali lagi di sana dikatakan “pelbagai
macam pembaptisan”. Jika kata “baptisan” hanya berarti penenggelaman atau
penyelaman, maka biarkanlah kita bertanya : “Adakah upacara penyelaman atau
penenggelaman dalam sistem ritualitas orang Israel di dalam Kemah Suci? Jelas
tidak ada! Bahkan lebih daripada itu aktifitas penyelaman atau penenggelaman
adalah sesuatu yang sangat asing dalam upacara agama orang Israel. Kalau begitu apakah yang
dimaksudkan dengan pelbagai macam pembaptisan dalam ayat ini? Marilah kita
melihatnya :
“Sebab, jika darah domba
jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu muda menguduskan mereka yang najis, sehingga
mereka disucikan secara lahiriah” (Ibr 9:13)
“Sebab sesudah Musa
memberitahukan semua perintah hukum Taurat kepada seluruh umat, ia mengambil
darah anak lembu dan darah domba jantan serta air, dan bulu merah dan hisop,
lalu memerciki kitab itu sendiri dan
seluruh umat” (Ibr 9:19).
“Dan juga kemah dan semua
alat untuk ibadah dipercikinya secara demikian dengan
darah” (Ibr 9:21)
Ketiga ayat ini menunjuk
kepada upacara agama dalam Kemah Suci orang Israel yang oleh penulis Surat
Ibrani disebut sebagai “baptisan”. Tiga ayat itu semuanya menggunakan kata
“percik”, itu berarti bahwa dalam bagian ini kata “baptis” dapat berarti
pemercikkan dan bukan penyelaman atau penenggelaman yang adalah ide yang asing
bagi orang Israel.
2.
Anda menulis :
Sedangkan dalam Ibrani 9:13
kasusnya berbeda, (bukan menggunakan BAPTIMOIS) kata yg dipakai adalah
RANTIZOUZA dari kata RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik), Ibr. 9:19 kata yg dipakai adalah ERRANTISEN dari kata
RANTIZ (yg memang harus diterjemahkan percik),
Ibr. 9:21 kata yg dipakai adalah ERRANTISEN dari kata RANTIZ (yg memang harus
diterjemahkan percik).
Jadi, dalam bahasa aslinya
(Yunani) Ibr. 9:10 dari kata BAPTISMOIS (celup/rendam) sedangkan dalam Ibr.
9:13, 19, 21 dari kata RANTIZ (percik), bukan dari kata “baptis” seperti dugaan
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas yg tidak teliti memperhatikan bahasa
Yunani dalam Ibr. 9:13, 19, 21 dengan berkata “karena itu jelas bahwa disini
kata “baptis”tidak diartikan selam/celup, tetapi percik.” Padahal dalam
bahasa aslinya untuk ke tiga ayat ini
(ibr. 9:13, 19, 21) memang menggunakan
kata “Rantiz” (bukan kata “Baptiz” yg diduga oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M.
Div). Jangan disama-ratakan dong Pak?..... kasihan orang yg tidak teliti nanti.
Karena dalam ayat Ibrani 9:10 saja
yg menggunakan kata Baptiz di situ, yg lainnya memang menggunakan kata Rantiz.
Sekali
lagi ini membuktikan keinginan Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div yg ingin mencomot
ayat-ayat tertentu (tanpa memperhatikan akar kata ibr. 9:13, 19, 21) untuk
mendukung doktrin perciknya.
Hehehe..jangan anda
kira kami tidak tahu kalau kata di sana menggunakan Rantizo. Berikut ini
penjelasan saya yang saya kutipkan dari buku saya :
Memang kalau kita
memeriksa atau meneliti kata “percik” dalam ketiga ayat ini tidaklah
menggunakan kata baptizw (baptizo) melainkan rantizw (rantizo). Mungkin inilah yang membuat
Lukas Sutrisno dalam web site-nya berkata : “Kata
Baptis sebenarnya diambil dari kata baptizw (baptizo) yang berarti celup atau ditenggelamkan.
Sedangkan percik itu bahasa Yunaninya bukan baptizo, tetapi rantizw (rantizo) atau dalam bahasa Inggrisnya
Sprinkle/Sprinkling, sedangkan kata Baptis yang ditulis di Alkitab adalah
baptizo bukannya rantizo.”
Untuk memahami hal ini
kita perlu mengetahui terlebih dahulu bahwa kata “bapto” atau “baptizo” itu
mengandung keunikan makna. Untuk mengartikan kata ini tidak semudah dan
sesempit apa yang dikatakan oleh Fu Xie dalam web site Gereja Kristen
Perjanjian Baru “Masa Depan Cerah” : Kata "Baptis" berasal dari kata Yunani yaitu
"Bapto". Kata "Bapto" ini berarti:
"ditenggelamkan" atau "diselamkan." Jadi, sewaktu Tuhan
Yesus memberikan Amanat Agung yang dicatat dalam Matius 28:19, ayat tersebut
dalam pengertian orang-orang saat itu berbunyi: "jadikanlah semua bangsa
muridKu dan selamkanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh
Kudus".
Keunikan makna dari kata
tersebut nampak dalam dua hal :
1. Penenggelaman atau penyelaman bukanlah satu-satunya arti
dari kata “bapto” atau “baptizo”. Beberapa ayat yang telah diteliti sebelumnya
memperlihatkan bahwa kata “bapto” atau “baptizo” bisa berarti membersihkan,
membasuh, mencuci, memercik, mengguyur, dll.
2.
Kata “bapto” atau “baptizo” bukanlah satu-satunya kata yang
dipakai untuk penenggelaman atau penyelaman. Alkitab membuktikan bahwa ada
banyak kata “tenggelam” yang tidak memakai kata “bapto” atau “baptizo”
Mat 18:6 :
“Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang
percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada
lehernya lalu ditenggelamkan (katapontisqh) ke dalam laut”.
Ibrani 11:29 :
“Karena iman, mereka telah melintasi Laut Merah sama seperti melintasi tanah
kering, sedangkan orang-orang Mesir tenggelam (katepoqhsan), ketika mereka mencobanya juga”
dalam kedua ayat di atas
kata “ditenggelamkan” memakai kata katapontisqh (katapontisthe) dan kata “tenggelam”
memakai kata katepoqhsan (katepothesan). Keduanya berasal dari
kata dasar katapontizw (katapontizo) yang juga berarti
“tenggelam” atau “penenggelaman”.
Dengan melihat dua
keunikan arti di atas, maka kita dapat katakan bahwa sebenarnya kata “bapto” (baptw) atau “baptizo” (baptizw) itu adalah sebuah kata
yang umum yang terdiri dari beberapa kata kerja. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan oleh Samuel Lie bahwa : “Kata
"baptis" itu sendiri dalam bahasa Yunaninya "baptizo"
artinya = "tercelup/terselam" atau "dibasuh". Kata ini
begitu umum pengertiannya”. Sama seperti dalam dunia persepedamotoran kita
mengenal adanya merk Suzuki. Namun yang tergolong ke dalam Suzuki itu begitu
banyak. Ada Suzuki Alfa, Tornado, Shogun, Cristal, Satria, Bravo, dll. Jadi
yang terkandung di dalam kata “bapto” (baptw) atau “baptizo” (baptizw) itu antara lain :
· katapontizw
atau katapontizomai
(katapontizo atau katapontizomai = tenggelam) Mat 18:6; Ibr 11:9; Mat 14:30
·
rantizw (rantizo = percik) Ibr
9:13,19,21.
·
niptw (nipto = mencuci, membasuh) Yoh 13:10.
·
louw, loutrou (louo, loutrou = mandi) Efs 5:26; Yoh
13:10.
·
gemizw (gemizo = celup, mengisi, memenuhi)
Mark 15:36.
·
dunw (duno = membenamkan) Efs
4:26; Mark 1:37
Dengan demikian apa yang
sebenarnya dipersoalkan oleh Lukas Sutrisno tadi tentang kata “rantizo” (rantizw) yang muncul dalam ayat 13, 19 dan 21
dari Ibrani pasal 9 tidaklah cukup untuk menggugurkan kesimpulan yang telah
kita ambil dari penelitian konteks yang sangat akurat. Mengapa? Karena kata
“percik” (rantizw) adalah termasuk ke
dalam kategori “baptizo” (baptizw).
Argumentasi-argumentasi
lain bahwa bahwa baptisan tidak harus dilakukan dengan selam, tetapi boleh
dengan percik, adalah:
a) Ada
banyak kasus dimana rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam.
Dalam Kitab Suci ada banyak contoh dimana baptisan
tidak dilakukan di sungai. Juga tidak diceritakan adanya kolam yang
memungkinkan baptisan selam (Kis 2:41 Kis 9:18 Kis
10:47-48 Kis 16:33). Kis 16:33 adalah contoh yang paling kuat untuk
menunjukkan bahwa baptisan tidak dilakukan dengan penyelaman karena hal itu
terjadi di dalam penjara!
Charles Hodge, seorang ahli theologia Reformed dan
pendukung baptisan percik, berkata:
“In Acts 2:41, three thousand persons are said to have
been baptized at Jerusalem apparently in one day at the season of
Pentecost in June; and in Acts 4:4, the same rite is necessarily implied in
respect to five thousand more. ... There is in summer no
running stream in the vicinity of Jerusalem,
except the mere rill of Siloam of a few rods in length; and the city is and was
supplied with water from its cistern and public reservoirs. From neither of
these sources could a supply have been well obtained for the immersion of eight
thousand persons. The same scarcity of water forbade the use of private baths
as a general custom” [= Dalam Kis
2:41, dikatakan bahwa 3000 orang dibaptiskan di Yerusalem, dan itu jelas
terjadi dalam satu hari pada musim Pentakosta di bulan Juni; dan
dalam Kis 4:4, secara tidak langsung bisa dipastikan bahwa upacara yang sama
dilakukan terhadap 5000 orang lebih. ...Pada musim panas, tidak ada
sungai mengalir di Yerusalem dan sekitarnya, kecuali sungai kecil dari Siloam
yang panjangnya beberapa rod (NB: 1 rod = 5 meter); dan kota itu, baik sekarang
maupun dulu, disuplai dengan air dari bak / tangki air dan waduk / kolam air
milik / untuk umum. Tidak ada dari sumber-sumber ini yang bisa menyuplai air
untuk menyelam 8000 orang. Kelangkaan air yang sama melarang penggunaan bak
mandi pribadi sebagai suatu kebiasaan umum] - ‘Systematic
Theology’, vol III, hal 534.
Catatan: Kis 4:4
seharusnya ‘menjadi 5000 orang’, bukan ‘bertambah dengan 5000 orang’.
Charles Hodge lalu menambahkan sebagai berikut:
“The baptismal fonts still found among the ruins of
the most ancient Greek churches in Palestine, as at Tekoa and Gophna, and going
back apparently to very early times, are not large enough to admit of baptism
of adult persons by immersion, and were obviously never intended for that use” (= Bak-bak untuk membaptis yang ditemukan di
antara reruntuhan dari gereja-gereja Yunani kuno di Palestina, seperti di Tekoa
dan Gophna, dan jelas berasal dari waktu yang sangat awal, tidak cukup besar
untuk baptisan orang dewasa dengan cara penyelaman, dan jelas tidak pernah
dimaksudkan untuk penggunaan seperti itu) - ‘Systematic
Theology’, vol III, hal 534.
Tanggapan Dji:
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini
sangat mempercayai kata-kata dari Charles Hodge (dari pada untuk percaya kpd kata-kata dari Alkitab),
bahkan ia lupa untuk menganalisa Alkitab dan bahkan lupa untuk menganalisa
tulisan Charles Hodge sendiri, sehingga ia berkata “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam”. Jangan pakai rasa-rasa, dong Pak
?..........(bagaimana mungkin Bapak membangun doktrin/pengajaran dengan
perasaan?)
Mari kita lihat: (per ayat akan di kupas tuntas):
Kata Alkitab: Kis.
2:41 “Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada
hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa.” Ayat ini adalah lanjutan dari Kis. 2:1 “Ketika tiba
hari Pentakosta, SEMUA ORANG PERCAYA
berkumpul di satu tempat”. SEMUA ORANG PERCAYA berarti termasuk 12 Rasul dan 120 orang yg berkumpul juga (pada hari pemilihan Matias jadi Rasul
menggantikan Yudas). jadi, ketika jumlah 3.000 orang dibaptis dalam satu hari,
itu bukanlah suatu angka yg sulit untuk
dibaptis selam, karena yg membaptis tentu bukanlah Rasul Petrus seorang
diri. Yang membaptis mereka (3.000 orang) minimal ada 12 orang Rasul yg
membaptis atau bisa jadi yg 120 orang itu juga ikut membaptis. Jika 3.000 orang
dibagi 132 orang untuk dibaptis maka masing-masing orang hanya membaptis antara
22 atau 23 orang. Jadi, tidak sampai satu jam sudah selesai acara pembaptisan
selam. Jadi, mengapa “rasanya tidak
mungkin dilakukan baptisan selam” Bapak Budi Asali, M. Div ?........ Kitab Suci
juga TIDAK BERKATA “TIDAK ADA KOLAM
DAN TIDAK ADA SUNGAI”. Kitab Suci berkata mereka semua (3.000 orang) dibaptis yang
artinya diselam. (entah diselam di kolam atau di sungai, atau di bak mandi itu
bukan esensinya, esensinya adalah mereka diselam/dibaptis).
Mari perhatikan
dengan teliti:
Systematic Theology Charles Hodge vol. III hal. 534 yg dikutip Bpk. Pdt. Budi
Asali, M. Div tidak bisa dijadikan
standar kebenaran (karena Charles Hodge berkata “Kis 2:41 terjadi di bulan Juni, di musim panas, tidak
ada sungai yg mengalir di Yerusalem dan sekitarnya kecuali sungai kecil dari
Siloam). Charles Hodge ingin menutup
kemungkinan argument baptis selam, tetapi
akhirnya ia sendiri menambahkan “bak-bak untuk membaptis yg ditemukan di antara reruntuhan dari gereja-gereja
Yunani kuno di Palestina, seperti di Tekoa dan Gophna dan jelas berasal dari
waktu yg sangat awal...”.kemudian Charles
Hodge kembali cepat-cepat menutup kemungkinan baptis selam dengan melanjutkan
berkata “tidak cukup besar untuk
baptisan orang dewasa dengan cara
penyelaman, dan jelas tidak pernah
dimaksudkan untuk penggunaan seperti itu.” –‘Systematic Theology’-Vol. III
hal. 534.
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div terlalu cepat dan terlalu yakin kepada omongan Charles Hodge daripada untuk percaya
kepada tulisan Alkitab sendiri. Saran saya untuk Charles Hodge dan Bapak Pdt.
Budi Asali, M. Div: BAK-BAK UNTUK
MEMBAPTIS YG DITEMUKAN di antara
reruntuhan dari gereja-gereja Yunani kuno di Palestina SUDAH JELAS FUNGSINYA YAITU UNTUK MEMBAPTIS SELAM, tidak mungkin BAK-BAK itu untuk dijadikan
kolam renang anak sekolah minggu atau untuk pelihara bebek gereja!.
Kata Alkitab: Kis.
9:18 ini adalah pertobatan Rasul Paulus. Paulus melihat cahaya memancar dari
langit ketika ia dalam perjalanan ke
Damsyik, tetapi ketika Paulus bertobat ia
sedang di rumah Yudas alamatnya: Jalan Lurus (Kis. 9:11). Jadi, posisi
Paulus bukan sedang dalam perjalanan lagi, tetapi ia ada di rumah Yudas. Jadi,
mengapa “rasanya tidak mungkin dilakukan
baptisan selam”, Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div? Bagaimana mungkin orang
sekaliber Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” (Padahal dalam
ayat ini juga tidak dibilang “tidak
ada kolam dan tidak ada sungai di rumah Yudas alamat Jalan Lurus itu”). Dari
mana Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div bisa tahu bahwa di rumah Yudas tidak ada
kolam/sungai/bak? Sedangkan praduga Bapak tanpa dasar dan bukti.
Kata Alkitab: Kis.
10:47-48 Posisi Kornelius (seorang
perwira pasukan Italia) sedang di
rumahnya sendiri ketika mereka di baptis. Seorang perwira pasukan Italia
lebih memungkinkan memiliki kolam pribadi di rumahnya atau minimal bak-bak mandi,
atau rumahnya dekat sungai. Jadi, posisi Kornelius bukan sedang di jalanan.
Jadi, bagaimana mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa
berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” atas alasan
apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini adalah praduga belaka yg dibangun untuk mendukung doktrin percik?....
Kata Alkitab: Kis.
16:33 sekali lagi DENGAN SEMBARANGAN dan
TIDAK TELITI Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div mengatakan “baptisan tidak dilakukan dengan penyelaman karena hal itu terjadi DI DALAM PENJARA!”
Mari kita lihat dan teliti Firman
Tuhan (jangan ikut sembarangan menuduh seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div
ini). Pertanyaan kunci: Di manakah POSISI
Paulus, POSISI kepala penjara Filipi dan
POSISI keluarganya ketika mereka memberi diri
dibaptis? Jawabannya: Kis. 16: 32 mereka ada DI RUMAH kepala penjara, BUKAN sedang di dalam PENJARA seperti
yg dikatakan oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas.
