Tanggapan Atas Tulisan Dr. Steven E.Liauw
Oleh : Pdt. Budi Asali, M. Div
Info. Dalam website Graphe Ministry, Dr. Stephen Liauw menulis sebuah artikel berjudul"KEDAULATAN ALLAH & KEBEBASAN MANUSIA" yang menyerang doktrin Calvinisme tentang kedaulatan Allah.(Silahkan klik disini : http://graphe-ministry.org/downloads/Kedaulatan_Allah-pandangan_Alkitabiah.pdf).Dalam tulisan ini pula Steven Liauw sempat membahas tulisan Pdt. Budi Asali, M. Div tentang topik tersebut.Karena itu Pdt.Budi Asali pun menulis tanggapan teologis terhadap tulisan Steven Liauw ini. Berikut ini tanggapanny yang akan diberikan di sela-sela tulisan Steven Liaw. (Warna hitam adalah tulisan Steven Liauw, sedangkan warna biru adalah tanggapan Pdt. Budi Asali).
Kedaulatan Allah dan Kebebasan Manusia yang Alkitabiah
Dr. Steven E. Liauw
I. Pendahuluan
Salah satu hal yang secara paling mendasar mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dunia ini, adalah konsepnya tentang Allah. Beritahukan pada saya, apa yang seseorang percayai tentang Allah, maka saya dapat memprediksikan apa pendapat orang tersebut dalam berbagai hal, dan bahkan bagaimana orang tersebut akan bertindak dalam berbagai situasi. Tentu ada ruang yang lebar untuk variasi individu, tetapi pandangan seseorang tentang Allah berada pada poros inti moralitas dan filosofinya.
Seorang atheis, misalnya, bahkan tidak percaya ada Allah. Oleh karena itu, atheis yang konsisten, tidak akan memiliki moralitas yang absolut. Ada atheis yang tidak memiliki moralitas sama sekali dan menunjukkan kepada dunia apa yang terjadi jika atheisme diimani secara konsekuen sampai pada kesimpulan akhirnya. Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah binatang lainnya, dan tidak ada konsep benar atau salah. Oleh karena itu, mereka berlaku tidak lebih dari binatang yang pintar, melakukan apapun juga yang diingini tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun. Dalam hal ini, tindakan mereka bahkan bisa lebih kejam dari binatang, karena binatang cukup puas dengan mempertahankan hidup dan eksistensi mereka, sedangkan manusia yang tidak bermoral dikuasai oleh nafsu yang tidak pernah mengenal cukup.
Tentu banyak atheis yang tidak seperti itu. Mereka masih memiliki moralitas, walaupun moralitas yang relatif. Walaupun secara intelektual mereka menolak eksistensi Allah, tetapi karena alasan-alasan lain (rasa kemanusiaan, tenggang rasa, budi pekerti yang dipelajari sejak kecil, dll), mereka mempertahankan sejenis moralitas. Tetapi ini tidak berarti bahwa atheisme dapat menghasilkan moralitas. Moralitas pada seorang atheis adalah sisa-sisa kebenaran ilahi yang universal, yang belum terkikis habis oleh atheisme itu, yang masih ada pada individu tersebut. Ia bermoral bukan karena ia atheis. Sebaliknya, ia bermoral walaupun ia seorang atheis, karena dia belum mau menerima konsekuensi logis dari atheisme. Dapat kita katakan bahwa ia adalah seorang atheis dalam teori, tetapi belum atheis dalam praktek, minimal belum sepenuhnya. Ada ketidakkonsistenan antara apa yang ia percayai dengan apa yang ia lakukan, tetapi ketidakkonsistenan yang menguntungkan.
Bagaimana dengan orang-orang yang percaya ada Allah? Apakah mereka semua ini sama? Tentu tidak! Tanpa perlu mengupas tentang deisme, pantheisme, panentheisme, atau yang lainnya yang sudah pasti akan membawa penganutnya ke pandangan yang berbeda-beda, bahkan di kalangan theis sekalipun (percaya Allah sebagai pribadi yang immanen dan transenden), ada perbedaan cara berpikir yang cukup luas, tergantung kepada konsep dia tentang pribadi Allah.
Ketika seseorang menekankan bahwa Allah adalah mahakasih, tanpa melihat aspek lain dari sifat-sifat Allah, maka ia akan sampai kepada kesimpulan yang salah. Banyak orang senang dengan Allah yang mahakasih, tetapi tidak mau Allah yang mahakudus atau Allah yang mahaadil. Mereka merasionalisasikan: Allah yang mahakasih tentu tidak akan mengirim orang ke neraka untuk selama-lamanya!
Tetapi rasionalisasi seperti ini sungguh salah. Ada dua kesalahan yang terjadi. Kesalahan PERTAMA adalah merasionalisakan sifat Allah dengan mengabaikan pernyataan jelas Alkitab. Banyak sekali ayat Alkitab yang menyatakan bahwa manusia yang berdosa dan menolak kasih karunia penyelamatan Allah, akan binasa untuk selama-lamanya dalam neraka. Matius, misalnya, mencatat peringatan Yesus bahwa lebih baik masuk Surga dalam kondisi timpang dan buta daripada dengan tubuh lengkap, tersesat dan masuk ke dalam api yang kekal (Mat. 18:8). Jadi, pernyataan kaum universalis bahwa semua manusia akan masuk Surga, bertentangan dengan pernyataan jelas dalam Alkitab. Seharusnya, bagi orang yang sungguh menjunjung tinggi Alkitab sebagai standar, adanya pernyataan jelas dalam Alkitab menjadi pandu yang berotoritas.
Seharusnya terjadi pemikiran seperti berikut:“Jika Alkitab menyatakan bahwa orang-orang yang tidak bertobat akan masuk neraka untuk selama-lamanya, maka pemikiran awal saya (bahwa Allah yang mahakasih tidak mungkin mengirim orang ke neraka) adalah salah. Saya harus merevisi ulang premis dasar pemikiran saya.” Ini adalah sikap yang benar. Tetapi sayang, yang biasanya terjadi adalah pemelintiran ayat-ayat kitab Suci untuk mendukung pemikiran dasar seseorang. Bukannya berpikir bahwa ada yang salah dengan premis dasar (karena bertentangan dengan ayat-ayat jelas Alkitab), yang bersangkutan justru sibuk mencoba menjelaskan ayat-ayat Alkitab itu agar masuk ke dalam konsep dia.
Kesalahan KEDUA adalah terlalu menekankan satu sifat Allah, tanpa melihat sifat-sifat Allah yang lain. Ketika seseorang berjalan tanpa membiarkan Alkitab mengoreksi premis dasarnya, maka tidak mungkin dihindari dia akan berlebihan menekankan salah satu sifat Allah. Penekanan yang berlebihan ini justru membuat pengertiannya akan sifat Allah tersebut menjadi salah.
Sang universalis terlalu menekankan tentang kasih Allah, sehingga mengabaikan kekudusan Allah dan keadilan Allah. Manusia yang berdosa tidak dapat berkenan kepada Allah yang mahakudus, dan tidak mungkin masuk Surga tanpa ada penyelesaian dosa terlebih dahulu. Allah yang adil tidak mungkin tidak menjalankan hukumNya sendiri, bahwa dosa harus dihukum. Kita bisa melihat bahwa menekankan satu sifat Allah di atas sifat-sifatNya yang lain akan menghasilkan pemahaman tentang Allah yang timpang. Allahnya sang universalis, bukan lagi menjadi Allah yang mahakasih, melainkan Allah yang lemah, yang tidak berani menjalankan hukumNya sendiri. Kasih yang demikian juga bukanlah kasih yang sejati, karena kasih yang sejati selalu harmonis dengan kebenaran.
Semua pendahuluan di atas mengantar saya kepada topik inti dari tulisan ini, yaitu kedaulatan Allah dan hubungannya dengan kebebasan manusia. Dalam kekristenan ada satu kelompok yang banyak berbicara mengenai “kedaulatan Allah,” yaitu kelompok Kalvinis. Kalvinis membuat premis dasar dari pemahaman mereka akan “kedaulatan Allah.” Menurut mereka, karena Allah berdaulat, maka Allah pastilah telah menetapkan segala sesuatu. Segala sesuatu artinya adalah segala sesuatu. Jadi, setiap tindakan manusia maupun malaikat, setiap pikiran manusia maupun malaikat, telah ditentukan oleh Tuhan. Lebih lanjut lagi, Tuhan sudah menentukan dari semula, bahkan sebelum penciptaan, bahwa Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk diselamatkan, dan Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk dibinasakan. Keselamatan atau kebinasaan ditentukan oleh Allah tanpa pertimbangan apapun di luar diri Allah! Lebih lanjut lagi, sesuai dengan pemilihan keselamatan/kebinasaan itu, Allah hanya akan menyediakan keselamatan bagi yang terpilih selamat. Dan Allah akan memaksakan (memberi tanpa dapat ditolak) “kasih karunia”Nya kepada orang-orang yang terpilih untuk selamat ini.
Tanggapan saya:
Calvinist tak pernah mengatakan ‘memaksakan’, sekalipun memang menggunakan istilah Irresistible Grace (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak). Tak bisa menolak tak berarti dipaksa untuk menerima, karena Allah melahirbarukan orang itu, dan itu mengubah orang itu sedemikian rupa sehingga ia pasti dengan sukarela dan sukacita menerima Kristus.
Westminster Confession of Faith, Chapter III, 1: “God from all eternity, did, by the most wise and holy counsel of His own will, freely, and unchangeably ordain whatsoever comes to pass; yet so, as thereby neither is God the author of sin, nor is violence offered to the will of the creatures; nor is the liberty or contingen¬cy of second causes taken away, but rather established” (= Allah dari sejak kekekalan, melakukan, oleh rencana dari kehendakNya sendiri yang paling bijaksana dan suci, dengan bebas, dan dengan tidak berubah menetapkan apapun yang akan terjadi; tetapi dengan demikian Allah bukan pencipta dosa, dan tidak digunakan kekerasan / pemaksaan terhadap kehendak dari makhluk ciptaan; juga kebebasan atau ketidakpastian / sifat tergantung dari penyebab kedua tidaklah disingkirkan, tetapi sebaliknya diteguhkan).
Catatan: Westminster Confession of Faith adalah Pengakuan Iman dari Gereja-gereja Reformed di Amerika.
Kalvinis menegaskan bahwa setiap orang yang percaya bahwa Allah berdaulat harus sampai pada kesimpulan yang sama dengan mereka. Jikalau tidak, maka anda tidak benar-benar percaya bahwa Allah berdaulat! Oleh karena itulah saya terbeban untuk menulis tentang topik ini. Motivasi saya bukanlah untuk menyerang pribadi-pribadi tertentu. Saya tidak membenci satu orang Kalvinis pun, bahkan saya memiliki teman-teman baik di antara para Kalvinis. Motivasi saya adalah kebenaran. Saya tidak tahan melihat Allah yang saya sembah dan kasihi, digambarkan dengan sedemikian salah. Saya merinding melihat bagaimana loyalitas terhadap suatu dogma telah membuat banyak orang yang brilian dan baik menentang kata-kata jelas dari Alkitab. Saya ingin menggambarkan kedaulatan Allah yang sebenarnya dari dalam Alkitab.
Tanggapan saya:
Kalau ini memang betul-betul merupakan motivasi anda, saya menghargai anda. Tetapi mengapa anda memfitnah Calvinisme? Kalau mau meluruskan, jangan memfitnah! Banyak sekali dalam tulisan anda, anda mengatakan Calvinisme mengajar begini, Calvinisme mengajar begitu, padahal Calvinisme yang sebenarnya tidak pernah mengajar seperti apa yang anda katakan.
