Yakub Tri Handoko, Th. M
The Priory of Sion
The Priory of Sion
Seperti yang sudah disinggung di awal tulisan ini, Brown secara eksplisit menyatakan bahwa catatan tentang beberapa organisasi/sekte dalam DVC (The Priory of Sion dan Opus Dei) sebagai fakta. Sejauh mana batasan “fakta” yang dimaksud Brown di sini? Bagian ini hanya akan menganalisa eksistensi The Priory of Sion, karena organisasi ini menjadi dasar dan pusat cerita DVC. The Knight Templar dan Opus Dei hanya ditampilkan Brown sebagai pelengkap cerita saja. Seandainya The Priory of Sion memang pemelihara rahasia pernikahan Yesus-Maria Magdalena dan bahwa Leonardo Da Vinci pernah menjadi anggotanya, maka cerita DVC memiliki benang merah yang sangat masuk akal. Sebaliknya, seandainya keterangan Brown salah (terutama tentang keanggotaan Da Vinci), maka novel/film Brown akan kehilangan inti cerita, yaitu kode Da Vinci. Dengan kata lain, seandainya Da Vinci bukan anggota The Priory of Sion, maka DVC dari sisi historis sudah gagal sejak awal.
Apakah sekte The Priory of Sion sungguh-sungguh ada? Benarkah organisasi ini merupakan pemelihara rahasia pernikahan Yesus-Maria Magdalena melalui indikasi-indikasi implisit dalam berbagai tulisan kuno, lukisan dan arsitektur? Untuk meneliti ini sebaiknya dimulai dari pernyataan Brown sendiri bahwa “faktualitas” The Priory of Sion ia dapatkan dari perkamen di Paris’ Bibliotheque Nationale yang disebut Les Dossiers Secrets. Dalam hal ini Brown sangat dipengaruhi oleh buku Holy Blood Holy Grail yang juga memakai Les Dossiers Secrets sebagai dasar teori mereka. Di sinilah letak kesalahan terbesar Brown. Les Dossiers Secrets adalah dokumen palsu.
Eksistensi perkamen tersebut secara historis dapat ditelusuri sampai pada tahun 1950-an. Seorang berkebangsaan Prancis yang bernama Pierre Plantard mendirikan sebuah kelompok sosial yang kecil pada tahun 1954 yang ia beri nama The Priory of Sion. Tujuan dari organisasi ini adalah mengusahakan perumahan yang murah di negara Prancis. Tahun 1957 organisasi ini bubar, tetapi namanya tetap disangkutpautkan dengan Plantard. Selama tahun 1960-an dan 1970-an Plantard mengumpulkan dokumen-dokumen yang “membuktikan” teori pernikahan Yesus-Maria Magdalena, yang dipercaya sebagai cikal-bakal keturunan raja-raja Prancis yang disebut dinasti Merovingian. Plantard sendiri mengklaim bahwa ia adalah salah satu keturunan dari Yesus-Maria Magdalena. Untuk menyukseskan pendirian monarki Prancis, ia merekrut sejumlah pengikut dan mempopulerkan teori pernikahan Yesus-Maria Magdalena dengan cara meletakkan perkamen-perkamen itu di Bibliotheque Nationale. Beberapa waktu setelah itu, salah seorang sahabat president Prancis terlibat dalam masalah hukum dan Plantard dipanggil untuk memberikan kesaksian terkait dengan Les Dossiers Secrets. Di bawah sumpah ketika dia ditanya di pengadilan ia mengakui bahwa ia mengarang semua cerita dalam dokumen tersebut. Temannya juga menegaskan pengakuan ini. Semua ini telah dicatat dalam banyak buku di Prancis (lihat James Garlow and Peter Jones, Cracking Da Vinci's Code, hlm. 112).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa organisasi The Priory of Sion memang pernah ada, tetapi bukan seperti yang digambarkan dalam DVC. Tidak ada rahasia besar yang diteruskan oleh organisasi ini. Dengan demikian, keterangan tentang keanggotaan Da Vinci dalam organisasi ini juga fiktif, sehingga yang namanya “Da Vinci Code” juga tidak pernah ada.
Kode dalam karya Da Vinci
Inti lain dari DVC adalah keyakinan Brown bahwa Da Vinci menyimpan kode-kode tertentu dalam beberapa karyanya yang mengarah pada pernikahan Yesus-Maria Magdalena. Ia juga mengutip “pernyataan Da Vinci” yang terkesan negatif terhadap akurasi Perjanjian Baru maupun tradisi dalam gereja. Benarkah Da Vinci adalah seorang yang radikal dalam hal doktrin (iman)?
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah konteks jaman Renaissance pada abad ke-15 di mana Da Vinci hidup. Masa ini ditandai dengan timbulnya semangat mempelajari tulisan-tulisan kuno Yunani-Romawi dan cara pandang humanisme. Dua hal ini, ditambah dengan dekadensi moral di kalangan rohaniwan, pada akhirnya menimbulkan sikap negatif terhadap gereja. Da Vinci juga ofensif terhadap gereja, tetapi bukan seperti yang digambarkan Brown. Da Vinci hanya menyerang dekadensi moral dan kemewahan hidup para rohaniwan waktu itu.
