15 Juni 2009

SOLA SCRIPTURA

Esra Alfred Soru


Doktrin “Sola Scriptura” (Hanya Firman Allah saja) adalah salah satu doktrin atau semboyan yang populer pada zaman reformasi Protestan di samping doktrin/semboyan lainnya seperti ‘Sola Gratia’ (Hanya Anugerah) dan ‘Sola Fide’ (Hanya Iman). Doktrin ini lahir sebagai reaksi terhadap banyak pemahaman dan praktek yang menyimpang yang ada dalam gereja Roma Katolik saat itu. Beberapa di antaranya adalah :

1) Gereja Roma Katolik berpendapat bahwa Alkitab bukanlah untuk orang awam sehingga orang awam dilarang untuk membaca, bahkan untuk memiliki Alkitab. Di dalam Council of Valencia pada tahun 1229 dikatakan bahwa : “Kami melarang juga pemberian ijin kepada orang awam untuk memiliki buku-buku Perjanjian Lama dan Baru, kecuali seseorang ingin, dari suatu perasaan untuk berbakti, untuk mempunyai kitab Mazmur atau buku doa Roma Katolik untuk kebaktian / pelayanan ilahi, atau saat-saat Maria yang terpuji. Tetapi kami dengan keras melarang mereka untuk memiliki buku-buku tersebut di atas dalam bahasa kasar” (Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 97). Dari kata-kata ini jelas bahwa orang awam dilarang memiliki Alkitab. Yang boleh dimiliki hanyalah kitab Mazmur dan buku doa Roma Katolik, dan itupun tidak boleh dalam ‘vulgar tongue / bahasa kasar’, maksudnya buku-buku itu harus ada dalam bahasa Latin, yang jelas ada di luar jangkauan orang awam. Demikian juga hal ini ditegaskan dalam Council of Trent. Paus Clement XI (tahun 1713) dalam Bull Unigenitus, mengatakan : “Kami dengan keras melarang mereka (orang awam) untuk mempunyai buku-buku Perjanjian Lama dan Baru dalam bahasa kasar / biasa” - Loraine Boettner, ‘Roman Catholicism’, hal 98. Para reformator percaya bahwa Alkitab adalah untuk semua orang. Orang kristen harus memiliki dan membaca Alkitab dengan rajin dan tekun. Larangan untuk orang awam membaca Alkitab jelas bertentangan dengan Maz 1:1-2 dan Kis 17:11.

2) Dalam gereja Roma Katolik saat itu tradisi diangkat sedemikian tinggi sehingga menyamai Alkitab. Yang disebut ‘tradisi’ dalam ajaran Roma Katolik kitab-kitab Apocrypha, tulisan bapa-bapa gereja, keputusan sidang-sidang gereja (council) dan keputusan-keputusan Paus. Pada tahun 1545, sidang gereja di Trent menyatakan bahwa tradisi mempunyai otoritas yang sama dengan Kitab Suci, tapi harus ditafsirkan oleh gereja. Para reformator sangat menentang hal ini. Mereka berpendapat bahwa justru hal itu telah terbukti menghasilkan banyak kebobrokan dalam kehidupan gereja. Gereja tidak lagi mempunyai pegangan. Firman Allah sudah bergeser menjadi "opini manusia". Para reformator juga meyakini bahwa Alkitab dapat dan memang sesungguhnya menafsirkan dirinya sendiri dalam hati orang beriman. Alkitab adalah penafsir bagi Alkitab sendiri, Scriptura sui ipsius interpres, sebagaimana dikemukakan oleh Luther. Jadi, kita tidak perlu Paus atau konsili untuk memberitahu apa arti perkataan Alkitab. Apa yang dikatakan oleh para reformator ini jelas berarti menantang pernyataan kepausan atau pernyataan konsili dan menunjukkan bahwa mereka tidak benar dan menuntut orang beriman untuk tidak menuruti mereka. Alkitab adalah satu-satunya sumber di mana orang berdosa bisa mendapatkan pengetahuan yang benar tentang Allah dan kebaikan. Alkitab juga merupakan satu-satunya hakim Gereja segala zaman demi nama Tuhan. Sesungguhnya Allah yang hidup berbicara langsung kepada umat-Nya dengan penuh otoritas melalui setiap halaman Alkitab. Sola Scriptura!!! Hanya Alkitab saja!!! Hanya Alkitab yang menjadi dasar kehidupan dan ajaran gereja.

