02 Mei 2009

MENGAPA ALLAH MENCIPTAKAN MANUSIA?

Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan

Esra Alfred Soru


Kitab Kejadian pasal 1-2 dengan jelas menceritakan penciptaan manusia oleh Allah. Manusia ada karena ada yang mengadakannya. Demikianlah kesaksian Alkitab. Pertanyaan yang perlu dipikirkan dari fakta ini adalah alasan penciptaan manusia itu oleh Allah. Mengapa Allah menciptakan manusia? Inilah pertanyaan pertama yang harus ditanyakan jika orang ingin belajar tentang penciptaan manusia itu. Francis Nawa Hoke mengatakan bahwa pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan. (Doktrin Manusia; 1995 : 3). Mengapa Allah menciptakan manusia? Maksud dari pertanyaan ini berhubungan dengan 2 hal yakni adakah sesuatu yang menyebabkan atau memaksa Allah untuk melakukan tindakan penciptaan manusia? Ataukah adakah suatu kebutuhan dalam diri Allah yang tak akan terpenuhi sebelum Ia menciptakan manusia?


Supaya ada “obyek” kasih?


Jawaban yang paling sering diberikan terhadap pertanyaan ini dikaitkan dengan sifat Allah yang maha kasih. Allah adalah kasih maka kasih-Nya membutuhkan obyek untuk dikasihi. Hal inilah yang menyebabkan Allah perlu dan harus menciptakan manusia agar manusia itu dapat menjadi obyek atau sasaran dari kasih-Nya itu. Manintiro Uling berkata : “Kita mengerti bahwa kasih merupakan hakikat dasariah Allah. Karena kasih sifatnya relasional maka kasih baru mungkin ada kalah ada yang dikasihi (obyek kasih). Itulah sebabnya Allah menciptakan manusia agar dapat menyalurkan dan mengekspresikan kasih-Nya itu. Tanpa itu kasih Allah tidak dapat menjadi kasih yang sesungguhnya”. (Manusia di Mata Allah; hal. 13). Kelihatannya jawaban semacam ini masuk akal tetapi sesungguhnya tidaklah Alkitabiah. Jika kita berkata bahwa Allah adalah kasih dan oleh karena kasih-Nya membutuhkan obyek untuk dikasihi dan karenanya Ia perlu dan harus menciptakan manusia, maka itu berarti tanpa manusia, kasih Allah adalah kasih yang “mengambang” dan tak bersasaran atau tak berobyek. Perhatikan kalimat terakhir dari Uling di atas : “Tanpa itu (penciptaan manusia) kasih Allah tidak dapat menjadi kasih yang sesungguhnya”. Jelas pandangan ini keliru sebab bagaimana mungkin di dalam kekekalan sebelum Allah menciptakan manusia kasih-Nya tak berfungsi, tak berobyek dan pasif? Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, kasih Allah adalah kasih yang aktif, kasih yang bersasaran dan kasih yang berobyek. Yoh 15:9 berkata : “Seperti Bapa mengasihi Aku…” dan selanjutnya ayat 10 berkata : “…dan tinggal di dalam kasih-Nya”. Bukankah doktrin Tritunggal menyatakan bahwa ada tiga pribadi dalam satu esensi/hakikat Allah yaitu Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus? Ketiga-Nya itu esa dan kekal. Jadi menurut ayat-ayat di atas dapatlah dipahami bahwa jauh di dalam kekekalan di mana Allah Tritunggal berada telah terjalin hubungan kasih yang mesra di antara ketiga pribadi Allah ini. Sekalipun ayat-ayat di atas tidak menyebutkan pribadi Roh Kudus, tetapi dapat dipercaya bahwa ketiga-Nya terlibat dalam tindakan dan relasi kasih ilahi yang suci dan murni (Devine Love) di mana Bapa mengasihi Anak dan Roh Kudus, Anak mengasihi Bapa dan Roh Kudus, Roh Kudus mengasihi Bapa dan Anak. Kasih ilahi yang suci dan murni inilah yang akhirnya direfleksikan dalam tindakan penciptaan manusia. Dengan demikian tidak dapat dan tidak boleh dipikirkan bahwa Allah berada dalam keadaan kesepian tanpa kehadiran manusia. Louis Berkhof berpendapat : “Walaupun tidak diragukan lagi Allah menyatakan kebaikan diri-Nya dalam penciptaan, tidaklah tepat jika kita mengatakan bahwa kebaikan atau kasih-Nya tidak dapat menyatakannya sendiri, jika seandainya tidak ada dunia. Hubungan-hubungan pribadi dalam Allah Tritunggal memenuhi semua yang perlu bagi hidup yang penuh dan kekal dari kasih”. (Teologi Sistematika-Doktrin Allah; 1993 : 252) Simak juga pendapat William W. Menzies dan Stanley M. Horton : “Kepribadian juga memerlukan persahabatan atau persekutuan. Tetapi, sebelum alam semesta diciptakan, di mana ada kemungkinan untuk bersahabat? Jawabannya terletak pada susunan yang kompleks dalam keallahan. Kesatuan keallahan tidak mengesampingkan kepribadian majemuk. Ada tiga kepribadian yang jelas berbeda, masing-masing sepenuhnya ilahi, akan tetapi hubungan timbal baliknya begitu rukun sehingga mereka merupakan satu hakikat” (Doktrin Alkitab; 1998 : 54). Selanjutnya : “Trinitas ini merupakan suatu persekutuan yang harmonis dalam keallahan. Persekutuan ini juga adalah persekutuan kasih, karena Allah adalah kasih. Tetapi kasih-Nya adalah kasih yang ramah, bukan kasih yang berpusat pada dir sendiri. Kasih seperti ini membutuhkan lebih dari satu Oknum dalam keallahan (ibid : 55). Jadi jelaslah bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, kasih-Nya telah aktif, bersasaran dan berobyek dan itu ditemukan dalam kenyataan ketritunggalan Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa jawaban pertama ini tidaklah tepat.