Bagaimana dengan tulisan Da Vinci yang menganggap Perjanjian Baru berisi angan-angan dan mujizat palsu yang menipu banyak orang (hlm. 231)? Brown ternyata telah mengutip pernyataan Da Vinci lepas dari konteksnya (out of context). Pernyataan Da Vinci yang dikutip Brown tidak berhubungan dengan Perjanjian Baru sama sekali. Brown hanya mengambil beberapa kata dari pernyataan Da Vinci tentang masalah kimiawi (bahan/zat). Yang dimaksud penipuan oleh Da Vinci adalah pandangan tradisional yang menganggap air raksa adalah benih dari setiap logam.
Hal kedua yang penting untuk dibahas adalah “kode” dalam lukisan Mona Lisa. Brown menyatakan bahwa ada perpaduan (kesejajaran) antara laki-laki dan perempuan dalam lukisan Mona Lisa (hlm. 120). Ia bahkan menyatakan bahwa nama “Mona Lisa” merupakan sebuah anagram yang merujuk pada dewa-dewa kesuburan Mesir kuno yang bernama dewa Amon dan dewi Isis (yang dalam piktograf disebut L’ISA). Dalam hal ini Brown telah melakukan kesalahan yang fatal. Da Vinci tidak pernah memberi nama lukisannya. Tidak heran, beragam orang menyebut lukisan “Mona Lisa” dengan beragam nama. Sebutan “Mona Lisa” sendiri baru muncul dalam buku karangan Giorgio Vasari tahun 1550 yang berjudul The Lives of the Artist. Jadi, nama “Mona Lisa” baru ada sekitar 30 tahun setelah kematian Da Vinci.
Selain itu, teori anagram Brown juga defektif. Dewa Amon (Ammon atau Amun) adalah dewa matahari yang tidak secara khusus berhubungan dengan kesuburan. Pada waktu dewa Amon dihubungkan dengan seorang dewi, ia disandingkan dengan dewi Muth (bukan Isis).
Lukisan lain yang paling penting dan menjadi inti kode Da Vinci adalah The Last Supper. Menurut Brown, figur di sebelah kanan Yesus adalah Maria Magdalena, karena wajahnya tampak feminin. Hal ini dipertegas dengan posisi Yesus dan Maria Magdalena yang membentuk huruf “V” (simbol rahim/wanita). Petrus sendiri digambarkan seperti sedang mengancam Maria Magdalena dengan posisi tangannya yang sedang memegang pisau di dekat leher Maria Magdalena. Brown juga memberi penekanan pada ketidakadaan cawan perjamuan yang ia percayai dimaksudkan Da Vinci untuk memberitahu bahwa cawan darah perjanjian yang sejati adalah Maria Magdalena.
Tafsiran Brown di atas sangat spekulatif dan tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Da Vinci. Hal terpenting yang perlu diketahi adalah bahwa lukisan ini tidak berbicara tentang perjamuan terakhir ketika Yesus membagikan roti dan anggur sebagai tanda pengorbanannya. Lukisan ini mengisahkan momen ketika Yesus memberitahu siapa yang akan mengkhianati Dia (Yoh 13:21-24). Hal ini didukung oleh beberapa bukti: (1) semua murid saling menanyakan satu kepada yang lain; (2) Petrus menanyai seorang murid yang duduk di sebelah kanan Yesus. Karena momen yang dicatat adalah perjamuan terakhir versi Yohanes, maka tidak ada catatan tentang cawan, karena dalam Yohanes 13 Yesus memang tidak membagikan roti dan anggur.
Tafsiran di atas sekaligus bisa menjelaskan posisi Yesus dan figur yang ada di sebelah kanannya (menurut Yohanes 13:23 figur ini adalah Yohanes). Posisi Yohanes (atau Maria Magdalena menurut Brown) yang agak condong ke kanan berguna untuk menunjukkan sebuah harmoni, yaitu murid-murid dikelompokkan ke dalam 4 grup masing-masing terdiri dari 3 orang. Selain itu, posisi ini juga penting untuk menampilkan Yesus sebagai pusat dari lukisan ini. Yesus berada di tengah dan tampak sendirian (terpisah) dari empat kelompok murid yang ada.
Sehubungan dengan identitas figur di sebelah kanan Yesus, dia pasti salah seorang dari 12 murid. Kitab-kitab Injil menunjukkan bahwa pada saat perjamuan terakhir 12 murid bersama dengan Yesus, baru setelah itu Yudas pergi meninggalkan mereka (Yoh 13:27-30). Seandainya figur itu adalah Maria Magdalena, hal ini akan meninggalkan sebuah pertanyaan tentang siapa di antara 12 murid yang tidak hadir pada waktu momen penting tersebut.
