Tampilkan postingan dengan label Kesaksian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesaksian. Tampilkan semua postingan

17 Mei 2013

PARADIGMA

Catatan Harian Seorang Pramugari


Saya adalah pramugari biasa dari China Airline. Karena bergabung dengan perusahaan penerbangan hanya beberapa tahun dan tidak mempunyai pengalaman yang mengesankan, setiap hari saya hanya melayani penumpang dan melakukan pekerjaan yang monoton. Pada 7 Juni yang lalu saya mengalami pengalaman yang mengubah pandangan saya terhadap pekerjaan maupun hidup saya.

Hari itu jadwal perjalanan kami dari Shanghai menuju Peking. Penumpang sangat penuh. Di antara penumpang saya melihat seorang kakek dari desa, merangkul sebuah karung tua dan terlihat jelas sekali gaya desanya. Saat itu saya yang berdiri di pintu pesawat menyambut penumpang. Kesan pertama dalam pikiran saya ialah zaman sekarang sungguh sudah maju sehingga seorang dari desa sudah mempunyai uang untuk naik pesawat.

Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman.  Ketika melewati baris ke 20, saya melihat kembali kakek tua tersebut. Dia duduk dengan tegak dan kaku di tempat duduknya dengan memangku karung tua bagaikan patung. Kami menanyakannya mau minum apa. Dengan terkejut dia melambaikan tangan menolak. Saat kami hendak membantunya meletakkan karung tua di atas bagasi tempat duduk, juga ditolak olehnya. Lalu kami membiarkannya du­duk dengan tenang. Menjelang pembagian makanan, kami melihat dia duduk dengan tegang di tempat duduknya. Kami menawarkan makanan, juga ditolak olehnya. Akhirnya kepala pramugari dengan akrab bertanya kepadanya apakah dia sakit. Dengan suara kecil dia menjawab bahwa dia hendak ke toilet, tetapi takut apakah di pesawat boleh bergerak sembarangan. Dia takut merusak barang dalam pesawat. Kami menjelaskan kepadanya bahwa dia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantar dia ke toilet. Saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihat dia melirik penumpang di sebelahnya dan menelan ludah. Dengan tidak menanyakannya kami meletakkan segelas minuman teh di mejanya. Ternyata gerakan kami mengejutkannya. Dengan terkejut dia mengatakan tidak usah. Kami mengatakan bahwa dia sudah haus dan memintanya minum tehnya. Dengan spontan ia mengeluarkan segenggam uang logam dari sakunya dan menyodorkannya kepada kami. Kami menjelaskan kepadanya bahwa minumannya gratis. Dia tidak percaya. Dia berkata bahwa dalam perjalanan menuju bandara, dia merasa haus. Dia meminta air kepada penjual makanan di pinggir jalan, tetapi tidak diladeni dan malah diusir. Saat itu kami mengetahui, bahwa demi menghemat biaya perjalanan dari desa, dia berjalan kaki sampai mendekati bandara baru naik mobil. Karena uang yang dibawa sangat sedikit, ia hanya dapat meminta minuman kepada penjual makanan di pinggir jalan. Itu pun kebanyakan ditolak dan dia dianggap sebagai pengemis.

Setelah kami membujuk dia terakhir kali barulah dia percaya dan duduk dengan tenang meminum secangkir teh. Kami menawarkan makanan, tetapi ditolak olehnya. Dia menceritakan bahwa dia mempunyai dua putra yang sangat baik. Putra sulungnya sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah di tingkat tiga di Peking. Anak sulung yang bekerja di kota menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersama di kota. Tetapi, kedua orang tua tersebut tidak biasa tinggal di kota dan akhirnya pindah kembali ke desa. Sekali ini orang tua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Peking. Anak sulungnya tidak tega melihat dia naik mobil begitu jauh sehingga membelikan tiket pesawat dan menawarkannya untuk menemani bapaknya bersama-sama ke Peking. Tetapi si ayah menolaknya karena dianggap terlalu boros. Dia bersikeras pergi sendiri. Akhirnya dengan terpaksa anaknya menyetujui keputusannya itu.

Dia merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya. Ketika melewati pemeriksaan keamanan di bandara, petugas menyuruhnya menitipkan karung tersebut di tempat bagasi. Tetapi, dia bersikeras membawa sendiri. Dia mengatakan jika ditaruh di tempat bagasi, ubi tersebut akan hancur dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur. Akhirnya kami membujuknya untuk meletakkan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk. Akhirnya dia bersedia dan dengan hati-hati meletakkan karung tersebut.