Demikianlah latar belakang munculnya doktrin Sola Scriptura. Intinya adalah para reformator menginginkan gereja “back to the bible” (kembali pada Alkitab).

Mengapa Hanya Alkitab?

Memikirkan doktrin Sola Scriptura, masuk akal kalau kita bertanya mengapa hanya Alkitab saja yang menjadi dasar hidup dan ajaran orang Kristen? Jawabannya jelas karena Alkitab adalah Firman Allah sendiri. Alkitab adalah wahyu Allah atau penyataan diri Allah secara khusus di samping Yesus Kristus dan karenanya maka Allah dapat dikenal secara lebih lengkap lewat Alkitab dan hanya lewat Alkitab saja. Karena itulah maka Alkitab dan hanya Alkitab yang harus menjadi dasar dari kehidupan dan pengajaran gereja. Lalu kalau demikian, apakah tradisi harus dibuang? Apakah pengalaman harus dibuang? Apakah rasio harus dibuang? Tentu tidak! Itu semua tetap dipakai tetapi Alkitab adalah sumber yang pertama dan utama dan karenanya ketiga hal yang lain (rasio, tradisi dan pengalaman) harus berpusatkan pada Alkitab. Kita bisa menerima sebuah tradisi sepanjang itu cocok dengan kata Alkitab, kita bisa menerima sebuah penalaran rasio sepanjang itu tidak bertentangan dengan Alkitab dan kita juga bisa menerima sebuah pengalaman sepanjang itu selaras dengan yang diajarkan Alkitab. Jika tradisi, rasio dan pengalaman itu bertentangan dengan Alkitab maka ketiganya harus dibuang dan kita hanya berpijak kepada apa yang dikatakan Alkitab. Millard J. Erickson berkata : “Bila Alkitab dijadikan sumber utama dari pemahaman teologis kita, maka kita tidak mengesampingkan semua sumber lainnya sama sekali…akan tetapi sumber-sumber masukan lainnya itu tidaklah sepenting Alkitab. (Teologi Kristen; Vol.1; 1999:43). Inilah Sola Scriptura!!!

Dasar Alkitabiahnya?

Jika semua pengajaran Kristen harus berdasarkan Alkitab, lalu adalah dasar Alkitabiah bagi doktrin Sola Scriptura itu? Gereja Katolik menolak doktrin Sola Scriptura ini dengan berbagai alasan, salah satunya adalah bahwa toh tidak ada dasar Alkitabiah bagi doktrin Sola Scriptura sehingga doktrin Sola Scriptura sebenarnya adalah sebuah inkonsistensi saja. Benarkah demikian? Tentu tidak! Di dalam Yes 8:20 dikatakan : “‘Carilah pengajaran dan kesaksian!’ Siapa yang tidak berbicara sesuai dengan perkataan itu, maka baginya tidak terbit fajar”. Jelas bahwa pengajaran dan kesakisian harus berdasarkan Kitab Suci. Juga Yesus dan rasul-rasul, yang dalam setiap pengajaran selalu menggunakan Kitab Suci. Di dalam Kis 17:11dikatakan : “Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian”? Orang-orang Yahudi ini dikatakan lebih baik hatinya (seharusnya ‘lebih mulia’) dari orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka mengecek khotbah / ajaran rasul Paulus dengan menggunakan Kitab Suci! Juga dalam 2 Tim 3:16 dikatakan : “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”. Yang saya garis-bawahi terjemahannya kurang tepat. Bandingkan dengan NASB yang menerjemahkan ‘All Scripture is inspired by God’. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Kitab Suci adalah dasar ajaran.