Tentang figur Yohanes yang tampak feminin, hal ini harus dipahami dalam konteks jaman Renaissance. Orang-orang pada jaman itu terbiasa menggambarkan figur “murid yang ideal” dengan wajah yang tampak sangat muda, rambut yang panjang dan wajah yang bersih dari kumis dan jenggot. Gambaran ini berguna untuk menunjukkan bahwa seorang murid masih belum berpengalaman dan perlu terus bersama dengan gurunya. Tidak heran, wajah Yohanes dalam beberapa lukisan jaman Renaissance juga memiliki penampilan yang hampir sama dengan yang ada di lukisan The Last Supper. Gambaran tentang murid yang ideal untuk Yohanes sangat sesuai dengan karakter Yohanes di Injil Yohanes. Ia disebut dengan “murid yang dikasihi Tuhan” dan paling cepat memahami sesuatu (Yoh 20:2, 4, 8; 21:7, 20).
Maria Magdalena di luar Alkitab
Figur Maria Magdalena memiliki peranan sangat sentral dalam DVC. Secara umum dapat dikatakan bahwa misteri yang ingin diungkap dalam DVC berpusat pada Maria Magdalena (dan Yesus). Gambaran “baru” tentang Maria Magdalena dalam DVC berhubungan dengan pemunculan Maria Magdalena dalam tulisan bapa gereja dan naskah-naskah kuno yang beraliran Gnostik.
Datum pertama terdapat dalam tulisan bapa gereja Hippolytus, abad ke-3, dalam tafsiran Kidung Agung 24-26. Ia menulis “supaya rasul-rasul wanita tidak meragukan malaikat-malaikat, Kristus sendiri datang kepada mereka supaya mereka menjadi rasul-rasul Kristus dan dengan ketaatan mereka memperbaiki dosa Hawa yang dulu...Kristus datang kepada rasul-rasul laki-laki dan berkata kepada mereka:...’Akulah yang menampakkan diri kepada wanita-wanita ini dan Akulah yang mengirim mereka kepadamu sebagai rasul [dari para rasul]’”.
Teks berikutnya yang penting adalah Injil Filipus 63:32-64:10. Bagian yang paling kontroversial terdapat dalam pasal 63:33-36 “dan teman/istri dari [....] Maria Magdalena. [...mengasihi] dia lebih daripada [semua] murid dan [terbiasa] mencium dia [sering] pada [...]nya”. Tanda kurung di atas menunjukkan bagian yang hilang dari naskah kuno yang ditemukan, sehingga menimbulkan spekulasi beragam dari para sarjana. Berdasarkan konteks bagian ini, konteks Injil Filipus secara umum (terutama pasal 58-59) dan ukuran bagian yang hilang para sarjana mencoba merekonstruksi kata apa yang telah hilang. Mereka umumnya merekonstruksi seluruh teks di atas sebagai berikut : “dan teman (istri) dari Juru Selamat Maria Magdalena mengasihi dia lebih daripada semua murid yang lain dan terbiasa mencium dia sering pada mulutnya”. Rekonstruksi seperti ini dianggap menyiratkan bahwa Maria Magdalena adalah istri Yesus.
Teks terakhir berasal dari kitab yang ditulis pada abad ke-2, yang bernama Injil Maria Magdalena. Bagian yang sangat kontroversial adalah Injil Maria 17:10-18:21 yang berbunyi sebagai berikut : “Tetapi Andreas menjawab dan berkata kepada saudara-saudara, “katakan apa yang ingin kalian katakan tentang apa yang telah ia (Maria Magdalena) katakan. Aku setidaknya tidak percaya kalau Juru Selamat mengatakan seperti itu, karena ajaran-ajaran itu jelas merupakan hal yang aneh”. Petrus menjawab dan mengatakan hal yang sama. Ia menanyakan mereka tentang Juru Selamat: “apakah Ia sungguh-sungguh berbicara dengan seorang wanita tanpa pengetahuan kita dan tidak secara publik? Akankah kita berpaling dan semua mendengarkan dia (Maria Magdalena)? Apakah Ia lebih memilih dia daripada kita?” Lalu Maria meratap dan berkata kepada Petrus, “Saudaraku Petrus, apa yang engkau pikirkan? Apakah engkau berpikir bahwa aku sendiri telah memikirkan hal ini atau aku sedang berdusta tentang Juru Selamat?” Lewi menjawab dan berkata kepada Petrus, “Petrus, engkau selalu temperamental. Sekarang aku melihat engkau menentang seorang wanita seperti musuh. Tetapi jika Juru Selamat membuat dia layak, akankah engkau sungguh-sungguh menolaknya? Juru Selamat tentu mengenal dia sangat baik. Itulah sebabnya Ia mengasihi dia lebih daripada kita. Sebaliknya, biarlah kita malu dan memakai Manusia sempurna, berpisah sebagaimana Ia memerintahkan kita dan memberitakan Injil, tidak meletakkan hukum atau peraturan lain selain apa yang Juru Selamat katakan”.