Saat dalam penerbangan, kami terus menambah minuman untuknya. Dia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus. Dia tetap tidak mau makan, meskipun kami mengetahui bahwa sesungguhnya dia sudah sangat lapar. Saat pesawat hendak mendarat dengan suara kecil dia menanyakan apakah ada kantong kecil dan meminta saya meletakkan makanannya di kantong tersebut. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah melihat makanan yang begitu enak. Dia ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya. Kami semua sangat kaget. Menurut kami yang setiap hari melihat makanan yang begitu biasa, di mata seorang desa menjadi begitu berharga.

Dengan menahan lapar, dia menyisihkan makanan tersebut untuk anaknya. Dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa yang belum kami bagikan kepada penumpang. Setelah menaruhnya dalam suatu kantong, makanan itu kami berikan kepada kakek tersebut. Di luar dugaan dia menolak pemberian kami. Dia hanya menghendaki bagiannya yang belum dimakan, tetapi tidak menghendaki yang bukan miliknya. Perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat saya terharu dan menjadi pelajaran berharga bagi saya.

Sebenarnya kami menganggap semua hal tersebut sudah berlalu. Tetapi, siapa menduga saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, dia yang terakhir berada di pesawat. Kami membantunya keluar dari pintu pesawat. Sebelum keluar, dia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya. Dia berlutut untuk mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi. Dia mengatakan bahwa kami semua adalah orang paling baik yang dijumpainya. Kami di desa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah meminum air yang begitu manis dan makanan yang begitu enak. Hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik. Saya tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih kepada kalian. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian," dia mengucapkannya sambil menangis. Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seorang anggota yang bekerja di lapangan membantunya keluar dari lapangan terbang.

Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, beragam penumpang sudah saya jumpai. Ada yang banyak tingkah, yang cerewet, dan lain-lain. Tetapi, saya belum pernah menjumpai orang yang mengucapkan terima kasih dengan tidak biasa kepada kami. Kami hanya menjalankan tugas kami dengan rutin dan tidak ada keistimewaan yang kami berikan. Kami hanya menyajikan minuman dan makanan, tetapi kakek tua yang berumur 70 tahun tersebut mengucapkan terima kasih yang tidak biasa, sambil merangkul karung tua yang berisi ubi kering dan menahan lapar menyisihkan makanannya untuk anak tercinta, dan tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya. Tindakan tersebut membuat saya sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi saya pada masa datang yaitu, jangan memandang orang dari penampilan luar, tetapi harus tetap menghargai setiap orang dan mensyukuri apa yang kita dapat.

UNTUK DIRENUNGKAN : Mengapa kisah tersebut bisa begitu dramatis? Paling tidak ada tiga penyebab. Pertama, kita sudah terbiasa hidup di lingkungan yang kurang bersyukur. Kedua, kita terbiasa bekerja tanpa hati. Ketiga, tindakan yang kita anggap wajar, menurut standard Tuhan menjadi luar biasa.

"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18).




02 Maret 2013

JIKA YESUS DI DALAM KITA



Saya seorang ahli bedah di Angkatan Tentara Amerika Serikat sewaktu Perang Saudara. Sesudah pertempuran Gettysburg, terdapat beratus-ratus prajurit yang terluka di rumah sakit tempat saya bertugas. Banyak yang harus diamputasi kaki atau lengannya karena luka-luka yang terlalu parah. Ada kalanya kedua-duanya harus diamputasi. Salah seorang dari mereka adalah seorang anak belasan tahun yang baru tiga bulan bergabung dengan angkatan tentara. Karena masih terlalu muda untuk menjadi prajurit, ia didaftarkan sebagai pemain drum. Sewaktu para perawat mau memberikan obat bius sebelum operasi amputasi, ia membalikkan kepalanya dan menolak untuk menerimanya. Ketika mereka memberitahunya bahwa itu adalah perintah dari dokter, ia berkata, "Panggil dokter ke mari." Saya menghampiri tempat tidurnya dan berkata, "Anak muda, mengapa kamu menolak untuk menerima obat bius? Ketika menemukan kamu di medan pertempuran, saya hampir tidak mengangkat kamu karena kamu sudah sekarat. Tapi ketika kamu mencelikkan mata, saya melihat matamu yang biru dan besar. Terlintas di benak saya bahwa entah di mana ada seorang ibu yang sedang memikirkan anaknya. Saya tidak mau kamu mati di medan tempur, jadi saya membawa kamu ke sini. Tapi, kamu sudah kehilangan terlalu banyak darah dan terlalu lemah untuk menjalani operasi ini tanpa obat bius. Sebaiknya kamu izinkan saya untuk memberimu obat bius."