Biarpun motivasi anda bagus, tetapi kalau pengetahuan anda / cara menafsir anda salah, maka anda pada hakekatnya berusaha untuk membengkokkan apa yang sudah lurus!
Amsal 19:2 - “Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah”.
Ro 10:1-3 - “(1) Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan. (2) Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. (3) Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah”.
Tidak pernah dalam mimpi saya sekalipun, saya berpikir bahwa karya tulis saya akan membuat semua Kalvinis berubah. Orang yang telah menggolongkan dirinya dalam suatu kelompok, cenderung sulit untuk melihat segala sesuatu dengan netral. Tujuan utama saya adalah orang-orang yang masih sedang menyelidiki dan mencari. Jika anda ingin tahu tentang kedaulatan Allah, kebebasan manusia, dan keselamatan, maka harapan saya buku ini bisa bermanfaat dalam anda mempelajari Alkitab. Ingatlah bahwa Alkitab adalah standar tertinggi. Tetapi bagi para Kalvinis yang masih rela untuk menguji sistem yang telah mereka yakini selama ini, saya yakin buku ini juga akan bermanfaat. Saya minta untuk membaca karya tulis ini dengan hati yang terbuka, yang siap untuk menguji setiap premis dasar, membandingkannya dengan Alkitab. Sesudah menyelesaikan buku ini, setuju atau tidak setuju, adalah kebebasan anda! Tetapi suatu hari nanti, kita semua akan berdiri di hadapan Allah, mempertanggungjawabkan bagaimana kita menggunakan kebebasan yang telah Ia anugerahkan itu.
Tanggapan saya:
Saya pasti akan menerima apa yang anda katakan / ajarkan, kalau itu memang punya dasar Alkitab yang lebih kuat dari pandangan saya, dan bisa menggugurkan argumentasi-argumentasi saya. Dalam hidup saya sebagai orang Kristen, saya sudah banyak kali berubah pandangan. Dulu saya sendiri Arminian, dan pada waktu pertama kali mendengar ajaran Calvinisme tentang predestinasi, saya tidak bisa menerima. Tetapi setelah mendengar dengan hati terbuka, dan tunduk pada Alkitab, apa dasar-dasar dari doktrin tentang predestinasi, maka saya menerimanya. Demikian juga pada waktu pertama kali mendengar tentang doktrin ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas), saya tidak bisa menerimanya. Tetapi setelah mendengar argumentasi dari Alkitab yang diberikan, saya melihat bahwa saya tidak mungkin menolak doktrin itu tanpa sekaligus menolak Alkitabnya. Demikian juga pada waktu mendengar doktrin penentuan segala sesuatu (termasuk dosa), saya mula-mula menolak. Tetapi lagi-lagi setelah membaca argumentasi-argumentasi yang betul-betul didasarkan Alkitab, saya tunduk dan menerima ajaran itu. Jadi, kalau sekarang anda bisa menghancurkan argumentasi-argumentasi saya dan memberikan dasar Alkitab yang lebih kuat dari yang saya punyai, anda pasti bisa ‘mempertobatkan’ saya!
II. Kedaulatan Allah menurut Kalvinis
A. Allah Menetapkan Segala Sesuatu
Premis dasar dari Kalvinisme menegaskan bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang menetapkan segala sesuatu. Dengan kata lain, setiap perbuatan, tindakan, maupun pikiran semua makhluk hidup, telah ditetapkan oleh Allah sebelumnya. Ini adalah premis dasar dari Kalvinisme. Untuk membuktikan bahwa Kalvinis sungguh percaya seperti itu, kita akan melihat kutipan pengajaran berbagai tokoh Kalvinis.
Tanggapan saya:
Dalam hal ini saya setuju dengan anda, bahwa itu memang ajaran Calvinisme / Reformed yang sebenarnya. Tetapi perlu anda ketahui bahwa di Indonesia tokoh Reformed Pdt. Stephen Tong (dan juga mayoritas anak buahnya) tidak setuju dengan ajaran itu, dan karena itu menurut saya dia bukan Calvinist / Reformed yang sejati.
John Gill berkata, “Pendeknya, segala sesuatu tentang semua individu di dunia, yang pernah ada, yang ada, atau yang akan ada, semuanya sesuai dengan dekrit-dekrit Allah, dan menurut pada dekrit-dekrit itu; lahirnya berbagai manusia ke dalam dunia, waktu terjadinya, semua hal-hal yang terjadi berhubungan dengan itu; semua peristiwa dan kejadian yang dialami manusia, sepanjang hidup mereka; tempat tinggal mereka, posisi mereka, panggilan hidup mereka, dan pekerjaan mereka; kondisi mereka berhubungan dengan kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kesulitan dan kemakmuran; kapan mereka akan meninggalkan dunia, dan semua hal yang berkaitan dengan itu; semuanya sesuai dengan rencana dan kehendak Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Semua orang Kristen lahir baru percaya bahwa Allah memiliki rencana dalam hidup tiap-tiap individu. Semua orang percaya yakin bahwa waktu kelahiran ataupun kematian ada di tangan Tuhan. Semua orang beriman juga mengakui bahwa segala hal yang dia nikmati dalam hidupnya adalah berkat-berkat Tuhan. Tetapi Kalvinis tidak puas sampai di situ. Kalvinis menegaskan bahwa semua yang terjadi dalam hidup seseorang, termasuk tindakannya, pikirannya, kesukaan-kesukaannya, pilihan-pilihannya, semuanya telah ditetapkan oleh Tuhan sejak kekekalan dalam dekrit-dekrit rahasia. Untuk memastikan bahwa benar inilah yang dipercayai Kalvinis, kita lihat lagi beberapa kutipan.
Budi Asali berkata, “Karena itu kalau kita percaya bahwa Allah itu berdaulat, maka kita juga harus percaya bahwa Ia menetapkan segala sesuatu.” Berkhof memperjelas posisi Reformed: “Theologia Reformed menekankan kedaulatan Allah atas dasar mana Ia secara berdaulat telah menentukan dari sejak kekekalan apapun yang akan terjadi…” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan saya:
a) Ini memang kata-kata Louis Berkhof tetapi anda mengutipnya dari buku saya. Mengapa tidak memberi petunjuk tentang hal itu?
b) Dalam buku saya, kutipan dari Louis Berkhof lebih panjang, dan ada dasar Alkitabnya. Mengapa anda potong? ‘A half truth is a whole lie!’.
Sampai di sini kita perlu berhenti sebentar dan bertanya kepada Kalvinis: “Apakah segala sesuatu yang dimaksud di sini benar-benar berarti segala sesuatu?” Pertanyaan ini penting, karena Kalvinis sering memiliki interpretasi sendiri mengenai kata “segala” atau “semua.” Ketika Alkitab mengatakan bahwa Yesus mati bagi “semua manusia,” Kalvinis bersikukuh bahwa “semua” yang dimaksud adalah “semua orang pilihan.” Jangan-jangan, maksud Kalvinis adalah bahwa Allah menetapkan “segala sesuatu yang pilihan saja.” Tetapi kita dipuaskan oleh para Kalvinis bahwa memang mereka percaya Allah menetapkan segala sesuatu tanpa kecuali.
David West berkata, “Allah menetapkan sejak awal segala sesuatu, baik yang beranimasi (bergerak/hidup), maupun yang tidak beranimasi (diam/mati). DekritNya mencakup semua malaikat, baik yang baik maupun yang jahat.” Tow dan Khoo memperjelas: “Dengan kuasa yang tak terbatas dan hikmat yang tak terbatas, Allah telah sejak kekekalan lampau, memutuskan dan memilih dan menetapkan segala peristiwa yang terjadi tanpa kekecualian, sampai dengan kekekalan yang akan datang.” Melanchthon menghilangkan segala keraguan kita dengan berkata bahwa “Segala sesuatu terjadi sesuai dengan ketetapan ilahi; bukan hanya pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan secara eksternal, tetapi bahkan juga pikiran-pikiran yang kita pikirkan secara internal.”
Tanggapan saya:
Saya tidak tahu siapa David West maupun Tow dan Khoo, tetapi saya tahu bahwa Melanchton bukan seorang Calvinist! Ia adalah orang Arminian seperti anda! Jadi, kalau kutipan anda benar, maka ternyata ada orang-orang Arminian yang juga percaya doktrin Reformed / Calvinist ini!
B. Allah Menetapkan Dosa
Satu hal yang mengganggu saya ketika merenungkan pernyataan-pernyataan Kalvinis bahwa “Allah menetapkan segala sesuatu,” adalah masalah dosa. Kalau Allah menetapkan segala sesuatu, maka berarti Ia menetapkan juga semua dosa yang pernah diperbuat, yang sedang diperbuat, dan yang akan diperbuat. Ini berarti bahwa Allah-lah yang menetapkan agar Adam dan Hawa makan buah yang Ia larang. Bukankah lucu bila Allah melarang mereka makan buah itu, tetapi Ia pula yang menetapkan agar mereka makan buah itu?
Tanggapan saya:
a) ‘Lucu’ itu kan logika anda. Jangan berargumentasi hanya menggunakan logika. Inikah argumentasi berdasarkan Alkitab yang anda sebutkan di atas?
b) Dari kutipan yang anda berikan dari buku saya di atas jelas bahwa anda sudah membaca buku saya itu. Dalam buku saya, saya memberikan argumentasi dalam persoalan kejatuhan Adam dan Hawa yang sudah ditentukan. Mengapa argumentasi saya tak dibahas? Bingung bagaimana mematahkannya?
Lebih mengerikan lagi adalah pemikiran bahwa Allah yang menetapkan semua pembunuhan yang pernah terjadi. Jika Allah menetapkan segala sesuatu, maka tindakan semua pemerkosa ditentukan oleh Allah. Sesuai dengan pernyataan Melanchthon, bahwa Allah menentukan “…juga pikiran-pikiran yang kita pikirkan secara internal,” maka semua benci, iri hati, kesombongan, pikiran kotor, hawa nafsu, pikiran perzinahan, juga terjadi karena ditetapkan demikian dalam dekrit Allah.
Apakah anda terganggu dengan semua itu? Saya tahu bahwa saya terganggu, karena saya tidak bisa membayangkan bahwa Allah yang MAHAKUDUS menetapkan satu dosa pun untuk terjadi, jangankan semua dosa yang pernah dan akan ada! Oleh karena itu, saya berulang mengecek, apa benar itu yang dipercayai para Kalvinis?
Boettner menegaskan: “Bahkan kejatuhan Adam, dan melaluinya kejatuhan umat manusia, bukanlah suatu kebetulan atau kecelakaan, tetapi sudah ditetapkan demikian dalam keputusan rahasia Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Perhatikan bahwa Kalvinis bukan hanya berbicara mengenai “mengizinkan dosa.” Kalvinis berbicara mengenai “menetapkan dosa.” Ada perbedaan yang besar antara “menetapkan” dan “mengizinkan.” Ada Kalvinis yang mencoba untuk menyamarkan doktrin mereka dengan menggunakan bahasa “izin.”
Tanggapan saya:
Calvin sendiri bahkan tidak senang dengan istilah ‘ijin’ itu, dan ini terlihat dari 2 kutipan kata-kata Calvin di bawah ini.
Calvin: “God wills that the false king Ahab be deceived; the devil offers his services to this end; he is sent, with a definite command, to be a lying spirit in the mouth of all the prophets (1Kings 22:20,22). If the blinding and insanity of Ahab be God’s judgment, the figment of bare permission vanishes: because it would be ridiculous for the Judge only to permit what he wills to be done, and not also to decree it and to command its execution by his ministers” [= Allah menghendaki bahwa raja Ahab yang tidak benar ditipu; setan menawarkan pelayanannya untuk tujuan ini; ia dikirim, dengan perintah yang pasti, untuk menjadi roh dusta dalam mulut semua nabi (1Raja 22:20,22). Jika pembutaan dan kegilaan Ahab adalah penghakiman Allah, isapan jempol tentang ‘sekedar ijin’ hilang: karena adalah menggelikan bagi sang Hakim untuk hanya mengijinkan apa yang Ia kehendaki untuk dilakukan, dan tidak juga menetapkannya dan memerintahkan pelaksanaannya oleh pelayan-pelayanNya] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.