Konteks Kisah Rasul 16:28-31
posisi Paulus dan kepala penjara masih di penjara, ayat 32 secara jelas
memberitahukan kita Posisi Paulus
dan kepala penjara sudah di rumah kepala
penjara itu, “Lalu mereka memberitakan firman Tuhan kepadanya dan kepada semua
orang yang ada di rumahnya. Ayat 33
mereka memberi diri dibaptis (tafsiran saya: dengan pergi ke sungai/kolam,
pergi dari rumahnya utk baptisan selam), kemudian ayat 34 mereka kembali lagi ke rumah kepala penjara untuk menjamu makan kpd
Paulus. “Lalu ia membawa mereka ke
rumahnya dan menghidangkan makanan kepada mereka. Dan ia sangat bergembira,
bahwa ia dan seisi rumahnya telah menjadi percaya kepada Allah.”
Jadi, bagaimana mungkin orang
sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan
baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini
adalah praduga belaka yg tanpa dasar
Alkitab sengaja dibangun untuk mendukung doktrin percik?....
Tanggapan Esra Soru :
1.
Anda menulis :
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini
sangat mempercayai kata-kata dari Charles Hodge (dari pada untuk percaya kpd kata-kata dari Alkitab),
bahkan ia lupa untuk menganalisa Alkitab dan bahkan lupa untuk menganalisa
tulisan Charles Hodge sendiri, sehingga ia berkata “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam”. Jangan pakai rasa-rasa, dong Pak ?..........(bagaimana
mungkin Bapak membangun doktrin/pengajaran dengan perasaan?)
Pak Budi mengutip kata2
Charles Hodge hanya sebagai pendukung kata2nya yang disebutkan sebelumnya
di8sertai dnegan ayat2 pendukungnya. Lalu darimana anda mengatakan bahwa Pak
Budi mempercayai kata2 Hodge daripada kata2 Alkitab? Rasanya tidak selalu harus
salah sepanjang rasa itu didukung oleh argumentasi yang masuk akal.
2.
Anda menulis :
Kata Alkitab: Kis.
2:41 “Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada
hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa.” Ayat ini adalah lanjutan dari Kis. 2:1 “Ketika tiba
hari Pentakosta, SEMUA ORANG PERCAYA
berkumpul di satu tempat”. SEMUA ORANG PERCAYA berarti termasuk 12 Rasul dan 120 orang yg berkumpul juga (pada hari pemilihan Matias jadi Rasul
menggantikan Yudas). jadi, ketika jumlah 3.000 orang dibaptis dalam satu hari,
itu bukanlah suatu angka yg sulit untuk
dibaptis selam, karena yg membaptis tentu bukanlah Rasul Petrus seorang
diri. Yang membaptis mereka (3.000 orang) minimal ada 12 orang Rasul yg
membaptis atau bisa jadi yg 120 orang itu juga ikut membaptis. Jika 3.000 orang
dibagi 132 orang untuk dibaptis maka masing-masing orang hanya membaptis antara
22 atau 23 orang. Jadi, tidak sampai satu jam sudah selesai acara pembaptisan
selam. Jadi, mengapa “rasanya tidak
mungkin dilakukan baptisan selam” Bapak Budi Asali, M. Div ?........ Kitab Suci
juga TIDAK BERKATA “TIDAK ADA KOLAM
DAN TIDAK ADA SUNGAI”. Kitab Suci berkata mereka semua (3.000 orang) dibaptis
yang artinya diselam. (entah diselam di kolam atau di sungai, atau di bak mandi
itu bukan esensinya, esensinya adalah mereka diselam/dibaptis).
Hehe...lalu Alkitab
bagian mana yang bilang bahwa 120 orang itu juga ikut membaptis? Bisa tunjukan
ayatnya? Atau mulai melakukan penyakit kalian lagi dengan memasukan pikiran
kalian sendiri ke dalam teks2 Alkitab? Bahwa Rasul2 membaptis itu sudah pasti,
tetapi bahwa 120 orang ikut membaptis, tahu darimana? Lalu tahu darimana bahwa
mereka diselam? Bahwa Alkitab mengatakan merejka dibaptis, itu tidak berarti
mereka pasti diselam. Kenapa menganggap bahwa baptis pasti selam padahal itu
adalah hal yang harus dibuktikan terlebih dahulu dan merupakan hal yang
diperdebatkan? Jalan pikiran anda ruwet sekali nak, saya rasanya sukar percaya
bahwa anda seorang mahasiswa teologia.
3.
Anda menulis :
Mari perhatikan
dengan teliti:
Systematic Theology Charles Hodge vol. III hal. 534 yg dikutip Bpk. Pdt. Budi
Asali, M. Div tidak bisa dijadikan
standar kebenaran (karena Charles Hodge berkata “Kis 2:41 terjadi di bulan Juni, di musim panas, tidak
ada sungai yg mengalir di Yerusalem dan sekitarnya kecuali sungai kecil dari
Siloam). Charles Hodge ingin menutup
kemungkinan argument baptis selam, tetapi
akhirnya ia sendiri menambahkan “bak-bak untuk membaptis yg ditemukan di antara reruntuhan dari gereja-gereja
Yunani kuno di Palestina, seperti di Tekoa dan Gophna dan jelas berasal dari
waktu yg sangat awal...”.kemudian
Charles Hodge kembali cepat-cepat menutup kemungkinan baptis selam dengan melanjutkan
berkata “tidak cukup besar untuk
baptisan orang dewasa dengan cara
penyelaman, dan jelas tidak pernah
dimaksudkan untuk penggunaan seperti itu.” –‘Systematic Theology’-Vol. III
hal. 534.
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div terlalu cepat dan terlalu yakin kepada omongan Charles Hodge daripada untuk percaya
kepada tulisan Alkitab sendiri. Saran saya untuk Charles Hodge dan Bapak Pdt.
Budi Asali, M. Div: BAK-BAK UNTUK
MEMBAPTIS YG DITEMUKAN di antara
reruntuhan dari gereja-gereja Yunani kuno di Palestina SUDAH JELAS FUNGSINYA YAITU UNTUK MEMBAPTIS SELAM, tidak mungkin BAK-BAK itu untuk dijadikan
kolam renang anak sekolah minggu atau untuk pelihara bebek gereja!
Hehe... Jadi anda juga
percaya kata2 Charles Hodge bahwa ada bak-bak yang ditemukan? Katanya kata2
Hodge tidak menjadi standard kebenaran. Lalu kenapa anda juga mengakuinya hai
orang bodoh? Lalu kalau kata2 Hodge tidak menjadi standard kebenaran, mengapa
anda sendiri lalu bisa menganggap bahwa bak2 itu memang digunakan untuk
baptisan selam? Apakah anda mau mengangkat kata2 anda sekarang sebagai standard
kebenaran? Kalau anda mempercayai kata2 Hodge bahwa ditemukan sejumlah bak,
lalu kenapa keterangan dia yang lain bahwa bak2 itu tidak cukup besar untuk
pembaptisan seorang dewasa tidak anda percayai? Anda hanya mempercayai apa yang
mendukung pandangan anda? Sekali lagi, apakah pandangan anda juga adalah
standard kebenaran? Hehehehe.....
4.
Anda menulis :
Kata Alkitab: Kis.
9:18 ini adalah pertobatan Rasul Paulus. Paulus melihat cahaya memancar dari langit
ketika ia dalam perjalanan ke
Damsyik, tetapi ketika Paulus bertobat ia
sedang di rumah Yudas alamatnya: Jalan Lurus (Kis. 9:11). Jadi, posisi
Paulus bukan sedang dalam perjalanan lagi, tetapi ia ada di rumah Yudas. Jadi,
mengapa “rasanya tidak mungkin dilakukan
baptisan selam”, Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div? Bagaimana mungkin orang
sekaliber Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” (Padahal dalam
ayat ini juga tidak dibilang “tidak
ada kolam dan tidak ada sungai di rumah Yudas alamat Jalan Lurus itu”). Dari
mana Bpk. Pdt. Budi Asali, M. Div bisa tahu bahwa di rumah Yudas tidak ada
kolam/sungai/bak? Sedangkan praduga Bapak tanpa dasar dan bukti.
Lalu darimana anda tahu
bahwa di rumah Yudas pasti ada kolam dan sungai? Bukankah Alkitab juga tidak
bilang begitu?
Saya kutipkan dari buku
saya :
Kis 9:18-19 berkata : “Dan seketika itu juga seolah-olah selaput
gugur dari matanya, sehingga ia dapat melihat lagi. Ia bangun lalu dibaptis.
Dan setelah ia makan, pulihlah kekuatannya”
Jika kita melihat kronologi yang terjadi dalam ayat-ayat ini, maka yang
terjadi pada Paulus adalah :
1. Ia buta
2. Ia didoakan dan dapat
melihat
3. Ia bangun
4. Lalu dibaptis
5. Ia makan
6. Pulihlah kekuatannya.
Bagaimana kesan anda
ketika melihat urutan kronologi di atas? Kesan yang nampak di atas adalah bahwa
semua hal itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat di suatu tempat (di dalam
rumahnya). Pada mulanya ia buta, lalu ia didoakan dan sembuh, lalu ia bangun,
lalu dibaptis, lalu makan dan pulihlah kekuatannya. Kalau semuanya ini terjadi
dalam waktu yang singkat di dalam sebuah rumah, maka rasanya agak sulit melihat
kemungkinan Paulus dibaptis dengan cara selam. Tidak ada kesan sama sekali
bahwa Paulus perlu dituntun, dibawa atau diajak ke suatu tempat untuk prosesi
baptisan selam. Justru kemungkinannya lebih besar di mana air yang dibawa
kepadanya dan dengan air itu ia dibaptiskan (baptisan percik). Rayburn berkata
: “Ini adalah satu-satunya kasus dalam
Perjanjian Baru yang menunjukkan persiapan fisik yang mendahului baptisan, dan
persiapan itu tidak lain adalah bangun. Tidak ada satu petunjuk bahwa Paulus
mengganti baju atau ia keluar dari suatu mata air atau yang sejenisnya.
(Hal 36-37)
5.
Anda menulis :
Kata Alkitab: Kis.
10:47-48 Posisi Kornelius (seorang
perwira pasukan Italia) sedang di
rumahnya sendiri ketika mereka di baptis. Seorang perwira pasukan Italia
lebih memungkinkan memiliki kolam pribadi di rumahnya atau minimal bak-bak
mandi, atau rumahnya dekat sungai. Jadi, posisi Kornelius bukan sedang di
jalanan. Jadi, bagaimana mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div
bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan baptisan selam?” atas alasan
apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini adalah praduga belaka yg dibangun untuk mendukung doktrin percik?....
Hehehe...anda juga
berkata : Seorang perwira pasukan Italia
lebih memungkinkan memiliki kolam pribadi di rumahnya atau minimal
bak-bak mandi, atau rumahnya dekat sungai.
Kenapa anda membangun
teologia anda di atas kemungkinan2 seperti ini? Hehe...bukankah yang pasti2
saja? Memangnya Alkitab berkata bahwa di rumah Kornelius ada kolam / bak atau
rumahnya dekat sungai? Mana ayatnya? Bukankah semuanya dugaan anda saja? Lalu
mengapa anda berkata pada Pak Budi “Bukankah
ini adalah praduga belaka yg dibangun
untuk mendukung doktrin percik?” padahal pada saat yang sama anda juga
melakukan praduga belaka yang dibangun untuk mendukung doktrin selam?
Hehe...ini namanya senjata makan tuan, makan kepala anda sendiri hai orang
bodoh!
6.
Anda menulis :
Kata Alkitab: Kis.
16:33 sekali lagi DENGAN SEMBARANGAN dan
TIDAK TELITI Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div mengatakan “baptisan tidak dilakukan dengan penyelaman karena hal itu terjadi DI DALAM PENJARA!”
Mari kita lihat dan teliti Firman
Tuhan (jangan ikut sembarangan menuduh seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div
ini). Pertanyaan kunci: Di manakah POSISI
Paulus, POSISI kepala penjara Filipi dan
POSISI keluarganya ketika mereka memberi diri
dibaptis? Jawabannya: Kis. 16: 32 mereka ada DI RUMAH kepala penjara, BUKAN sedang di dalam PENJARA seperti
yg dikatakan oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di atas.
Konteks Kisah Rasul 16:28-31
posisi Paulus dan kepala penjara masih di penjara, ayat 32 secara jelas
memberitahukan kita Posisi Paulus
dan kepala penjara sudah di rumah kepala
penjara itu, “Lalu mereka memberitakan firman Tuhan kepadanya dan kepada semua
orang yang ada di rumahnya. Ayat 33
mereka memberi diri dibaptis (tafsiran saya: dengan pergi ke sungai/kolam,
pergi dari rumahnya utk baptisan selam), kemudian ayat 34 mereka kembali lagi ke rumah kepala penjara untuk menjamu makan kpd
Paulus. “Lalu ia membawa mereka ke
rumahnya dan menghidangkan makanan kepada mereka. Dan ia sangat bergembira,
bahwa ia dan seisi rumahnya telah menjadi percaya kepada Allah.”
Jadi, bagaimana mungkin orang
sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan
baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini
adalah praduga belaka yg tanpa dasar
Alkitab sengaja dibangun untuk mendukung doktrin percik?....
Pada awalnya peristiwa
tersebut diceritakan di dalam penjara. Setelah itu diceritakan tentang Paulus
yang memberitakan Injil kepada keluarga kepala penjara itu di rumahnya.
Persoalannya adalah apakah keberadaan Paulus di rumah kepala penjara ini PASTI
BERARTI bahwa mereka meninggalkan penjara? Belum tentu! Bisa jadi bahwa rumah
kepala penjara itu berada di dalam kompleks penjara jadi semua kejadian ini
tetap ada di dalam kompleks penjara itu.
Anda lalu berkata : “(tafsiran saya: dengan pergi ke
sungai/kolam, pergi dari rumahnya utk baptisan selam)”. Hehe...saya
bertanya pada anda, mana ayat yang mengatakan bahwa mereka pergi meninggalkan
rumah menuju sungai/kolam? Anda mulai mengarang bebas lagi? Katanya berteologia
tidak boleh kira2 tapi pasti. Kalau tidak ada ayat yang mengatakan demikian,
lalu bagaimana bisa beranggapan demikian? Mengarang bebas? Bolehkan saya pinjam
kata2 anda untuk dikenakan pada anda sendiri : Bukankah ini adalah praduga belaka yg tanpa dasar Alkitab sengaja
dibangun untuk mendukung doktrin selam?.... Hehehee
Sekarang mari kita melihat baptisan sida-sida dalam
Kis 8:26-40. Apakah ini adalah baptisan selam? Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dari bagian
ini:
1.
Kis 8:36 - ‘ada
air’.
Yunani: TI HUDOR [a certain water / some water (=
air tertentu / sedikit air)]. Jadi ini menunjuk pada sedikit air, sehingga
tidak memungkinkan baptisan selam.
Charles Hodge: “He
was travelling through a desert part of the country towards Gaza, when Philip
joined him, ‘And as they went on their way they came unto a certain water (EPI
TI HUDOR, to some water)’.There is no known stream in that region of sufficient
depth to allow of the immersion of a man” [= Ia sedang bepergian
melalui bagian padang pasir dari negara itu menuju Gaza, ketika Filipus
bergabung dengannya, ‘Dan ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka mereka
sampai pada air tertentu (EPI TI HUDOR, kepada sedikit air)’. Di daerah itu
tidak diketahui adanya sungai dengan kedalaman yang cukup untuk memungkinkan
penyelaman seorang manusia] -‘Systematic Theology’, vol III,
hal 535.
2.
Kis 8:38-39
berkata ‘turun ke dalam air ... keluar dari air’.
Apakah ini menunjuk pada baptisan selam? Seperti pada
baptisan Yesus, istilah ini bisa diartikan 2 macam, yaitu:
a.
Sida-sida itu betul-betul
terendam total, lalu keluar dari air.
b.
Sida-sida itu turun
ke dalam air yang hanya sampai pada lutut atau mata kakinya, lalu keluar dari
air.
Untuk mengetahui yang mana yang benar dari 2
kemungkinan ini, bacalah Kis 8:38-39 itu sekali lagi. Perhatikan bahwa di
situ dikatakan: “dan keduanyaturun ke dalam air, baik
Filipus maupun sida-sida itu, dan Filipus membaptis dia. Dan setelah mereka keluar
dari air, ...”.
Kalau istilah ‘turun ke dalam air’ dan ‘keluar dari
air’ diartikan sebagai baptisan selam, itu menunjukkan bahwa Filipus, sebagai
orang yang membaptis, juga ikut diselam! Ini jelas tidak mungkin. Jadi dari 2
kemungkinan di atas, yang benar adalah kemungkinan kedua. Ini juga cocok dengan
point pertama di atas yang menunjukkan bahwa air di situ cuma sedikit, sehingga
tidak memungkinkan baptisan selam.
Tanggapan Dji:
Kis. 8:36 – “ada air”. Yunani: TI
HUDOR [a certain water / some water (= air tertentu / sedikit air)]. “sedikit
air” adalah relatif. “Sedikit” bagi orang tertentu bisa
berarti “cukup banyak untuk membaptis
selam”. Jika Alkitab mendukung
baptis percik, maka sudah tentu Sida-sida itu mengeluarkan air minumnya yg
dibawanya dalam keretanya atau yg dibawa oleh anak buahnya. (Tidak mungkin
seorang sida-sida yg menempuh perjalanan jauh tidak membawa air minum) Mengapa
mereka masih melanjutkan perjalanan (dan menunggu) sampai di “suatu tempat yang
ada air”? ini sudah sangat jelas bahwa sida-sida itu dibaptis selam.