Ia meletakkan tangannya di atas tangan saya, memandang wajah saya dan berkata, "Dokter, suatu hari Minggu, ketika berumur sembilan setengah tahun, saya menyerahkan hidup saya kepada Kristus. Sejak itu saya belajar untuk memercayai-Nya. Saya tahu saya dapat mempercayai-Nya sekarang. Dialah kekuatan saya. Dia akan menopang saya saat Dokter memotong lengan dan kaki saya."

Saya bertanya apakah ia mau meminum sedikit minumum keras untuk meringankan rasa sakitnya. Sekali iagi ia memandang saya dan berkata, "Dokter, ketika saya berumur sekitar 5 tahun, ibu saya berlutut di samping saya seraya merangkul saya dan berkata, 'Charlie, saya berdoa kepada Yesus agar kamu tidak akan pernah mencicipi setetes pun minuman keras. Ayahmu meninggal karena ia pemabuk. Dan saya telah meminta Allah untuk memakai kamu untuk memperingatkan orang lain tentang bahaya minuman keras, dan mendorong mereka agar mengasihi dan melayani Tuhan.' Saya sekarang berusia 17 tahun, dan tidak pernah meminum minuman yang lebih keras dari teh atau kopi. Kemungkinan saya mati dan bertemu dengan Tuhan sangatlah tinggi. Apakah kamu mau mengutus saya ke sana dengan mulut yang berbau minuman keras?"

Saya tidak akan pernah melupakan pandangan anak remaja itu saat ia menatap saya pada waktu itu. Pada waktu situ, saya membenci Yesus, tapi saya menghormati kesetiaan anak remaja itu kepada Juruselamatnya. Tatkala saya melihat betapa ia mengasihi dan mempercayai Dia sampai pada akhirnya, sesuatu menyentuh hati saya. Saya melakukan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan untuk prajurit lain. Saya bertanya apakah ia mau bertemu dengan pendetanya. Pendeta resimen sangat mengenal anak kecil itu karena ia sering mengikuti pertemuan doa di kamp. Ia memegang tangannya dan berkata, "Charlie, saya kasihan melihat keadaan kamu seperti ini." "Oh, saya tidak apa-apa, Pak," jawab Charlie. "Dokter telah menawarkan obat bius kepada saya, tapi saya memberitahunya saya tidak membutuhkannya. Lalu ia mau memberi saya minuman keras, yang juga saya tolak. Jadi sekarang, jika saya dipanggil Juruselamat saya, saya dapat pergi dengan akal budi yang waras dan sehat." "Kamu tidak boleh mati, Charlie," kata pendeta, "tapi jika Tuhan memanggil kamu pulang, apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan bagimu?" "Pak Pendeta, tolong ambilkan Alkitab yang ada di bawah bantal. Alamat ibu saya ada di dalam dan tuliskan surat kepadanya. Beri tahu dia bahwa sejak saya meninggalkan rumah, tidak sehari pun, baik ketika sedang berbaris di lapangan, di medan tempur, atau di rumah sakit, yang berlalu tanpa saya membaca sebagian kecil firman Allah. Setiap hari saya berdoa agar Tuhan memberkati dia." "Apakah ada hal lain yang dapat saya lakukan bagimu, Anakku?" tanya Pak Pendeta. "Ya, tolong tuliskan surat kepada guru Sekolah Minggu di Gereja Sands Street di Brooklyn, New York. Beri tahu dia bahwa saya tidak pernah melupakan dorongan, nasihat, dan doanya bagi saya. Mereka telah membantu dan menghibur saya selama saya melewati marabahaya di medan pertempuran. Sekarang, saat menjelang kematian saya, saya bersyukur kepada Tuhan untuk guru tua yang sangat saya kasihi, dan meminta Tuhan agar memberkati dan menguatkan dia. Itu saja."

