22 Juni 2009

BAGAIKAN BUMI DAN LANGIT

Bagian Pertama Dari 4 Tulisan

Oleh : Julius Sangguwali


ADA bagian yang menjadi perhatian saya, ketika mengikuti “wacana” doktrin Tritunggal trinitas) di media massa, seperti Timor Express. Bagaimana masing-masing pihak--yang pro (pihak Trinitarian) dan kontra (pihak Unitarian)--beradu argumen dengan sumber yang sama, Alkitab, tetapi menghasilkan dua konsep yang sangat bertolak belakang. Dalam perbendaraan peribahasa disebut: Bagaikan bumi dan langit (sesuatu yang banyak sekali perbedaannya). Lalu, siapa yang benar, pihak Trinitarian atau Unitarian? Sama-sama mengaku Kristen, maka jangan-jangan justru ada kesalahan dari Pengarang Alkitab, yang juga berarti kesalahan dari para penulis Alkitab? Pengarang Alkitab hanya satu, yakni Allah Yang Mahakuasa, Yahweh, tetapi penulisnya banyak. Kurang lebih 40 penulis Alkitab ini, apakah pernah bertentangan satu sama lain, sehingga membuktikan bahwa bukan Allah-lah pengarangnya? Mengenai hal ini, catatan di 2 Ptr 1:20 dan 21, menyatakan bahwa yang menulis Alkitab adalah nabi Allah, maka tidak mungkin kesalahan ada pada pihak mereka. Jika demikian, para pembaca Alkitab-lah yang telah gagal mengikuti petunjuk roh Allah dalam membiarkan Allah menafsirkan Firman-Nya sendiri. Gagasan-gagasan pribadi telah menutupi pandangan mereka atas apa yang dikatakan Pengarang Alkitab sendiri. Ibarat domba yang terlihat di mata, tetapi sesungguhnya adalah serigala.

Mengumpulkan Semua Ayat

Bagi saya yang senang mengikuti perkembangan dalam wacana ini, demi memahami apa yang dikatakan Pengarang Alkitab mengenai ajaran Tritunggal/Trinitas, perlu mengumpulkan semua ayat yang berhubungan erat dengan topik yang sedang dibahas. Inilah yang harus dilakukan, dalam upaya mencari kebenaran terhadap pokok ini, ingin mendapat kejelasan, dengan membandingkan ayat-ayat dan mempertimbangkan artinya dalam bahasa yang digunakan untuk menulis Alkitab, akan sampai kepada penafsiran yang sesuai dengan Alkitab.

Dari asumsi ini, maka mau tidak mau, langkah pertama yang perlu dipertanyakan, apakah kata Tritunggal/Trinitas ada dalam Alkitab? Semua pihak setuju menyatakan: tidak ada! Kalau begitu, jika dasarnya tidak ada, mengapa doktrin ini: dari tiada menjadi ada? Konsekwensi dari tidak adanya satu kata atau istilah Trinitas/Tritunggal, pasti berimbas pada penafsiran Alkitab yang bisa jadi, sangat dipaksakan dan mengada-ada. Sebagai contoh, perhatikan artikel Nelson M. Liem (Timex, Sabtu, 29 November 2008:4) menulis, “…Memang secara peristilahan, istilah Tritunggal tidak muncul dalam Alkitab. Namun tidak dapat disangkali bahwa Alkitab berbicara tentang Allah Tritunggal; baik Kitab Perjanjian Lama maupun Kitab Perjanjian Baru.” James Lola (Timex, Kamis, 27 November 2008:4) juga menulis, “…bahwa kita tidak menemukan istilah Allah Tritunggal di dalam Alkitab. Istilah itu memang tidak pernah ditemukan di dalam Alkitab...namun bukan berarti Alkitab tidak mengajarkan tentang hal ini karena sebenarnya ajaran tentang Allah Trinitas ini terdapat begitu jelas dalam Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.” Gagasan serupa juga dikemukakan Esra Alfred Soru (EAS) dalam Timex (12 Desember 2008:4) bahwa, “Kaum Trinitarian sendiri bukannya tidak tahu bahwa kata ‘Tritunggal’ tidak terdapat di dalam Alkitab. Walaupun kata tersebut tidak ada di dalam Alkitab, itu tidak berarti bahwa konsepnya juga tidak ada? Konsepnya jelas ada!”

