02 Mei 2009

ORANG KAYA & LAZARUS YANG MISKIN (Luk 16: 19-31)

“Ajaran Tentang Kehidupan”


Esra Alfred Soru

Mungkin hal pertama yang perlu dipikirkan dalam penelitian teks ini adalah apakah cerita orang kaya dan Lazarus yang miskin ini adalah sebuah cerita historis? Maksudnya adalah bahwa apakah benar cerita ini sungguh-sungguh terjadi? Ataukah ini hanyalah sebuah ilustrasi? Jika kita perhatikan dengan seksama, maka kita akan menemukan bahwa Lukas meletakkan kisah ini dalam deretan perumpamaan-perumpamaan yang dimulai dari perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah (13:6-9), perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi (13:18-21), perumpamaan tentang orang-orang yang berdalih (14:15-24), perumpamaan tentang domba yang hilang (15:8-10) perumpamaan tentang anak yang hilang (15-:11-32), perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur (16:1-9) dan setelah itu barulah cerita tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin (16:19-31). Melihat konteks ini maka sangat mungkin bahwa cerita tersebut tergolong ke dalam kelompok perumpamaan (walaupun tidak sama persis) yang dipakai oleh Yesus sebagai contoh yang menjelaskan pengajaran tentang ”setia dalam perkara yang kecil” (16:10-12) yang masih mempunyai kaitan dengan perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur (16:1-9). Jadi cerita ini bukanlah merupakan suatu peristiwa atau fakta historis. Masalah kehistorisan dari cerita ini tidak terletak pada isi cerita itu sendiri melainkan pada kenyataan bahwa cerita itu (pernah) diceritakan.


Dalam pasal 16:1-9 Yesus menceritakan tentang bendahara yang tidak jujur dan diakhiri dengan suatu pernyataan yang sulit dimengerti : “Dan Aku berkata kepadamu : ikatlah persahabatan dengan mempergunakan mamon yang tidak jujur, supaya jika mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima dalam kemah abadi” (16:9). Tanpa bermaksud memberikan tafsiran tentang ayat ini, tetapi dilihat dari kata “mamon” yang berarti harta benda, maka dapat ditafsirkan bahwa Yesus mengajar murid-murid-Nya untuk menjalin/mengikat persahabatan dengan mempergunakan “mamon” (= harta ; dalam arti perbuatan amal atau pemberian sedekah) yang tidak jujur (harta duniawi) agar ketika harta yang demikian itu tidak dapat menolong lagi (setelah mati) maka mereka dapat diterima dalam kemah abadi (sorga). Dengan kata lain inti pengajaran Yesus adalah agar murid-murid mau mempergunakan harta benda duniawi ini (mamon yang tidak jujur) untuk pelayanan kasih, dan jelas hal ini membutuhkan kesetiaan. Itulah sebabnya Yesus menambahkan pengajaran seperti yang tercatat dalam ayat 10-12 yang intinya sangat jelas dalam ayat 11 : “Jadi jika kamu tidak setia dalam hal mamon yang tidak jujur (pemberian amal/pelayanan dengan mempergunakan harta duniawi), siapakah yang akan mempercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya (harta abadi di sorga)? Jadi rupanya pokok pembicaraan sejak ps. 16:1 adalah tentang masalah mempergunakan harta demi kebajikan. Atas dasar inilah maka Yesus melanjutkan pengajaran-Nya dengan cerita tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin di mana orang kaya itu gagal mengikat persahabatan dengan Lazarus dengan mempergunakan “mamon yang tidak jujur” (harta bendanya) ketika ia membiarkan Lazarus yang miskin tetap dalam kemiskinannya hingga mati. Demikianlah kira-kira konteks cerita tersebut.


Namun demikian pada kesempatan ini kita tidak akan berbicara seturut dengan tekanan utama atau arah dari cerita ini melainkan mengarahkan perhatian kita kepada kebenaran-kebenaran lain yang terkandung di dalamnya. Ini mungkin karena sifat cerita ini lebih unik daripada perumpamaan-perumpamaan yang lain (karena terjadi dalam 2 dimensi yakni dimensi fisik dan dimensi roh) maka cerita ini pun sesungguhnya mengandung kebenaran-kebenaran yang bersifat kekal. Cerita orang kaya dan Lazarus yang miskin ini memperlihatkan kepada kita 3 kebenaran yang terkandung di dalamnya :