Supaya dapat memuliakan-Nya?


Selain jawaban di atas, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Dengan kata lain Allah menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Allah. Jawaban semacam ini biasanya didasarkan pada ayat-ayat Alkitab seperti Yes 43:7 : “… yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku...”; Yes 60:21 : “…sebagai cangkokan yang Kutanam sendiri untuk memperlihatkan keagungan-Ku”, Yes 61:3 : “…supaya orang menyebutkan mereka "pohon tarbantin kebenaran", "tanaman TUHAN" untuk memperlihatkan keagungan-Nya.dan beberapa ayat lainnya. Dengan melihat ayat-ayat di atas John Wesley Brill menyimpulkan bahwa : ‘Keinginan besar Tuhan Allah dalam menciptakan alam ini adalah semata-mata untuk diri-Nya sendiri, dan untuk kemuliaan-Nya sendiri, dan untuk menyatakan dalam makhluk-Nya kesempurnaan diri-Nya sendiri’. (Dasar Yang Teguh; 1998: 67-68).


Pendapat ini tentunya menarik tapi biarlah kita memikirkannya dengan lebih serius. Allah menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Atau Allah menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Dia. Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan adalah “apakah Allah kurang mulia sehingga Ia perlu menciptakan manusia agar dapat menambah kemuliaan-Nya?” “Apakah Allah kurang mulia sehingga membutuhkan tambahan kemuliaan dari manusia?” Bukankah Allah itu mulia bahkan maha mulia? Kalau Allah maha mulia mengapa Ia perlu dimuliakan atau melakukan sesuatu untuk dimuliakan? Sebelum menjawab semua pertanyaan ini kita perlu sadar bahwa jika Allah maha mulia maka ketika manusia tidak memuliakan Allah, itu tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan-Nya dan walaupun manusia memuliakan Allah, itu tidak menambah apa-apa pada kemuliaan-Nya. Jadi Allah tidak bertambah mulia jika manusia memuliakan-Nya atau kurang mulia karena manusia tidak memuliakan-Nya. Allah tidak bertambah tinggi karena manusia meninggikan-Nya atau menjadi kurang tinggi karena manusia tidak meninggikan-Nya. Tony Evans berkata : “Anda tidak bisa memberikan sesuatu yang dapat mempertinggi tingkatan Allah, atau mengambil sesuatu dari-Nya yang dapat mengurangi tingkatan-Nya. Allah memang demikian karena Ia sepenuhnya Allah”. (Allah Kita Maha Agung; 1999 : 73). Semuanya ini berhubungan dengan konsep kesempurnaan Allah di mana Ia tidak mungkin menjadi lebih….. dan menjadi kurang…… Ia tidak dapat menjadi lebih besar atau menjadi kurang besar. Ia tidak dapat menjadi lebih baik atau menjadi kurang baik. Ia tidak dapat menjadi lebih setia atau menjadi kurang setia. Perhatikan pendapat A.W. Tozer : ‘Oleh karena Ia adalah Allah yang di atas segala sesuatu, maka Ia tidak dapat ditinggikan lagi. Tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi daripada Allah, dan tidak ada sesuatu yang di luar jangkauan-Nya.....Oleh karena tidak ada seorang pun yang dapat lebih meninggikan Dia, maka tidak ada seorang pun yang dapat merendahkan Dia. Di dalam Alkitab dituliskan bahwa Ia menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan (Ibrani 1 :3), Bagaimana mungkin Ia ditinggikan atau didukung oleh sesuatu yang ditopang-Nya ? (Mengenal Yang Maha Kudus : 51). Jika Allah bisa bertambah begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang lebih begini dan begitu daripada Allah dan seharusnya oknum itulah Allah. Jika Allah bisa kurang begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang tidak bisa kurang begini dan begitu seperti Allah dan oknum itulah yang seharusnya menjadi Allah. Jadi semua sifat Allah itu ‘permanen’. Demikian juga dengan kemuliaan Allah. Allah tidak dapat menjadi bertambah mulia atau menjadi kurang mulia. Kemuliaan-Nya itu bersifat “permanen”. Simaklah kata-kata Tony Evans ketika membahas sifat kemahasempurnaan Allah : ‘Arti sifat Allah ini ialah bahwa Allah itu lengkap secara penuh dan absolut. Tak ada sesuatu pun yang bisa ditambahkan kepada-Nya atau diambil daripada-Nya....ini menjelaskan mengapa Alkitab mengatakan, tidak ada yang dapat dibandingkan dengan Allah’ (Tony Evans : 67). Dengan demikian untuk menemukan alasan penciptaan manusia oleh Allah "haruslah dihindari bayangan bahwa Allah adalah semacam pribadi yang haus pujian, penghormatan dan pemujaan”. (Louis Leahy; Filsafat Ketuhanan Kontemporer; 1993 : 233). Leahy melanjutkan : “dari ajaran mengenai kesempurnaan Allah sendiri, dapatlah dikatakan bahwa Allah dengan mencipta sama sekali tidak mungkin mencari kebaikan-Nya sendiri, baik untuk mendapatkannya maupun untuk menjaga dan menambahkannya.” (Ibid).