Menyimak beberapa kalimat yang dimiringkan, apakah ini bukan gagasan yang dipaksakan? Bagaimana mungkin, istilah Tritunggal, dan Allah Tritunggal tidak ada di dalam Alkitab tetapi pada saat yang bersamaan, mengklaim bahwa ‘tidak dapat disangkali bahwa Alkitab berbicara tentang Allah Tritunggal; atau ajaran ini ‘begitu jelas dalam Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru’, maupun ‘konsepnya jelas ada!’? Jika demikian, batasan dari kata-kata begitu jelas atau konsepnya jelas ada, sampai seberapa jauh? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2001:465 mencatat kata jelas (dalam definisi pertama) sebagai, “terang; nyata; gamblang”. Perhatikan kata nyata yang diapit dengan dua kata terang dan gamblang. Dari definisi ini, doktrin Tritunggal/Trinitas sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai hal yang terang, nyata dan gamblang, karena memang istilah itu tidak ada secara tersurat di antara ayat-ayat Alkitab. Karena sedang mewacanakan jati diri Allah, maka dalam perspektif ini, Allah sejati dari Alkitab dapat dipastikan bukan Allah Tritunggal/Trinitas.

Diperlukan Penjelasan

Dalam ikut serta “wacana” doktrin tritunggal, pada awal rangkaian tulisan ini, perlu diingatkan hal mendasar ini. Sebelum sampai pada analisis masalah yang baik dan menarik kesimpulannya bahwa Allah dari Alkitab adalah Allah Tritunggal, memang diperlukan penjelasan atau definisi kategori terhadap kata “jelas”. Sebaliknya akan terjadi simplikasi, bahkan reduksi yang sangat “longgar” jika itu tidak digunakan. Hasilnya, penjelasan itu bisa begitu sangat bebas menurut selera si penafsir. Coba perhatikan lebih jauh kutipan di atas dari EAS bahwa ‘Konsepnya jelas ada’ sekalipun ia mengakui bahwa istilah Tritunggal tidak ada dalam Alkitab. Argumen yang ambigu, tidak matang dan ngambang, semakin terbukti jika ditelusuri pada penjelasan sebelumnya sewaktu EAS menulis di Timex (Sabtu, 27 Januari 2007:4, bagian 5) sebagai tanggapan atas tulisan Frans Donald (FD). EAS menulis, “...kita harus ketahui bahwa istilah ‘tritunggal’ tidak muncul dalam Alkitab namun itu tidak berarti ini bukan ajaran Alkitab. Konsep tentang tritunggal sangat berakar kuat baik dalam PL [Perjanjian Lama] maupun PB [Perjanjian Baru]. Memang PL tidak berisikan suatu rumusan yang lengkap tentang tritunggal namun PL berisikan rujukan-rujukan atau indikasi yang mengarah pada doktrin tritunggal. Mengapa demikian? Karena hal ini berkaitan dengan wahyu Allah. Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia lewat Alkitab yang adalah wahyu khusus-Nya. Meskipun demikian pewahyuan diri Allah ini terjadi secara bertahap. Inilah yang dalam teologi Kristen dikenal dengan istilah ‘Progresive Revelation’ (Wahyu progresif) artinya wahyu yang bersifat semakin maju, makin lama makin jelas, semakin lama muncul penjelasan-penjelasan yang semakin kompleks dan semakin sempurna.” Perhatikan ungkapan “Progresive Revelation” yang dimiringkan adalah berasal dari Esra, sedangkan yang lainnya berasal dari saya, yang masing-masing akan diuji dalam rangkaian tanggapan ini.

Jika disistematiskan, konsep ini mengandung beberapa gagasan yaitu (1) Istilah ‘tritunggal’ tidak muncul dalam Alkitab namun itu tidak berarti ini bukan ajaran Alkitab; (2) PL berisikan rujukan-rujukan atau indikasi yang mengarah pada doktrin tritunggal; (3) Karena hal ini berkaitan dengan wahyu Allah. Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia lewat Alkitab yang adalah wahyu khusus-Nya. Meskipun demikian pewahyuan diri Allah ini terjadi secara bertahap. Inilah yang dalam teologi Kristen dikenal dengan istilah ‘Progresive Revelation’ (Wahyu progresif) artinya wahyu yang bersifat semakin maju, makin lama makin jelas, semakin lama muncul penjelasan-penjelasan yang semakin kompleks dan semakin sempurna. Gagasan pertama, ‘istilah ‘tritunggal’ tidak muncul dalam Alkitab namun itu tidak berarti ini bukan ajaran Alkitab. Siapa saja tentu mengetahui argumen ini yang sering diulang-ulang oleh EAS dalam berbagai tulisannya, jelas terlihat sebagai suatu permainan kata-kata belaka. Mirip orang yang berkepribadian ganda yang menggunakan topeng, di satu pihak mengakui istilah “tritunggal” tidak ada dalam Alkitab, pada saat yang bersamaan, mengklaim sebagai ajaran Alkitab. Pertanyaan yang dapat diajukan, bagaimana mungkin doktrin utama ini justru dibangun dengan landasan (bukti) yang sangat rapuh (tiada), tapi diklaim sebagai begitu jelas ada. Bagaimana mungkin pula ajaran itu diklaim sebagai Alkitabiah? Bagi pencari kebenaran, tentu sulit menerima kenyataan ini. Sekalipun membuat “sejuta perkataan” atau “sejuta teori”, alangkah hambarnya pada tataran aplikasi, tidak ada pembuktiannya secara tertulis di dalam Alkitab. Ibarat sebuah rumah, “tukangnya” menyakinkan dengan mengatakan bangunan itu “sangat kuat” karena bertumpu pada struktur penyangga, atau fondasinya berdiri di atas batu karang. Tetapi kenyataan (bukti), bangunan itu dibangun di atas pasir yang tidak stabil. Seperti itulah fondasi doktrin Tritunggal/Trinitas dibangun. Gagasan kedua, PL berisikan rujukan-rujukan atau indikasi yang mengarah pada doktrin tritunggal. Sebenarnya argumen ini, perluasan dari argumen pertama, hanya EAS membatasi pada PL (Perjanjian Lama). Pertanyaan yang dapat diajukan, mengapa hanya “berisi rujukan-rujukan atau indikasi yang mengarah pada doktrin tritunggal? Apakah sulit bagi pengarang Alkitab, Allah Yang Mahkuasa untuk membuat jelas jati diri-Nya walau itu pada zaman Perjanjian Lama?