Lalu, ia menoleh kepada saya dan berkata, "Saya siap Dok. Saya berjanji tak akan mengerang ketika Anda memotong lengan dan kaki saya, jika Anda tidak menawarkan saya obat bius." Saya berjanji kepadanya. Tetapi, saya sendiri tidak memiliki nyali untuk mengangkat pisau bedah tanpa terlebih dahulu masuk ke kamar saya dan meminum sedikit minuman keras. Ketika memotong dagingnya, Charlie Coulson tidak pernah mengerang kesakitan. Tetapi ketika saya mengambil gergaji untuk menggergaji tulangnya, ia menggigit ujung bantalnya dan saya dapat mendengarnya berbisik, "O Yesus, Yesus! Sertailah aku sekarang." Ia memenuhi janjinya. Ia tidak mengerang sama sekali.

Malam itu saya tidak dapat tidur. Tidak peduli ke arah mana saya berpaling, saya melihat mata birunya yang lembut itu. Kata-katanya, "Yesus, sertailah aku sekarang," terus berdengung di telinga saya. Sedikit melewati tengah malam, saya akhirnya meninggalkan tempat tidur dan mengunjungi rumah sakit, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya kecuali ada kasus gawat darurat. Saya mempunyai satu kerinduan yang kuat dan aneh untuk melihat anak itu. Ketika tiba di situ, saya diberi tahu oleh perawat bahwa 16 dari prajurit yang luka parah sudah meninggal dunia. "Apakah salah seorang darinya Charlie Coulson?" tanya saya. "Tidak, Pak," ia menjawab, "Charlie sedang tidur manis seperti bayi." Ketika saya mendekati tempat tidurnya, salah seorang perawat memberi tahu saya bahwa sekitar pukul 9 malam, dua anggota YMCA mengunjungi rumah sakit dan menyanyikan lagu-lagu pujian. Pak Pendeta menyertai mereka. Ia berlutut di samping tempat tidur Charlie dan menaikkan doa yang berapi-api dan menyentuh jiwa. Lalu, tetap dalam keadaan berlutut, mereka menyanyikan lagu "Yesus, kekasih jiwaku." Charlie bernyanyi bersama mereka. Saya tidak dapat mengerti bagaimana anak itu, yang dalam kondisi sangat kesakitan, dapat menyanyi."

Lima hari setelah saya melakukan operasi tersebut, Charlie memanggil saya, dan dari dialah saya pertama kali mendengar pesan Injil. "Dokter," ia berkata, "Waktu saya sudah hampir tiba. Saya tidak mungkin dapat melihat mata-hari terbit besok. Saya mau mengucapkan terima kasih dengan segenap hati saya untuk kebaikan Dokter. Saya tahu Dokter seorang Yahudi dan tidak percaya pada Yesus. Tetapi, saya mau Dokter tetap tinggal bersama saya dan melihat saya mati dan terus mempercayai Juruselamat saya hingga ke saat terakhir hidup saya." Saya mencoba untuk tetap bersamanya, tetapi saya tidak dapat. Saya tidak punya nyali untuk berdiri di situ melihat anak Kristen bersukacita dalam kasih Yesus yang saya benci, saat maut menjemputnya. Jadi saya terburu-buru meninggalkan kamar itu. Sekitar 20 menit kemudian, seorang perawat menemukan saya di kamar dengan tangan saya menutupi wajah saya. Ia memberi tahu saya bahwa Charlie mau bertemu dengan saya. "Saya baru saja menjenguknya tadi," saya menjawab, "Dan saya tidak dapat melihatnya lagi." "Tapi Dokter, dia berkata dia harus melihat Dokter sekali lagi sebelum mati." Jadi saya memutuskan untuk pergi dan bertemu dengan Charlie, mengucapkan sedikit kata-kata kasih sayang dan membiarkan dia mati. Bagaimana pun, saya bertekad bahwa tidak ada apa pun yang dia katakan tentang Yesusnya yang akan memengaruhi saya.

Ketika masuk kembali ke rumah sakit, saya melihat fisiknya melemah cepat sekali, jadi saya duduk di sampingnya. Dia meminta saya memegang tangannya. Dia berkata, "Dokter, saya mengasihi Dokter karena Dokter orang Yahudi. Teman saya yang paling akrab di dunia ini adalah orang Yahudi." Saya bertanya, siapa teman akrabnya itu. Dia menjawab, "Yesus Kristus, dan saya mau memperkenalkan Dokter kepada-Nya sebelum mati. Apakah Dokter mau berjanji bahwa apa yang akan saya katakan kepada Dokter, tidak akan Dokter lupakan?" Saya berjanji, dan ia berkata, "Lima hari yang lalu, ketika Dokter memotong kaki dan lengan saya, saya berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus dan meminta Dia untuk menunjukkan kasih-Mya kepada Dokter." Kata-kata itu sangat menyentuh hati saya. Saya tidak mengerti bagaimana, saat saya sedang menimbulkan rasa sakit yang begitu dahsyat pada dirinya, ia dapat melupakan dirinya dan tidak memikirkan apa-apa kecuali Juruselamatnya dan jiwa saya yang belum bertobat. Yang dapat saya ucapkan pada dia adalah, "Baiklah, Anakku sayang, kamu akan segera sembuh."