“Mereka melanjutkan perjalanan mereka (menandakan sida-sida sudah percaya / diselamatkan),
dan (sambil menanti dlm perjalanan) tiba di suatu tempat (sungai/kolam) yang
ada airnya (tidak mungkin airnya hanya sampai pada lutut / hanya semata kaki,
tetapi pasti airnya cukup untuk selam ). Lalu kata sida-sida itu: “Lihat, di
situ ada air; apakah halangannya, jika aku dibaptis?”. Seorang sida-sida tidak
mungkin “kampungan” turun ke sungai / kolam yg dalam airnya hanya sampai
selutut / hanya semata kaki, karena anak SD pun tahu bahwa itu bisa saja
berlumpur / air yg kotor.
Jadi, Kis. 8:38-39 berkata “turun ke dalam air.....keluar dari air”
adalah persis seperti baptisan Yesus / baptisan Yohanes di sungai Yordan. Sehingga sida-sida itu betul-betul terendam total, lalu keluar dari air. Orang yg
membaptis yaitu Filipus sudah tentu ikut
terendam (tetapi Filipus yg membaptiskan sida-sida itu). Adalah sangat bodoh jika berasumsi atau beranggapan bahwa orang yang
membaptis jika “ikut terendam” otomatis sama dengan membaptis ulang diri
sendiri. Bukankah Yohanes Pembaptis
sendiri juga “ikut terendam” di dalam air ketika ia membaptis Tuhan Yesus?.
Orang yg membaptis orang lain tidak mungkin ikut diselamkan! (ini adalah bukti asumsi Bpk. Pdt. Budi Asali, M.
Div sendiri). Menurut saya: Filipus jelas TIDAK IKUT DISELAMKAN!,
tetapi Filipus ikut terendam sampai pinggang/dada lalu membaptiskan
(menyelamkan sida-sida itu).
Jadi, bagaimana mungkin orang
sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan
baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini
adalah praduga belaka yg tanpa dasar
Alkitab sengaja dibangun untuk mendukung doktrin percik?....
Tanggapan Esra Soru :
1.
Anda menulis :
Kis. 8:36 – “ada air”. Yunani: TI
HUDOR [a certain water / some water (= air tertentu / sedikit air)]. “sedikit
air” adalah relatif. “Sedikit” bagi orang tertentu bisa
berarti “cukup banyak untuk membaptis
selam”.
· Kalau itu memang relatif lalu
bagaimana anda bisa memastikan bahwa itu cukup banyak untuk sebuah praktek
baptisan selam?
· Sedikit itu memang relatif
tetapi ingat bahwa ini di padang pasir. Hanya orang yang membutakan dirinya
yang bisa menduga bahwa sedikit air di padang pasir adalah sejumlah air yang
cukup banyak untuk sebuah praktek baptisan selam.
2.
Anda menulis :
Jika
Alkitab mendukung baptis percik, maka sudah tentu Sida-sida itu mengeluarkan
air minumnya yg dibawanya dalam keretanya atau yg dibawa oleh anak buahnya.
(Tidak mungkin seorang sida-sida yg menempuh perjalanan jauh tidak membawa air
minum) Mengapa mereka masih melanjutkan perjalanan (dan menunggu) sampai di
“suatu tempat yang ada air”? ini sudah sangat jelas bahwa sida-sida
itu dibaptis selam.
·
Hehe..anda berkata sudah
tentu? Tahu darimana? Mulai mengarang bebas lagi? Katanya berteologia harus
berdasarkan Alkitab. Bisa tunjukkan ayatnya kalau mereka membawa air minum?
· Kalaupun mereka membawa air
minum, bisa saja mereka tidak mau menggunakan untuk membaptis karena itu kan
air untuk minum di perjalanan. Hehe...
·
Bisa saja mereka tidak
menggunakan air minum untuk membaptis karena sudah melihat ada sedikit air di
sana kan? Hehe...
3.
Anda menulis :
“Mereka melanjutkan perjalanan
mereka (menandakan sida-sida sudah percaya / diselamatkan), dan (sambil menanti
dlm perjalanan) tiba di suatu tempat (sungai/kolam) yang ada airnya (tidak
mungkin airnya hanya sampai pada lutut / hanya semata kaki, tetapi pasti airnya
cukup untuk selam ). Lalu kata sida-sida itu: “Lihat, di situ ada air; apakah
halangannya, jika aku dibaptis?”.
Kenapa tidak mungkin
airnya hanya selutut atau semata kaki? Anda mengatakan demikian karena anda
sudah berasusmsi terlebih dahulu bahwa baptisannya harus selam dan karena itu
tidak mungkin ada air selutut atau semata kaki karena itu tidak cukup bagi
praktek baptisan selam. Pikiran anda benar-benar tidak karuan. Hal yang
seharusnya diperdebatkan dan anda jadikan sebagai alasan untuk membenarkan
pandangan anda sendiri. Pikirkan sendiri lebih mungkin mana sedikit air atau
banyak air jika berada di padang gurun?
4.
Anda menulis :
Seorang sida-sida tidak mungkin
“kampungan” turun ke sungai / kolam yg dalam airnya hanya sampai selutut /
hanya semata kaki, karena anak SD pun tahu bahwa itu bisa saja berlumpur / air
yg kotor.
Tahu darimana itu pasti
berlumpur? Anda terlalu mengada-ada dengan memikirkan segala hal yang remeh.
Sekalipun berlumpur, kalau dia mau, apa masalahnya? Anda mengangkat berbagai
pemikiran yang terllau jauh daripada apa yang menjadi inti persoalan. Tafsiran
seperti anda yang layak disebut “kampungan”.
5.
Anda menulis :
Jadi, Kis. 8:38-39 berkata “turun ke dalam air.....keluar dari air”
adalah persis seperti baptisan Yesus / baptisan Yohanes di sungai Yordan. Sehingga sida-sida itu betul-betul terendam total, lalu keluar dari air. Orang yg
membaptis yaitu Filipus sudah tentu ikut
terendam (tetapi Filipus yg membaptiskan sida-sida itu).
Nah, lagi2 logika anda
tidak bermain di sini. Jika istilah “turun
ke dalam air” diartikan harus direndam seluruhnya, istilah yang sama
digunakan untuk Filipus. Jadi harus diartikan bahwa Filipus pun terrendam
seperti yang dialami Sida2 itu. Apakah argumentasi sederhana seperti ini tidak
bisa anda pahami? Anda betul2 cocok jadi anak SD.
6.
Anda menulis :
Adalah
sangat bodoh jika berasumsi atau
beranggapan bahwa
orang yang membaptis jika “ikut
terendam” otomatis sama dengan
membaptis ulang diri sendiri. Bukankah
Yohanes Pembaptis sendiri juga “ikut terendam” di dalam air ketika ia membaptis
Tuhan Yesus?. Orang yg membaptis orang lain tidak mungkin ikut diselamkan!
(ini adalah bukti asumsi Bpk. Pdt.
Budi Asali, M. Div sendiri). Menurut
saya: Filipus jelas TIDAK IKUT
DISELAMKAN!, tetapi Filipus ikut terendam sampai pinggang/dada lalu
membaptiskan (menyelamkan sida-sida itu).
Kata yang digunakan
pada Sida2 adalah sama dengan kata yang digukanakan pada Filipus. Jadi kalau
berdasarkan kata2 itu mau diartikan bahwa Sida2 diselamkan seluruhnya, itu
harus berlaku bagi Filipus. Tentu ini gila, tapi itu adalah konsekuensi logis
dari penafsiran kalian. Kalau kami beranggapan bahwa Sida2 pasti tidak
diselamkan. Ia pasti hanya masuk ke dalam air, mungkin selutut atau semata
kaki, tetapi ia sudah disebutkan “turun
ke dalam air”. Karena itu maka istilah “turun
ke dalam air” atau “keluar dari air” tidak
bisa menjadi dasar untuk memastikan itu adalah baptisan selam. Anda paham hai
anak SD?
7.
Anda menulis :
Jadi, bagaimana mungkin orang
sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “rasanya tidak mungkin dilakukan
baptisan selam?” atas alasan apa Bapak berkata demikian? Bukankah ini
adalah praduga belaka yg tanpa dasar
Alkitab sengaja dibangun untuk mendukung doktrin percik?....
Hehe...silahkan
perbaiki logika anda, belajar bahasa Indonesia lagi. Dan jangan lupa bercermin.
b) Hal-hal lain yang mendukung baptisan
percik:
1.
Penekanan arti
baptisan adalah sebagai simbol penyucian / purification. Padahal
dalam Kitab Suci purification selalu disimbolkan dengan
percikan:
a. Kel 24:8 -
Kitab Suci Indonesia
salah terjemahan, karena kata ‘menyiramkannya’ seharusnya adalah
‘memercikkannya’. NIV:‘sprinkled’ (= memercikkan).
b. Kel 29:16,21 -
Kitab Suci Indonesia
salah terjemahan, karena kata ‘kausiramkan’ seharusnya adalah ‘percikkanlah’
[NIV: ‘sprinkle’ (= percikkanlah)].
c.
Im 7:14 -
Kitab Suci Indonesia
salah terjemahan, karena kata ‘menyiramkan’ seharusnya adalah ‘memercikkan’
[NIV: ‘sprinkles’ (= memercikkan)].
d.
Im 14:7,51 -
‘memercik’.
e.
Im 16:14 -
‘memercikannya’.
f.
Bil 8:7 -
‘percikkanlah’.
g.
Bil 19:18 -
‘memercikkannya’.
h.
Yes 52:15
(NIV) - ‘He will sprinkle many nations’ (= Ia akan memerciki
banyak bangsa).
i.
Ibr 9:13 -
‘percikan’.
j.
Ibr 9:19,21 -
‘memerciki’ dan ‘dipercikinya’.
k. Ibr 10:22 -
Kitab Suci Indonesia
salah terjemahan, karena kata ‘telah dibersihkan’ seharusnya adalah ‘telah
diperciki’ [NIV: ‘sprinkled to cleanse’ (= diperciki untuk
membersihkan)].
l.
Ibr 12:24 - ‘darah
pemercikan’.
Tanggapan Dji:
Semua ayat yg dikutip oleh Bpk.
Pdt. Budi Asali, M. Div di atas ini semuanya berbicara tentang ibadah simbolik
di Perjanjian Lama [Ibrani (PB) yg dikutip juga konteksnya berbicara tentang
ibadah simbolik]. Ibadah simbolik bukan ibadah hakekat. Percik dalam zaman PL JELAS
BERBEDA dengan BAPTISAN orang percaya dalam
Perjanjian Baru (Ibadah hakekat). Ini dua hal yg berbeda, jangan disama
ratakan untuk membangun/mendukung doktrin percik!.
Tanggapan Esra Soru :
Salah satu makna baptisan
adalah simbol penyucian dosa (Kis 2:38; 22:16).
Kis 2:38 - Jawab Petrus
kepada mereka: "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi
dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh
Kudus.
Kis 22:16 - Dan sekarang, mengapa engkau masih ragu-ragu? Bangunlah,
berilah dirimu dibaptis dan dosa-dosamu
disucikan sambil berseru kepada nama Tuhan!
Karena itulah baptisan lalu menggunakan air.
Jikalau baptisan adalah simbol penyucian dosa, dan di dalam PL itu
selalu dikaitkan dengan tindakan pemercikan seperti yang dijelaskan pak Budi di
atas, justru adalah aneh kalau tahu2 di dalam PB, simbolnya berubah menjadi
penyelaman dan pemercikan hilang sama sekali.
Jadi bukan kami menyamakan apa yang beda, tapi kalian yang berusaha
membedakan apa yang sama. Hehe...
2.
Luk 3:16 -
‘Aku membaptis kamu dengan air’ (I baptize you with water).
Kata ‘with water’ / ‘dengan air’
(Yunani: HUDATI) ini tidak cocok diartikan sebagai selam, karena kita tidak
berkata ‘aku menyelam kamu dengan air’ tetapi kita berkata ‘aku
menyelam kamu di dalam air’. Tetapi kalau baptisan itu adalah
percik / tuang, maka kata-kata ‘dengan air’ itu cocok.
Mat 3:11 memang menggunakan kata Yunani EN,
tetapi kata EN bukan hanya bisa diartikan sebagai in (= di
dalam), tetapi juga sebagai with (= dengan).
Kesimpulan:
baptisan selam bukan satu-satunya baptisan yang sah. Karena itu kalau saudara
sudah dibaptis dengan baptisan percik atau tuang, jangan percaya kepada
orang-orang bodoh yang mengharuskan saudara dibaptis ulang dengan baptisan
selam. Ingat bahwa pada waktu saudara dibaptis ulang, saudara menghina baptisan
yang pertama!
Tanggapan Dji:
Luk. 3:16 dan Mat. 3:11 Bapak
Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri mengakui bahwa EN bisa juga diartikan sebagai in (= di dalam). Saya kutipkan lagi
pernyataan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri di atas “tetapi kita berkata “aku menyelam
kamu di dalam air.” (entah Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini sudah
mengakui kebenaran ini atau “tidak sengaja” mengakuinya). Bagi orang Yahudi yg
menggunakan bahasa Yunani waktu itu tidak sulit untuk memahami “aku menyelam
kamu di dalam air.” Hanya praduga dan asumsi belaka yg dibangun oleh Bapak Pdt.
Budi Asali, M. Div ini.
Kesimpulan
Dji: Baptisan SELAM
adalah satu-satunya baptisan yang sah. Karena itu, kalau saudara belum dibaptis
(selam) maka saudara harus dibaptis ulang (karena saudara pada dasarnya memang
belum dibaptis/belum di selamkan) tetapi baru di rantis=di percik. Namun
demikian, Baptisan bukan sesuatu yg hakiki dalam keselamatan. Baptisan adalah
tanda pertobatan, tanda murid sejati Yesus, tanda orang menggabungkan diri ke
dalam satu jemaat lokal yg independent.
TIDAK
ADA LARANGAN untuk “membaptis ulang” dalam Alkitab. Justru dalam Alkitab Rasul
Paulus bahkan membaptis ulang mereka yg awalnya “sudah dibaptis” namun belum
mengerti. Silahkan baca: Kis. 19:3-5
“Lalu kata Paulus kepada mereka: “Kalau begitu dengan baptisan manakah kamu
telah dibaptis?” Jawab mereka: “Dengan baptisan Yohanes.” Kata Paulus:
“Baptisan Yohanes adalah pembaptisan orang yang telah bertobat, dan ia berkata
kepada orang banyak, bahwa mereka harus percaya kepada Dia yg datang kemudian
dari padanya, yaitu Yesus.” Ketika mereka mendengar hal itu, MEREKA MEMBERI
DIRI MEREKA DIBAPTIS (ULANG) dalam nama Tuhan Yesus.”. Haleluya!
Silahkan
pembaca menilai mana yg sesuai Alkitab dan mana yg ingin membangun doktrin
tanpa dasar!
I
Tes. 5:21 “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
Tanggapan Esra Soru
:
1.
Anda menulis :
Luk. 3:16 dan Mat. 3:11 Bapak
Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri mengakui bahwa EN bisa juga diartikan sebagai in (= di dalam). Saya kutipkan lagi
pernyataan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri di atas “tetapi kita berkata “aku menyelam
kamu di dalam air.” (entah Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini sudah
mengakui kebenaran ini atau “tidak sengaja” mengakuinya). Bagi orang Yahudi yg
menggunakan bahasa Yunani waktu itu tidak sulit untuk memahami “aku menyelam
kamu di dalam air.” Hanya praduga dan asumsi belaka yg dibangun oleh Bapak Pdt.
Budi Asali, M. Div ini.
Anda ini memang payah
sekali di dalam berlogika dan sama sekali tidak paham bahasa Pak Budi Asali.
Kelihatannya anda perlu belajar ulang Bahasa Indonesia.Maksud Pak Budi jelas
bahwa kalau baptisan harus selam maka kata2 yang cocok adalah ‘aku menyelam kamu di dalam air’ tetapi
karena kata Yunani yang digunakan di dalam Luk 3:16 itu (HUDATI) berarti ‘with water’ /
‘dengan air’ maka ini tidak memungkinkamnm diterapkan pada baptisan
selam. Baptisan perciklah yang lebih cocok. Terus terang saya prihatin sekali
dengan cara berpikir anda seperti ini. Sangat2 menyedihkan!
2.
Anda menulis :
Kesimpulan
Dji: Baptisan SELAM
adalah satu-satunya baptisan yang sah. Karena itu, kalau saudara belum dibaptis
(selam) maka saudara harus dibaptis ulang (karena saudara pada dasarnya memang
belum dibaptis/belum di selamkan) tetapi baru di rantis=di percik. Namun
demikian, Baptisan bukan sesuatu yg hakiki dalam keselamatan. Baptisan adalah
tanda pertobatan, tanda murid sejati Yesus, tanda orang menggabungkan diri ke
dalam satu jemaat lokal yg independent.