Bukan Sumber Primer

Harus diingat, semua data sebagai dasar argumen, jika itu hanya samar-samar “atau indikasi yang mengarah”, bukanlah sumber primer (terilham), melainkan data tambahan (subsider). Jika sumber data tambahan dibalik atau dijadikan sebagai data primer, akan terjadi reduksi pemaknaan terhadap apa yang ditafsirkan. Sumber tambahan ini juga digunakan oleh EAS (Timex, Selasa, 9/12/08) ketika membangun argumen dari Aristides yang hidup pada tahun 140 M. EAS menulis berdasarkan sumber data tambahan itu, “...Justru sejarah memperlihatkan kepada kita bahwa bapa-bapa gereja pra Nicea percaya bahwa Yesus adalah Allah dan dengan demikian juga percaya kepada doktrin Tritunggal.” Benarkah? EAS menjawab sendiri, “Pada tahun 140 M seorang yang bernama Aristidas mengatakan bahwa: ‘Orang Kristen adalah mereka yang berada di atas setiap orang di bumi, yang telah menemukan kebenaran karena mereka mengakui adanya Allah pencipta dan penyebab segala sesuatu, di dalam Putera satu-satunya dan di dalam Roh Kudus. (Apology 16).” Walaupun EAS menggaris bawahi tiga subjek (Allah, Putera satu-satunya, dan Roh Kudus), tapi di mana gagasan Aristidas yang menegaskan bahwa ketiga subjek ini adalah satu sehingga membentukan Tritunggal? Tentu, tuntutan ini tidak mengada-ada karena konsekwensi dari perkataan EAS pada kutipan di atas, “...bapa-bapa gereja pra Nicea percaya...kepada doktrin Tritunggal.” Karena hanya data ‘indikasi’ (meminjam istilah EAS) doktrin Tritunggal yang bagaimanakah diajarkan oleh Aristidas?

Masih dalam konteks gagasan kedua dari EAS, akan semakin menarik jika saya hubungkan wacana ini dengan pendapat Dr. Eben Nuban Timo (ENT) yang menulis di Timex (Kamis, 23 September 2004:4) di bawah judul “Sisi Lain dari Sejarah Doktrin Trinitas”. Ia menulis, “Kita lihat bahwa doktrin Trinitas itu berkembang. Ingat ajaran trinitasnya yang berkembang, bukan Tritunggalnya yang berkembang. Dia berkembang karena tuntutan zaman. Ada orang yang mempersoalkan keilahian Yesus Kristus. Gereja memberikan jawaban melalui pengakuan iman Nicea. Setelah Nicea orang mempersoalkan lagi kealahan Roh Kudus. Para Patriark datang lagi ke Konstantinopel. Mereka memberi jawaban dengan membuat pengakuan bahwa Roh itu adalah Allah yang keluar dari sang Bapa melalui Anak. Pengakuan iman Nicea (325) dikembangkan dan mencapai bentuknya di Konstantinopel (381)…” (tulisan miring, pen.). Perhatikan kalimat ‘karena tuntutan zaman’, mengandung arti, ajaran Tritunggal/Trinitas berkembang ‘karena tuntutan zaman’ karena ada ‘yang mempersoalkan keilahian Yesus Kristus. Jadi ‘karena tuntutan zaman’, berarti penyebabnya bukan dari dalam (tuntutan Alkitab), sebaliknya tuntutan (faktor) dari luar Alkitab. Mengapa bukan tuntutan Alkitab? Karena Alkitab tidak pernah menulis tentang jati diri Allah Tritunggal/Trinitas.