Pertama : Cerita ini mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan kita tidak akan pernah berakhir


Cerita orang kaya dan Lazarus ini pertama kali digambarkan di dunia ini (ay 19-20) dengan segala macam detailnya (si kaya bergelimang harta dan Lazarus bergelimang air mata) namun ay 22 dan 23 menggambarkan bahwa Lazarus dan orang kaya itu akhirnya mati dan cerita tentang mereka berlanjut ke episode 2 namun di alam lain di mana Lazarus berada di pangkuan Abraham (sebagai gambaran surga) dan orang kaya di alam maut (sebagai gambaran neraka). Ini berarti bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah satu-satunya kehidupan dan bukanlah kehidupan yang terakhir. Masih ada realitas lain di balik hidup ini. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang kekal (Man is the eternal being). Dengan demikian kehidupan manusia tidak akan pernah berakhir. Itu berarti bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanya merupakan jalan/gerbang menuju kehidupan berikutnya. Kematian bukan untuk mengakhiri kehidupan melainkan untuk melanjutkannya. Kematian menghantar kehidupan ini ke dalam dimensi yang lain, dimensi rohani.


Satu hal yang penting diketahui adalah bahwa kehidupan kita dalam dimensi berikutnya sangat bergantung pada kehidupan kita sekarang. Ini penting untuk dipahami sebab kalau orang tidak mempercayainya atau percaya bahwa kehidupan ini akan berakhir saat mati maka orang berbuat akan berbuat seenaknya dan sesuka hatinya. Kalau kita sadari bahwa kehidupan kita akan berlanjut dan itu ditentukan dari kehidupan saat ini maka kita tidak akan hidup dengan sembarangan sebaliknya akan memperhatikan hidup kita dengan seksama (Efs 5 :15) dan mempergunakan setiap waktu yang ada untuk mempersiapkan diri bagi kehidupan selanjutnya. (Efs 5 :16). Efs 5 :16 berbunyi : “Pergunakanlah waktu yang ada…”. Bahasa Yunani mempunyai 2 macam waktu. Yang pertama disebut ‘kronos’ yakni waktu yang senantiasa ada. Minggu lalu ada pagi, kemarin ada pagi, besok ada pagi, minggu depan juga ada pagi. Waktu atau ‘kronos’ ini selalu ada. Dari kata ‘kronos’ inilah kita mengenal istilah ‘kronologi’. Kata yang kedua adalah ‘kairos’. ‘Kairos’ ini adalah kebalikan dari ‘kronos’ di mana ini menunjuk kepada waktu yang tidak selalu datang. Ia bisa ada saat ini dan tidak akan pernah ada lagi. ‘Kairos’ ini lebih tepat diterjemahkan ‘kesempatan’. Di dalam Efs 5 :16 ini ternyata tidak memakai kata ‘kronos’ melainkan ‘kairos’. Jadi Alkitab menasihatkan kita agar kita memperhatikan dengan seksama bagaimana kita hidup dan mempergunakan setiap kesempatan (hidup sebagai sebuah kesempatan) dnegan hal-hal yang berguna yang akan menentukan kehidupan selanjutnya.


Orang kaya itu gagal mempergunakan “kairos” hidupnya sehingga semuanya jadi terlambat ketika ia mati. Ia terlambat percaya kepada kesaksian para nabi (band. Ay 29), terlambat berbuat kasih (tidak menolong Lazarus) dan terlambat menginjili (ay 27-28). Aneh sekali, semasa di dunia tidak mempunyai beban penginjilan, setelah mati baru punya beban penginjilan. Tapi semuanya sudah terlambat. Marilah kita perhatikan hidup kita, pergunakan setiap kesempatan yang ada sebagai persiapan bagi kehidupan selanjutnya.


Kedua : Cerita ini mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara orang hidup dan orang mati


Ayat 22-23 mengatakan bahwa setelah kematian Lazarus dan orang kaya ini, mereka langsung berpindah ke alam lain (dimensi rohani). Tidak ada kesan adanya tenggang waktu di sini. Itu berarti segera setelah kematian, roh orang mati langsung berpindah ke alam lain. Tidak menunggu hingga hari ke 3 atau hari ke 40. Selain itu kisah ini juga mengandung kebenaran yang lain yaitu bahwa sesungguhnya setelah kematian, roh orang mati tidak mungkin kembali lagi ke dunia ini. Ayat 26 berkata : “…di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang. Jadi rupanya ada jurang yang terbentang yang tak terseberangi.