Kalau demikian "mengapa Allah menciptakan manusia?” Atau “apa tujuan Allah menciptakan manusia?” Lalu bagaimana dengan ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21 ; 61:3 yang dikutip di atas? Pertama-tama haruslah disadari bahwa konsep kesempurnaan Allah tidak memperbolehkan kita untuk memikirkan alasan bagi setiap tindakan Allah berdasarkan dorongan internal ataupun tekanan eksternal. Jadi sewaktu Allah menciptakan manusia, itu sama sekali tidak disebabkan oleh dorongan internal maupun tekanan eksternal. Tidak disebabkan oleh dorongan internal maksudnya adalah bahwa tidak ada suatu pun kekurangan dalam diri Allah yang menyebabkan Ia perlu dan harus mencipta untuk menutupi atau mengisi kekurangan-Nya itu. Tony Evans kembali berkata : ‘...Allah ini ’independen’ dari ciptaan-Nya. Dengan ‘independen’ saya maksudkan, Allah itu tidak membutuhkan apa pun….agar Ia dapat tetap menjadi Allah. (Tony Evans : 72). Allah adalah Ia yang cukup bagi diri-Nya sendiri. Simak juga kata-kata A.W. Tozer : “Dengan mengakui bahwa di dalam Allah ada kebutuhan, maka itu berarti mengakui bahwa pada diri Allah terdapat suatu kekurangan. “Perlu” merupakan kata bagi makhluk ciptaan dan tidak dapat diterapkan kepada Sang Pencipta”. (A.W. Tozer : 50). Tozer melanjutkan : “Allah tidak akan menjadi lebih besar karena kita ada dan juga tidak akan menjadi lebih kecil jika kita ini tidak ada”. (ibid : 52). Tidak disebabkan oleh tekanan eksternal maksudnya bahwa tidak ada suatu apapun atau siapapun yang memaksa Allah melakukan tindakan penciptaan manusia. Ia tidak menciptakan manusia karena suatu tekanan dari luar diri-Nya. Ia tidak perlu taat atau merasa diteror oleh apapun atau siapapun. Ia tidak melakukan sesuatu atas pesanan atau ultimatum apapun atau siapapun. Evans mengomentari hal ini dengan berkata : ‘Tidak ada satu pengaruh pun yang telah menjadikan Allah sebagaimana ada-Nya sekarang. Allah yang sekarang adalah sepenuhnya sama dengan Allah yang dahulu. Allah yang sekarang dan Allah yang dahulu adalah sepenuhnya Allah yang akan datang” (Tony Evans : 73). Jika Allah menciptakan manusia maka itu harus dipahami semata-mata karena tindakan bebas-Nya atau dengan kata lain karena Ia mau mencipta. Penciptaan manusia adalah tindakan bebas dari Allah dan bukan tindakan penting dari Allah. Evans kembali berkata : “Allah tidak menjalankan fungsi-Nya karena suatu keharusan”. (ibid : 72). Ia melanjutkan : “..Allah berhubungan dengan segala sesuatu karena kerelaan-Nya, Ia tidak wajib berhubungan dengan apa pun. Dengan kata lain, Allah berkontak dengan ciptaan-Nya karena Ia menghendakinya, dan bukan karena Ia membutuhkan-Nya”. (ibid : 73). A.W. Tozer juga berkomentar : “Allah memiliki suatu hubungan sukarela dengan segala sesuatu yang dijadikan-Nya, tetapi Ia tidak membutuhkan hubungan apa pun dengan sesuatu di luar diri-Nya sendiri. Minat-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya timbul dari kesenangan-Nya yang agung dan bukan karena suatu kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh makhluk-makhluk itu dan juga bukan supaya makhluk-makhluk itu menyempurnakan diri-Nya, karena diri-Nya sendiri sudah sempurna”. (A.W. Tozer : 50). Tozer melanjutkan : “Bahwa kita ini ada itu sama sekali merupakan keputusan Allah yang ditentukan atas kemauan-Nya sendiri, sama sekali bukan karena kita layak atau karena Allah membutuhkan kita”. (ibid : 52).