Prinsip yang sama juga pernah diuraikan oleh FD ketika menulis di Timex (Selasa, 16/1/2007:4), “Bagi saya cukup jelas, sejarah tidak bisa disangkal lagi, Trinitas yang menyatakan Yesus sebagai Allah sejati adalah berasal dari alam pikir filsafat Yunani. Filsafat Yunani memang sangat sesuai untuk kebudayaan debat (Apologet) dan adu filosofi karena memiliki multi tafsir dalam pemaknaannya. Dengan filsafat Yunani, hitam bisa dibilang putih, putih bisa dibilang hitam. Tiga bisa dibilang satu, satu dibilang tiga. Sangat berbeda dengan konsep Yahudi, tiga ya tiga, satu ya satu. Nah, masalahnya apakah kita harus berkiblat ke tradisi pikir Yunani yang melahirkan ajaran Trinitas dan menjadikan Yesus sebagai Allah sejati hasil rumusan konsili-konsili tahun 325 dan 381 M yang sangat sarat kepentingan politik, atau, berkiblat kepada Monoteisme Yahudi sebagai bangsa keturunan Yakub yang beriman kepada Allah yang Esa yaitu Yahweh?....Dalam tulisannya Esra mengatakan bahwa Yesus = Yahweh (ALLah sejati), padahal sejarah-sejarah telah membuktikan bahwa Yesus baru dijadikan sebagai Allah sejati oleh Doktrin Tritunggal/Trinitas hasil konsili-konsili yang penuh muatan politik jauh ratusan tahun setelah Yesus terangkat ke sorga.”

Fundamentalis-Buta

Pendapat FD yang bernuansa sejarah ini, senada dengan ENT yang adalah penganut Trinitas/Tritunggal, tetapi mengapa EAS bersikap tidak jujur dan membantah? Dalam tanggapan baliknya (Timex, Jumat, 25/1/2007:4), EAS menulis, “Apa yang dituduhkan oleh FD ini mirip sekali dengan tuduhan murahan aliran Saksi Yehovah....FD berkata ‘sejarah telah membuktikan?’ Mana sejarahnya? Coba buktikan! Jangan cuma ngomong dong!” Aneh pendapat EAS ini. Sudah ada bukti sejarah yang menumpuk bahwa adanya ajaran Tritunggal ‘karena tuntutan zaman’ (pendapat Dr ENT) sebagai faktor luar (bukan Alkitab), tapi meminta bukti yang bagaimana lagi? Jelas ini mengada-ada. Hanya orang-orang fundamentalis-buta yang memang sering bersikap tidak masuk akal. Pencetus doktrin Tritunggal/Trinitas adalah agama Katolik Roma, melalui New Catholic Encyclopedia, 1967:299, Volume 14, mengakui dengan terus terang, “The formulation ‘one God in three Persons’ was not solidly established, certainly not fully assimilated into Christian life and its profession of faith, prior to the end of the 4th century. But it is precisely this formulation that has first claim to the title the Trinitarian dogma. Among the Apostolic Fathers, there had been nothing even remotely approaching such a mentality or perspective” (Perumusan ‘satu Allah dalam tiga Pribadi’ tidak ditetapkan dengan tegas, dan pasti tidak dilebur sepenuhnya dalam kehidupan Kristen dan pengakuan imannya, sebelum akhir abad ke-4. Namun tepatnya rumus inilah yang pertama-tama mendapat nama dogma Tritunggal. Di antara Bapa-Bapa Rasuli, tidak ada bahkan sedikit pun yang mendekati sikap atau pandangan seperti itu).

Jadi, pencetusnya sendiri (pemegang hak cipta) mengakui dengan jujur berdasarkan sejarah tentang asal-usul doktrin Tritunggal. Anehnya, mengapa pihak kedua (peminjam), yang juga tidak memiliki kapasitas sebagai sejarawan--“Triotunggal”: EAS, James Lola, dan Nelson M. Liem--secara fundamentalis menyatakan sebaliknya, bahwa ajaran tentang Allah Trinitas ini terdapat begitu jelas dalam Alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru? Pihak mana yang patut diberi “tanda penghargaan besar”, sebagai sangat tidak jujur? Memang benar kata peribahasa, antara orang yang jujur dengan yang tidak, bagaikan bumi dan langit.

*) Pemikir bebas, guru bahasa Inggris. Tinggal di Kupang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)