Sebelum membahas teks-teks tersebut secara detil, ada beberapa penjelasan dalam DVC yang perlu ditambahkan sehubungan dengan isu kepemimpinan Maria Magdalena. Brown menganggap sumber kuno di atas sebagai bukti atau dasar untuk mengetahui hubungan Yesus dan Maria Magdalena yang sebenarnya. Kanonisasi yang dilakukan gereja pada abad ke-4 (setelah gereja memiliki kekuatan karena dijadikan agama negara) merupakan cara untuk menyingkirkan “sumber-sumber terpercaya” ini dan untuk memberi legitimasi pada kitab-kitab yang sejalan dengan ajaran gereja. Usaha ini selanjutnya didukung oleh berbagai konsili (terutama Konsili Nicea, tahun 325) yang menghasilkan kredo yang menampilkan keilahian Yesus.
Bagaimana meresponi catatan-catatan kuno di atas? Pertama, tentang catatan Hippolytus. Untuk memperjelas masalah, perlu diketahui bahwa frase “rasul dari para rasul” tidak ada dalam tulisan Hippolytus. Tambahan “dari para rasul” baru muncul pada abad ke-10. Hippolytus memang menyebut Maria Magdalena sebagai rasul wanita. Hal ini sesuai dengan catatan kitab-kitab Injil yang menceritakan tentang penampakan diri Yesus kepada Maria Magdalena dan pengutusan Yesus supaya Maria Magdalena pergi kepada para murid (band. Yoh 20:17). Dari sini terlihat bahwa sebelum Konsili Nicea, gereja mula-mula dan bapa-bapa gereja dari kalangan ortodoks tetap mengakui posisi Maria Magdalena sebagai rasul.
Apakah hal itu berarti pandangan Brown benar? Perlu diperhatikan, kutipan Hippolytus tidak berbicara secara khusus tentang Maria Magdalena. Bentuk jamak yang dikenakan pada rasul-rasul wanita dalam kutipan ini menunjukkan bahwa Hippolytus memikirkan perempuan-perempuan lain juga sebagai rasul. Namun, apakah maksud istilah “rasul” di sini? Dalam Perjanjian Baru, kata rasul (apostolos) bisa merujuk pada tiga kelompok: 12 murid (Mat 10:2//Luk 6:13), orang-orang tertentu yang memegang kepempinan dalam gereja secara resmi (misalnya Paulus dan Barnabas, Kis 14:14; Rom 1:1) dan orang-orang Kristen secara umum yang memberitakan Injil (1Kor 9:5-6; 2Kor 8:3, 23; Flp 2:25). Dari konteks kutipan Hippolytus terlihat bahwa “rasul-rasul wanita” adalah mereka yang melihat peristiwa kebangkitan dan diutus memberitakan kabar baik. Jadi, “rasul” di sini tidak berhubungan dengan posisi formal kepemimpinan dalam gereja. Seandainya ini diterima, maka tidak ada yang istimewa dalam kutipan Hippolytus, karena Perjanjian Baru juga menyebut beberapa wanita sebagai rasul maupun nabi, misalnya Yunias (Rom 16:7), anak-anak Filipus (Kis 21:9).
Kedua, tentang Injil Filipus. Ada beberapa hal yang memicu perdebatan para sarjana. Yang terutama adalah arti kata koinonos dalam frase “teman/istri dari [Juru Selamat]”. Kata “koinonos” bisa berarti teman atau istri. Berdasarkan pemakaian kata ini dalam literatur Yunani, koinonos sebaiknya dipahami sebagai teman. Seandainya yang dimaksud adalah “istri”, maka penulis Injil Filipus pasti akan memakai kata yang lebih umum, yaitu “gunh”.
Hal lain yang perlu dibahas adalah ciuman Yesus kepada Maria Magdalena. Kita perlu memahami bahwa tulisan-tulisan Gnostik penuh dengan simbol. Maria Magdalena sendiri dalam Injil Filipus digambarkan sebagai Sang Hikmat, ibu dari para malaikat dan saudara perempuan dari Juru Selamat. Berdasarkan pemahaman tentang genre dan teologi Gnostik ini, kita sebaiknya memahami ciuman Yesus “di bibir” (seandainya kata yang hilang memang demikian) dalam kitab ini secara simbolis, yaitu penerusan firman. Hal ini bisa dipahami karena figur Maria Magdalena sebagai Sang Hikmat. Kasih Yesus kepada Maria Magdalena yang melebihi murid-murid lain bisa dimengerti dengan mudah apabila dikaitkan dengan posisi Maria Magdalena secara mistis dalam tulisan Gnostik.