Dengan semua tanggapan
yang sudah diberikan ini maka kesimpulan anda jadi gugur semuanya dan karena
itu baptisan selam bukan satu2nya baptisan yang sah. Karena itu yang sudah
dibaptis percik juga adalah baptisan yang sah, mengulang apa yang sudah sah
adalah penghinaan kepada baptisan yang pertama dan itu dosa.
3.
Anda menulis :
TIDAK
ADA LARANGAN untuk “membaptis ulang” dalam Alkitab. Justru dalam Alkitab Rasul
Paulus bahkan membaptis ulang mereka yg awalnya “sudah dibaptis” namun belum
mengerti. Silahkan baca: Kis. 19:3-5
“Lalu kata Paulus kepada mereka: “Kalau begitu dengan baptisan manakah kamu
telah dibaptis?” Jawab mereka: “Dengan baptisan Yohanes.” Kata Paulus:
“Baptisan Yohanes adalah pembaptisan orang yang telah bertobat, dan ia berkata
kepada orang banyak, bahwa mereka harus percaya kepada Dia yg datang kemudian
dari padanya, yaitu Yesus.” Ketika mereka mendengar hal itu, MEREKA MEMBERI
DIRI MEREKA DIBAPTIS (ULANG) dalam nama Tuhan Yesus.”. Haleluya!
Silahkan
pembaca menilai mana yg sesuai Alkitab dan mana yg ingin membangun doktrin
tanpa dasar!
I
Tes. 5:21 “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
Baptisan memang diulang
selama baptisannya memang betul2 salah. Tapi kalau baptisannya sudah betul dan
Alkitabiah, lalu atas dasar apa mau diulang?
7. Nama / sebutan Perjamuan Kudus salah,
seharusnya Perjamuan Tuhan. Istilah Perjamuan Kudus kita dapat dari Katolik.
Perjamuan itu tidak bisa menguduskan, jadi nama itu salah.
Tanggapan
Budi Asali:
Saya
setuju saja kalau digunakan istilah ‘Perjamuan Tuhan’, karena istilah itu
memang ada dalam Alkitab (1Kor 10:21 1Kor 11:20). Tetapi istilah
‘Perjamuan Kudus’ juga tak masalah, karena itu hanya soal istilah. Bahwa itu
didapatkan dari Katolik merupakan omong kosong, yang tak akan bisa ia buktikan.
Dan siapa gerangan orang bodoh yang mempercayai bahwa Perjamuan Kudus itu
menguduskan? Itu merupakan fitnahan terhadap orang-orang yang menggunakan
istilah ‘Perjamuan Kudus’.
Tanggapan Dji:
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div
sendiri setuju dan mengakui penggunaan
yg benar adalah “Perjamuan Tuhan” bukan “Perjamuan Kudus”. tetapi entah
alasan apa akhirnya ia bilang penggunaan istilah Perjamuan Kudus “juga
tak masalah, karena itu hanya soal istilah.” Beda istilah sudah tentu beda maknanya. Apalagi orang awam yg tidak
belajar theologi (atau orang agama lain) sudah pasti ikut terpengaruh oleh “istilah yg salah” itu. Sebagai orang
Kristen yang cinta Kebenaran dan menjunjung tinggi Alkitab (Sola Scriptura)
maka seharusnyalah orang Kristen yg
Alkitabiah menggunakan istilah-istilah yg Alkitabiah pula. Bagaimana
mungkin orang sekaliber Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata “juga tak masalah, karena itu hanya soal istilah?” sangat
mengherankan! Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sudah tahu istilah yg benar tetapi tidak mau menggunakannya. Ada
apa ini pak?..........(atau ada udang di balik batu?).......
Tanggapan Esra Soru :
- Lagi2 anda menunjukan kebodohan di dalam mengartikan kata2 orang. Pak Budi atidak keberatan digunakannya istilah Perjamuan Tuhan, tetapi ia juga merasa tidak ada masalah dengan istilah Perjamuan Kudus. Lalu mengapa anda berkata Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri setuju dan mengakui penggunaan yg benar adalah “Perjamuan Tuhan” bukan “Perjamuan Kudus”. Dari mana anda mendapatkan kata2 yang saya garisbawai ini? Di sini anda menunjukan mentalitas memfitnah seperti guru anda itu.
- Beda istilah sudah tentu beda makna? Hehe...kelihatannya anda perlu belajar lagi. Belajar ulang bahasa Indonesia.
- Kalian percaya doktrin Tritunggal? Kalau percaya, bisa tunjukkan istilahnya di dalam Alkitab? Kalau tidak, pikiran kalian memang tidak beres!
8. Ia
tahu cara penggunaan Urim dan Tumim, dan menjelaskannya.
Tanggapan
Budi Asali:
Tak
ada penafsir yang tahu dengan pasti tentang hal itu. Jangankan cara menggunakannya,
bahkan bagaimana bentuk dari Urim dan Tumimpun tidak ada yang tahu. Entah
Suhento Liauw belajar dari mimpi atau bagaimana?
Kel 28:30 - “Dan di dalam tutup dada
pernyataan keputusan itu haruslah kautaruh Urim dan Tumim; haruslah
itu di atas jantung Harun, apabila ia masuk menghadap TUHAN, dan Harun harus
tetap membawa keputusan bagi orang Israel di atas jantungnya, di hadapan TUHAN”.
Adam Clarke (tentang Kel 28:30): “‘Thou shalt put in
the breastplate of judgment the Urim and the Thummim.’ What these were
has, I believe, never yet been discovered. 1. They are nowhere described.
2. There is no direction given to Moses or any other how to make them.
... 6. That God was often consulted by Urim and Thummim, is sufficiently
evident from several Scriptures; but how or in what manner he was thus
consulted appears in none”.
Apa
yang dikatakan oleh Bil 27:21 tidaklah menunjukkan cara penggunaan Urim
dan Tumim.
Bil 27:21
- “Ia harus berdiri di depan imam Eleazar, supaya Eleazar menanyakan
keputusan Urim bagi dia di hadapan TUHAN; atas titahnya mereka akan
keluar dan atas titahnya mereka akan masuk, ia beserta semua orang Israel,
segenap umat itu.’”.
Tanggapan Dji:
Di sini Bapak Pdt. Budi Asali, M.
Div “dengan rendah hati mengakui bahwa
ia tidak tahu bentuk Urim-Tumim dan cara menggunakannya”. Makanya, lain
kali undang Dr. Suhento Liauw ke gereja seminar lagi, supaya jemaat dan semua
orang Kristen menjadi semakin tahu.
Urim – Tumim adalah dua alat yg
dipakai Tuhan untuk menyatakan keputusan Tuhan. Urim – Tumim penggunaannya
jelas dalam 1 Samuel 14:41 “Lalu
berkatalah Saul: “Ya, TUHAN, Allah Israel, mengapa Engkau tidak menjawab
hamba-Mu pada hari ini? Jika kesalahan
itu ada padaku atau pada anakku Yonatan, ya TUHAN, Allah Israel tunjukkanlah kiranya Urim; tetapi jika kesalahan itu ada pada umat-Mu Israel,
tunjukkanlah Tumim,” Lalu didapati
Yonatan dan Saul, tetapi rakyat itu terluput.(artinya Tuhan tunjukkan
Urim).” Ini adalah salah satu contoh cara
penggunaan Urim-Tumim dalam Alkitab.
Tanggapan Esra Soru :
Menurut saya ayat ini
hanya menunjukkan bahwa Urim dan Tumim dipakai untuk mendapatkan petunjuk dari
Tuhan. Tetapi bagaimana menggunakannya, sama sekali tidak dijelaskan dalam ayat
ini. Bandingkan dengan kalau kita mau mengundi dengan melemparkan sebuah koin
dan memilih apakah sisi gambar yang muncul atau sisi angka yang muncul, cara
yang digunakan adalah dengan melemparkan koin itu ke atas/udara. Nah 1 Sam
14:41 hanya menjelaskan bahwa Urim dan Tumim dipakai sebagai alat untuk
menentukan keputusan Tuhan, tetapi bagaimana menggunakannya, sama sekali tidak
dijelaskan.
9. Ia
percaya bahasa Roh, nubuat, mimpi dari Tuhan, malaikat datang beri petunjuk
firman, karunia lakukan mujijat / kesembuhan; semua ini tak ada lagi. 1Kor 13:8
ditafsirkan menunjuk pada selesainya penulisan Kitab Suci. Ia membahas kata
Yunani TON TELEION dalam ayat itu dan ia mengartikannya sebagai ‘the perfect
thing’.
Tanggapan
Budi Asali:
Sepanjang
saya tahu, tak ada satupun Kitab Suci bahasa Inggris yang menterjemahkan ‘the
perfect thing’.
KJV: ‘But when that which is perfect is
come, then that which is in part shall be done away’.
RSV: ‘but when the perfect comes,
the imperfect will pass away’.
NIV: ‘but when perfection comes,
the imperfect disappears’.
NASB: ‘but when the perfect comes,
the partial will be done away’.
ASV: ‘but when that which is perfect is
come, that which is in part shall be done away’.
NKJV: ‘But when that which is perfect has
come, then that which is in part will be done away’.
Dan
sekalipun memang ada penafsir-penafsir yang menafsirkan bahwa ini menunjuk pada
selesainya penulisan Alkitab, tetapi hanya sangat sedikit penafsir yang
menafsir seperti itu. Pada umumnya para penafsir mengatakan bahwa ini menunjuk
pada saat kita masuk surga / pada kedatangan Kristus yang keduakalinya.
1Kor 13:8-10
- “(8) Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan
berhenti; pengetahuan akan lenyap. (9) Sebab pengetahuan
kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. (10) Tetapi jika
yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap”.
Kalau
kata-kata ‘jika yang sempurna tiba’ (ay 10) dianggap menunjuk
pada saat Alkitab lengkap, bagaimana mungkin pada saat itu pengetahuan akan
lenyap? Bukankah dengan lengkapnya Alkitab, pengetahuan bukan saja tidak
lenyap, tetapi makin bertambah?
Tetapi
kalau diartikan menunjuk pada kedatangan Kristus yang keduakalinya, maka itu
memang memungkinkan, karena pengetahuan pada saat itu pastilah sangat berbeda
dengan pengetahuan kita di dunia ini. Jadi pengetahuan yang sekarang ini, yang
tidak lengkap / tidak sempurna, akan lenyap, digantikan oleh pengetahuan yang
sempurna / lengkap, yang sama sekali baru.
Adam Clarke (tentang 1Kor 13:10): “‘But when that
which is perfect.’ The state of eternal blessedness; then that
which is in part - that which is imperfect, shall be done away; the imperfect
as well as the probationary state shall cease for ever”.
Tanggapan Dji:
Kami percaya setiap kata bahkan setiap huruf yang diwahyukan (dinubuatkan) Tuhan
dalam Alkitab mempunyai makna yang dalam. Tidak boleh diterjemahkan
sembarangan.
Dalam seminar tersebut Dr.
Suhento Liauw mengutip kata “TO TELEION” dari Alkitab interlinear Hendrickson,
bukan “TON TELEION” seperti yg Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div kutip, ini
memperlihatkan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div telah salah kutip dengan menambah satu huruf “N” pada kata “TO”,
sehingga menjadi TON TELEION. Padahal yg
dimaksud Dr. Suhento “TON TELEION” dalam seminar adalah justru jika mengacu kepada orang sempurna itu (dalam bentuk accusative), dan jika dalam bentuk
Nominatif maka menjadi HO TELEIOS.
Tetapi dalam teks bahasa asli
Yunani Textus Receptus (TR) menuliskan “TO TELEION” yang berarti ini mengacu
kepada “barang” bukan “orang”.
Ini bukti bahan yg dipakai oleh
Dr. Suhento Liauw waktu seminar di Surabaya dan di tempat-tempat lain:
TO Teleion = Barang Sempurna itu
TON Teleion = Orang Sempurna itu
Maksud Dr. Suhento Liauw jika
yang dimaksud di sini adalah mengacu kepada Tuhan Yesus (dalam bentuk Accusative)
maka seharusnya bunyinya menjadi TON TELEION = Orang Sempurna itu. Jika tidak
percaya silahkan buktikan sendiri dengan membeli kaset VCD rekaman seminar ini
tersedia di GBIA Graphe.
Dr. Suhento Liauw memang tidak
mengutip kata “TO TELEION” yg diterjemahkan “the perfect thing” dari Kitab Suci bahasa Inggris manapun, karena beliau mengutipnya dari Alkitab Interlinear
Hendrickson, silahkan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div untuk mengeceknya
kembali dalam Interlinear Hendrickson.
Dalam interlinear Hendrickson menerjemahkan TO TELEION= “the perfect thing.”
Terjemahan NIV, KJV, RSV, ASV,
NASB, NKJV semuanya ini memang tidak
menambahkan kata “thing” di situ, sehingga tidak jelas “the perfect” di
situ mengacu kepada orang atau barang! Jadi, harus kembali kepada bahasa
asli Yunaninya. Silahkan cek Textus Receptus (TR) atau Interlinear Hendrickson.
Mari kita bedah kata “TO TELEION”
menurut kamus The New Analytical Greek
Lexicon oleh Wesley J. Perschbacher : TO
TELEION = Adjective (kata
sifat), Gender: Neutral, Singular
(tunggal), Accusative (objek). Jadi, ini cocok diterjemahkan mengacu kepada
Alkitab (objek yg sempurna/barang yg sempurna). Adalah suatu pelecehan dan penghinaan jika menafsir I Kor. 13:10 “To
Teleion” yg Netral, Accusative (objek) dimaksudkan mengacu kepada “Tuhan Yesus”. Karena Tuhan Yesus bukan barang yang sempurna. Tuhan Yesus sudah sempurna sebelum dunia
ada, dan tidak perlu menunggu kedatangan kedua kalinya untuk menyatakan IA
sempurna.
Jika bahasa Yunaninya di sini (I
Kor. 13:10) mengacu kepada Tuhan Yesus, maka seharusnya bunyinya: HO TELEIOS,
bukan To Teleion. Tuhan Yesus adalah
Subjek (Nominatif), Maskulin, tidak mungkin neutral dan Accusative. Jadi,
Tuhan Yesus tidak mungkin NEUTRAL (gender: netral),
kecuali ada yg menganggap-Nya “bencong/banci”. “banci/bencong” pun masih ada gendernya kalau bukan
Feminim maka ia Maskulin.
Jadi,
kali ini saya bisa buktikan bahwa apa yang dituliskan oleh Bapak Pdt. Budi
Asali, M. Div di atas ini adalah karena beliau tidak teliti atau salahpaham
sehingga salah kutip!.
Tanggapan Esra Soru
:
Apakah benar pak Budi
salah mengutip kata2 Suhento Liauw, biar dijelaskan Pak budi sendiri.
10. Mulai saat Yesus mati sampai Kitab Suci
selesai ditulis rasul-rasul jadi Standard kebenaran.
Tanggapan
Budi Asali:
Kok
Petrus bisa salah, dalam Kis 10 dan Gal 2?
Kis 10:13-15,34-35
- “(13) Kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata: ‘Bangunlah, hai
Petrus, sembelihlah dan makanlah!’ (14) Tetapi Petrus menjawab: ‘Tidak, Tuhan,
tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir.’
(15) Kedengaran pula untuk kedua kalinya suara yang berkata kepadanya: ‘Apa
yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram.’ ... (34)
Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: ‘Sesungguhnya aku telah mengerti,
bahwa Allah tidak membedakan orang. (35) Setiap orang dari bangsa manapun yang
takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.
Gal
2:11-14 - “(11) Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku
berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. (12) Karena sebelum beberapa
orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara
yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan
menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. (13) Dan
orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga
Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka. (14) Tetapi waktu
kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku
berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: ‘Jika engkau, seorang
Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah
engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara
Yahudi?’”.
Dan
Yohanes bisa salah dengan menyembah malaikat?
Wah
19:10 - “Maka tersungkurlah aku di depan kakinya untuk menyembah dia,
tetapi ia berkata kepadaku: ‘Janganlah berbuat demikian! Aku adalah hamba, sama
dengan engkau dan saudara-saudaramu, yang memiliki kesaksian Yesus. Sembahlah
Allah! Karena kesaksian Yesus adalah roh nubuat.’”.
Wah
22:8-9 - “(8) Dan aku, Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat
semuanya itu. Dan setelah aku mendengar dan melihatnya, aku tersungkur di depan
kaki malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu kepadaku, untuk menyembahnya.
(9) Tetapi ia berkata kepadaku: ‘Jangan berbuat demikian! Aku adalah hamba,
sama seperti engkau dan saudara-saudaramu, para nabi dan semua mereka yang
menuruti segala perkataan kitab ini. Sembahlah Allah!’”.
Tanggapan Dji:
Rasul-rasul jelas menjadi standar
Kebenaran ketika Alkitab belum selesai ditulis (setelah kematian Yesus). Petrus
dan Yohanes bisa “SALAH” membuktikan mereka memang tidak sempurna dalam menjadi standar kebenaran, makanya Tuhan janjikan akan mengirim yg sempurna ( I Kor. 13:10 To Teleion) mengacu kepada Alkitab yg sempurna (tidak boleh ditambah dan tidak boleh
dikurang).