Kecenderungan Modern : Pengalaman VS Kitab Suci

Kita sudah melihat latar belakang munculnya doktrin Sola Scriptura yakni sebuah penentangan terhadap diangkatnya tradisi menjadi setara dengan Alkitab dalam pengajaran gereja. Tentu kita membutuhkan lebih banyak halaman untuk membahas pandangan Alkitab tentang tradisi dan karenanya tidak mungkin hal itu dibahas di sini. Saya hanya ini mengangkat satu hal saja yang menurut saya menjadi kecenderungan dalam kekristenan modern saat ini yang bertentangan dengan doktrin Sola Scriptura yakni pengalaman. Maksud saya adalah, jika dulu doktrin Sola Scriptura bertabrakan dengan tradisi dari Roma Katolik, justru sekarang ini doktrin ini bertabrakan dengan doktrin Kharismatik tentang pengalaman-pengalaman rohani dari orang percaya.

Satu hal yang sangat menonjol dalam ajaran gerakan Kharismatik modern adalah bahwa ajaran mereka didasarkan pada ‘Kitab Suci + pengalaman’. Itulah sebabnya dalam gerakan ini seringkali kita mendengar adanya kesaksian-kesaksian atau pengalaman-pengalaman yang aneh-aneh, seper­ti kesaksian seseorang yang melihat Tuhan dalam acara televisi. Yang dimaksud bukannya ada film dalam TV dan Tuhan menggunakan film itu untuk berbicara kepadanya. Tetapi maksudnya adalah bahwa Tuhan tiba-tiba muncul dalam acara TV untuk menggantikan acara TV yang ada saat itu dan berbicara kepadanya. Orang lain memberikan kesaksian bahwa ia berhasil mengajar anjingnya memuji Tuhan dengan suatu unknown bark (= salakan / gonggongan yang tidak dikenal). Yang lain bersaksi bahwa ia mengalami kematian, pergi ke surga dan neraka, lalu kembali ke bumi dan hidup lagi. Yang lain lagi berkata bahwa ia berulang-ulang melihat Yesus pada waktu ia sedang berkhotbah. Bahkan ada seorang pengkhotbah yang mengaku bahwa ia diajar langsung oleh Tuhan selama 40 hari dan 40 malam tentang arti dari seluruh Kitab Suci. Cerita-cerita yang aneh-aneh seperti itu diterima dengan mudah oleh kebanyakan orang Kharismatik tanpa memeriksa/menguji dahulu apakah pengalaman-pengalaman itu sesuai dengan Kitab Suci atau tidak. Padahal Kitab Suci dengan jelas menyuruh kita untuk menguji hal-hal seperti itu (bdk. 1Tes 5:21 1Yoh 4:1). 1Tes 5:21 : “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik”. 1Yoh 4:1 : “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan se-tiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia”. Kesaksian-kesaksian dan praktek-praktek seperti jelas bertentangan dengan Kitab Suci dan doktrin Sola Scriptura yang diteriakkan para reformator. Menariknya adalah bahwa dalam kalangan Kharismatik, pengalaman-pengalaman seperti ini justru sering lebih diutamakan / dipenting­kan dari Kitab Suci. Seorang Kharismatik berkata: “Aku tidak peduli apa yang dikatakan oleh Kitab Suci. Aku mempunyai pengalaman!”. Sekalipun tidak semua orang Kharismatik mempunyai pandangan seper­ti itu, tetapi ada banyak dari mereka yang mementingkan pengala­mannya lebih dari Kitab Suci. Kalau mereka menceritakan pengala­mannya, dan kita lalu mendebatnya dan menunjukkan bahwa pengalaman itu tidak sesuai dengan Kitab Suci, maka reaksi yang sering muncul adalah: “Pokoknya aku mengalami hal itu!”