Ketiga, tentang Injil Maria Magdalena. Sebagaimana dalam tulisan Gnostik lainnya, kitab ini juga memiliki ungkapan-ungkapan yang simbolis dan misterius. Tidak terkecuali Injil Maria Magdalena 17:10-18:21. Teks ini menggambarkan pertentangan antara aliran ortodoks (diwakili oleh Petrus) dan aliran minoritas lain (diwakili tokoh wanita Maria Magdalena). Pertentangan ini juga hanya berhubungan dengan wahyu Allah, bukan jabatan gerejawi. Kaum Gnostik menganggap diri sebagai penerima pengetahuan yang rahasia dari Kristus, sedangkan pengetahuan ini bertentangan dengan ajaran gereja pada umumnya. Jadi, teks ini sama sekali tidak membicarakan tentang perebutan posisi kepemimpinan dalam gereja.
Apakah sekte The Priory of Sion sungguh-sungguh ada? Benarkah organisasi ini merupakan pemelihara rahasia pernikahan Yesus-Maria Magdalena melalui indikasi-indikasi implisit dalam berbagai tulisan kuno, lukisan dan arsitektur? Untuk meneliti ini sebaiknya dimulai dari pernyataan Brown sendiri bahwa “faktualitas” The Priory of Sion ia dapatkan dari perkamen di Paris’ Bibliotheque Nationale yang disebut Les Dossiers Secrets. Dalam hal ini Brown sangat dipengaruhi oleh buku Holy Blood Holy Grail yang juga memakai Les Dossiers Secrets sebagai dasar teori mereka. Di sinilah letak kesalahan terbesar Brown. Les Dossiers Secrets adalah dokumen palsu.
Eksistensi perkamen tersebut secara historis dapat ditelusuri sampai pada tahun 1950-an. Seorang berkebangsaan Prancis yang bernama Pierre Plantard mendirikan sebuah kelompok sosial yang kecil pada tahun 1954 yang ia beri nama The Priory of Sion. Tujuan dari organisasi ini adalah mengusahakan perumahan yang murah di negara Prancis. Tahun 1957 organisasi ini bubar, tetapi namanya tetap disangkutpautkan dengan Plantard. Selama tahun 1960-an dan 1970-an Plantard mengumpulkan dokumen-dokumen yang “membuktikan” teori pernikahan Yesus-Maria Magdalena, yang dipercaya sebagai cikal-bakal keturunan raja-raja Prancis yang disebut dinasti Merovingian. Plantard sendiri mengklaim bahwa ia adalah salah satu keturunan dari Yesus-Maria Magdalena. Untuk menyukseskan pendirian monarki Prancis, ia merekrut sejumlah pengikut dan mempopulerkan teori pernikahan Yesus-Maria Magdalena dengan cara meletakkan perkamen-perkamen itu di Bibliotheque Nationale. Beberapa waktu setelah itu, salah seorang sahabat president Prancis terlibat dalam masalah hukum dan Plantard dipanggil untuk memberikan kesaksian terkait dengan Les Dossiers Secrets. Di bawah sumpah ketika dia ditanya di pengadilan ia mengakui bahwa ia mengarang semua cerita dalam dokumen tersebut. Temannya juga menegaskan pengakuan ini. Semua ini telah dicatat dalam banyak buku di Prancis (lihat James Garlow and Peter Jones, Cracking Da Vinci's Code, hlm. 112).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa organisasi The Priory of Sion memang pernah ada, tetapi bukan seperti yang digambarkan dalam DVC. Tidak ada rahasia besar yang diteruskan oleh organisasi ini. Dengan demikian, keterangan tentang keanggotaan Da Vinci dalam organisasi ini juga fiktif, sehingga yang namanya “Da Vinci Code” juga tidak pernah ada.
Kode dalam karya Da Vinci
Inti lain dari DVC adalah keyakinan Brown bahwa Da Vinci menyimpan kode-kode tertentu dalam beberapa karyanya yang mengarah pada pernikahan Yesus-Maria Magdalena. Ia juga mengutip “pernyataan Da Vinci” yang terkesan negatif terhadap akurasi Perjanjian Baru maupun tradisi dalam gereja. Benarkah Da Vinci adalah seorang yang radikal dalam hal doktrin (iman)?
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah konteks jaman Renaissance pada abad ke-15 di mana Da Vinci hidup. Masa ini ditandai dengan timbulnya semangat mempelajari tulisan-tulisan kuno Yunani-Romawi dan cara pandang humanisme. Dua hal ini, ditambah dengan dekadensi moral di kalangan rohaniwan, pada akhirnya menimbulkan sikap negatif terhadap gereja. Da Vinci juga ofensif terhadap gereja, tetapi bukan seperti yang digambarkan Brown. Da Vinci hanya menyerang dekadensi moral dan kemewahan hidup para rohaniwan waktu itu.
Bagaimana dengan tulisan Da Vinci yang menganggap Perjanjian Baru berisi angan-angan dan mujizat palsu yang menipu banyak orang (hlm. 231)? Brown ternyata telah mengutip pernyataan Da Vinci lepas dari konteksnya (out of context). Pernyataan Da Vinci yang dikutip Brown tidak berhubungan dengan Perjanjian Baru sama sekali. Brown hanya mengambil beberapa kata dari pernyataan Da Vinci tentang masalah kimiawi (bahan/zat). Yang dimaksud penipuan oleh Da Vinci adalah pandangan tradisional yang menganggap air raksa adalah benih dari setiap logam.