Tanggapan Esra Soru :
Anda sama sekali tidak
menjawab apa yang dipersoalkan. Bagaimana bisa Rasul2 menjadi standard
kebenaran pada suatu saat jika mereka sendiri bisa salah? Dapatkan sekelompok
orang yang bisa salah menjadi standard kebenaran walaupun untuk suatu saat yang
terbatas?
11. Mat 11:13-14 - “(13) Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga
tampilnya Yohanes (14) dan - jika kamu mau menerimanya - ialah Elia yang akan
datang itu.”. Ini ditafsirkan, jika kamu mau menerima, ia adalah Elia, jika tidak mau
terima ia adalah Yohanes Pembaptis!
Tanggapan
Budi Asali:
Ini
ajaran sinting, dan merupakan penafsiran ‘liar’, yang tidak membutuhkan
tanggapan.
Tanggapan Dji:
Mat. 11:13-14 adalah PERKATAAN LANGSUNG DARI TUHAN YESUS sendiri.
Dr. Suhento Liauw hanya mengutipnya saja dari Alkitab. Silahkan para pembaca membuka Alkitab sendiri dan baca sendiri Matius
11: 2-14 (tidak perlu repot-repot menafsir). Bagaimana mungkin orang
seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div bisa berkata: “Ini ajaran sinting, dan merupakan
penafsiran ‘liar’? Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div menghina perkataan
Tuhan Yesus sendiri. Dr. Suhento Liauw tidak akan terganggu dengan penghinaan
yg lucu ini, hehehehe.....
Tanggapan Esra Soru :
Wah,
anda ternuyata lebih bodoh dari yang saya duga. Pak Budi Asali tidak sementara
mempersoalkan benarnya kata2 Yesus itu tetapi mempersoalkan penafsiran Suhento
Liauw terhadap ayat itu. Karena itu yang harus dibentrokan adalah penafsiran
Suhento Liauw dengan kata2 Pak Budi dan bukan kata2 Pak Budi dengan kata2
Yesus. Anda paham ini nak? Kelihatannya melihat cara dan kemampuan anda
menanggapi suatu persoalan, sangat memprihatinkan kualitas anda sebagai seorang
mahasiswa Teologia. Jika benar demikian tafsiran Suhento Liauw tentang ayat
tsb, menurut saya itu memang tafsiran yang sangat bodoh bahkan untuk ukuran
seorang pemula dalam studi Alkitab.
12.
Karena mau gerejanya steril, Suhento Liauw selalu khotbah sendiri.
Tanggapan
Budi Asali:
Lucu
sekali. Kalau dia yang khotbah pasti steril? Jadi ajarannya Suhento Liauw itu
inerrant / infallible? Dan bagaimana kalau dia mati? Anaknya sendiri steril
atau tidak? Apa mungkin dua orang punya theologia yang persis sama?
Tanggapan Dji:
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div
yang saya kasihi dalam Tuhan Yesus. Bagaimana
mungkin menyuruh orang lain yg tidak mengerti Alkitab (Kebenaran) untuk
berkhotbah di mimbar Tuhan? Cara satu-satunya menjaganya steril adalah
menyuruh orang-orang yg sepaham (satu doktrin) untuk berkhotbah di mimbar
Tuhan, atau memang harus khotbah sendiri. Tidak ada masalah dengan pernyataan
Dr. Suhento Liauw.
Tanggapan Esra Soru :
Lagi2
anda tidak bisa melihat apa yang menjadi inti persoalan. Pak Budi tidak
mempersoalkan orang2 yang tidak sepaham untuk berkhotbah. Yang dipersoalkan
adalah Suhento Liauw menganggap bahwa kalau dia yang khotbah pasti steril. Anda
bisa paham atau tidak?
13. Kata ‘Katolik’ dalam 12
Pengakuan Iman Rasuli (Indonesia diterjemahkan ‘AM’), disamakan dengan gereja
Katolik!
Tanggapan Budi Asali:
Kata yang sama belum tentu artinya sama, dan kalau artinya sama
belum tentu menunjuk pada hal yang sama.
Kata ‘Katolik’ memang artinya ‘am’ atau ‘universal’. Jadi kata-kata
dalam 12 Pengakuan Iman Rasuli versi bahasa Inggris, ‘the Holy Catholic Church’
(Gereja Katolik yang kudus / Gereja yang kudus dan am), tidak salah. Ini
menunjuk pada Gereja yang tak kelihatan, atau gereja universal, yaitu semua
orang percaya di seluruh dunia dan sepanjang jaman.
Encyclopedia Britannica 2010 dengan entry ‘Catholic’: “(from Greek
katholikos, ‘universal’), the characteristic that, according to ecclesiastical
writers since the 2nd century, distinguished the Christian Church at large from
local communities or from heretical and schismatic sects. A notable exposition
of the term as it had developed during the first three centuries of
Christianity was given by St. Cyril of Jerusalem in his Catecheses (348):the church is called catholic
on the ground of its worldwide extension, its doctrinal completeness, its
adaptation to the needs of men of every kind, and its moral and spiritual
perfection. The theory that what has been universally taught or practiced
is true was first fully developed by St.Augustine in his controversy with the Donatists
(a North African heretical Christian sect) concerning the nature of the church
and its ministry. It received classic expression in a paragraph by St. Vincent of Lérins in hisCommonitoria (434), from which is derived the
formula: ‘What all men have at all times and everywhere believed must be
regarded as true.’ St. Vincent maintained that the true faith was that which
the church professed throughout the world in agreement with antiquity and the
consensus of distinguished theological opinion in former generations. Thus, the term catholic tended to
acquire the sense of orthodox. Some
confusion in the use of the term has been inevitable, because various groups
that have been condemned by the Roman Catholic Church as heretical or
schismatic never retreated from their own claim to catholicity. Not only the Roman Catholic Church
but also the Eastern Orthodox Church, the Anglican Church, and a variety of
national and other churches claim to be members of the holy catholic church, as
do most of the major Protestant churches”.
Tetapi istilah ‘Katolik’ juga digunakan oleh Gereja Roma Katolik, mungkin
karena mereka menganggap mereka adalah satu-satunya gereja universal. Itu
sebetulnya merupakan suatu penggunaan yang kontradiksi, karena ‘Roma’ merupakan
sebutan yang bersifat lokal, sedangkan ‘Katolik’ sebutan yang bersifat
universal.
Bahwa mereka menggunakan kata itu secara salah, itu urusan mereka.
Tetapi kalau Suhento Liauw melarang / menyalahkan orang Kristen menggunakan
kata itu, merupakan suatu kebodohan! Mengapa? Karena gereja-gereja yang dikecam
oleh Gereja Roma Katolik sebagai gereja sesat, termasuk gereja Protestan, juga
mengclaim istilah itu bagi
gereja mereka, karena mereka menganggap gereja merekalah yang benar.
Tanggapan Dji:
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div
sendiri mengakui dan setuju atau menyatakan “tidak salah”. “Jadi kata-kata dalam 12 Pengakuan Iman
Rasuli versi bahasa Inggris, ‘the Holy Catholic Church’ (Gereja Katolik yang
kudus / Gereja yang kudus dan am), tidak salah. Ini menunjuk pada Gereja yang tak kelihatan, atau gereja universal,
yaitu semua orang percaya di seluruh
dunia dan sepanjang jaman.” (padahal yg benar adalah yang kelihatan,
jemaat = orang percaya Yesus JELAS KELIHATAN). Kalau orang percaya itu
adalah hantu maka ia tak kelihatan.
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di
atas menggunakan kata “tetapi KALAU Suhento
Liauw melarang.......” “Kalau ini, kalau
itu dan kalau-kalau” nanti jadinya Pak! Janganlah membuat asumsi “Kalau
........”
Tanggapan Esra Soru :
- Anda menulis :
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div
sendiri mengakui dan setuju atau menyatakan “tidak salah”. “Jadi kata-kata dalam 12 Pengakuan Iman
Rasuli versi bahasa Inggris, ‘the Holy Catholic Church’ (Gereja Katolik yang
kudus / Gereja yang kudus dan am), tidak salah. Ini menunjuk pada Gereja yang tak kelihatan, atau gereja universal,
yaitu semua orang percaya di seluruh
dunia dan sepanjang jaman.” (padahal yg benar adalah yang kelihatan,
jemaat = orang percaya Yesus JELAS KELIHATAN). Kalau orang percaya itu
adalah hantu maka ia tak kelihatan.
Hehe…anda
benar2 bodoh tidak ketulungan. Silakan belajar kembali doktrin Eklesiologi
untuk tahu apa artinya gereja yang tidak kelihatan. Ataukah itu tidak pernah
diajarkan di sekolah teologia anda?
- Anda menulis :
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div di
atas menggunakan kata “tetapi KALAU Suhento
Liauw melarang.......” “Kalau ini, kalau
itu dan kalau-kalau” nanti jadinya Pak! Janganlah membuat asumsi “Kalau
........”
Kalau
disini tidak berarti Suhento Liauw tidak mengajarkan itu. Anda perlu belajar
lagi bahasa Indonesia dengan baik.
14. Serang predestinasi dan katakan neraka
bukan dicipta untuk manusia tetapi untuk setan. Mat 25:41 - “Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah
kiriNya: Enyahlah dari hadapanKu, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke
dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan
malaikat-malaikatnya.”.
Tanggapan
Budi Asali:
Jawaban
tentang kebodohan ini tidak saya berikan di sini karena ini berhubungan dengan
debat tanggal 24 Agustus 2012 antara Esra + saya vs Steven Liauw + partnernya.
Saya tak mau tunjukkan ‘senjata’ saya sebelum debat tanggal 24 Agustus itu
terlaksana.
Tanggapan Dji: ini
juga tidak perlu saya tanggapi, kecuali saya hanya bisa katakan: lihat saja model bahasa ini (menunjukkan siapa
jati diri Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sesungguhnya).
Tanggapan Esra Soru :
Yesus
juga mengatakan pada para ahli taurat sebagai bodoh. Bahkan lebih keras dari
yang dikatakan Pak Budi Asali :
Matius 23:17 : Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih
penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu?
Allah
sendiri berkata tentang umatNya :
Yer
5:21 : "Dengarkanlah ini, hai bangsa
yang tolol dan yang tidak mempunyai pikiran, yang mempunyai mata,
tetapi tidak melihat, yang mempunyai telinga, tetapi tidak mendengar!
Mau
mengatakan komentar yang sama pada Yesus dan Allah? Mau mengatakan : “lihat saja model bahasa ini
(menunjukkan siapa jati diri Yesus dan Allah sesungguhnya). Berani?
15. Dalam kebaktian tak boleh ada pemberkatan
pada akhir kebaktian. Pemberkatan ada pada jaman keimaman Harun, jaman sekarang
semua orang Kristen adalah imam, jadi tak boleh ada satu memberkati yang lain.
Pemberkatan nikah itu salah, seharusnya peneguhan nikah.
Tanggapan
Budi Asali:
Ajaran
ini betul-betul gila, dan tak sulit untuk membantahnya / menghancurkannya.
a)
Dalam jaman Perjanjian Lama, yang memberkati adalah imam besar,
tetapi berkat itu sebetulnya jelas bukan datang dari imam besar itu sendiri,
tetapi dari Tuhan. Jadi, imam besar itu hanyalah alat Tuhan.
Bil 6:22-27
- “(22) TUHAN berfirman kepada Musa: (23) ‘Berbicaralah kepada Harun dan
anak-anaknya: Beginilah harus kamu memberkati orang Israel, katakanlah kepada
mereka: (24) TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; (25) TUHAN
menyinari engkau dengan wajahNya dan memberi engkau kasih karunia; (26) TUHAN
menghadapkan wajahNya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. (27)
Demikianlah harus mereka meletakkan namaKu atas orang Israel, maka Aku akan
memberkati mereka.’”.
Lalu
mengapa dalam Perjanjian Baru, pendeta tak boleh jadi alat Tuhan untuk
memberikan berkat dalam kebaktian?
Tanggapan Dji:
Tidak
ada orang (termasuk Dr. Suhento Liauw) yg mengatakan berkat itu dari manusia,
jelas berkat itu dari Tuhan baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam
Perjanjian Baru.
Bedanya dalam zaman Perjanjian
Lama memang semuanya masih bersifat simbol,
sehingga ada acara memberkati anak, dll. Sedangkan dalam Perjanjian Baru semua
orang percaya adalah sama di mata Tuhan, bahkan setiap orang adalah imam yg rajani. I Pet. 2:9 “Tetapi kamulah (setiap orang percaya) bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu
memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu
keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib:” Jadi, setiap orang percaya sekarang sudah bisa
berdoa langsung kepada Tuhan Yesus atau minta berkat sendiri dari Tuhan,
tidak seperti dalam zaman Perjanjian Lama yg memerlukan seorang imam. Justru atas dasar apa seorang seperti
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div merasa
layak minta berkat bagi orang lain?...... camkan ini Pak!.......
Tanggapan Esra Soru :
Paulus
berulangkali memberikan berkat kepada jemaat2.
Rom
15:33 - Allah, sumber damai sejahtera, menyertai kamu sekalian! Amin.
Rom 16:20 - Semoga Allah, sumber damai sejahtera, segera akan
menghancurkan Iblis di bawah kakimu. Kasih karunia Yesus, Tuhan kita, menyertai
kamu!
1 Kor 1:3 - Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan
dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.
1 Kor 16:23 - Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu.
2 Kor 1:2 - Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan
dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.
2 Kor
13:13 - Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh
Kudus menyertai kamu sekalian.
Galatia 1:3 - kasih
karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari
Tuhan Yesus Kristus,
Efesus
1:2 - Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan dari
Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.
Filipi
1:2 - Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari
Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.
Dan masih banyak lagi.
Jadi semua pemberian berkat ini salah?
Ingat, ini di zaman PB. Anda bertanya : “atas dasar apa seorang seperti Bapak Pdt.
Budi Asali, M. Div merasa layak minta
berkat bagi orang lain?” Jawabannya adalah atas dasar ayat2 yang banyak itu
yang menunjukkan bahwa Paulus pun mengucapkan berkat bagi jemaat2. Justru
sekarang saya balik bertanya, jika rasul Paulus sendiri mengucapkan berkat
kepada orang2 percaya, atas dasar apa Suhento Liauw dan murid2nya melarang hal
itu dan menganggap hal itu sebagai kesalahan?
b)
Kalau karena dalam jaman Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah imam, dan
karena itu tak boleh orang Kristen yang satu memberkati orang Kristen yang
lain, maka ingat bahwa dalam jaman Perjanjian Lama imam punya tugas mengajar
Firman Tuhan.
Mal
2:1-7 - “(1) Maka sekarang, kepada kamulah tertuju perintah ini, hai
para imam! (2) Jika kamu tidak mendengarkan, dan jika kamu tidak memberi
perhatian untuk menghormati namaKu, firman TUHAN semesta alam, maka Aku akan
mengirimkan kutuk ke antaramu dan akan membuat berkat-berkatmu menjadi kutuk,
dan Aku telah membuatnya menjadi kutuk, sebab kamu ini tidak memperhatikan. (3)
Sesungguhnya, Aku akan mematahkan lenganmu dan akan melemparkan kotoran ke
mukamu, yakni kotoran korban dari hari-hari rayamu, dan orang akan menyeret
kamu ke kotoran itu. (4) Maka kamu akan sadar, bahwa Kukirimkan perintah ini
kepadamu, supaya perjanjianKu dengan Lewi tetap dipegang, firman TUHAN semesta
alam. (5) PerjanjianKu dengan dia pada satu pihak ialah kehidupan dan sejahtera
dan itu Kuberikan kepadanya - pada pihak lain ketakutan - dan ia takut kepadaKu
dan gentar terhadap namaKu. (6) Pengajaran yang benar ada dalam
mulutnya dan kecurangan tidak terdapat pada bibirnya. Dalam damai sejahtera dan
kejujuran ia mengikuti Aku dan banyak orang dibuatnya berbalik dari pada
kesalahan. (7) Sebab bibir seorang imam memelihara pengetahuan dan
orang mencari pengajaran dari mulutnya, sebab dialah utusan TUHAN semesta
alam”.
Kalau
karena dalam jaman Perjanjian Baru semua orang Kristen adalah imam, dan karena
itu tak boleh orang Kristen yang satu memberkati orang Kristen yang lain, maka
konsekwensinya adalah: orang Kristen yang satu juga tak boleh mengajar Firman
Tuhan kepada orang Kristen yang lain! Semua orang Kristen harus menjadi
pengajar Firman Tuhan, dan lalu siapa pendengarnya?
Tanggapan Dji:
MEMBERKATI
ORANG LAIN
dan MENGAJAR FIRMAN TUHAN adalah dua pekerjaan yg berbeda. Jangan
disamakan!. Dalam PL memang tugas imam untuk memberkati dan mengajar Firman
Tuhan, tetapi dalam PB tidak boleh ada orang Kristen yg berhak memberkati orang
lain, yang ada adalah mengajarkan
Firman Tuhan, seperti yang kita lakukan saat ini [atau adanya jabatan yg alkitabiah dalam gereja yaitu: 1. Gembala/Penatua/Penilik
jemaat, 2. Guru Injil (mengajar ke dalam), 3. Penginjil (mengajar/menginjil
keluar, 4. Diaken (pembantu gembala)]
Konsekwensi yang Bapak Pdt. Budi
Asali, M. Div taruh di atas adalah suatu asumsi
yg berlebihan dan “mengada-ngada”,
apakah faktanya semua orang Kristen
menjadi pengajar Firman hari ini? Atau apakah memang sudah tidak ada yg
jadi pendengar Firman hari ini?.