Memang ayat ini tidak membicarakan hubungan alam roh dan dunia ini namun kalau sama-sama di alam roh saja tidak dapat saling mengunjungi, bagaimana mungkin dapat berkunjung ke dunia? Jadi jelaslah bahwa tidak mungkin ada roh orang mati yang masih gentayangan di dalam dunia. Ayub 7:9-10 berbunyi : “Sebagaimana awan lenyap dan melayang hilang, demikian juga orang yang turun ke dalam dunia orang mati tidak akan muncul kembali. Ia tidak lagi kembali ke rumahnya, dan tidak dikenal lagi oleh tempat tinggalnya.” Lihat juga Ayub 10:20-22 : “Bukankah hari-hari umurku hanya sedikit? Biarkanlah aku, supaya aku dapat bergembira sejenak, sebelum aku pergi, dan tidak kembali lagi, ke negeri yang gelap dan kelam pekat, ke negeri yang gelap gulita, tempat yang kelam pekat dan kacau balau, di mana cahaya terang serupa dengan kegelapan." Jadi sekali lagi firman Tuhan menegaskan bahwa setelah orang meninggal dan berpindah ke alam roh, tidak mungkin lagi mereka atau roh/arwah mereka kembali ke dalam dunia ini.


Kalau begitu bagaimana dengan penampakan-penampakan roh orang mati? Bukankah ada banyak orang yang mempunyai pengalaman berjumpa atau melihat orang-orang yang sudah mati? Perhatikan apa yang sudah dikatakan firman Tuhan. Jika firman Tuhan mengatakan bahwa roh atau arwah orang mati sudah tidak dapat kembali lagi maka itu pasti bukan roh orang mati melainkan iblis yang menyamar sebagai roh orang mati. Baiklah kita berhati-hatilah dengan mimpi-mimpi, penampakan-penampakan ‘roh orang mati’ yang meminta ini dan itu. Itu semua tipuan setan! Mengapa setan berbuat seperti itu? Karena setan tahu bahwa tentu kita tidak akan menolak permintaan orang-orang yang kita kasihi (yang sudah mati) bukan? Kalau setan berhasil mengecoh dan menipu kita saat itu maka selanjutnya ia mempunyai kesempatan untuk menyeret kita kepada kesesatan-kesesatan yang lain.


Ketiga : Cerita ini mengajarkan kepada kita bahwa iman yang sejati bukan lahir dari mujizat


Setelah mati orang kaya ini baru punya beban penginjilan. Ini terlihat dari kenyataan bahwa ia meminta kepada Abraham agar Lazarus diutus ke rumah bapanya untuk menginjili 5 saudaranya (ay 27-28) agar mereka jangan masuk ke neraka. Rupanya Abraham menolak permintaannya itu dengan alasan bahwa ada kesaksian Musa dan para nabi, namun orang kaya ini terus mendesak dengan alasan bahwa saudara-saudaranya akan bertobat kalau ada orang mati bangkit (ay 30). Dengan kata lain menurut orang kaya ini : orang akan bertobat/beriman kalau melihat mujizat (orang mati bangkit). Namun perhatikan jawaban Abraham selanjutnya : “Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati." Dengan kata lain Abraham mau berkata bahwa kalau orang tidak percaya kepada firman Tuhan maka orang tidak akan percaya juga meskipun melihat mujizat.


Dari sini kita bisa mengerti sebuah kebenaran bahwa iman yang sejati haruslah lahir dari pendengaran terhadap firman Tuhan (Roma 10 :17) dan bukan dari melihat mujizat. Kalau kita peka melihat kekristenan sekarang ini, maka kita akan menemukan bahwa kekristenan telah bergeser dari firman Tuhan kepada mujizat. Orang lebih tertarik kepada mujizat daripada kepada firman Tuhan. Orang lebih senang menyaksikan acara “Kesembuhan Ilahi” daripada mendengar khotbah. Padahal mujizat tidak pernah melahirkan iman yang sejati.