Hal kedua yang penting untuk dibahas adalah “kode” dalam lukisan Mona Lisa. Brown menyatakan bahwa ada perpaduan (kesejajaran) antara laki-laki dan perempuan dalam lukisan Mona Lisa (hlm. 120). Ia bahkan menyatakan bahwa nama “Mona Lisa” merupakan sebuah anagram yang merujuk pada dewa-dewa kesuburan Mesir kuno yang bernama dewa Amon dan dewi Isis (yang dalam piktograf disebut L’ISA). Dalam hal ini Brown telah melakukan kesalahan yang fatal. Da Vinci tidak pernah memberi nama lukisannya. Tidak heran, beragam orang menyebut lukisan “Mona Lisa” dengan beragam nama. Sebutan “Mona Lisa” sendiri baru muncul dalam buku karangan Giorgio Vasari tahun 1550 yang berjudul The Lives of the Artist. Jadi, nama “Mona Lisa” baru ada sekitar 30 tahun setelah kematian Da Vinci.
Selain itu, teori anagram Brown juga defektif. Dewa Amon (Ammon atau Amun) adalah dewa matahari yang tidak secara khusus berhubungan dengan kesuburan. Pada waktu dewa Amon dihubungkan dengan seorang dewi, ia disandingkan dengan dewi Muth (bukan Isis).
Lukisan lain yang paling penting dan menjadi inti kode Da Vinci adalah The Last Supper. Menurut Brown, figur di sebelah kanan Yesus adalah Maria Magdalena, karena wajahnya tampak feminin. Hal ini dipertegas dengan posisi Yesus dan Maria Magdalena yang membentuk huruf “V” (simbol rahim/wanita). Petrus sendiri digambarkan seperti sedang mengancam Maria Magdalena dengan posisi tangannya yang sedang memegang pisau di dekat leher Maria Magdalena. Brown juga memberi penekanan pada ketidakadaan cawan perjamuan yang ia percayai dimaksudkan Da Vinci untuk memberitahu bahwa cawan darah perjanjian yang sejati adalah Maria Magdalena.
Tafsiran Brown di atas sangat spekulatif dan tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Da Vinci. Hal terpenting yang perlu diketahi adalah bahwa lukisan ini tidak berbicara tentang perjamuan terakhir ketika Yesus membagikan roti dan anggur sebagai tanda pengorbanannya. Lukisan ini mengisahkan momen ketika Yesus memberitahu siapa yang akan mengkhianati Dia (Yoh 13:21-24). Hal ini didukung oleh beberapa bukti: (1) semua murid saling menanyakan satu kepada yang lain; (2) Petrus menanyai seorang murid yang duduk di sebelah kanan Yesus. Karena momen yang dicatat adalah perjamuan terakhir versi Yohanes, maka tidak ada catatan tentang cawan, karena dalam Yohanes 13 Yesus memang tidak membagikan roti dan anggur.
Tafsiran di atas sekaligus bisa menjelaskan posisi Yesus dan figur yang ada di sebelah kanannya (menurut Yohanes 13:23 figur ini adalah Yohanes). Posisi Yohanes (atau Maria Magdalena menurut Brown) yang agak condong ke kanan berguna untuk menunjukkan sebuah harmoni, yaitu murid-murid dikelompokkan ke dalam 4 grup masing-masing terdiri dari 3 orang. Selain itu, posisi ini juga penting untuk menampilkan Yesus sebagai pusat dari lukisan ini. Yesus berada di tengah dan tampak sendirian (terpisah) dari empat kelompok murid yang ada.
Sehubungan dengan identitas figur di sebelah kanan Yesus, dia pasti salah seorang dari 12 murid. Kitab-kitab Injil menunjukkan bahwa pada saat perjamuan terakhir 12 murid bersama dengan Yesus, baru setelah itu Yudas pergi meninggalkan mereka (Yoh 13:27-30). Seandainya figur itu adalah Maria Magdalena, hal ini akan meninggalkan sebuah pertanyaan tentang siapa di antara 12 murid yang tidak hadir pada waktu momen penting tersebut.
Tentang figur Yohanes yang tampak feminin, hal ini harus dipahami dalam konteks jaman Renaissance. Orang-orang pada jaman itu terbiasa menggambarkan figur “murid yang ideal” dengan wajah yang tampak sangat muda, rambut yang panjang dan wajah yang bersih dari kumis dan jenggot. Gambaran ini berguna untuk menunjukkan bahwa seorang murid masih belum berpengalaman dan perlu terus bersama dengan gurunya. Tidak heran, wajah Yohanes dalam beberapa lukisan jaman Renaissance juga memiliki penampilan yang hampir sama dengan yang ada di lukisan The Last Supper. Gambaran tentang murid yang ideal untuk Yohanes sangat sesuai dengan karakter Yohanes di Injil Yohanes. Ia disebut dengan “murid yang dikasihi Tuhan” dan paling cepat memahami sesuatu (Yoh 20:2, 4, 8; 21:7, 20).