Calvin: “Those who are moderately versed in the Scriptures see that for the sake of brevity I have put forward only a few of many testimonies. Yet from these it is more than evident that they babble and talk absurdly who, in place of God’s providence, substitute bare permission - as if God sat in a watchtower awaiting chance events, and his judgments thus depended upon human will”(= Mereka yang betul-betul mengetahui Kitab Suci melihat bahwa untuk singkatnya saya hanya memberikan sedikit dari banyak kesaksian. Tetapi dari kesaksian-kesaksian ini adalah lebih dari jelas bahwa mereka mengoceh dan berbicara secara menggelikan yang, menggantikan providensia Allah dengan ‘sekedar ijin’ - seakan-akan Allah duduk di menara pengawal menunggu kejadian-kejadian yang terjadi secara kebetulan, dan dengan demikian penghakimanNya ter-gantung pada kehendak manusia) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.
Memang para Calvinist yang lain mau menggunakan kata ‘ijin’ tetapi bukan dengan motivasi seperti yang Liauw katakan. Untuk Liauw, saya beri nasehat: Jangan menebak motivasi Calvinist dalam menggunakan kata ‘izin’, kalau anda tidak mengetahuinya. Itu merupakan fitnah! Kalau Calvinist memang mau menyamarkan mengapa dalam penggunaan kata ‘ijin’, mengapa gerangan mereka sering / pada umumnya lalu memberikan tambahan penjelasan bahwa ‘itu bukan sekedar ijin’?
Contoh:
Herman Hoeksema: “Nor must we, in regard to the sinful deeds of men and devils, speak only of God’s permission in distinction from His determination. Holy Scripture speaks a far more positive language. We realize, of course, that the motive for speaking God’s permission rather than of His predetermined will in regard to sin and the evil deeds of men is that God may never be presented as the author of sin. But this purpose is not reached by speaking of God’s permission or His permissive will: for if the Almighty permits what He could just as well have prevented, it is from an ethical viewpoint the same as if He had committed it Himself. But in this way we lose God and His sovereignty: for permis¬sion presupposes the idea that there is a power without God that can produce and do something apart from Him, but which is simply permitted by God to act and operate. This is dualism, and it annihilates the complete and absolute sovereignty of God. And therefore we must main¬tain that also sin and all the wicked deeds of men and angels have a place in the counsel of God, in the counsel of His will. Thus it is taught by the Word of God” (= Juga kita tidak boleh, berkenaan dengan tindakan-tindakan berdosa dari manusia dan setan, berbicara hanya tentang ijin Allah dan membedakannya dengan penentuan / penetapanNya. Kitab Suci berbicara dengan suatu bahasa yang jauh lebih positif. Tentu saja kita menyadari bahwa motivasi untuk menggunakan istilah ‘ijin Allah’ dari pada ‘kehendakNya yang sudah ditetapkan lebih dulu’ berkenaan dengan dosa dan tindakan-tindakan jahat dari manusia adalah supaya Allah tidak pernah dinyatakan sebagai pencipta dosa. Tetapi tujuan ini tidak tercapai dengan menggunakan ‘ijin Allah’ atau ‘kehendak yang mengijinkan dari Allah’: karena jika Yang Maha Kuasa mengijinkan apa yang bisa Ia cegah, dari sudut pandang etika itu adalah sama seperti jika Ia melakukan hal itu sendiri. Tetapi dengan cara ini kita kehilangan Allah dan kedaulatanNya: karena ijin mensyaratkan suatu gagasan bahwa ada suatu kekuatan di luar Allah yang bisa menghasilkan dan melakukan sesuatu terpisah dari Dia, tetapi yang diijinkan oleh Allah untuk bertindak dan beroperasi. Ini merupakan dualisme, dan ini menghapuskan kedaulatan Allah yang lengkap dan mutlak. Dan karena itu kita harus mempertahankan bahwa juga dosa dan semua tindakan-tindakan jahat dari manusia dan malaikat mempunyai tempat dalam rencana Allah, dalam keputusan kehendakNya. Demikianlah diajarkan oleh Firman Allah) - ‘Reformed Dogmatics’, hal 158.
Louis Berkhof: “It is customary to speak of the decree of God respecting moral evil as permissive. By His decree God rendered the sinful actions of man infallibly certain without deciding to effectuate them by acting immediately upon and in the finite will. This means that God does not positively work in man ‘both to will and to do’, when man goes con¬trary to His revealed will. It should be carefully noted, however, that this permissive decree does not imply a passive permission of something which is not under the control of the divine will. It is a decree which renders the future sinful acts absolutely certain, but in which God determines (a)not to hinder the sinful self-determination of the finite will; and (b)to regulate and control the result of this sinful self-determination” [= Merupakan kebiasaan untuk berbicara tentang ketetapan Allah berkenaan dengan kejahatan moral sebagai bersifat mengijinkan. Oleh ketetapanNya Allah membuat tindakan-tindakan berdosa dari manusia menjadi pasti tanpa menetapkan untuk menyebabkan mereka terjadi dengan bertindak langsung dan bertindak dalam kehendak terbatas (kehendak manusia) itu. Ini berarti bahwa Allah tidak secara positif bekerja dalam manusia ‘baik untuk menghendaki dan untuk melakukan’, pada waktu manusia berjalan bertentangan dengan kehendakNya yang dinyatakan. Tetapi harus diperhatikan baik-baik bahwa ketetapan yang bersifat mengijinkan tidak berarti suatu ijin pasif dari sesuatu yang tidak ada di bawah kontrol dari kehendak ilahi. Itu merupakan suatu ketetapan yang membuat tindakan berdosa yang akan datang itu pasti secara mutlak, tetapi dalam mana Allah menentukan (a) tidak menghalangi keputusan yang berdosa yang dilakukan sendiri oleh kehendak terbatas / kehendak manusia; dan (b) mengatur dan mengontrol akibat / hasil dari keputusan berdosa ini] - ‘Systematic Theology’, hal 105.
Juga mengapa di bawah ini R. C. Sproul menjelaskan bahwa mengijinkan pada hakekatnya juga menentukan / menghendaki?
Sekarang maukah anda mengakui bahwa kata ‘menyamarkan’ yang anda gunakan itu merupakan suatu fitnah? Mau mengaku dosa kepada Allah sekarang juga, Liauw? Ingat, ajaran anda sendiri mengatakan bahwa keselamatan bisa hilang! Memfitnah, dan tak mau mengakuinya dan bertobat darinya, akan menghancurkan keselamatan anda (kalau anda pernah mempunyainya!)!
R. C. Sproul, agak bingung membedakan antara “menentukan” dengan “mengizinkan.” Dia berkata, “ Jika Ia [Allah] mengizinkan sesuatu, maka Ia pasti memutuskan untuk mengizinkannya. Jika Ia memutuskan untuk mengizinkan sesuatu, maka dalam arti tertentu Ia menentukannya. … Mengatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi adalah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu berdaulat atas segala ciptaanNya. Jika ada sesuatu yang bisa terjadi di luar izinNya yang berdaulat, maka apa yang terjadi itu menghalangi kedaulatanNya. Jika Allah menolak untuk mengizinkan sesuatu dan hal itu tetap terjadi, maka apapun yang menyebabkan hal itu terjadi mempunyai otoritas dan kuasa yang lebih besar dari Allah sendiri.”
Tanggapan saya:
a) Yang bingung R. C. Sproul atau anda, Liauw? Mungkin anda kurang pintar untuk mengerti kata-kata R. C. Sproul. Bagi saya, dan semua orang yang cukup cerdas, kata-kata R. C. Sproul sama sekali tidak membingungkan. Bagian yang mana yang membingungkan? Akan saya jelaskan!
b) Kata-kata R. C. Sproul juga anda kutip dari buku saya, tanpa memberi petunjuk. Mengapa? Supaya anda dianggap terpelajar karena banyak referensi yang anda gunakan sementara sebenarnya anda hanya menggunakan buku saya (atau setidaknya mayoritas dari buku saya)??
Kalau Kalvinis hanya mengatakan bahwa “Allah mengizinkan dosa,” maka saya setuju! Mengizinkan dosa berbeda dengan menetapkan dosa. Memberi izin berarti bahwa kehendak untuk melakukan berasal dari pribadi lain, dan pihak pemberi izin melakukan supervisi. Menetapkan sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari yang menetapkan itu.
Tanggapan saya:
Salah! Coba beri contoh satu orang Calvinist saja yang berpendapat bahwa ‘Menetapkan sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari yang menetapkan itu’. Itu kesimpulan anda yang anda masukkan ke dalam ajaran Calvinisme! Lagi-lagi suatu fitnahan, Liauw!
Kalvinis-kalvinis lain lebih jujur dan dengan terus terang menyatakan bahwa Allah menetapkan dosa.
Arthur Pink membuat jelas bagi kita: “Jelaslah bahwa adalah kehendak Allah dosa harus masuk ke dalam dunia, sebab kalau tidak demikian maka ia [dosa] telah tidak masuk, karena tidak ada sesuatupun yang terjadi selain yang telah didekritkan Allah sejak kekal. Lebih lanjut lagi, masalah ini lebih dari sekedar memberi izin semata, karena Allah hanya mengizinkan apa yang Ia kehendaki.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan saya:
Dari kutipan yang anda berikan, Arthur Pink JUGA BERBICARA TENTANG IJIN! Perhatikan kata-kata anda yang saya beri warna merah!
Pink melanjutkan, “Bukan hanya mataNya [Allah] yang mahatahu melihat Adam memakan buah yang terlarang itu, tetapi Ia telah mendekritkan sebelumnya bahwa ia [Adam] harus melakukannya.” Palmer menegaskan, “Adalah Alkitabiah untuk mengatakan bahwa Allah telah menetapkan dosa. Jika dosa berada di luar rencana Allah, maka tidak ada satupun hal penting dalam kehidupan yang dikuasai oleh Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan saya:
Lagi-lagi anda mengutip kata-kata Edwin Palmer dari saya dan mengutipnya hanya sebagian. Kalau anda teruskan kutipan itu, Edwin Palmer menunjukkan logika yang hebat, karena memang, seperti ia katakan, sangat sedikit, kalau ada, tindakan-tindakan manusia yang betul-betul sempurna. Tidak sempurna berarti berdosa, bukan demikian Liauw? Dan kalau semua tidak sempurna, semua berdosa, dan semua ada di luar rencana Allah!
Edwin H. Palmer: “It is even Biblical to say that God has foreordained sin. If sin was outside the plan of God, then not a single important affair of life would be ruled by God. For what action of man is perfectly good? All of history would then be outside of God’s foreordination: the fall of Adam, the crucifixion of Christ, the conquest of the Roman Empire, the battle of Hastings, the Reformation, the French Revolution, Waterloo, the American Revolution, the Civil War, two World Wars, presidential assassinations, racial violence, and the rise and fall of nations” (= Bahkan adalah sesuatu yang Alkitabiah untuk mengatakan bahwa Allah telah menentukan dosa lebih dulu. Jika dosa ada di luar rencana Allah, maka tidak ada satupun peristiwa kehidupan yang penting yang diperintah / dikuasai / diatur oleh Allah. Karena tindakan apa dari manusia yang baik secara sempurna? Seluruh sejarah juga akan ada di luar penentuan lebih dulu dari Allah: kejatuhan Adam, penyaliban Kristus, penaklukan kekaisaran Romawi, pertempuran Hastings, Reformasi, Revolusi Perancis, Waterloo, Revolusi Amerika, Perang saudara Amerika, kedua perang dunia, pembunuhan presiden, kejahatan / kekejaman rasial, dan bangkitnya dan jatuhnya bangsa-bangsa) - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 82.