Bukankah ini adalah asumsi (konsekwensi) yang sangat berlebihan?.......Mari, lebih berhikmat lagi Pak!.....
Tanggapan Esra Soru :
1.
Anda menulis :
MEMBERKATI
ORANG LAIN
dan MENGAJAR FIRMAN TUHAN adalah dua pekerjaan yg berbeda. Jangan
disamakan!. Dalam PL memang tugas imam untuk memberkati dan mengajar Firman
Tuhan, tetapi dalam PB tidak boleh ada orang Kristen yg berhak memberkati orang
lain, yang ada adalah mengajarkan
Firman Tuhan, seperti yang kita lakukan saat ini [atau adanya jabatan yg alkitabiah dalam gereja yaitu: 1. Gembala/Penatua/Penilik
jemaat, 2. Guru Injil (mengajar ke dalam), 3. Penginjil (mengajar/menginjil
keluar, 4. Diaken (pembantu gembala)]
Apa dasarnya bahwa di
dalam PB tidak boleh ada orang kristen yang berhak memberkati? Jika dasarnya
hanya karena di dalam PL imam melakukan itu, maka hal yang sama harus
diberlakukan pada urusan mengajar Firman Tuhan. Kalau dikatakan bahwa dalam PB
semua orang Kristen adalah imam, dan karenanya tidak boleh ada orang yang
memberkati orang lain, lalu bagaimana dengan yang dilakukan Paulus sebagaimana
yang sudah saya tunjukkan lewat ayat2 di atas?
2.
Anda menulis :
Konsekwensi yang Bapak Pdt. Budi
Asali, M. Div taruh di atas adalah suatu asumsi
yg berlebihan dan “mengada-ngada”,
apakah faktanya semua orang Kristen
menjadi pengajar Firman hari ini? Atau apakah memang sudah tidak ada yg
jadi pendengar Firman hari ini?.
Bukankah ini adalah asumsi (konsekwensi) yang sangat berlebihan?.......Mari, lebih berhikmat lagi Pak!.....
Itu bukan asumsi Pak
Budi Asali hai orang bodoh? Itu konsekuensi logis dari apa yang ia katakan
seandainya argumentasinya benar.
c)
Bandingkan juga dengan ayat-ayat ini:
§ Ro 12:14
- “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan
jangan mengutuk!”.
§ 1Kor
4:12 - “kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki,kami
memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar;”.
§ Ibr
7:7 - “Memang tidak dapat disangkal, bahwa yang lebih rendah
diberkati oleh yang lebih tinggi”.
Tanggapan Dji:
Ibrani 7:7 disimpan dulu,
bahasnya di bawah nanti.
Kita lihat 2 ayat ini dulu:
Roma 12:14 – “Berkatila ....”
(KJV = BLESS)
I Kor. 4:12 “...kami
memberkati.....” (KJV = we BLESS).
“BLESS” dalam kamus bahasa
Inggris –Indonesia artinya: 1. Memberkahi, merestui. 2. Mendoakan. –blessed ks.
1. Menyenangkan.
Jadi, ayat-ayat ini jangan dijadikan alasan untuk
berkat-memberkati, tetapi lebih cocok diartikan:
Roma 12:14 “Berdoalah (kpd) siapa yg menganiaya kamu, berdoalah
dan jangan mengutuk!” ini cocok dengan perintah Tuhan Yesus: Mat. 5:44 “Tetapi
Aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu dan BERDOALAH bagi mereka yang menganiaya kamu.” (saya akui bahwa saya
mendoakan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini supaya benar-benar dipakai Tuhan
untuk memberitakan Injil-Nya).
Kini kita lihat Ibrani 7:7 “Memang tidak dapat disangkal, bahwa yang
lebih rendah diberkati oleh yang lebih tinggi.”
Coba pembaca sekarang juga, buka Alkitab masing-masing:
konteks di ibrani 7:7 ini berbicara siapa yg
lebih tinggi itu? siapa yg boleh memberkati itu?
jawabannya: Dia adalah Melkisedek.
Siapakah Melkisedek itu?:
Kej.14:18 Melkisedek adalah Raja
Salem
Ibrani 7:2 Melkisedek adalah Raja
Salem, Raja Damai Sejahtera = Yesus
Kristus adalah Raja Damai Sejahtera.
Ibrani 7: 3 “Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak
berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan
Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya”.
Ibrani 6:20 “Di mana Yesus telah
masuk sebagai Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam Besar sampai
selama-lamanya.” Siapakah Melkisedek sehingga Yesus Kristus menurut peraturan-Nya? Melkisedek adalah Yesus Kristus sebelum
datang dalam bentuk daging dan darah (sebelum menjadi manusia Yesus) = yang
disebut Theophany / Christophany.
Jadi, bagaimana mungkin seorang
Kristen (seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini) bisa menggunakan ayat Ibrani 7:7 ini sebagai ayat argumentasinya untuk
memberkati orang lain?......
Tanggapan Esra Soru :
1.
Anda menulis :
Roma 12:14 – “Berkatila ....”
(KJV = BLESS)
I Kor. 4:12 “...kami
memberkati.....” (KJV = we BLESS).
“BLESS” dalam kamus bahasa Inggris
–Indonesia artinya: 1. Memberkahi, merestui. 2. Mendoakan. –blessed ks. 1.
Menyenangkan.
Jadi, ayat-ayat ini jangan dijadikan alasan untuk
berkat-memberkati, tetapi lebih cocok diartikan:
Roma 12:14 “Berdoalah (kpd) siapa yg menganiaya kamu, berdoalah
dan jangan mengutuk!” ini cocok dengan perintah Tuhan Yesus: Mat. 5:44 “Tetapi
Aku berkata kepadamu: kasihilah musuhmu dan BERDOALAH bagi mereka yang menganiaya kamu.” (saya akui bahwa saya
mendoakan Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini supaya benar-benar dipakai Tuhan
untuk memberitakan Injil-Nya).
Anda mulai ngawur lagi.
Anda mengutip kamus bahasa Indonesia yang jelas tetap memberikan arti kata
“memberkahi”. Lalu mengapa membuang arti itu dari teks itu dan lalu
menggantinya dengan berdoa? Ayat itu jelas diterjemahkan “berkati”, sesuai
dengan kata bahasa Yunani “EULOGEO”, lalu mengapa anda mengubahnya menjadi
“beroalah”? Saya melihat ada kecenderungan di anatar kalian untuk membelokkan
ayat seenaknya sendiri demi kepentingan kalian. Inikah yang namanya Kristen
Fundamentalis?
2.
Anda menulis :
Kini kita lihat Ibrani 7:7 “Memang tidak dapat disangkal, bahwa yang
lebih rendah diberkati oleh yang lebih tinggi.”
Coba pembaca sekarang juga, buka Alkitab masing-masing:
konteks di ibrani 7:7 ini berbicara siapa yg
lebih tinggi itu? siapa yg boleh memberkati itu?
jawabannya: Dia adalah Melkisedek.
Siapakah Melkisedek itu?:
Kej.14:18 Melkisedek adalah Raja
Salem
Ibrani 7:2 Melkisedek adalah Raja
Salem, Raja Damai Sejahtera = Yesus
Kristus adalah Raja Damai Sejahtera.
Ibrani 7: 3 “Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak
berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan
Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya”.
Ibrani 6:20 “Di mana Yesus telah
masuk sebagai Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam Besar sampai
selama-lamanya.”
Siapakah Melkisedek sehingga Yesus Kristus menurut peraturan-Nya? Melkisedek adalah Yesus Kristus sebelum
datang dalam bentuk daging dan darah (sebelum menjadi manusia Yesus) = yang
disebut Theophany / Christophany.
Jadi, bagaimana mungkin seorang
Kristen (seperti Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini) bisa menggunakan ayat Ibrani 7:7 ini sebagai ayat argumentasinya untuk
memberkati orang lain?......
Melkisedek adalah Yesus
Kristus sebelum inkarnasi? Mari kita lihat ayat yang anda kutip.
Ibr 7:3 : “Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak
berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan
Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya.
Perhatikan bahwa di dalam ayat ini dikatakan bahwa Ia dijadikan sama
dengan Anak Allah. Kalau dia dijadikan sama dengan Anak Allah, apakah itu
berarti dia adalah pribadi yang sama dengan Anak Allah (Yesus)?
Juga anda berkata : Melkisedek
adalah Yesus Kristus sebelum datang dalam bentuk daging dan darah (sebelum
menjadi manusia Yesus). Kalau begitu perlu ditanyakan, dengan tubuh macam
apakah Melkisedek menemui Abraham?
Perhatikan juga ayat tersebut dalam terjemahan lain :
BIS : Mengenai Melkisedek ini tidak ada
keterangan di mana pun bahwa ia mempunyai bapak atau ibu atau nenek
moyang; tidak ada juga keterangan tentang kelahirannya, ataupun
kematiannya. Ia sama seperti Anak Allah; ia adalah imam yang abadi.
TEV : There is no record of
Melchizedek's father or mother or of any of his ancestors; no
record of his birth or of his death. He is like the Son of God; he
remains a priest forever. (Tidak
ada laporan tentang ayah atau ibu Melkisedek atau nenek moyangnya; tidak ada
laporan tentang kelahirannya atau kematiannya…”)
CEV : We are not told that
he had a father or mother or ancestors or beginning or end. He is like the Son
of God and will be a priest forever. (Tidak dinyatakan bahwa ia mempunyai ayah atau ibu atau silsilah atau awal
atau akhir…”)
GW : No one knows anything about
Melchizedek's father, mother, or ancestors. No one knows when he
was born or when he died. Like the Son of God, Melchizedek continues to be a
priest forever. (Tidak ada
seorangpun yang tahu hal-hal tentang ayah, ibu dan silsilah Melkisedek. Tidak
ada orang yang tahu kapan ia lahir dan kapan ia mati….”)
Dari sini jelas bahwa Melkisedek bukannya tidak mempunyai ayah, ibu,
silsilah, dll. Jelas dia punyai semuanya itu tapi tidak ada informasi
sama sekali tentang dia. Siapa ayahnya, ibunya, nenek moyangnya, kapan dia
lahir dan mati, kapan dia menjadi imam, kapan ia berhenti menjadi imam, tidak
ada yang tahu. Dia muncul sebagai tokoh misterius begitu saja.
Kalau begitu dia memang benar2 adalah tokoh
yang hadir dalam sejarah. Lalu bagaimana ia dianggap sebagai Yesus sendiri
sebelum inkarnasi ?
Kalau begitu siapakah Melkisedek ? Dalam Alkitab kita mengenal apa yang disebut
sebagai tipologi yaitu gambaran tentang sesuatu yang akan datang di mana
gambarannya disebut TYPE dan penggenapannya disebut ANTI TYPE. Tipe ini di dalam Alkitab bermacam-macam :
·
Ada tipologi orang (misalnya
Adam adalah gambaran Kristus).
·
Ada tipologi upacara (misalnya
ritual korban dalam PL adalah gambaran Kristus yang akan datang).
·
Ada tipologi peristiwa
(misalnya peristiwa Musa meninggikan ular tembaga adalah gambaran dari Kristus
yang akan ditinggikan).
Tipe ini sampai pada taraf tertentu mempunyai kemiripan dengan anti
tipenya tetapi ada perbedaannya. Misalnya, sesuai contoh di atas :
· Adam mempunyai kemiripan
dengan Yesus (Adam terakhir) yakni sama-sama adalah awal dari sebuah generasi
(Adam manusia lama, Yesus manusia baru) tetapi ada perbedaan yakni Adam berdosa
dan Kristus tidak.
· Domba korban mempunyai
kemiripan dengan Kristus yakni darahnya dicurahkan, tidak bercacat cela tetapi
darah domba mempunyai keterbatasan dalam penebusan.
· Ular tembaga mempunyai
kemiripan dengan Kristus di mana ular tembaga dapat menyembuhkan dan Kristus
dapat menyelamatkan tapi ular tembaga hanya memberikan kesembuhan secara fisik
sedangkan Kristus memberikan keselamatan kekal.
Dengan demikian, menurut saya Melkisedek ini adalah tipe/gambaran
dari Kristus. Sesuai dengan konteksnya maka penulis surat Ibrani sementara
berbicara tentang keimaman Kristus dan karenanya dia melihat keimaman
Melkisedek yang tak berakhir itu dilihat sebagai gambaran keimaman Kristus yang
bersifat kekal.
Ibr 6:20 - di mana Yesus telah masuk sebagai
Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam
Besar sampai selama-lamanya.
Ibr 7:17 - Sebab tentang Dia diberi kesaksian:
"Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan
Melkisedek."
Penulis surat Ibrani menggunakan gambaran
Melkisedek ini untuk membuktikan keimaman Kristus sebagai sesuatu yang sah
walau Ia tidak berasal dari suku Lewi melainkan dari suku Yehuda karena kalau
Melkisedek yang tidak jelas silsilahnya saja bisa menjadi imam, mengapa Yesus
tidak bisa menjadi imam hanya karena Ia tidak berasal dari suku Lewi ?
Jadi kesimpulannya adalah Melkisedek adalah manusia biasa seperti kita hanya
tidak ada informasi tentang dirinya. Dia dilihat sebagai gambaran dari Kristus
bukan adalah pribadi Kristus sendiri.
16. Nama Allah yang benar bukan YAHWEH tetapi
YEHOVAH. Alasan: karena dalam manuscript tertua yang gunakan huruf hidup (MT)
namanya disebutkan YEHOVAH.
Tanggapan
Budi Asali:
Ini
lucu karena MT bukan manuscript! Dalam manuscript tak ada huruf hidup!Memang
YAHWEHpun belum tentu benar, tetapi YEHOVAH pasti salah, karena huruf
hidupnya dipinjam dari ADONAY (dan
mungkin juga dari ELOHIM).
Saya
akan memberi kutipan dari buiku saya sendiri tentang Yahweh-isme, yang berbunyi
sebagai berikut:
Bagaimana dengan pengucapan ‘Jehovah’ /
‘Yehovah’?
Di atas sudah saya jelaskan bahwa setiap kali bertemu
dengan nama YHWH, mereka membacanya ADONAY (= Tuhan). Lalu pada suatu saat, ada
orang-orang yang memasukkan bunyi huruf-huruf hidup dari kata ADONAY, yaitu A -
O - A ke sela-sela dari YHWH itu, sehingga didapatkan YAHOWAH, dan seorang dosen
saya mengatakan bahwa dalam aksen Jerman (entah dari mana kok tahu-tahu ada
aksen Jerman), ini lalu berubah menjadi YEHOWAH atau YEHOVAH. Pulpit Commentary
dalam tafsirannya tentang Im 24:11 mengatakan bahwa perubahan YAHOWAH menjadi
YEHOWAH itu disebabkan karena: “the laws of the Hebrew language
required the first a to be changed into e, and hence the name Jehovah” (=
hukum-hukum dari bahasa Ibrani mengharuskan huruf a yang pertama untuk diubah
menjadi huruf e, dan karena itu menjadi Jehovah) - hal 383.
Catatan: perlu
diketahui bahwa dalam bahasa Ibrani, huruf V dan W adalah sama.
The New Bible Dictionary (dengan topik ‘God, names
of’): “YHWH was considered too sacred to
pronounce; so ADONAY (my Lord) was substituted in reading, and the vowels of
this word were combined with the consonants YHWH to give ‘Jehovah’, a form
first attested at the beginning of the 12th century AD” [=
YHWH dianggap terlalu keramat untuk diucapkan; maka ADONAY (Tuhanku) dijadikan
pengganti dalam pembacaan, dan huruf-huruf hidup dari kata ini dikombinasikan
dengan huruf-huruf mati YHWH untuk memberikan ‘Jehovah’, suatu bentuk yang
pertama-tama ditegaskan pada permulaan abad ke 12 M.] - hal 478.
Nelson’s Bible Dictionary (dengan topik ‘God, Names
of’): “The divine name Yahweh is usually
translated Lord in English versions of the Bible, because it became a practice
in late Old Testament Judaism not to pronounce the sacred name YHWH, but to say
instead ‘my Lord’ (Adonai) - a practice still used today in the synagogue. When
the vowels of Adonai were attached to the consonants YHWH in the medieval
period, the word Jehovah resulted” [= Nama ilahi ‘Yahweh’ biasanya
diterjemahkan ‘Lord’ (= Tuhan) dalam versi-versi Alkitab
bahasa Inggris, karena menjadi suatu praktek dalam Yudaisme Perjanjian Lama
belakangan, untuk tidak mengucapkan nama keramat / kudus YHWH, tetapi
mengatakan ‘Tuhanku’ (ADONAY) sebagai gantinya - suatu praktek yang masih
digunakan jaman ini dalam sinagog. Pada waktu huruf-huruf hidup dari ADONAY
diberikan pada huruf-huruf mati YHWH pada jaman abad pertengahan, kata Yehovah
dihasilkan].
a D o N a Y
¯ ¯ ¯
Y H W H ®YaHoWaH ®YeHoWaH
/ YeHoVaH
Encyclopedia Britannica memberikan penjelasan yang
agak berbeda. Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa bunyi huruf-huruf hidup
yang dimasukkan di sela-sela YHWH itu diambil bukan hanya dari kata ADONAY (=
Tuhan), tetapi juga dari kata ELOHIM (= Allah). Dari kata yang pertama
didapatkan A - O - A dan dari kata yang kedua didapatkan E - O - I.