Maria Magdalena di luar Alkitab
Figur Maria Magdalena memiliki peranan sangat sentral dalam DVC. Secara umum dapat dikatakan bahwa misteri yang ingin diungkap dalam DVC berpusat pada Maria Magdalena (dan Yesus). Gambaran “baru” tentang Maria Magdalena dalam DVC berhubungan dengan pemunculan Maria Magdalena dalam tulisan bapa gereja dan naskah-naskah kuno yang beraliran Gnostik.
Datum pertama terdapat dalam tulisan bapa gereja Hippolytus, abad ke-3, dalam tafsiran Kidung Agung 24-26. Ia menulis “supaya rasul-rasul wanita tidak meragukan malaikat-malaikat, Kristus sendiri datang kepada mereka supaya mereka menjadi rasul-rasul Kristus dan dengan ketaatan mereka memperbaiki dosa Hawa yang dulu...Kristus datang kepada rasul-rasul laki-laki dan berkata kepada mereka:...’Akulah yang menampakkan diri kepada wanita-wanita ini dan Akulah yang mengirim mereka kepadamu sebagai rasul [dari para rasul]’”.
Teks berikutnya yang penting adalah Injil Filipus 63:32-64:10. Bagian yang paling kontroversial terdapat dalam pasal 63:33-36 “dan teman/istri dari [....] Maria Magdalena. [...mengasihi] dia lebih daripada [semua] murid dan [terbiasa] mencium dia [sering] pada [...]nya”. Tanda kurung di atas menunjukkan bagian yang hilang dari naskah kuno yang ditemukan, sehingga menimbulkan spekulasi beragam dari para sarjana. Berdasarkan konteks bagian ini, konteks Injil Filipus secara umum (terutama pasal 58-59) dan ukuran bagian yang hilang para sarjana mencoba merekonstruksi kata apa yang telah hilang. Mereka umumnya merekonstruksi seluruh teks di atas sebagai berikut : “dan teman (istri) dari Juru Selamat Maria Magdalena mengasihi dia lebih daripada semua murid yang lain dan terbiasa mencium dia sering pada mulutnya”. Rekonstruksi seperti ini dianggap menyiratkan bahwa Maria Magdalena adalah istri Yesus.
Teks terakhir berasal dari kitab yang ditulis pada abad ke-2, yang bernama Injil Maria Magdalena. Bagian yang sangat kontroversial adalah Injil Maria 17:10-18:21 yang berbunyi sebagai berikut : “Tetapi Andreas menjawab dan berkata kepada saudara-saudara, “katakan apa yang ingin kalian katakan tentang apa yang telah ia (Maria Magdalena) katakan. Aku setidaknya tidak percaya kalau Juru Selamat mengatakan seperti itu, karena ajaran-ajaran itu jelas merupakan hal yang aneh”. Petrus menjawab dan mengatakan hal yang sama. Ia menanyakan mereka tentang Juru Selamat: “apakah Ia sungguh-sungguh berbicara dengan seorang wanita tanpa pengetahuan kita dan tidak secara publik? Akankah kita berpaling dan semua mendengarkan dia (Maria Magdalena)? Apakah Ia lebih memilih dia daripada kita?” Lalu Maria meratap dan berkata kepada Petrus, “Saudaraku Petrus, apa yang engkau pikirkan? Apakah engkau berpikir bahwa aku sendiri telah memikirkan hal ini atau aku sedang berdusta tentang Juru Selamat?” Lewi menjawab dan berkata kepada Petrus, “Petrus, engkau selalu temperamental. Sekarang aku melihat engkau menentang seorang wanita seperti musuh. Tetapi jika Juru Selamat membuat dia layak, akankah engkau sungguh-sungguh menolaknya? Juru Selamat tentu mengenal dia sangat baik. Itulah sebabnya Ia mengasihi dia lebih daripada kita. Sebaliknya, biarlah kita malu dan memakai Manusia sempurna, berpisah sebagaimana Ia memerintahkan kita dan memberitakan Injil, tidak meletakkan hukum atau peraturan lain selain apa yang Juru Selamat katakan”.
Sebelum membahas teks-teks tersebut secara detil, ada beberapa penjelasan dalam DVC yang perlu ditambahkan sehubungan dengan isu kepemimpinan Maria Magdalena. Brown menganggap sumber kuno di atas sebagai bukti atau dasar untuk mengetahui hubungan Yesus dan Maria Magdalena yang sebenarnya. Kanonisasi yang dilakukan gereja pada abad ke-4 (setelah gereja memiliki kekuatan karena dijadikan agama negara) merupakan cara untuk menyingkirkan “sumber-sumber terpercaya” ini dan untuk memberi legitimasi pada kitab-kitab yang sejalan dengan ajaran gereja. Usaha ini selanjutnya didukung oleh berbagai konsili (terutama Konsili Nicea, tahun 325) yang menghasilkan kredo yang menampilkan keilahian Yesus.