Dalam kaitannya dengan masalah kemuliaan yang telah disinggung di atas, sebenarnya penciptaan manusia oleh Allah bukanlah dimaksudkan untuk memperoleh kemuliaan, melainkan sebaliknya yaitu untuk menyatakan kemuliaan-Nya kepada manusia. Berkhof kembali berkata : ‘Allah menciptakan bukanlah pertama-tama untuk memperoleh kemuliaan, tetapi untuk menyatakan keluar segala kemuliaan-Nya’. (Berkhof : 253). Berkhof melanjutkan : ‘Tujuan paling utama yang dilihat-Nya bukanlah untuk memperoleh kemuliaan, tetapi untuk memanifestasikan kemuliaan-Nya dalam buah pekerjaan-Nya (ibid : 256). Perhatikan juga sebuah kalimat dalam buku Kepercayaan dan Kehidupan Kristen hal. 131 : “Manusia diciptakan oleh Allah...dengan maksud agar manusia dapat bersekutu dengan Allah dan mencerminkan kemuliaan-Nya di dunia’. Bandingkan ini dengan pendapat Henry C. Thiessen: ‘Pertama dan terutama, Ia menciptakan alam semesta ini untuk mempertunjukkan kemuliaan-Nya.’ (Teologi Sistematika ; 2000 : 181). Dengan kata lain penciptaan itu merupakan tindakan Allah merealisasikan dan mengkomunikasikan kemuliaan-Nya. Leahy kembali berkata bahwa : “Kemuliaan Allah terletak dalam komunikasi kebaikan-Nya kepada ciptaan-ciptaan-Nya itu sendiri. Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup”. (Leahy : 234). Leahy juga membagi kemuliaan Allah menjadi dua bagian yaitu (1) Kemuliaan Allah obyektif yakni kemuliaan Allah yang “permanen” dan sempurna dalam diri-Nya (seperti yang telah dijelaskan di atas) dan (2) Kemuliaan Allah formal yang berisi pengakuan komunikasi itu oleh pihak manusia. (ibid) sebagaimana kata Berkhof : “…pujian kepada sang pencipta tidaklah menambahkan apa-apa kepada kesempurnaan keberadaan-Nya, tetapi hanyalah mengakui kebesaran-Nya dan memberikan kepada-Nya kemuliaan bagi-Nya”. (Berkhof : 257). Dengan pengertian semacam ini maka sesungguhnya ketika manusia “memuliakan” dan mengagungkan Tuhan, itu bukan berarti manusia memberikan tambahan kemuliaan kepada-Nya, melainkan manusia mengakui kemuliaan-Nya yang telah dinyatakan dan dikomunikasikan kepada, melalui dan di dalam manusia itu. Inilah kemuliaan Allah formal, dan di sini pula terletak arti dari penciptaan manusia. Berkhof berkata : ‘Tujuan tertinggi Allah dalam penciptaan, manifestasi kemuliaan-Nya, mencakup juga kebahagiaan dan keselamatan bagi makhluk-Nya, dan penerimaan pujian dari hati yang bersyukur dan mau menyembah’ (ibid : 253) dan Stephen Tong menulis : “Prinsip memuji Tuhan adalah manusia mengembalikan kemuliaan kepada Allah dalam statusnya sebagai manusia”. (Roh Kudus, Doa dan Kebangunan; 1995:62). Thiessen merangkum kedua kemuliaan ini (kemuliaan Allah obyektif dan kemuliaan Allah formal) dengan berkata : ‘Alam semesta merupakan hasil karya Allah yang diciptakan dengan tujuan untuk memperlihatkan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, patutlah kita mempelajarinya agar dapat menyaksikan kemuliaan Allah. Selain itu, adalah wajar bagi kita untuk berusaha sekuat-kuatnya untuk memuliakan Dia’. (Thiessen : 182). Adalah tak mungkin seorang gubernur memberikan tanda penghargaan kepada seorang presiden. Kalaupun ada itu adalah penghargaan yang tak berarti. Tetapi sangatlah berarti jika seorang presiden memberikan penghargaan kepada seorang gubernur. Dan lebih berarti lagi jika gubernur yang telah menerima tanda penghargaan itu menghargai sang presiden (penghargaan formal). Dalam konteks inilah ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21; 61:3; harus ditafsirkan. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa alasan atau tujuan Allah menciptakan manusia bukanlah untuk mencari keuntungan atau kemuliaan bagi diri-Nya sendiri. Tindakan penciptaan itu bebas dari dorongan internal maupun tekanan eksternal. Ia menciptakan alam semesta termasuk manusia di dalamnya semata-mata karena Ia mau mencipta dan Ia berkehendak untuk merefleksikan, merealisasikan, menyatakan dan mengkomunikasikan kasih dan kemuliaan-Nya kepada, melalui dan di dalam manusia. A.W. Tozer menulis : ‘Persoalan mengapa Allah menciptakan alam semesta ini masih merupakan persoalan para ahli pikir ; tetapi jika kita tidak dapat mengetahui mengapa, paling sedikit kita mengetahui bahwa Ia tidak menjadikan dunia ini untuk memenuhi kebutuhan diri-Nya sendiri, seperti seorang yang membangun sebuah rumah untuk melindungi dirinya dari hujan dan panas atau menanam jagung di ladang untuk memperoleh makanan. Bagi Allah kata ‘perlu’ itu sama sekali asing’. (Tozer : 51). TERPUJILAH ALLAH YANG TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA, TERMASUK TIDAK MEMBUTUHKAN AKU DAN KAU.

Lihat bagian 2 : Mengapa Allah Menciptakan Manusia Menurut “Gambar” Dan “Rupa”-Nya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)