Penggabungannya dimasukkan ke sela-sela YHWH. Untuk bunyi huruf hidup pertama,
yang diambil adalah E, untuk yang kedua diambil O, dan untuk yang ketiga
diambil A. Jadi, muncul YEHOWAH / YEHOVAH.
Encyclopedia Britannica 2007: “The Masoretes, who from about the 6th to
the 10th century worked to reproduce the original text of the
Hebrew Bible, replaced the vowels of the name YHWH with the vowel signs of the
Hebrew words Adonai or Elohim. Thus, the artificial name Jehovah (YeHoWaH) came
into being” [= Para ahli Taurat Yahudi, yang dari kira-kira abad ke 6
sampai abad ke 10 bekerja untuk mereproduksi text orisinil dari Alkitab Ibrani,
menggantikan huruf-huruf hidup dari nama YHWH dengan tanda-tanda huruf-huruf
hidup dari kata-kata Ibrani Adonai atau Elohim. Maka, nama buatan YEHOVAH
(YeHoWaH) tercipta].
a D o N a Y
¯ ¯ ¯
Y H W H ®YeHoWaH
/ YeHoVaH
e L o H i M
Louis Berkhof rupanya juga sependapat, karena ia
berkata: “And therefore in reading the Scriptures they substituted
for it either ’Adonai or ’Elohim; and the Masoretes, while leaving
the consonants intact, attached to them the vowels of one of these
names, usually those of ’Adonai” [= Dan karena itu dalam membaca
Kitab Suci mereka (orang-orang Yahudi) menggantikannya atau dengan ADONAY
atau ELOHIM; dan ahli-ahli Taurat Yahudi, sementara mereka membiarkan
huruf-huruf mati itu utuh, melekatkan kepada huruf-huruf mati itu huruf-huruf
hidup dari salah satu dari nama-nama ini, biasanya huruf-huruf hidup dari
ADONAY] - ‘Systematic Theology’, hal 49.
Dari penjelasan ini bisa dinyatakan bahwa penyebutan
YEHOVAH (atau dalam bahasa Inggris ‘Jehovah’), sebenarnya pasti
salah, karena bunyi huruf hidupnya diambil dari kata ADONAY, atau dari ADONAY
dan ELOHIM.
Tanggapan Dji :
Saya tidak mau terlalu
mengomentari ini, karena Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri menyatakan “belum tahu mana yg benar”, sambil
menyatakan penyebutan YEHOVAH “pasti
salah”. Padahal sudah dikasih tahu oleh Dr. Suhento Liauw tentang
penyebutan yg benar.
Izinkan saya tambahkan sedikit
penjelasan: Mat. 5:18 “Karena Aku (Tuhan Yesus) berkata kepadamu: Sesungguhnya
selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu
iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari Hukum Taurat, sebelum
semuanya terjadi.” Ini artinya Tuhan pasti sanggup memelihara NAMA-NYA yg KUDUS
dan keramat itu. Mana mungkin NAMA TUHAN bisa hilang beberapa huruf hidup dan tidak diketahui oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div dan Louis
Berkhof ?......
Saya lebih percaya kepada Alkitab
(kata-kata Tuhan Yesus) dari pada percaya kepada Louis Berkhof atau yg lainnya.
Tanggapan Esra Soru :
- Anda menulis :
Saya tidak mau
terlalu mengomentari ini, karena Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri
menyatakan “belum tahu mana yg benar”,
sambil menyatakan penyebutan YEHOVAH “pasti
salah”. Padahal sudah dikasih tahu oleh Dr. Suhento Liauw tentang
penyebutan yg benar.
Persoalannya
apakah yang dikasitahu Suhento Liauw
pasti benar? Lalu bagaimana dengan kata2 pak Budi yang menanggapi kata2 Suhento
Liauw : Ini
lucu karena MT bukan manuscript! Dalam manuscript tak ada huruf hidup!?
Pak Budi memangh tuidak memastikan bahwa penyebutan Yahweh yang benar tetapi
jelas penyebutan YEHOVAH adalah salah. Lalu kenapa tidak tanggapi? Hehe…
- Anda menulis :
Izinkan saya tambahkan sedikit
penjelasan: Mat. 5:18 “Karena Aku (Tuhan Yesus) berkata kepadamu: Sesungguhnya
selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu
iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari Hukum Taurat, sebelum
semuanya terjadi.” Ini artinya Tuhan pasti sanggup memelihara NAMA-NYA yg KUDUS
dan keramat itu. Mana mungkin NAMA TUHAN bisa hilang beberapa huruf hidup dan tidak diketahui oleh Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div dan Louis
Berkhof ?......
Saya lebih percaya kepada Alkitab
(kata-kata Tuhan Yesus) dari pada percaya kepada Louis Berkhof atau yg lainnya.
Lagi2
anda ngawur. Yang dipersoalkan sekarang bukan Hukum Tauratnya yang ditiadakan
tetapi soal penyebutan. Bukan nama YHWH itu yang dihilangkan tapi penyebutan
nama itu yang tidak diketahui. Sepertinya anda perlu belajar cara berlogika
yang baik untuk bisa melihat apa sebenarnya yang dipersoalkan oleh lawan
sehingga tidak lantas memberikan tanggapan tidak pada sasarannya.
17. Ia percaya semua bayi yang mati masuk
surga. Dasar Alkitab yang ia berikan adalah 1Raja 14:13 - “Seluruh Israel akan meratapi dia dan menguburkan dia, sebab hanya dialah
dari pada keluarga Yerobeam yang akan mendapat kubur, sebab di antara keluarga
Yerobeam hanya padanyalah terdapat sesuatu yang baik di mata TUHAN, Allah
Israel.”. Ia berkata anak
Yerobeam ini belum akil balik / dewasa dan karena itu Tuhan menemukan adanya
sesuatu yang baik dalam dirinya (ia belum punya dosa dari dirinya sendiri).
Tanggapan
Budi Asali:
Sangat
lucu, jadi dosa asal tak membuat Allah murka kepada seseorang. Kalau begitu
mengapa bayi bisa mati? Juga anak Yerobeam itu bukan bayi / anak kecil. Kata
Ibrani yang digunakan adalah NAAR, yang bisa berarti ‘boy’ (=
anak laki-laki) ataupun ‘youth’ (= pemuda). Karena itu anak
itu sudah pasti punya dosa dari dirinya sendiri. Kalau dikatakan Allah
mendapati sesuatu yang baik dalam dirinya maka itu pasti menunjukkan anak itu
sudah beriman, karena tanpa iman tidak mungkin seseorang bisa memperkenan
Tuhan.
Ibr
11:6a - “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada
Allah.”.
Mungkin
karena ia beriman maka ia tidak setuju dengan penyembahan berhala yang
dilakukan oleh ayahnya (Yerobeam), dan itulah hal yang baik yang ada pada anak
itu. Adanya hal yang baik ini pasti juga merupakan hasil pekerjaan Tuhan dan
kasih karuniaNya dalam diri anak itu, sehingga sekalipun ia dilahirkan dalam
keluarga yang brengsek, ia sendiri bisa beriman dan mempunyai kesalehan,
sehingga bisa memperkenan Tuhan.
Tanggapan Dji:
Semua dosa manusia (dosa seisi
dunia) telah ditanggung Tuhan Yesus ( I Yoh. 2:2 “Dan Ia adalah pendamaian untuk
segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia”),
tentu termasuk dosa bayi Yerobeam.
Manusia yang belum akil balik
(setelah dewasa) berdosa atas keputusannya sendiri (jadi harus bertobat dan
percaya kepada Yesus Kristus yg telah menanggung semua dosanya).
Jadi, saya melihat Bapak Pdt.
Budi Asali, M. Div hanya bisa berkata
(tentang bayi Yerobeam masuk Sorga): “Mungkin.....karena ia beriman maka ia tidak setuju dengan
penyembahan berhala yang dilakukan oleh ayahnya (Yerobeam)”. Sekali lagi
Theologi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div menggunakan asumsi dan asumsi Mungkin (May be.....May be.....) dan
ini pun jika bayi di situ “dipaksa” diterjemahkan sudah dewasa (boy = anak
laki-laki).
Tanggapan Esra Soru :
- Anda menulis :
Semua dosa manusia (dosa seisi
dunia) telah ditanggung Tuhan Yesus ( I Yoh. 2:2 “Dan Ia adalah pendamaian
untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia”),
tentu termasuk dosa bayi Yerobeam.
Kalau
begitu semua manusia harus selamat, karena semuanya sudah ditanggung dan tidak
ada 1 pun yg masuk neraka. Begitukah? Calvinisme mengartikan kata “dunia” di
dalam ayat ini tidak menunjuk pada semua manusia dalam pengertian yg sebenarnya
tetapi seluruh umat pilihan yang ada di seluruh dunia.
- Anda menulis :
Manusia yang belum akil balik
(setelah dewasa) berdosa atas keputusannya sendiri (jadi harus bertobat dan
percaya kepada Yesus Kristus yg telah menanggung semua dosanya).
Lalu
bagaimana dengan anak bayi Yerobeam? Jika benar dia masih bayi tentiu dia tidak
bisa bertobat dan percaya kepada Yesus.
- Anda menulis :
Jadi, saya melihat Bapak Pdt.
Budi Asali, M. Div hanya bisa berkata
(tentang bayi Yerobeam masuk Sorga): “Mungkin.....karena ia beriman maka ia tidak setuju dengan
penyembahan berhala yang dilakukan oleh ayahnya (Yerobeam)”. Sekali lagi
Theologi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div menggunakan asumsi dan asumsi Mungkin (May be.....May be.....) dan
ini pun jika bayi di situ “dipaksa” diterjemahkan sudah dewasa (boy = anak
laki-laki).
Anda
ngawur sekali. Kata “mungkin” menunjukkan bahwa apa yang dikatakan tidak
diketahui secara persis tetapi itu tidak berarti pasti salah. Dipaksa
bagaimana? Anda buta dan tidak melihat bahwa penjelasan sudah diberikan kalau
penafsiran demikian didasarkan pada kata bahasa Ibrani yang memang memiliki
multi makna?
18. Dalam pengajaran, Suhento Liauw ini sering
memfitnah orang:
a)
Ia menunjukkan foto di koran, ada 4 orang, themanya kira-kira penyatuan /
penyamaan Kristen dengan Katolik. Lalu berkata: yang ini James Ryadi (memang
benar), yang ini Stephen Tong (ngawur, itu pasti bukan Stephen Tong). Lalu di
koran itu ditulis nama Sekolah Tinggi Theologia Reformed Injili Indonesia.
Tanggapan
Budi Asali:
Ini
saya protes dalam acara tanya jawab dan saya jelaskan: yang satu memang James
Ryadi, yang satu lagi Yakub Susabda, tetapi tak ada Stephen Tong, itu FITNAH! Dia agak malu, lalu
bilang kalau fotonya kabur jadi mirip Stephen Tong. Padahal fotonya nggak mirip
sama sekali dengan Stephen Tong! Dan kalau memang tidak tahu, lebih baik jangan
omong tentang kejelekan orang lain, atau itu harus dianggap sebagai FITNAH!
Tanggapan Dji:
Saya
sekali lagi MENYATAKAN RAGU dan INI TIDAK BISA DIPERCAYA atas
koment Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini, karena lihat saja pernyataannya di
atas: “Themanya kira-kira........(maaf,
saya ulangi: “Themanya kira-kira....”
)
Mengenai foto di koran itu memang
buram (tidak jelas siapa) dan itu memang koran tentang STT Reformed Injili
Indonesia, dan kata Dr. Suhento Liauw (ketika saya konfirmasi langsung dengan
beliau) beliau berkata: justru yang sebut “Stephen Tong” itu adalah audiens seminar, bukan Dr. Suhento Liauw yg
menyebutnya.
Setahu saya: Dr. Suhento Liauw
bukanlah tipe orang yg demikian (suka fitnah), apalagi seminar-seminar tersebut
biasanya ada direkam, jauhlah kiranya beliau berbuat demikian.
(untuk Bapak Pdt. Budi Asali, M.
Div ketahui, bahwa: Kami semua mengasihi Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div, Bapak
James Ryadi, Bapak Stephen Tong yg luarbiasa tetap semangat, and we pray for them, we pray for all
Indonesian people)
Silahkan
pembaca yg menilai sendiri saja! Siapa
yg suka fitnah dan tanpa dasar Alkitab! Dan siapa yg mengasihi sesuai perintah
Tuhan!.
Tanggapan Esra Soru :
1. Anda menulis :
Saya
sekali lagi MENYATAKAN RAGU dan INI TIDAK BISA DIPERCAYA atas
koment Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div ini, karena lihat saja pernyataannya di
atas: “Themanya kira-kira........(maaf,
saya ulangi: “Themanya kira-kira....”
)
Anda
sekali lagi menunjukkan kengawuran di sini. Inti persoalan yang diangkat ini
tentang masalah foto yang dianggap sebagai foto Stepehen Tong bukan masalah
thema. Mau tema apapun tapi kalau benar itu dikatakan sebagai Stephen Tong, itu
fitnah namanya.
2. Anda menulis :
Mengenai foto di koran itu memang
buram (tidak jelas siapa) dan itu memang koran tentang STT Reformed Injili
Indonesia, dan kata Dr. Suhento Liauw (ketika saya konfirmasi langsung dengan
beliau) beliau berkata: justru yang sebut “Stephen Tong” itu adalah audiens seminar, bukan Dr. Suhento Liauw yg
menyebutnya.
Jikalau
benar bahwa audienslah yang menyebut Stephen Tong, lalu mengapa dia katakan
sebagaimana dikatakan Pak Budi bahwa “fotonya kabur jadi mirip Stephen Tong”.
Kalau benar dia tidak katakan itu maka sangat masuk akal dia akan menjawab bahwa
itu bukan saya yang katakan tapi audiens. Apakah justru tidak nampak kebohongan
Suhento Liauw di sini lagi?
Juga
seorang dari grup kalian sendiri yang namanya Dance Suat memberikan komentar di
dinding FB tentang masalah ini dan mengakui ini sebagai kekeliruan. Ini
kata2nya :
Dia
hadir di sana
pada saat seminar itu, lalu bagaimana dia bisa mengakui bahwa itu adalah
kekeliruan sedangkan Sehento Liauw mengatakan bahwa bukan dia yang mengatakan
hal itu? Semakin terlihat kebohongan Suhento Liauw dalam hal ini.
b)
Calvin / Calvinist ada jejak darah, dalam persoalan kematian Servetus. Lucu,
yang menghukum mati Servetus bukan Calvin, tetapi pengadilan! Orang gila ini
senang memfitnah!
Tanggapan
Budi Asali:
Ini
fitnahan yang lazim dalam kalangan Arminian! Entah mereka tidak tahu sejarahnya
atau pura-pura tidak tahu, itu bukan urusan saya. Tetapi siapapun mau bicara
tentang kejelakan orang, ia harus tahu bahwa apa yang ia bicarakan itu pasti
benar. Kalau tidak, itu merupakan FITNAH!
Perlu
diketahui beberapa hal dalam persoalan penghukuman mati terhadap Servetus
dengan dibakar pada jaman Calvin:
1. Servetus dihukum mati bukan karena dia anti Calvinisme, tetapi karena ia bukan
saja tak percaya pada doktrin Allah Tritunggal, tetapi lebih dari itu, ia
menghujatnya mati-matian dengan mengatakan hal itu sebagai ‘monster berkepala
tiga’ dsb sehingga menimbulkan kemarahan dari semua orang
Kristen dan bahkan Katolik di seluruh dunia.
2. Calvin memang yang melaporkan dia kepada pemerintah / polisi pada waktu ia
secara berani mati muncul di Geneva. Tetapi yang menangkap, mengadili,
menjatuhkan hukuman mati dengan dibakar, dan melaksanakan hukuman mati itu
adalah pemerintah / pengadilan.
3. Calvin justru memintakan keringanan supaya hukuman itu diubah dari dibakar
menjadi pemenggalan, tetapi permintaan Calvin ditolak oleh pengadilan.
Semua
cerita ini ada dalam buku sejarah dari Philip Schaff (orang ini ahli sejarah,
dan ia bukan Calvinist), dan itu bisa saya buktikan.
Philip Schaff: “if we consider Calvin’s course in the light of the
sixteenth century, we must come to the conclusion that he acted his part from a
strict sense of duty and in harmony with the public law and dominant sentiment
of his age, which justified the death penalty for heresy and blasphemy, and
abhorred toleration as involving indifference to truth Even Servetus admitted
the principle under which he suffered; for he said, that incorrigible obstinacy
and malice deserved death before God and men” - ‘History of the Christian Church’, vol
VIII, hal 690.
Philip Schaff: “Calvin never changed his views or regretted his
conduct towards Servetus. Nine years after his execution he justified it in
self-defence against the reproaches of Baudouin (1562), saying: ‘Servetus
suffered the penalty due to his heresies, but was it by my will? Certainly his
arrogance destroyed him not less than his impiety. And what crime was it of
mine if our Council, at my exhortation, indeed, but in conformity with the
opinion of several Churches, took vengeance on his execrable blasphemies? Let
Baudouin abuse me as long as he will, provided that, by the judgment of
Melanchthon, posterity owes me a debt of gratitude for having purged the Church
of so pernicious a monster.’” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 690-691.