Kutipan terakhir dari Palmer mengandung permainan kata-kata yang cukup berbahaya. Tidak ada orang lahir baru yang mengajarkan bahwa “dosa berada di luar rencana Allah.” Saya percaya bahwa dosa sangat diperhitungkan oleh Allah dalam rencanaNya. Sekali lagi, ini berbeda dengan mengatakan bahwa Allah menetapkan dosa. Jika saya sudah tahu bahwa besok akan hujan, maka hujan bisa ada dalam perencanaan saya, tanpa sedikitpun dapat dikatakan bahwa saya menetapkan hujan. Oleh karena itu, penggunaan kata “rencana” harus diperjelas. Kalvinis percaya bahwa Allah menetapkan dosa, jadi mereka percaya bahwa Allah merencanakan dosa. Merencanakan dosa tentu berbeda dengan sekedar “dosa ada dalam rencana Allah.”
Tanggapan saya:
Rencana Allah sangat luas, dan memang mencakup dosa. Ia betul-betul merencanakan supaya dosa itu terjadi. Itu yang dimaksud dengan ‘dosa ada dalam rencana Allah’, dan itu jelas juga sama dengan ‘dosa ditetapkan / direncanakan oleh Allah’. Tetapi ini berbeda dengan kata-kata ‘dosa sangat diperhitungkan oleh Allah dalam rencanaNya’. Kalau yang terakhir ini bisa diartikan bahwa Ia hanya tahu kalau dosa bakal ada, dan dalam rencanaNya, Ia juga merencanakan bagaimana cara menangani dosa yang akan muncul itu. Ini pandangan Arminianisme!
Jadi, janganlah ada Kalvinis yang marah jika saya berkata, “allahnya Kalvinis adalah allah yang merencanakan dosa, dan yang mengharuskan manusia berbuat dosa.” Kalau anda Kalvinis, dan anda shock dengan pernyataan ini, maka anda belum tahu pengajaran Kalvinis yang sejati.
Tanggapan saya:
Pernyataan anda salah, Liauw! Dari mana kata ‘mengharuskan’ itu muncul? Itu tidak ada dalam theologia Calvinist. Coba beri bukti siapa yang mengatakan demikian. Apa yang Allah tentukan / rencanakan, memang pasti terjadi.
Ayub 42:1-2 - “(1) Maka jawab Ayub kepada TUHAN: (2) ‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal”.
Tetapi ‘pasti terjadi’ sangat berbeda dengan ‘mengharuskan’. Kalau mengharuskan, berarti Allah memerintahkan dosa itu dilakukan. Itu tak pernah diajarkan oleh Calvinist manapun, Liauw! Lagi-lagi fitnah!
Bicara tentang marah, saya tidak marah. Saya kasihan dengan anda yang begitu bodoh, sehingga menyerang ‘Calvinisme’ yang sebetulnya bukan Calvinisme! Lalu untuk apa saya marah?
Terus terang pertama kali saya mempelajari Kalvinisme, saya juga shock dengan deklarasi demikian. Tetapi setelah saya selidiki pengajaran tokoh-tokoh Kalvinis itu sendiri, saya dapatkan bahwa benar demikian. Dan sebelum saya dapat protes terhadap deklarasi mereka, para Kalvinis menyuguhkan dulu suatu premis lain lagi: “Kalau Allah mahatahu, itu berarti Allah telah menetapkan segala sesuatu, termasuk dosa.”
C. Allah Tahu Karena Allah Menetapkan
Semua orang Kristen lahir baru tentunya percaya bahwa Allah memiliki sifat mahatahu. Allah tahu segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Allah tahu tentang segenap perbuatan, kejadian, peristiwa, bahkan pikiran, perasaan, dan hal-hal yang paling tersembunyi sekalipun. Bukan hanya itu saja, Allah juga tahu semua kemungkinan yang bisa terjadi, dan semua alternatif dari realita.
Tanggapan saya:
Untuk yang saya beri warna merah, saya tidak setuju. Hal-hal yang DARI SUDUT ALLAH betul-betul contingent (bisa terjadi bisa tidak terjadi), tidak mungkin bisa diketahui oleh siapapun, termasuk oleh Allah.
Kalau bisa terjadi A atau B atau C, dan sama sekali tak ada ketentuan akan terjadi yang mana, lalu Allah tahu apa tentang hal itu? Misalnya Dia tahu bahwa yang akan terjadi adalah A, maka apa yang Ia tahu itu sudah pasti terjadi. Itu berarti A itu sudah tertentu, bukan lagi merupakan sesuatu yang contingent!
Kalau hal-hal yang contingent dari sudut kita, maka memang Allah tahu akan hal itu, karena dari sudut Allah, apa yang contingent bagi kita bukan contingent bagi Dia!
Walaupun Non-Kalvinis mempercayai Allah mahatahu, Kalvinis memiliki pengertian yang lain tentang kemahatahuan. Kalvinis percaya bahwa jika Allah mahatahu, berarti Allah menentukan segala sesuatu.
Logika Kalvinis berjalan seperti ini:
“Bayangkan suatu saat (minus tak terhingga) dimana alam semesta, malaikat, manusia, dsb belum diciptakan. Yang ada hanyalah Allah sendiri. Ini adalah sesuatu yang alkitabiah, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (Kej 1 Yoh 1:1-3). Pada saat itu, karena Allah itu mahatahu (1Sam 2:3 – “Karena TUHAN itu Allah yang mahatahu”), maka Ia sudah mengetahui segala sesuatu (dalam arti kata yang mutlak) yang akan terjadi, termasuk dosa. Semua yang Ia tahu akan terjadi itu, pasti terjadi persis seperti yang Ia ketahui. Dengan kata lain, semua itu sudah tertentu pada saat itu. Kalau sudah tertentu, pasti ada yang menentukan (karena tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri). Karena pada saat itu hanya ada Allah sendiri, maka jelas bahwa Ialah yang menentukan semua itu.”
Saya akan memperjelas lagi dengan mengambil suatu contoh kasus imajiner, yaitu seorang bernama Budi yang suatu hari tertentu memilih untuk memakai baju merah. Allah sudah mengetahui bahwa Budi akan memakai baju merah pada hari itu. Pengetahuan Allah akan hal ini sudah sejak kekekalan lampau. Dan, pengetahuan Allah tentu tidak dapat salah atau gagal, karena Ia Allah dan Ia mahatahu. Jadi, menurut filosofi Kalvinis, Budi tidak memiliki pilihan lain. Kalau Budi pada hari itu memilih baju biru, maka pengetahuan Allah menjadi salah, dan ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, walaupun tampaknya seolah-olah Budi menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih baju merah dari berbagai pilihan berwarna-warni baju di lemari, menurut Kalvinis sebenarnya Budi sudah ditetapkan untuk memilih baju merah, dan bahwa Budi tidak bisa memilih baju warna lain karena Allah sudah tahu dia akan pilih merah, dan pengetahuan Allah tidak bisa salah.
Tanggapan saya:
Bukan ‘seolah-olah’, Liauw!
Sedemikian yakinnya Kalvinis akan jalur logika dan kesimpulan ini, sehingga Boettner berkata, “Kecuali Arminianisme menyangkal pengetahuan lebih dulu dari Allah, ia tidak mempunyai pertahanan di hadapan kekonsistenan logis dari Calvinisme; karena pengetahuan lebih dulu secara tidak langsung menunjuk pada kepastian, dan kepastian secara tidak langsung menunjuk pada penetapan lebih dulu.”
Tanggapan saya:
Asal tahu saja, argumentasi Loraine Boettner dalam hal ini, yang membuat saya, yang tadinya hanya menganggap Allah hanya mengijinkan dosa, akhirnya percaya bahwa ternyata Alkitab mengajarkan bahwa Allah menentukan dosa. Saya mengaminkan kata-kata Boettner itu dengan segenap hati! Dan saya yakin argumentasi ini tidak bakal bisa digugurkan oleh siapapun juga! Saya belum pernah tahu ada orang manapun bisa menghancurkan argumentasi ini! Dan saya tantang anda untuk melakukannya!
Bukan hanya itu, Kalvinis juga menyimpulkan bahwa Allah mahatahu karena Ia menetapkan segala sesuatu. Shedd berkata, “Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.” Warfield menambahkan, “Allah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri.” Baik anda Kalvinis maupun Non-Kalvinis, anda perlu membaca dan meresapi apa makna dari pernyataan Kalvinis: Allah tidak bisa tahu suatu peristiwa jika Ia tidak menentukan peristiwa itu. Bukankah ini justru mengecilkan kemahatahuan Tuhan?
Tanggapan saya:
Terus terang, bahwa bagian ini mula-mula juga membingungkan saya, karena sangat sukar. Tetapi setelah saya renungkan, saya yakin kata-kata itu benar, dan sama sekali tidak mengecilkan kemahatahuan Allah. Kalau kata-kata R. C. Sproul di atas tadi sudah tak bisa anda mengerti, maka saya yakin anda tidak bakal mengerti bagian ini, biarpun anda renungkan sampai akhir jaman!
Sampai dengan titik ini, saya belum memberikan ayat-ayat Alkitab ataupun argumen-argumen untuk menyatakan kesalahan posisi Kalvinis. Sampai dengan titik ini, tujuan utama saya adalah untuk menjelaskan pada anda, apa yang sebenarnya Kalvinis percayai. Oleh karena itulah saya tidak sekedar menjelaskan dengan kata-kata saya sendiri, tetapi mengutip langsung dari sumber-sumber Kalvinis. Boettner, Melanchthon, Pink, Sproul, Palmer, Warfield, Shedd, adalah nama-nama besar Kalvinis. Mereka diakui oleh dunia sebagai Kalvinis. Masih banyak lagi tokoh Kalvinis yang akan saya kutip nanti. Tetapi saya ingin anda tahu bahwa saya tidak mengada-ada atau melakukan misrepresentasi terhadap pengajaran Kalvinis.
Tanggapan saya:
Jangan berdusta, Liauw! Ada yang anda kutip dari sumber langsung (itupun mungkin). Tetapi banyak yang anda kutip secara tidak langsung, karena anda kutip melalui buku saya! Mau saya buktikan? Enak ya kalau mengutip dari saya, ada bahasa Inggrisnya dan ada terjemahannya sekalian!
Anda berdusta dan memfitnah banyak sekali, Liauw! Tidak takut keselamatan anda hilang? Ternyata orang yang percaya keselamatan bisa hilang berdosa seenaknya sendiri! Padahal mereka biasanya menuduh bahwa orang-orang Calvinist, yang mempercayai keselamatan tidak bisa hilang itulah, yang berdosa seenaknya sendiri!
Nah, sebelum saya menjelaskan letak kesalahan dari premis dasar Kalvinisme, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk melihat konsekuensi dari premis dasar Kalvinisme. Saya ingin tahu, jika seseorang memegang pandangan Kalvinisme ini secara konsisten, apa yang akan terjadi.
Tanggapan saya:
Saya belum membaca bagian di bawah ini, tetapi dari kata ‘konsekuensi’ yang anda gunakan, saya tahu bahwa bakal muncul fitnahan lagi, karena konsekwensi yang anda maksudkan, pasti bukan yang Calvinisme ajarkan!