Bagaimana meresponi catatan-catatan kuno di atas? Pertama, tentang catatan Hippolytus. Untuk memperjelas masalah, perlu diketahui bahwa frase “rasul dari para rasul” tidak ada dalam tulisan Hippolytus. Tambahan “dari para rasul” baru muncul pada abad ke-10. Hippolytus memang menyebut Maria Magdalena sebagai rasul wanita. Hal ini sesuai dengan catatan kitab-kitab Injil yang menceritakan tentang penampakan diri Yesus kepada Maria Magdalena dan pengutusan Yesus supaya Maria Magdalena pergi kepada para murid (band. Yoh 20:17). Dari sini terlihat bahwa sebelum Konsili Nicea, gereja mula-mula dan bapa-bapa gereja dari kalangan ortodoks tetap mengakui posisi Maria Magdalena sebagai rasul.
Apakah hal itu berarti pandangan Brown benar? Perlu diperhatikan, kutipan Hippolytus tidak berbicara secara khusus tentang Maria Magdalena. Bentuk jamak yang dikenakan pada rasul-rasul wanita dalam kutipan ini menunjukkan bahwa Hippolytus memikirkan perempuan-perempuan lain juga sebagai rasul. Namun, apakah maksud istilah “rasul” di sini? Dalam Perjanjian Baru, kata rasul (apostolos) bisa merujuk pada tiga kelompok: 12 murid (Mat 10:2//Luk 6:13), orang-orang tertentu yang memegang kepempinan dalam gereja secara resmi (misalnya Paulus dan Barnabas, Kis 14:14; Rom 1:1) dan orang-orang Kristen secara umum yang memberitakan Injil (1Kor 9:5-6; 2Kor 8:3, 23; Flp 2:25). Dari konteks kutipan Hippolytus terlihat bahwa “rasul-rasul wanita” adalah mereka yang melihat peristiwa kebangkitan dan diutus memberitakan kabar baik. Jadi, “rasul” di sini tidak berhubungan dengan posisi formal kepemimpinan dalam gereja. Seandainya ini diterima, maka tidak ada yang istimewa dalam kutipan Hippolytus, karena Perjanjian Baru juga menyebut beberapa wanita sebagai rasul maupun nabi, misalnya Yunias (Rom 16:7), anak-anak Filipus (Kis 21:9).
Kedua, tentang Injil Filipus. Ada beberapa hal yang memicu perdebatan para sarjana. Yang terutama adalah arti kata koinonos dalam frase “teman/istri dari [Juru Selamat]”. Kata “koinonos” bisa berarti teman atau istri. Berdasarkan pemakaian kata ini dalam literatur Yunani, koinonos sebaiknya dipahami sebagai teman. Seandainya yang dimaksud adalah “istri”, maka penulis Injil Filipus pasti akan memakai kata yang lebih umum, yaitu “gunh”.
Hal lain yang perlu dibahas adalah ciuman Yesus kepada Maria Magdalena. Kita perlu memahami bahwa tulisan-tulisan Gnostik penuh dengan simbol. Maria Magdalena sendiri dalam Injil Filipus digambarkan sebagai Sang Hikmat, ibu dari para malaikat dan saudara perempuan dari Juru Selamat. Berdasarkan pemahaman tentang genre dan teologi Gnostik ini, kita sebaiknya memahami ciuman Yesus “di bibir” (seandainya kata yang hilang memang demikian) dalam kitab ini secara simbolis, yaitu penerusan firman. Hal ini bisa dipahami karena figur Maria Magdalena sebagai Sang Hikmat. Kasih Yesus kepada Maria Magdalena yang melebihi murid-murid lain bisa dimengerti dengan mudah apabila dikaitkan dengan posisi Maria Magdalena secara mistis dalam tulisan Gnostik.
Ketiga, tentang Injil Maria Magdalena. Sebagaimana dalam tulisan Gnostik lainnya, kitab ini juga memiliki ungkapan-ungkapan yang simbolis dan misterius. Tidak terkecuali Injil Maria Magdalena 17:10-18:21. Teks ini menggambarkan pertentangan antara aliran ortodoks (diwakili oleh Petrus) dan aliran minoritas lain (diwakili tokoh wanita Maria Magdalena). Pertentangan ini juga hanya berhubungan dengan wahyu Allah, bukan jabatan gerejawi. Kaum Gnostik menganggap diri sebagai penerima pengetahuan yang rahasia dari Kristus, sedangkan pengetahuan ini bertentangan dengan ajaran gereja pada umumnya. Jadi, teks ini sama sekali tidak membicarakan tentang perebutan posisi kepemimpinan dalam gereja.
Lihat Part.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)