Philip Schaff: “Let us remember also that it was not simply a case of
fundamental heresy, but of horrid blasphemy, with which he had to deal. If he
was mistaken, if he misunderstood the real opinions of Servetus, that was an
error of judgment, and an error which all the Catholics and Protestants of that
age shared” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 691.
Philip Schaff: “It is not surprising that this book gave great offence
to Catholics and Protestants alike, and appeared to them blasphemous. Servetus
calls the Trinitarians tritheists and atheists. He frivolously asked such
questions as whether God had a spiritual wife or was without sex. He calls the
three gods of the Trinitarians a deception of the devil, yea (in his later
writings), a three-headed monster” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 718-719.
Philip Schaff: “Servetus charges the Reformed Christians of Geneva
that they had a gospel without a God, without true faith, without good works;
and that instead of the true God they worshipped a three-headed Cerberus” - ‘History of the Christian Church’, vol
VIII, hal 731.
Catatan: Cerberus =
anjing berkepala tiga yang menjaga Hades dalam mitologi Romawi dan Yunani
(Webster’s New World Dictionary, College Edition).
Philip Schaff: “He calls all Trinitarians ‘tritheists’ and ‘atheists.’ They
have not one absolute God, but a three-parted, collective, composite God - that
is, an unthinkable, impossible God, which is no God at all. They worship three
idols of the demons, - a three-headed monster, like the Cerberus of the Greek
mythology. One of their gods is unbegotten, the second is begotten, the third
proceeding. One died, the other two did not die. Why is not the Spirit
begotten, and the Son proceeding? By distinguishing the Trinity in the abstract
from the three persons separately considered, they have even four gods. The
Talmud and the Koran, he thinks, are right in opposing such nonsense and
blasphemy” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 741-742.
Philip Schaff: “Shortly after the publication of the ‘Restitution,’
the fact was made known to the Roman Catholic authorities at Lyons through
Guillaume Trie, a native of Lyons and a convert from Romanism, residing at that
time in Geneva. He corresponded with a cousin at Lyons, by the name of Arneys,
a zealous Romanist, who tried to reconvert him to his religion, and reproached
the Church of Geneva with the want of discipline. On the 26th of February,
1553, he wrote to Arneys that in Geneva vice and blasphemy were punished, while
in France a dangerous heretic was tolerated, who deserved to be burned by Roman
Catholics as well as Protestants, who blasphemed the holy Trinity, called Jesus
Christ an idol, and the baptism of infants a diabolic invention. He gave his
name as Michael Servetus, who called himself at present Villeneuve, a
practising physician at Vienne. In confirmation he sent the first leaf of the
‘Restitution,’ and named the printer Balthasar Arnoullet at Vienne. This
letter, and two others of Trie which followed, look very much as if they had
been dictated or inspired by Calvin. Servetus held him responsible. But Calvin
denied the imputation as a calumny. At the same time he speaks rather lightly
of it, and thinks that it would not have been dishonorable to denounce so
dangerous a heretic to the proper authorities. He also frankly acknowledges
that he caused his arrest at Geneva. He could see no material difference in
principle between doing the same thing, indirectly, at Vienne and, directly, at
Geneva. He simply denies that he was the originator of the papal trial and of
the letter of Trie; but he does not deny that he furnished material for
evidence, which was quite well known and publicly made use of in the trial
where Servetus’s letters to Calvin are mentioned as pieces justificatives.
There can be no doubt that Trie, who describes himself as a comparatively
unlettered man, got his information about Servetus and his book from Calvin, or
his colleagues, either directly from conversation, or from pulpit
denunciations. We must acquit Calvin of direct agency, but we cannot free him
of indirect agency in this denunciation. Calvin’s indirect agency, in the
first, and his direct agency in the second arrest of Servetus admit of no
proper justification, and are due to an excess of zeal for orthodoxy” - ‘History of the Christian Church’, vol
VIII, hal 757-759.
Philip Schaff: “The final responsibility of the condemnation,
therefore, rests with the Council of Geneva,
which would probably have acted otherwise, if it had not been strongly
influenced by the judgment of the Swiss Churches and the government of Bern. Calvin
conducted the theological part of the examination of the trial, but had no
direct influence upon the result. His theory was that the Church may
convict and denounce the heretic theologically, but thathis condemnation and
punishment is the exclusive function of the State, and that it is one of
its most sacred duties to punish attacks made on the Divine majesty. ‘From
the time Servetus was convicted of his heresy,’ says Calvin, ‘I have not
uttered a word about his punishment, as all honest men will bear witness; and I
challenge even the malignant to deny it if they can.’One thing only he did: he
expressed the wish for a mitigation of his punishment. And this humane
sentiment is almost the only good thing that can be recorded to his honor in
this painful trial” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 767-768.
Philip Schaff: “...
the wish of Calvin to substitute the sword for the fire was overruled” (=
... keinginan Calvin untuk menggantikan api dengan pedang ditolak) - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-782.
Philip Schaff: “The severest charge against him is blasphemy.
Bullinger remarked to a Pole that if Satan himself should come out of hell, he
could use no more blasphemous language against the Trinity than this Spaniard; and Peter Martyr, who was present, assented and said
that such a living son of the devil ought not to be tolerated anywhere. We
cannot even now read some of his sentences against the doctrine of the Trinity
without a shudder. Servetus lacked reverence and a decent regard for the most
sacred feelings and convictions of those who differed from him” - ‘History
of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-788.
Tanggapan Dji:
Point b) di atas menurut saya itu
sudah bercampur-aduk antara
pernyataan Dr. Suhento Liauw dengan “kekesalan”
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri.
Hemat saya pernyataan Dr. Suhento
Liauw harusnya begini: (silahkan Pembaca
teliti dan cermat) Dr. Suhento Liauw: b) Calvin / Calvinist ada jejak darah,
dalam persoalan kematian servetus (titik).
Tetapi karena tidak sabar dan tidak teliti maka “bukti kekesalan” Bapak
Pdt. Budi Asali, M. Div ini menggabungkannya menjadi pernyataan Dr. Suhento
Liauw juga. (Mohon kerelaan hatinya untuk koreksi dan mengakuinya saja Pak? Ini
terlihat jelas kok?) (saya tidak mau “menuduh” Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div
melakukan Fitnah kpd Dr. Suhento Liauw, sekalipun buktinya ini sudah kuat) saya menganggap Bapak ini khilaf saja. Bahkan
karena terlalu tidak sabar dan tidak teliti (saya dapat memakluminya) Belum-belum sudah bilang “Lucu, yang
menghukum mati Servetus bukan Calvin, tetapi pengadilan! orang gila ini senang
memfitnah!” padahal bagian ini (“Lucu, yang menghukum mati Servetus
.....dan seterusnya... !”) harusnya ini masuk ke dalam bagian Tanggapan Budi Asali. Begitu toh Pak?.......
monggo ditanggapi..... tapi kalau tidak ditanggapi ya sudahlah...maklumkan
sajalah...... (We love you brother.....)
Oke, kita kembali ke
laptop....(versi Tukul “empat mata”)
Tanggapan untuk point:
1. Servetus
dihukum mati dalam zaman Calvin (tidak ada yg bisa membantahnya), Servetus
memang pengajar bidat (sesat) yg tidak percaya kepada doktrin Allah Tri
Tunggal. Tetapi seberapa sesat pun seorang
Servetus maka ia tidak layak mendapatkan hukuman mati. Orang Kristen Alkitabiah memandang perbedaan penafsiran dan perbedaan
kepercayaan / keyakinan agama sebagai sesuatu yang lazim dan umum. Orang
Kristen Alkitabiah tidak boleh memberikan
“stempel” tanda setuju Servetus atau “servetus-servetus lain” untuk
dihukum mati karena perbedaan doktrin/perbedaan keyakinan.
2. Bapak
Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri pun “mengakui” bahwa Calvin yg melaporkan
Servetus kepada polisi di Genewa. Walaupun memang pengadilan yg jatuhkan
hukuman mati, tetapi andil Calvin dalam melaporkan Servetus itu sudah menjadi bukti keterlibatan John
Calvin dalam kematian Servetus. Mudah dimengerti toh!.... Apalagi waktu itu
seorang John Calvin (tahun 1541-1564) sangat berpengaruh di Genewa.
3. “John
Calvin justru meminta keringanan untuk Servetus” (Faktanya: Permohonannya tidak dikabulkan dan Servetus mati
dibakar). Ini kedengaran sangat memprihatinkan. Apakah John Calvin benar-benar meminta keringanan untuk Servetus? (kini
tinggal tanda tanya saja?)
Tanggapan Esra Soru :
1.
Anda menulis :
Point b) di atas menurut saya itu
sudah bercampur-aduk antara
pernyataan Dr. Suhento Liauw dengan “kekesalan”
Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri.
Hemat saya pernyataan Dr. Suhento
Liauw harusnya begini: (silahkan Pembaca
teliti dan cermat)
Dr.
Suhento Liauw: b) Calvin / Calvinist ada jejak darah, dalam persoalan kematian
servetus (titik).
Tetapi karena tidak sabar dan tidak teliti maka “bukti kekesalan” Bapak
Pdt. Budi Asali, M. Div ini menggabungkannya menjadi pernyataan Dr. Suhento
Liauw juga. (Mohon kerelaan hatinya untuk koreksi dan mengakuinya saja Pak? Ini
terlihat jelas kok?) (saya tidak mau “menuduh” Bapak Pdt. Budi Asali, M. Div
melakukan Fitnah kpd Dr. Suhento Liauw, sekalipun buktinya ini sudah kuat) saya menganggap Bapak ini khilaf saja. Bahkan
karena terlalu tidak sabar dan tidak teliti (saya dapat memakluminya) Belum-belum sudah bilang “Lucu, yang
menghukum mati Servetus bukan Calvin, tetapi pengadilan! orang gila ini senang
memfitnah!” padahal bagian ini (“Lucu, yang menghukum mati Servetus
.....dan seterusnya... !”) harusnya ini masuk ke dalam bagian Tanggapan
Budi Asali. Begitu toh Pak?....... monggo ditanggapi..... tapi
kalau tidak ditanggapi ya sudahlah...maklumkan sajalah...... (We love you
brother.....)
Ini saja kok dipersoalkan. Bagi orang yang
baca, sudah pasti tahu bahwa kata2 selanjutnya “Lucu…adalah tanggapanm Pak Budi
Asali. Dan Pak Budi Asali sendiri tidak menulis itu dengan tujuan bahwa itu
adalah kata2 Suhento Liauw. Itu Cuma masalah penempatan.
2.
Anda menulis :
Servetus
dihukum mati dalam zaman Calvin (tidak ada yg bisa membantahnya), Servetus
memang pengajar bidat (sesat) yg tidak percaya kepada doktrin Allah Tri
Tunggal. Tetapi seberapa sesat pun seorang
Servetus maka ia tidak layak mendapatkan hukuman mati. Orang Kristen Alkitabiah memandang perbedaan penafsiran dan perbedaan
kepercayaan / keyakinan agama sebagai sesuatu yang lazim dan umum. Orang
Kristen Alkitabiah tidak boleh memberikan
“stempel” tanda setuju Servetus atau “servetus-servetus lain” untuk
dihukum mati karena perbedaan doktrin/perbedaan keyakinan.
Anda lagi2 ngawur. Servetus dihukum mati
dalam zaman Calvin tidak bisa disamakan dengan Servetus dihukum mati oleh
Calvin. Sudah dikatakan oleh Pak Budi bahwa yang menghukum mati adalah
pengadilan. Kalau mau salahkan, salahkanlah pengadilan bukan Calvin. Calvin kan Cuma melaporkan
kasusnya ke pengadilan.
3.
Anda menulis :
Bapak
Pdt. Budi Asali, M. Div sendiri pun “mengakui” bahwa Calvin yg melaporkan
Servetus kepada polisi di Genewa. Walaupun memang pengadilan yg jatuhkan
hukuman mati, tetapi andil Calvin dalam melaporkan Servetus itu sudah menjadi bukti keterlibatan John
Calvin dalam kematian Servetus. Mudah dimengerti toh!.... Apalagi waktu itu
seorang John Calvin (tahun 1541-1564) sangat berpengaruh di Genewa.
Apakah kalau anda melaporkan seorang dengan
suatu tuduhan tertentu ke pengadilan, dan setelah pengadilan mempelajari
kasusnya dan ternyata benar demikian lalu memutuskan hukuman mati kepada
tertuduh itu, andajuag ikut bersalah? Logika macam apa itu? Anda benar2 ngawur
sekali dalam hal ini.
4.
Anda menulis :
“John
Calvin justru meminta keringanan untuk Servetus” (Faktanya: Permohonannya tidak dikabulkan dan Servetus mati
dibakar). Ini kedengaran sangat memprihatinkan. Apakah John Calvin benar-benar meminta keringanan untuk Servetus? (kini
tinggal tanda tanya saja?)
Apakah fakta bahwa Servetus tetap dibakar
sebagai bukti bahwa Calvbin tidak pernah meminta keringanan hukuman baginya? Lagi2
logika anda benar2 payah sekali. Pak Budi sudah berikan kutipan dari Philp
Schaff seorang sejarawan. Lebih masuk akal percaya kata2 seorang sejarawan atau
kata2 anda?
19. Kesan yang didapat adalah: ia anggap dan
nyatakan gerejanya sebagai ‘the only true church’, dan anjurkan orang pindah ke
gerejanya! Katolik, Kharismatik, Calvinist, tokoh-tokoh reformasi (Martin
Luther, Calvin, dsb), semua digempur.
Tanggapan
Budi Asali:
Saya
menganggap semua orang yang menganggap gerejanya sebagai ‘the only true church’,
sebagai orang-orang sesat. Saksi Yehuwa mempunyai pandangan seperti itu, dan
Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh juga mempunyai kepercayaan seperti itu, dan
itu saya anggap sebagai salah satu bukti kesesatan mereka.
Saya
sering mengecam banyak pendeta dan gereja sebagai sesat, tetapi saya tidak
pernah punya anggapan / pemikiran / kepercayaan bahwa gereja saya adalah ‘the
only true church’!
Tanggapan Dji:
Point 19) Sekali lagi ini
terlihat lebih jelas “siapa yg ngawur”? Kesan
mestinya ditaruh pada bagian Tanggapan Budi Asali. Tapi yah kita
maklumkanlah..........
Adalah hal yg baik dan sah-sah
saja jika ada orang menganggap gerejanya yg paling benar daripada gereja orang
lain. Justru adalah aneh jika ada
gembala atau “pendeta” yg tidak yakin bahwa gerejanya paling benar! Perbedaan
keyakinan agama saja merupakan sesuatu yg lazim dan umum dalam dunia
keKristenan, apalagi perbedaan “keyakinan gerejanya paling benar!” ini mah hal
yg biasa.....
Tanggapan Esra Soru :
- Anda yang ngawur. Pak Budi Asali melihat adanya kesan demikian dari ajaran Suhento Liauw dank arena itu lalu berikan tanggapannya. Apanya yang aneh?
- Lagi2 anda menunjukkan ketidakmampuan melihat persoalan yang diangkat. Pak Budi tidak mempersoalkan keyakinan seseorang bahwa gerejanya paling benar. Yang dipersoalkan bahwa gerejanya adalah “SATU-SATUNYA” gereja yang benar. Anda paham hai anak TK?
Demikianlah tanggapan dari saya. Terima
kasih. Salam damai sejahtera buat kita semua dalam Tuhan Yesus Kristus. Segala
kemuliaan dan hormat hanya bagi Tuhan kita Yesus Kristus. Amin!
MARANATHA! MARANATHA!
MARANATHA!
More info: www.graphe-ministry.org
Dari:
Dji ji liong, S.E / Mahasiswa Graphe International Theological Seminary)
Tangapan Esra Soru :
Membaca tanggapan anda, saya sama sekali prihatin. Terlihat sekali
bahwa anda begitu sukar menangkap yang menjadi inti argumentasi yang diberikan
oleh lawan. Saran saya sebaiknya anda lebih banyak belajar lagi dalam hal ini
dan juga di dalam membangun argumentasi. Tanggapan anda menjadi cermin seperti
apakah kualitas lembaga pendidikan dan guru2 anda.
***************
....seru juga ya...sesama pelayan = hamba TUHAN kitab suci nya sama terus melakukan perdebatan ( baca berantem).....saya yakin seyakin- yakinnya kalo mereka yang berdebat pasti tidak meliki kasih kepada sesama ( habulminanas) di ajak makan bersama2, tegur sapa, atau yang sifatnya menghargai pasti tidak akan ada.....di jamin 100% teori hebat praktek 0 ( nol) besar. Orang2 yang suka bersilat kata, memiliki roh percideraan kata rasul paulus buah Roh-nya nggak nonggol...kata Yesus " siapa yang tidak berbuah dipotong",.......
BalasHapusYesus dan rasuk2 juga sering debat dengan ahli2 Taurat. Kata2 mereka seringkali sangat keras dan kasar. Silahkan baca Mat 213. Apakah itu berarti bahwa Yesus dan rasul2 tidak punya kasih?
Hapus