Bersambung ke bagian 2
Oleh : Pdt. Budi Asali, M. Div
Info. Dalam website Graphe Ministry, Dr. Stephen Liauw menulis sebuah artikel berjudul"KEDAULATAN ALLAH & KEBEBASAN MANUSIA" yang menyerang doktrin Calvinisme tentang kedaulatan Allah.(Silahkan klik disini : http://graphe-ministry.org/downloads/Kedaulatan_Allah-pandangan_Alkitabiah.pdf).Dalam tulisan ini pula Steven Liauw sempat membahas tulisan Pdt. Budi Asali, M. Div tentang topik tersebut.Karena itu Pdt.Budi Asali pun menulis tanggapan teologis terhadap tulisan Steven Liauw ini. Berikut ini tanggapanny yang akan diberikan di sela-sela tulisan Steven Liaw. (Warna hitam adalah tulisan Steven Liauw, sedangkan warna biru adalah tanggapan Pdt. Budi Asali).
Kedaulatan Allah dan Kebebasan Manusia yang Alkitabiah
Dr. Steven E. Liauw
I. Pendahuluan
Salah satu hal yang secara paling mendasar mempengaruhi bagaimana seseorang memandang dunia ini, adalah konsepnya tentang Allah. Beritahukan pada saya, apa yang seseorang percayai tentang Allah, maka saya dapat memprediksikan apa pendapat orang tersebut dalam berbagai hal, dan bahkan bagaimana orang tersebut akan bertindak dalam berbagai situasi. Tentu ada ruang yang lebar untuk variasi individu, tetapi pandangan seseorang tentang Allah berada pada poros inti moralitas dan filosofinya.
Seorang atheis, misalnya, bahkan tidak percaya ada Allah. Oleh karena itu, atheis yang konsisten, tidak akan memiliki moralitas yang absolut. Ada atheis yang tidak memiliki moralitas sama sekali dan menunjukkan kepada dunia apa yang terjadi jika atheisme diimani secara konsekuen sampai pada kesimpulan akhirnya. Jika tidak ada Allah, maka manusia hanyalah binatang lainnya, dan tidak ada konsep benar atau salah. Oleh karena itu, mereka berlaku tidak lebih dari binatang yang pintar, melakukan apapun juga yang diingini tanpa ada rasa tanggung jawab sedikitpun. Dalam hal ini, tindakan mereka bahkan bisa lebih kejam dari binatang, karena binatang cukup puas dengan mempertahankan hidup dan eksistensi mereka, sedangkan manusia yang tidak bermoral dikuasai oleh nafsu yang tidak pernah mengenal cukup.
Tentu banyak atheis yang tidak seperti itu. Mereka masih memiliki moralitas, walaupun moralitas yang relatif. Walaupun secara intelektual mereka menolak eksistensi Allah, tetapi karena alasan-alasan lain (rasa kemanusiaan, tenggang rasa, budi pekerti yang dipelajari sejak kecil, dll), mereka mempertahankan sejenis moralitas. Tetapi ini tidak berarti bahwa atheisme dapat menghasilkan moralitas. Moralitas pada seorang atheis adalah sisa-sisa kebenaran ilahi yang universal, yang belum terkikis habis oleh atheisme itu, yang masih ada pada individu tersebut. Ia bermoral bukan karena ia atheis. Sebaliknya, ia bermoral walaupun ia seorang atheis, karena dia belum mau menerima konsekuensi logis dari atheisme. Dapat kita katakan bahwa ia adalah seorang atheis dalam teori, tetapi belum atheis dalam praktek, minimal belum sepenuhnya. Ada ketidakkonsistenan antara apa yang ia percayai dengan apa yang ia lakukan, tetapi ketidakkonsistenan yang menguntungkan.
Bagaimana dengan orang-orang yang percaya ada Allah? Apakah mereka semua ini sama? Tentu tidak! Tanpa perlu mengupas tentang deisme, pantheisme, panentheisme, atau yang lainnya yang sudah pasti akan membawa penganutnya ke pandangan yang berbeda-beda, bahkan di kalangan theis sekalipun (percaya Allah sebagai pribadi yang immanen dan transenden), ada perbedaan cara berpikir yang cukup luas, tergantung kepada konsep dia tentang pribadi Allah.
Ketika seseorang menekankan bahwa Allah adalah mahakasih, tanpa melihat aspek lain dari sifat-sifat Allah, maka ia akan sampai kepada kesimpulan yang salah. Banyak orang senang dengan Allah yang mahakasih, tetapi tidak mau Allah yang mahakudus atau Allah yang mahaadil. Mereka merasionalisasikan: Allah yang mahakasih tentu tidak akan mengirim orang ke neraka untuk selama-lamanya!
Tetapi rasionalisasi seperti ini sungguh salah. Ada dua kesalahan yang terjadi. Kesalahan PERTAMA adalah merasionalisakan sifat Allah dengan mengabaikan pernyataan jelas Alkitab. Banyak sekali ayat Alkitab yang menyatakan bahwa manusia yang berdosa dan menolak kasih karunia penyelamatan Allah, akan binasa untuk selama-lamanya dalam neraka. Matius, misalnya, mencatat peringatan Yesus bahwa lebih baik masuk Surga dalam kondisi timpang dan buta daripada dengan tubuh lengkap, tersesat dan masuk ke dalam api yang kekal (Mat. 18:8). Jadi, pernyataan kaum universalis bahwa semua manusia akan masuk Surga, bertentangan dengan pernyataan jelas dalam Alkitab. Seharusnya, bagi orang yang sungguh menjunjung tinggi Alkitab sebagai standar, adanya pernyataan jelas dalam Alkitab menjadi pandu yang berotoritas.
Seharusnya terjadi pemikiran seperti berikut:“Jika Alkitab menyatakan bahwa orang-orang yang tidak bertobat akan masuk neraka untuk selama-lamanya, maka pemikiran awal saya (bahwa Allah yang mahakasih tidak mungkin mengirim orang ke neraka) adalah salah. Saya harus merevisi ulang premis dasar pemikiran saya.” Ini adalah sikap yang benar. Tetapi sayang, yang biasanya terjadi adalah pemelintiran ayat-ayat kitab Suci untuk mendukung pemikiran dasar seseorang. Bukannya berpikir bahwa ada yang salah dengan premis dasar (karena bertentangan dengan ayat-ayat jelas Alkitab), yang bersangkutan justru sibuk mencoba menjelaskan ayat-ayat Alkitab itu agar masuk ke dalam konsep dia.
Kesalahan KEDUA adalah terlalu menekankan satu sifat Allah, tanpa melihat sifat-sifat Allah yang lain. Ketika seseorang berjalan tanpa membiarkan Alkitab mengoreksi premis dasarnya, maka tidak mungkin dihindari dia akan berlebihan menekankan salah satu sifat Allah. Penekanan yang berlebihan ini justru membuat pengertiannya akan sifat Allah tersebut menjadi salah.
Sang universalis terlalu menekankan tentang kasih Allah, sehingga mengabaikan kekudusan Allah dan keadilan Allah. Manusia yang berdosa tidak dapat berkenan kepada Allah yang mahakudus, dan tidak mungkin masuk Surga tanpa ada penyelesaian dosa terlebih dahulu. Allah yang adil tidak mungkin tidak menjalankan hukumNya sendiri, bahwa dosa harus dihukum. Kita bisa melihat bahwa menekankan satu sifat Allah di atas sifat-sifatNya yang lain akan menghasilkan pemahaman tentang Allah yang timpang. Allahnya sang universalis, bukan lagi menjadi Allah yang mahakasih, melainkan Allah yang lemah, yang tidak berani menjalankan hukumNya sendiri. Kasih yang demikian juga bukanlah kasih yang sejati, karena kasih yang sejati selalu harmonis dengan kebenaran.
Semua pendahuluan di atas mengantar saya kepada topik inti dari tulisan ini, yaitu kedaulatan Allah dan hubungannya dengan kebebasan manusia. Dalam kekristenan ada satu kelompok yang banyak berbicara mengenai “kedaulatan Allah,” yaitu kelompok Kalvinis. Kalvinis membuat premis dasar dari pemahaman mereka akan “kedaulatan Allah.” Menurut mereka, karena Allah berdaulat, maka Allah pastilah telah menetapkan segala sesuatu. Segala sesuatu artinya adalah segala sesuatu. Jadi, setiap tindakan manusia maupun malaikat, setiap pikiran manusia maupun malaikat, telah ditentukan oleh Tuhan. Lebih lanjut lagi, Tuhan sudah menentukan dari semula, bahkan sebelum penciptaan, bahwa Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk diselamatkan, dan Dia akan menciptakan sebagian manusia untuk dibinasakan. Keselamatan atau kebinasaan ditentukan oleh Allah tanpa pertimbangan apapun di luar diri Allah! Lebih lanjut lagi, sesuai dengan pemilihan keselamatan/kebinasaan itu, Allah hanya akan menyediakan keselamatan bagi yang terpilih selamat. Dan Allah akan memaksakan (memberi tanpa dapat ditolak) “kasih karunia”Nya kepada orang-orang yang terpilih untuk selamat ini.
Tanggapan saya:
Calvinist tak pernah mengatakan ‘memaksakan’, sekalipun memang menggunakan istilah Irresistible Grace (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak). Tak bisa menolak tak berarti dipaksa untuk menerima, karena Allah melahirbarukan orang itu, dan itu mengubah orang itu sedemikian rupa sehingga ia pasti dengan sukarela dan sukacita menerima Kristus.
Westminster Confession of Faith, Chapter III, 1: “God from all eternity, did, by the most wise and holy counsel of His own will, freely, and unchangeably ordain whatsoever comes to pass; yet so, as thereby neither is God the author of sin, nor is violence offered to the will of the creatures; nor is the liberty or contingen¬cy of second causes taken away, but rather established” (= Allah dari sejak kekekalan, melakukan, oleh rencana dari kehendakNya sendiri yang paling bijaksana dan suci, dengan bebas, dan dengan tidak berubah menetapkan apapun yang akan terjadi; tetapi dengan demikian Allah bukan pencipta dosa, dan tidak digunakan kekerasan / pemaksaan terhadap kehendak dari makhluk ciptaan; juga kebebasan atau ketidakpastian / sifat tergantung dari penyebab kedua tidaklah disingkirkan, tetapi sebaliknya diteguhkan).
Catatan: Westminster Confession of Faith adalah Pengakuan Iman dari Gereja-gereja Reformed di Amerika.
Kalvinis menegaskan bahwa setiap orang yang percaya bahwa Allah berdaulat harus sampai pada kesimpulan yang sama dengan mereka. Jikalau tidak, maka anda tidak benar-benar percaya bahwa Allah berdaulat! Oleh karena itulah saya terbeban untuk menulis tentang topik ini. Motivasi saya bukanlah untuk menyerang pribadi-pribadi tertentu. Saya tidak membenci satu orang Kalvinis pun, bahkan saya memiliki teman-teman baik di antara para Kalvinis. Motivasi saya adalah kebenaran. Saya tidak tahan melihat Allah yang saya sembah dan kasihi, digambarkan dengan sedemikian salah. Saya merinding melihat bagaimana loyalitas terhadap suatu dogma telah membuat banyak orang yang brilian dan baik menentang kata-kata jelas dari Alkitab. Saya ingin menggambarkan kedaulatan Allah yang sebenarnya dari dalam Alkitab.
Tanggapan saya:
Kalau ini memang betul-betul merupakan motivasi anda, saya menghargai anda. Tetapi mengapa anda memfitnah Calvinisme? Kalau mau meluruskan, jangan memfitnah! Banyak sekali dalam tulisan anda, anda mengatakan Calvinisme mengajar begini, Calvinisme mengajar begitu, padahal Calvinisme yang sebenarnya tidak pernah mengajar seperti apa yang anda katakan.
Biarpun motivasi anda bagus, tetapi kalau pengetahuan anda / cara menafsir anda salah, maka anda pada hakekatnya berusaha untuk membengkokkan apa yang sudah lurus!