Dengan kata-kata itu saya meninggalkan dia, dan sekitar 12 menit setelah itu, ia tertidur, "aman dalam pelukan Yesus." Beratus-ratus prajurit mati di rumah sakit saya sepanjang perang itu, tetapi saya hanya menghadiri satu pemakaman, yaitu pemakaman Charlie Coulson. Saya bersepeda sejauh 3 blok untuk melihat dia dikuburkan. Saya mengenakan pakaian seragam yang baru pada tubuhnya dan menempatkan dia dalam peti jenazah khusus untuk perwira, dan menutupi peti itu dengan bendera Amerika Serikat. Kata-kata terakhir anak ini meninggalkan satu kesan mendalam dalam diri saya. Saya kaya pada waktu itu. Namun, saya lebih dari rela untuk menyerahkan segala kekayaan saya untuk dapat merasakan perasaan yang Charlie miliki terhadap Kristus. Tetapi, perasaan tersebut tidak dapat dibeli dengan uang. Tidak lama setelah itu saya melupakan khotbah prajurit Kristen ini, tetapi tidak dapat melupakan orangnya. Saat memandang ke belakang, saya sekarang tahu bahwa waktu itu saya berada di bawah cengkeraman rasa bersalah yang sangat mendalam.

Selama hampir 10 tahun saya melawan Kristus dengan segala kebencian seorang Yahudi Ortodoks, sehingga akhirnya doa anak remaja tercinta ini terjawab, dan saya menyerahkan hidup saya kepada kasih Yesus. Sekitar satu setengah tahun setelah pertobatan saya, saya menghadiri satu persekutuan doa pada suatu sore di daerah Brooklyn. Dalam pertemuan ini, orang Kristen sering menyaksikan kasih sayang Tuhan. Setelah beberapa orang selesai menyak¬sikan pengalaman mereka, seorang perempuan tua berdiri dan berkata, "Teman-teman yang kukasihi, ini mungkin kali terakhir saya membagikan kebaikan Tuhan kepada kalian. Kemarin dokter memberi tahu saya bahwa paru-paru kanan saya sudah hampir rusak dan, dan paru-paru kiri juga demikian. Saya hanya tinggal memiliki waktu yang sedikit bersama kalian. Namun, apa yang tersisa pada saya semuanya milik Yesus. Satu sukacita yang besar bagi saya karena tidak lama lagi saya akan bertemu dengan anak saya bersama Yesus di surga. Charlie bukan hanya seorang prajurit bagi negaranya, tetapi juga prajurit Kristus. Dia terluka di pertempuran di Gettysburg, dan dirawat oleh seorang dokter Yahudi, yang mengamputasi kaki dan lengannya. Dia mati 5 hari setelah operasinya. Pendeta resimennya menulis surat kepada saya dan mengirimkan Alkitab anak saya. Saya diberi tahu bahwa saat menjelang kematiannya, Charlie memanggil dokter Yahudi tersebut dan berkata kepada dia, "Lima hari yang lalu, ketika dokter memotong kaki dan lengan saya, saya berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus bagi Dokter." Ketika mendengar perempuan tua itu berbicara, saya tidak dapat berdiam diri. Saya meninggalkan tempat duduk saya, berlari ke arahnya dan memegang tangannya dan berkata, "Tuhan memberkati engkau, saudari yang terkasih. Doa anakmu sudah didengar dan terjawab! Sayalah dokter Yahudi yang didoakan Charlie. Sekarang Juruselamatnya adalah Juruselamat saya juga! Kasih Yesus telah memenangkan jiwa saya!"

UNTUK DIRENUNGKAN: Saat Anda membaca kisah di atas dan meneteskan air mata, Anda tidak sendirian. Saat membaca dan mengedit tulisan ini pun, saya meneteskan air mata. Namun, tetesan air mata yang terindah di hadapan Tuhan adalah air mata pertobatan.

UNTUK DILAKUKAN: "Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak balk waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran" (2 Timotius 4:2).