Coba perhatikan kehidupan bangsa Israel. Tidak ada satu orang pun yang pernah menyaksikan mujizat dan tanda ajaib yang lebih banyak dari mujizat atau tanda ajaib yang dilihat oleh orang-orang Israel yang keluar dari tanah Mesir. Sejak dari tanah Mesir mereka telah menyaksikan tulah air berubah menjadi darah (Kel 7:14-25), tulah katak (Kel 8:1-15), tulah nyamuk (Kel 8:16-19), tulah lalat pikat (Kel 8:20-32), tulah Penyakit sampar (Kel 9:1-7), tulah barah (Kel 9:8-12), tulah hujan es (Kel 9:13-35), tulah belalang (Kel 10:1-20), tulah gelap gulita (Kel 10:21-29), tulah kematian anak-anak sulung (Kel 12:29-42), kemurahan hati orang Mesir (Kel 12:34-36), tiang awan dan tiang api (Kel 13:21-22), air laut dibelah dan berjalan di tanah kering (Kel 14:21-22), air pahit menjadi manis di Mara (Kel 15:22-27), makanan manna dan burung puyuh (Kel 16:13-15). Tetapi ketika mereka tiba di masa dan Meriba dan di sana tidak ada air untuk diminum, maka mereka mulai bertengkar dan bersungut-sungut terhadap Musa (Kel 17) lalu mereka berkata “Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?” (Kel 17:7). Aneh sekali. Heran bin ajaib. Mereka telah menyaksikan tangan Tuhan dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib sejak dari tanah Mesir, mereka telah menyaksikan 10 tulah, laut dibelah, tiang awan dan tiang api, air pahit berubah menjadi manis, mereka memperoleh makanan manna dan burung puyuh dengan cara yang ajaib, namun sekarang hanya karena masalah air lalu mereka mulai mempertanyakan keberadaan Allah di tengah-tengah mereka. “Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?” Di sini kita bisa belajar satu hal penting bahwa sekian banyak mujizat yang telah dilihat bangsa Israel ternyata tidak dapat menimbulkan iman yang sejati di dalam hati mereka. Ketika berhadapan dengan pergumulan hidup, maka semua mujizat itu terlupakan. Jadi iman yang sejati tidak lahir dari penglihatan akan mujizat dan tanda-tanda heran. ‘Iman’ yang lahir dari mujizat akan segera berakhir kalau mujizat berakhir, tetapi iman yang lahir dari firman Tuhan akan tetap bertahan dalam berbagai sikon dan pergumulan hidup. Iman yang kanak-kanak bergantung pada mujizat tetapi iman yang dewasa bergantung pada firman Tuhan.


Ketika Nebukadnezar raja Babel itu membuat patung berhala dan memerintahkan semua orang untuk sujud menyembah kepadanya, maka Zadrakh, Mesakh dan Abednego menolak melakukan hal itu. Sebagai akibatnya, mereka terancam dibuang ke dalam perapian yang menyala-nyala, namun kata dan kalimat yang keluar dari mulut mereka sangat indah dan menunjukkan bahwa iman mereka kepada Allah Israel bukan lagi iman kanak-kanak tetapi iman yang telah dewasa. Iman mereka tidak bergantung pada mujizat tetapi pada firman Allah. Mereka berkata : “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu ya raja, tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Dan 3:17-18. Luar biasa! Di sini kita bisa melihat bahwa mereka tidak akan bergeser dari iman dan kepercayaan mereka sekalipun Allah memilih untuk tidak menyelamatkan mereka (melakukan mujizat). Itulah iman yang dewasa dan sejati.


Contoh lain yang menggambarkan hal ini adalah apa yang diungkapkan oleh nabi Habakuk. Ia berkata dalam doanya : “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (Hab 3:17-18). Nabi Habakuk tidak hanya mau bersorai-sorai dan beria-ria di dalam Tuhan jika segala sesuatu berjalan dengan aman dan menguntungkan, tetapi juga dalam keadaan yang sangat merugikan. Dalam kondisi seperti itu ia tidak mengajukan tuntutan dan ancaman kepada Allah untuk merubah kondisi itu namun memilih untuk tetap memuji Dia. Ia tidak bergeser dari iman dan kepercayaannya sekalipun sepertinya Allah tidak menolongnya (membuat mujizat). Adakah imanmu seperti iman ketiga anak muda Israel itu (Zadrakh, Mesakh dan Abednego)? Adakah imanmu seperti iman nabi Habakuk? Ataukah anda masih suka menggantungkan iman pada mujizat? Ingatlah, iman yang dewasa bukanlah iman yang bergantung pada mujizat! Karena itu kita tidak boleh membangun iman kita di atas dasar mujizat melainkan firman Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)