Amsal 19:2 - “Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah”.
Ro 10:1-3 - “(1) Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan. (2) Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. (3) Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah”.
Tidak pernah dalam mimpi saya sekalipun, saya berpikir bahwa karya tulis saya akan membuat semua Kalvinis berubah. Orang yang telah menggolongkan dirinya dalam suatu kelompok, cenderung sulit untuk melihat segala sesuatu dengan netral. Tujuan utama saya adalah orang-orang yang masih sedang menyelidiki dan mencari. Jika anda ingin tahu tentang kedaulatan Allah, kebebasan manusia, dan keselamatan, maka harapan saya buku ini bisa bermanfaat dalam anda mempelajari Alkitab. Ingatlah bahwa Alkitab adalah standar tertinggi. Tetapi bagi para Kalvinis yang masih rela untuk menguji sistem yang telah mereka yakini selama ini, saya yakin buku ini juga akan bermanfaat. Saya minta untuk membaca karya tulis ini dengan hati yang terbuka, yang siap untuk menguji setiap premis dasar, membandingkannya dengan Alkitab. Sesudah menyelesaikan buku ini, setuju atau tidak setuju, adalah kebebasan anda! Tetapi suatu hari nanti, kita semua akan berdiri di hadapan Allah, mempertanggungjawabkan bagaimana kita menggunakan kebebasan yang telah Ia anugerahkan itu.
Tanggapan saya:
Saya pasti akan menerima apa yang anda katakan / ajarkan, kalau itu memang punya dasar Alkitab yang lebih kuat dari pandangan saya, dan bisa menggugurkan argumentasi-argumentasi saya. Dalam hidup saya sebagai orang Kristen, saya sudah banyak kali berubah pandangan. Dulu saya sendiri Arminian, dan pada waktu pertama kali mendengar ajaran Calvinisme tentang predestinasi, saya tidak bisa menerima. Tetapi setelah mendengar dengan hati terbuka, dan tunduk pada Alkitab, apa dasar-dasar dari doktrin tentang predestinasi, maka saya menerimanya. Demikian juga pada waktu pertama kali mendengar tentang doktrin ‘Limited Atonement’ (= Penebusan Terbatas), saya tidak bisa menerimanya. Tetapi setelah mendengar argumentasi dari Alkitab yang diberikan, saya melihat bahwa saya tidak mungkin menolak doktrin itu tanpa sekaligus menolak Alkitabnya. Demikian juga pada waktu mendengar doktrin penentuan segala sesuatu (termasuk dosa), saya mula-mula menolak. Tetapi lagi-lagi setelah membaca argumentasi-argumentasi yang betul-betul didasarkan Alkitab, saya tunduk dan menerima ajaran itu. Jadi, kalau sekarang anda bisa menghancurkan argumentasi-argumentasi saya dan memberikan dasar Alkitab yang lebih kuat dari yang saya punyai, anda pasti bisa ‘mempertobatkan’ saya!
II. Kedaulatan Allah menurut Kalvinis
A. Allah Menetapkan Segala Sesuatu
Premis dasar dari Kalvinisme menegaskan bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang menetapkan segala sesuatu. Dengan kata lain, setiap perbuatan, tindakan, maupun pikiran semua makhluk hidup, telah ditetapkan oleh Allah sebelumnya. Ini adalah premis dasar dari Kalvinisme. Untuk membuktikan bahwa Kalvinis sungguh percaya seperti itu, kita akan melihat kutipan pengajaran berbagai tokoh Kalvinis.
Tanggapan saya:
Dalam hal ini saya setuju dengan anda, bahwa itu memang ajaran Calvinisme / Reformed yang sebenarnya. Tetapi perlu anda ketahui bahwa di Indonesia tokoh Reformed Pdt. Stephen Tong (dan juga mayoritas anak buahnya) tidak setuju dengan ajaran itu, dan karena itu menurut saya dia bukan Calvinist / Reformed yang sejati.
John Gill berkata, “Pendeknya, segala sesuatu tentang semua individu di dunia, yang pernah ada, yang ada, atau yang akan ada, semuanya sesuai dengan dekrit-dekrit Allah, dan menurut pada dekrit-dekrit itu; lahirnya berbagai manusia ke dalam dunia, waktu terjadinya, semua hal-hal yang terjadi berhubungan dengan itu; semua peristiwa dan kejadian yang dialami manusia, sepanjang hidup mereka; tempat tinggal mereka, posisi mereka, panggilan hidup mereka, dan pekerjaan mereka; kondisi mereka berhubungan dengan kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kesulitan dan kemakmuran; kapan mereka akan meninggalkan dunia, dan semua hal yang berkaitan dengan itu; semuanya sesuai dengan rencana dan kehendak Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Semua orang Kristen lahir baru percaya bahwa Allah memiliki rencana dalam hidup tiap-tiap individu. Semua orang percaya yakin bahwa waktu kelahiran ataupun kematian ada di tangan Tuhan. Semua orang beriman juga mengakui bahwa segala hal yang dia nikmati dalam hidupnya adalah berkat-berkat Tuhan. Tetapi Kalvinis tidak puas sampai di situ. Kalvinis menegaskan bahwa semua yang terjadi dalam hidup seseorang, termasuk tindakannya, pikirannya, kesukaan-kesukaannya, pilihan-pilihannya, semuanya telah ditetapkan oleh Tuhan sejak kekekalan dalam dekrit-dekrit rahasia. Untuk memastikan bahwa benar inilah yang dipercayai Kalvinis, kita lihat lagi beberapa kutipan.
Budi Asali berkata, “Karena itu kalau kita percaya bahwa Allah itu berdaulat, maka kita juga harus percaya bahwa Ia menetapkan segala sesuatu.” Berkhof memperjelas posisi Reformed: “Theologia Reformed menekankan kedaulatan Allah atas dasar mana Ia secara berdaulat telah menentukan dari sejak kekekalan apapun yang akan terjadi…” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan saya:
a) Ini memang kata-kata Louis Berkhof tetapi anda mengutipnya dari buku saya. Mengapa tidak memberi petunjuk tentang hal itu?
b) Dalam buku saya, kutipan dari Louis Berkhof lebih panjang, dan ada dasar Alkitabnya. Mengapa anda potong? ‘A half truth is a whole lie!’.
Sampai di sini kita perlu berhenti sebentar dan bertanya kepada Kalvinis: “Apakah segala sesuatu yang dimaksud di sini benar-benar berarti segala sesuatu?” Pertanyaan ini penting, karena Kalvinis sering memiliki interpretasi sendiri mengenai kata “segala” atau “semua.” Ketika Alkitab mengatakan bahwa Yesus mati bagi “semua manusia,” Kalvinis bersikukuh bahwa “semua” yang dimaksud adalah “semua orang pilihan.” Jangan-jangan, maksud Kalvinis adalah bahwa Allah menetapkan “segala sesuatu yang pilihan saja.” Tetapi kita dipuaskan oleh para Kalvinis bahwa memang mereka percaya Allah menetapkan segala sesuatu tanpa kecuali.
David West berkata, “Allah menetapkan sejak awal segala sesuatu, baik yang beranimasi (bergerak/hidup), maupun yang tidak beranimasi (diam/mati). DekritNya mencakup semua malaikat, baik yang baik maupun yang jahat.” Tow dan Khoo memperjelas: “Dengan kuasa yang tak terbatas dan hikmat yang tak terbatas, Allah telah sejak kekekalan lampau, memutuskan dan memilih dan menetapkan segala peristiwa yang terjadi tanpa kekecualian, sampai dengan kekekalan yang akan datang.” Melanchthon menghilangkan segala keraguan kita dengan berkata bahwa “Segala sesuatu terjadi sesuai dengan ketetapan ilahi; bukan hanya pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan secara eksternal, tetapi bahkan juga pikiran-pikiran yang kita pikirkan secara internal.”
Tanggapan saya:
Saya tidak tahu siapa David West maupun Tow dan Khoo, tetapi saya tahu bahwa Melanchton bukan seorang Calvinist! Ia adalah orang Arminian seperti anda! Jadi, kalau kutipan anda benar, maka ternyata ada orang-orang Arminian yang juga percaya doktrin Reformed / Calvinist ini!
B. Allah Menetapkan Dosa
Satu hal yang mengganggu saya ketika merenungkan pernyataan-pernyataan Kalvinis bahwa “Allah menetapkan segala sesuatu,” adalah masalah dosa. Kalau Allah menetapkan segala sesuatu, maka berarti Ia menetapkan juga semua dosa yang pernah diperbuat, yang sedang diperbuat, dan yang akan diperbuat. Ini berarti bahwa Allah-lah yang menetapkan agar Adam dan Hawa makan buah yang Ia larang. Bukankah lucu bila Allah melarang mereka makan buah itu, tetapi Ia pula yang menetapkan agar mereka makan buah itu?
Tanggapan saya:
a) ‘Lucu’ itu kan logika anda. Jangan berargumentasi hanya menggunakan logika. Inikah argumentasi berdasarkan Alkitab yang anda sebutkan di atas?
b) Dari kutipan yang anda berikan dari buku saya di atas jelas bahwa anda sudah membaca buku saya itu. Dalam buku saya, saya memberikan argumentasi dalam persoalan kejatuhan Adam dan Hawa yang sudah ditentukan. Mengapa argumentasi saya tak dibahas? Bingung bagaimana mematahkannya?
Lebih mengerikan lagi adalah pemikiran bahwa Allah yang menetapkan semua pembunuhan yang pernah terjadi. Jika Allah menetapkan segala sesuatu, maka tindakan semua pemerkosa ditentukan oleh Allah. Sesuai dengan pernyataan Melanchthon, bahwa Allah menentukan “…juga pikiran-pikiran yang kita pikirkan secara internal,” maka semua benci, iri hati, kesombongan, pikiran kotor, hawa nafsu, pikiran perzinahan, juga terjadi karena ditetapkan demikian dalam dekrit Allah.
Apakah anda terganggu dengan semua itu? Saya tahu bahwa saya terganggu, karena saya tidak bisa membayangkan bahwa Allah yang MAHAKUDUS menetapkan satu dosa pun untuk terjadi, jangankan semua dosa yang pernah dan akan ada! Oleh karena itu, saya berulang mengecek, apa benar itu yang dipercayai para Kalvinis?
Boettner menegaskan: “Bahkan kejatuhan Adam, dan melaluinya kejatuhan umat manusia, bukanlah suatu kebetulan atau kecelakaan, tetapi sudah ditetapkan demikian dalam keputusan rahasia Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Perhatikan bahwa Kalvinis bukan hanya berbicara mengenai “mengizinkan dosa.” Kalvinis berbicara mengenai “menetapkan dosa.” Ada perbedaan yang besar antara “menetapkan” dan “mengizinkan.” Ada Kalvinis yang mencoba untuk menyamarkan doktrin mereka dengan menggunakan bahasa “izin.”
Tanggapan saya:
Calvin sendiri bahkan tidak senang dengan istilah ‘ijin’ itu, dan ini terlihat dari 2 kutipan kata-kata Calvin di bawah ini.
Calvin: “God wills that the false king Ahab be deceived; the devil offers his services to this end; he is sent, with a definite command, to be a lying spirit in the mouth of all the prophets (1Kings 22:20,22). If the blinding and insanity of Ahab be God’s judgment, the figment of bare permission vanishes: because it would be ridiculous for the Judge only to permit what he wills to be done, and not also to decree it and to command its execution by his ministers” [= Allah menghendaki bahwa raja Ahab yang tidak benar ditipu; setan menawarkan pelayanannya untuk tujuan ini; ia dikirim, dengan perintah yang pasti, untuk menjadi roh dusta dalam mulut semua nabi (1Raja 22:20,22). Jika pembutaan dan kegilaan Ahab adalah penghakiman Allah, isapan jempol tentang ‘sekedar ijin’ hilang: karena adalah menggelikan bagi sang Hakim untuk hanya mengijinkan apa yang Ia kehendaki untuk dilakukan, dan tidak juga menetapkannya dan memerintahkan pelaksanaannya oleh pelayan-pelayanNya] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.