. Bukankah ini menunjuk­kan bahwa ia lebih mementingkan pengalamannya dari Kitab Suci? Ini adalah sesuatu yang berbahaya, karena pengalaman bisa diberikan oleh setan! Pdt. Budi Asali mengatakan : Banyak orang Kharismatik yang bahkan lebih menekankan ajaran-ajaran yang mereka dapatkan melalui nubuat, bahasa Roh, penglihatan, pendengaran dsb, daripada Kitab Suci/Firman Tuhan sendiri. Banyak orang Kharismatik, yang kalau ingin mengetahui kehendak Tuhan, bukannya mencari/ mempelajarinya dalam Kitab Suci, tetapi meminta Tuhan memberinya petunjuk melalui nubuat, penglihatan, dsb (Exodus paper). Bandingkan ini dengan kata-kata John F. Mac Arthur, Jr : “Bukannya memeriksa pengalaman seseorang dengan keabsahan Alkitab, kaum kharismatik mencoba mengambil Alkitab untuk dicocokkan dengan pengalaman itu atau, bila gagal, ia akan mengabaikan Alkitabnya begitu saja. Seorang penganut Kharismatik menulis pada sampul Alkitabnya : “Saya tak peduli apa kata Alkitab, pokoknya saya telah mendapat suatu pengalaman! (Apakah Kharismatik Itu?; hal. 63) Jelas pengalaman rohani lebih diutamakan daripada Kitab Suci. Contoh dari hal-hal semacam ini seperti yang dilakukan oleh Pdt. Yesaya Pariadji. Dalam pengajarannya tentang baptisan, ia mengatakan : “Biarlah pada saat ini juga saya dilempar ke api neraka, bila Tuhan Yesus tidak mengajar saya, bahwa manusia harus dibaptis selam. (Majalah Tiberias, Edisi V / Tahun II : 38). Ia juga berkata : “Gereja Tiberias telah membaptis + 40.000 jiwa. Saya jamin, saya langsung diajari Tuhan Yesus baptisan selam minimal 4 kali pelajaran. Biar mulut saya dijahit dan saya dilempar ke neraka bila saya tidak berkali-kali masuk alam roh, bertemu Tuhan Yesus dan saya diajari bagaimana untuk membaptis selam. Dibaptis selam adalah anda diciptakan kembali yang segambar dan serupa Allah yang penuh kuasa dan penuh mujizat (Kej 1:26-28). Baptis harus selam karena saya sudah berdoa dan bertanya, dan langsung dijawab. Dan saya diajari Tuhan bagaimana untuk membaptis selam. (Warta Jemaat GBI Tiberias tanggal 11 September 2002 : 2 (di Graha SA. Surabaya). Jelas terlihat bahwa Pdt. Pariadji tidak mendasarkan ajarannya tentang baptisan dari Kitab Suci melainkan dari pengalamannya di dalam dunia roh. Ia jelas lebih mementingkan pengalamannya daripada Kitab Suci. Celakanya adalah banyak ajaran Pdt. Pariadji yang dihasilkan dari pengalaman itu banyak bertentangan dengan Kitab Suci. Pengalaman Pdt. Pariadji hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak hal yang sama di dalam gereja Kristen saat ini. Ini adalah bahaya bagi kekristenan ! Sebagaimana saya katakan di atas, jika Alkitab adalah Firman Tuhan maka Alkitab harus menjadi dasar utama dari segala perilaku dan pengajaran orang Kristen/gereja. Jadi, semua bentuk pengalaman orang percaya harus berdasarkan Alkitab (Sola Scriptura). Jika pengalaman bertentangan dengan Alkitab maka pengalaman harus ditolak. Dr. Stephen Tong berkata : Prinsip utama dalam pembahasan seluruh tema Alkitab adalah : kebenaran lebih penting daripada segala jenis pengalaman; kebenaran lebih mutlak daripada pengalaman; dan kebenaran lebih tinggi daripada pengalaman. Oleh karena itu berdasarkan prinsip di atas : (1) Kebenaran harus memimpin pengalaman (2) Kebenaran harus menguji pengalaman (3) Kebenaran harus menghakimi pengalaman. (Baptisan & Karunia Roh Kudus; hal. 3). Beliau melanjutkan : ‘Jikalau pengalaman kita ternyata berbeda dengan prinsip Alkitab, apakah yang harus kita perbuat? Apakah kita sedemikian mencintai pengalaman yang telah kita alami sehingga akhirnya kita mengorbankan kebenaran? Ataukah kita sedemikian menyayangi pengalaman itu; tidak mau menerima kesalahannya kemudian mencari ayat-ayat Alkitab yang mendukung, sehingga ayat-ayat yang tidak relevan itu dipaksa untuk menyetujui pengalaman kita? (Baptisan & Karunia Roh Kudus; hal. 3). Jadi di atas semuanya, Alkitab harus merupakan dasar pengajaran gereja/orang Kristen. Dengan cara demikian maka Alkitab memiliki otoritas yang mutlak dalam kehidupan kita sebagai orang percaya. Sola Scriptura !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)