Calvin: “Those who are moderately versed in the Scriptures see that for the sake of brevity I have put forward only a few of many testimonies. Yet from these it is more than evident that they babble and talk absurdly who, in place of God’s providence, substitute bare permission - as if God sat in a watchtower awaiting chance events, and his judgments thus depended upon human will”(= Mereka yang betul-betul mengetahui Kitab Suci melihat bahwa untuk singkatnya saya hanya memberikan sedikit dari banyak kesaksian. Tetapi dari kesaksian-kesaksian ini adalah lebih dari jelas bahwa mereka mengoceh dan berbicara secara menggelikan yang, menggantikan providensia Allah dengan ‘sekedar ijin’ - seakan-akan Allah duduk di menara pengawal menunggu kejadian-kejadian yang terjadi secara kebetulan, dan dengan demikian penghakimanNya ter-gantung pada kehendak manusia) - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book I, Chapter XVIII, no 1.
Memang para Calvinist yang lain mau menggunakan kata ‘ijin’ tetapi bukan dengan motivasi seperti yang Liauw katakan. Untuk Liauw, saya beri nasehat: Jangan menebak motivasi Calvinist dalam menggunakan kata ‘izin’, kalau anda tidak mengetahuinya. Itu merupakan fitnah! Kalau Calvinist memang mau menyamarkan mengapa dalam penggunaan kata ‘ijin’, mengapa gerangan mereka sering / pada umumnya lalu memberikan tambahan penjelasan bahwa ‘itu bukan sekedar ijin’?
Contoh:
Herman Hoeksema: “Nor must we, in regard to the sinful deeds of men and devils, speak only of God’s permission in distinction from His determination. Holy Scripture speaks a far more positive language. We realize, of course, that the motive for speaking God’s permission rather than of His predetermined will in regard to sin and the evil deeds of men is that God may never be presented as the author of sin. But this purpose is not reached by speaking of God’s permission or His permissive will: for if the Almighty permits what He could just as well have prevented, it is from an ethical viewpoint the same as if He had committed it Himself. But in this way we lose God and His sovereignty: for permis¬sion presupposes the idea that there is a power without God that can produce and do something apart from Him, but which is simply permitted by God to act and operate. This is dualism, and it annihilates the complete and absolute sovereignty of God. And therefore we must main¬tain that also sin and all the wicked deeds of men and angels have a place in the counsel of God, in the counsel of His will. Thus it is taught by the Word of God” (= Juga kita tidak boleh, berkenaan dengan tindakan-tindakan berdosa dari manusia dan setan, berbicara hanya tentang ijin Allah dan membedakannya dengan penentuan / penetapanNya. Kitab Suci berbicara dengan suatu bahasa yang jauh lebih positif. Tentu saja kita menyadari bahwa motivasi untuk menggunakan istilah ‘ijin Allah’ dari pada ‘kehendakNya yang sudah ditetapkan lebih dulu’ berkenaan dengan dosa dan tindakan-tindakan jahat dari manusia adalah supaya Allah tidak pernah dinyatakan sebagai pencipta dosa. Tetapi tujuan ini tidak tercapai dengan menggunakan ‘ijin Allah’ atau ‘kehendak yang mengijinkan dari Allah’: karena jika Yang Maha Kuasa mengijinkan apa yang bisa Ia cegah, dari sudut pandang etika itu adalah sama seperti jika Ia melakukan hal itu sendiri. Tetapi dengan cara ini kita kehilangan Allah dan kedaulatanNya: karena ijin mensyaratkan suatu gagasan bahwa ada suatu kekuatan di luar Allah yang bisa menghasilkan dan melakukan sesuatu terpisah dari Dia, tetapi yang diijinkan oleh Allah untuk bertindak dan beroperasi. Ini merupakan dualisme, dan ini menghapuskan kedaulatan Allah yang lengkap dan mutlak. Dan karena itu kita harus mempertahankan bahwa juga dosa dan semua tindakan-tindakan jahat dari manusia dan malaikat mempunyai tempat dalam rencana Allah, dalam keputusan kehendakNya. Demikianlah diajarkan oleh Firman Allah) - ‘Reformed Dogmatics’, hal 158.
Louis Berkhof: “It is customary to speak of the decree of God respecting moral evil as permissive. By His decree God rendered the sinful actions of man infallibly certain without deciding to effectuate them by acting immediately upon and in the finite will. This means that God does not positively work in man ‘both to will and to do’, when man goes con¬trary to His revealed will. It should be carefully noted, however, that this permissive decree does not imply a passive permission of something which is not under the control of the divine will. It is a decree which renders the future sinful acts absolutely certain, but in which God determines (a)not to hinder the sinful self-determination of the finite will; and (b)to regulate and control the result of this sinful self-determination” [= Merupakan kebiasaan untuk berbicara tentang ketetapan Allah berkenaan dengan kejahatan moral sebagai bersifat mengijinkan. Oleh ketetapanNya Allah membuat tindakan-tindakan berdosa dari manusia menjadi pasti tanpa menetapkan untuk menyebabkan mereka terjadi dengan bertindak langsung dan bertindak dalam kehendak terbatas (kehendak manusia) itu. Ini berarti bahwa Allah tidak secara positif bekerja dalam manusia ‘baik untuk menghendaki dan untuk melakukan’, pada waktu manusia berjalan bertentangan dengan kehendakNya yang dinyatakan. Tetapi harus diperhatikan baik-baik bahwa ketetapan yang bersifat mengijinkan tidak berarti suatu ijin pasif dari sesuatu yang tidak ada di bawah kontrol dari kehendak ilahi. Itu merupakan suatu ketetapan yang membuat tindakan berdosa yang akan datang itu pasti secara mutlak, tetapi dalam mana Allah menentukan (a) tidak menghalangi keputusan yang berdosa yang dilakukan sendiri oleh kehendak terbatas / kehendak manusia; dan (b) mengatur dan mengontrol akibat / hasil dari keputusan berdosa ini] - ‘Systematic Theology’, hal 105.
Juga mengapa di bawah ini R. C. Sproul menjelaskan bahwa mengijinkan pada hakekatnya juga menentukan / menghendaki?
Sekarang maukah anda mengakui bahwa kata ‘menyamarkan’ yang anda gunakan itu merupakan suatu fitnah? Mau mengaku dosa kepada Allah sekarang juga, Liauw? Ingat, ajaran anda sendiri mengatakan bahwa keselamatan bisa hilang! Memfitnah, dan tak mau mengakuinya dan bertobat darinya, akan menghancurkan keselamatan anda (kalau anda pernah mempunyainya!)!
R. C. Sproul, agak bingung membedakan antara “menentukan” dengan “mengizinkan.” Dia berkata, “ Jika Ia [Allah] mengizinkan sesuatu, maka Ia pasti memutuskan untuk mengizinkannya. Jika Ia memutuskan untuk mengizinkan sesuatu, maka dalam arti tertentu Ia menentukannya. … Mengatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi adalah sama dengan mengatakan bahwa Allah itu berdaulat atas segala ciptaanNya. Jika ada sesuatu yang bisa terjadi di luar izinNya yang berdaulat, maka apa yang terjadi itu menghalangi kedaulatanNya. Jika Allah menolak untuk mengizinkan sesuatu dan hal itu tetap terjadi, maka apapun yang menyebabkan hal itu terjadi mempunyai otoritas dan kuasa yang lebih besar dari Allah sendiri.”
Tanggapan saya:
a) Yang bingung R. C. Sproul atau anda, Liauw? Mungkin anda kurang pintar untuk mengerti kata-kata R. C. Sproul. Bagi saya, dan semua orang yang cukup cerdas, kata-kata R. C. Sproul sama sekali tidak membingungkan. Bagian yang mana yang membingungkan? Akan saya jelaskan!
b) Kata-kata R. C. Sproul juga anda kutip dari buku saya, tanpa memberi petunjuk. Mengapa? Supaya anda dianggap terpelajar karena banyak referensi yang anda gunakan sementara sebenarnya anda hanya menggunakan buku saya (atau setidaknya mayoritas dari buku saya)??
Kalau Kalvinis hanya mengatakan bahwa “Allah mengizinkan dosa,” maka saya setuju! Mengizinkan dosa berbeda dengan menetapkan dosa. Memberi izin berarti bahwa kehendak untuk melakukan berasal dari pribadi lain, dan pihak pemberi izin melakukan supervisi. Menetapkan sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari yang menetapkan itu.
Tanggapan saya:
Salah! Coba beri contoh satu orang Calvinist saja yang berpendapat bahwa ‘Menetapkan sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari yang menetapkan itu’. Itu kesimpulan anda yang anda masukkan ke dalam ajaran Calvinisme! Lagi-lagi suatu fitnahan, Liauw!
Kalvinis-kalvinis lain lebih jujur dan dengan terus terang menyatakan bahwa Allah menetapkan dosa.
Arthur Pink membuat jelas bagi kita: “Jelaslah bahwa adalah kehendak Allah dosa harus masuk ke dalam dunia, sebab kalau tidak demikian maka ia [dosa] telah tidak masuk, karena tidak ada sesuatupun yang terjadi selain yang telah didekritkan Allah sejak kekal. Lebih lanjut lagi, masalah ini lebih dari sekedar memberi izin semata, karena Allah hanya mengizinkan apa yang Ia kehendaki.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan saya:
Dari kutipan yang anda berikan, Arthur Pink JUGA BERBICARA TENTANG IJIN! Perhatikan kata-kata anda yang saya beri warna merah!
Pink melanjutkan, “Bukan hanya mataNya [Allah] yang mahatahu melihat Adam memakan buah yang terlarang itu, tetapi Ia telah mendekritkan sebelumnya bahwa ia [Adam] harus melakukannya.” Palmer menegaskan, “Adalah Alkitabiah untuk mengatakan bahwa Allah telah menetapkan dosa. Jika dosa berada di luar rencana Allah, maka tidak ada satupun hal penting dalam kehidupan yang dikuasai oleh Allah.” (Penambahan penekanan oleh saya)
Tanggapan saya:
Lagi-lagi anda mengutip kata-kata Edwin Palmer dari saya dan mengutipnya hanya sebagian. Kalau anda teruskan kutipan itu, Edwin Palmer menunjukkan logika yang hebat, karena memang, seperti ia katakan, sangat sedikit, kalau ada, tindakan-tindakan manusia yang betul-betul sempurna. Tidak sempurna berarti berdosa, bukan demikian Liauw? Dan kalau semua tidak sempurna, semua berdosa, dan semua ada di luar rencana Allah!
Edwin H. Palmer: “It is even Biblical to say that God has foreordained sin. If sin was outside the plan of God, then not a single important affair of life would be ruled by God. For what action of man is perfectly good? All of history would then be outside of God’s foreordination: the fall of Adam, the crucifixion of Christ, the conquest of the Roman Empire, the battle of Hastings, the Reformation, the French Revolution, Waterloo, the American Revolution, the Civil War, two World Wars, presidential assassinations, racial violence, and the rise and fall of nations” (= Bahkan adalah sesuatu yang Alkitabiah untuk mengatakan bahwa Allah telah menentukan dosa lebih dulu. Jika dosa ada di luar rencana Allah, maka tidak ada satupun peristiwa kehidupan yang penting yang diperintah / dikuasai / diatur oleh Allah. Karena tindakan apa dari manusia yang baik secara sempurna? Seluruh sejarah juga akan ada di luar penentuan lebih dulu dari Allah: kejatuhan Adam, penyaliban Kristus, penaklukan kekaisaran Romawi, pertempuran Hastings, Reformasi, Revolusi Perancis, Waterloo, Revolusi Amerika, Perang saudara Amerika, kedua perang dunia, pembunuhan presiden, kejahatan / kekejaman rasial, dan bangkitnya dan jatuhnya bangsa-bangsa) - ‘The Five Points of Calvinism’, hal 82.
Kutipan terakhir dari Palmer mengandung permainan kata-kata yang cukup berbahaya. Tidak ada orang lahir baru yang mengajarkan bahwa “dosa berada di luar rencana Allah.” Saya percaya bahwa dosa sangat diperhitungkan oleh Allah dalam rencanaNya. Sekali lagi, ini berbeda dengan mengatakan bahwa Allah menetapkan dosa. Jika saya sudah tahu bahwa besok akan hujan, maka hujan bisa ada dalam perencanaan saya, tanpa sedikitpun dapat dikatakan bahwa saya menetapkan hujan. Oleh karena itu, penggunaan kata “rencana” harus diperjelas. Kalvinis percaya bahwa Allah menetapkan dosa, jadi mereka percaya bahwa Allah merencanakan dosa. Merencanakan dosa tentu berbeda dengan sekedar “dosa ada dalam rencana Allah.”
Tanggapan saya:
Rencana Allah sangat luas, dan memang mencakup dosa. Ia betul-betul merencanakan supaya dosa itu terjadi. Itu yang dimaksud dengan ‘dosa ada dalam rencana Allah’, dan itu jelas juga sama dengan ‘dosa ditetapkan / direncanakan oleh Allah’. Tetapi ini berbeda dengan kata-kata ‘dosa sangat diperhitungkan oleh Allah dalam rencanaNya’. Kalau yang terakhir ini bisa diartikan bahwa Ia hanya tahu kalau dosa bakal ada, dan dalam rencanaNya, Ia juga merencanakan bagaimana cara menangani dosa yang akan muncul itu. Ini pandangan Arminianisme!
Jadi, janganlah ada Kalvinis yang marah jika saya berkata, “allahnya Kalvinis adalah allah yang merencanakan dosa, dan yang mengharuskan manusia berbuat dosa.” Kalau anda Kalvinis, dan anda shock dengan pernyataan ini, maka anda belum tahu pengajaran Kalvinis yang sejati.
Tanggapan saya:
Pernyataan anda salah, Liauw! Dari mana kata ‘mengharuskan’ itu muncul? Itu tidak ada dalam theologia Calvinist. Coba beri bukti siapa yang mengatakan demikian. Apa yang Allah tentukan / rencanakan, memang pasti terjadi.
Ayub 42:1-2 - “(1) Maka jawab Ayub kepada TUHAN: (2) ‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal”.
Tetapi ‘pasti terjadi’ sangat berbeda dengan ‘mengharuskan’. Kalau mengharuskan, berarti Allah memerintahkan dosa itu dilakukan. Itu tak pernah diajarkan oleh Calvinist manapun, Liauw! Lagi-lagi fitnah!
Bicara tentang marah, saya tidak marah. Saya kasihan dengan anda yang begitu bodoh, sehingga menyerang ‘Calvinisme’ yang sebetulnya bukan Calvinisme! Lalu untuk apa saya marah?
Terus terang pertama kali saya mempelajari Kalvinisme, saya juga shock dengan deklarasi demikian. Tetapi setelah saya selidiki pengajaran tokoh-tokoh Kalvinis itu sendiri, saya dapatkan bahwa benar demikian. Dan sebelum saya dapat protes terhadap deklarasi mereka, para Kalvinis menyuguhkan dulu suatu premis lain lagi: “Kalau Allah mahatahu, itu berarti Allah telah menetapkan segala sesuatu, termasuk dosa.”
C. Allah Tahu Karena Allah Menetapkan
Semua orang Kristen lahir baru tentunya percaya bahwa Allah memiliki sifat mahatahu. Allah tahu segala sesuatu yang telah terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Allah tahu tentang segenap perbuatan, kejadian, peristiwa, bahkan pikiran, perasaan, dan hal-hal yang paling tersembunyi sekalipun. Bukan hanya itu saja, Allah juga tahu semua kemungkinan yang bisa terjadi, dan semua alternatif dari realita.
Tanggapan saya:
Untuk yang saya beri warna merah, saya tidak setuju. Hal-hal yang DARI SUDUT ALLAH betul-betul contingent (bisa terjadi bisa tidak terjadi), tidak mungkin bisa diketahui oleh siapapun, termasuk oleh Allah.
Kalau bisa terjadi A atau B atau C, dan sama sekali tak ada ketentuan akan terjadi yang mana, lalu Allah tahu apa tentang hal itu? Misalnya Dia tahu bahwa yang akan terjadi adalah A, maka apa yang Ia tahu itu sudah pasti terjadi. Itu berarti A itu sudah tertentu, bukan lagi merupakan sesuatu yang contingent!
Kalau hal-hal yang contingent dari sudut kita, maka memang Allah tahu akan hal itu, karena dari sudut Allah, apa yang contingent bagi kita bukan contingent bagi Dia!
Walaupun Non-Kalvinis mempercayai Allah mahatahu, Kalvinis memiliki pengertian yang lain tentang kemahatahuan. Kalvinis percaya bahwa jika Allah mahatahu, berarti Allah menentukan segala sesuatu.
Logika Kalvinis berjalan seperti ini:
“Bayangkan suatu saat (minus tak terhingga) dimana alam semesta, malaikat, manusia, dsb belum diciptakan. Yang ada hanyalah Allah sendiri. Ini adalah sesuatu yang alkitabiah, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (Kej 1 Yoh 1:1-3). Pada saat itu, karena Allah itu mahatahu (1Sam 2:3 – “Karena TUHAN itu Allah yang mahatahu”), maka Ia sudah mengetahui segala sesuatu (dalam arti kata yang mutlak) yang akan terjadi, termasuk dosa. Semua yang Ia tahu akan terjadi itu, pasti terjadi persis seperti yang Ia ketahui. Dengan kata lain, semua itu sudah tertentu pada saat itu. Kalau sudah tertentu, pasti ada yang menentukan (karena tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri). Karena pada saat itu hanya ada Allah sendiri, maka jelas bahwa Ialah yang menentukan semua itu.”
Saya akan memperjelas lagi dengan mengambil suatu contoh kasus imajiner, yaitu seorang bernama Budi yang suatu hari tertentu memilih untuk memakai baju merah. Allah sudah mengetahui bahwa Budi akan memakai baju merah pada hari itu. Pengetahuan Allah akan hal ini sudah sejak kekekalan lampau. Dan, pengetahuan Allah tentu tidak dapat salah atau gagal, karena Ia Allah dan Ia mahatahu. Jadi, menurut filosofi Kalvinis, Budi tidak memiliki pilihan lain. Kalau Budi pada hari itu memilih baju biru, maka pengetahuan Allah menjadi salah, dan ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, walaupun tampaknya seolah-olah Budi menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih baju merah dari berbagai pilihan berwarna-warni baju di lemari, menurut Kalvinis sebenarnya Budi sudah ditetapkan untuk memilih baju merah, dan bahwa Budi tidak bisa memilih baju warna lain karena Allah sudah tahu dia akan pilih merah, dan pengetahuan Allah tidak bisa salah.
Tanggapan saya:
Bukan ‘seolah-olah’, Liauw!
Sedemikian yakinnya Kalvinis akan jalur logika dan kesimpulan ini, sehingga Boettner berkata, “Kecuali Arminianisme menyangkal pengetahuan lebih dulu dari Allah, ia tidak mempunyai pertahanan di hadapan kekonsistenan logis dari Calvinisme; karena pengetahuan lebih dulu secara tidak langsung menunjuk pada kepastian, dan kepastian secara tidak langsung menunjuk pada penetapan lebih dulu.”
Tanggapan saya:
Asal tahu saja, argumentasi Loraine Boettner dalam hal ini, yang membuat saya, yang tadinya hanya menganggap Allah hanya mengijinkan dosa, akhirnya percaya bahwa ternyata Alkitab mengajarkan bahwa Allah menentukan dosa. Saya mengaminkan kata-kata Boettner itu dengan segenap hati! Dan saya yakin argumentasi ini tidak bakal bisa digugurkan oleh siapapun juga! Saya belum pernah tahu ada orang manapun bisa menghancurkan argumentasi ini! Dan saya tantang anda untuk melakukannya!
Bukan hanya itu, Kalvinis juga menyimpulkan bahwa Allah mahatahu karena Ia menetapkan segala sesuatu. Shedd berkata, “Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.” Warfield menambahkan, “Allah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri.” Baik anda Kalvinis maupun Non-Kalvinis, anda perlu membaca dan meresapi apa makna dari pernyataan Kalvinis: Allah tidak bisa tahu suatu peristiwa jika Ia tidak menentukan peristiwa itu. Bukankah ini justru mengecilkan kemahatahuan Tuhan?
Tanggapan saya:
Terus terang, bahwa bagian ini mula-mula juga membingungkan saya, karena sangat sukar. Tetapi setelah saya renungkan, saya yakin kata-kata itu benar, dan sama sekali tidak mengecilkan kemahatahuan Allah. Kalau kata-kata R. C. Sproul di atas tadi sudah tak bisa anda mengerti, maka saya yakin anda tidak bakal mengerti bagian ini, biarpun anda renungkan sampai akhir jaman!
Sampai dengan titik ini, saya belum memberikan ayat-ayat Alkitab ataupun argumen-argumen untuk menyatakan kesalahan posisi Kalvinis. Sampai dengan titik ini, tujuan utama saya adalah untuk menjelaskan pada anda, apa yang sebenarnya Kalvinis percayai. Oleh karena itulah saya tidak sekedar menjelaskan dengan kata-kata saya sendiri, tetapi mengutip langsung dari sumber-sumber Kalvinis. Boettner, Melanchthon, Pink, Sproul, Palmer, Warfield, Shedd, adalah nama-nama besar Kalvinis. Mereka diakui oleh dunia sebagai Kalvinis. Masih banyak lagi tokoh Kalvinis yang akan saya kutip nanti. Tetapi saya ingin anda tahu bahwa saya tidak mengada-ada atau melakukan misrepresentasi terhadap pengajaran Kalvinis.
Tanggapan saya:
Jangan berdusta, Liauw! Ada yang anda kutip dari sumber langsung (itupun mungkin). Tetapi banyak yang anda kutip secara tidak langsung, karena anda kutip melalui buku saya! Mau saya buktikan? Enak ya kalau mengutip dari saya, ada bahasa Inggrisnya dan ada terjemahannya sekalian!
Anda berdusta dan memfitnah banyak sekali, Liauw! Tidak takut keselamatan anda hilang? Ternyata orang yang percaya keselamatan bisa hilang berdosa seenaknya sendiri! Padahal mereka biasanya menuduh bahwa orang-orang Calvinist, yang mempercayai keselamatan tidak bisa hilang itulah, yang berdosa seenaknya sendiri!
Nah, sebelum saya menjelaskan letak kesalahan dari premis dasar Kalvinisme, saya ingin mengajak pembaca sekalian untuk melihat konsekuensi dari premis dasar Kalvinisme. Saya ingin tahu, jika seseorang memegang pandangan Kalvinisme ini secara konsisten, apa yang akan terjadi.
Tanggapan saya:
Saya belum membaca bagian di bawah ini, tetapi dari kata ‘konsekuensi’ yang anda gunakan, saya tahu bahwa bakal muncul fitnahan lagi, karena konsekwensi yang anda maksudkan, pasti bukan yang Calvinisme ajarkan!
Bersambung ke bagian 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)