02 Mei 2009

MENGAPA ALLAH MENCIPTAKAN MANUSIA MENURUT "GAMBAR" DAN "RUPA"-NYA?

Bagian Kedua Dari Tiga Tulisan

Esra Alfred Soru


Manusia diciptakan Allah sebagai ciptaan yang termulia, mahkota dari seluruh ciptaan Allah. Ia berbeda dari makhluk yang lain sebab ia diciptakan sesuai dengan atau menurut “gambar” dan “rupa” Allah. (Kejadian 1:26). Ungkapan “gambar” dan “rupa” Allah (Inggris: The Image of God; Yunani : Morphe Tou Theon; Latin: Imago dan Similitudo Dei; Ibrani: Tselem dan Demuth) ini muncul tiga kali dalam Perjanjian Lama yaitu dalam Kejadian 1:26-27; 5:1-3; 9:5-6.


Pertanyaan yang perlu dipikirkan sekarang adalah “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan ”rupa”-Nya?” Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita perlu memahami apakah yang dimaksud dengan “gambar” dan “rupa” Allah itu dan apakah yang dimaksudkan dengan manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah, dan melalui pengertian inilah kita mencoba untuk menjawab pertanyaan di atas.


“Gambar” dan “rupa”(Allah)


Apakah yang dimaksudkan dengan “gambar” dan “rupa” Allah? Apakah “gambar” Allah berbeda dari “rupa” Allah dan dengan demikian ada 2 hal yang berbeda di sini? Ataukah 2 kata ini menunjuk kepada satu hal saja? Sudah cukup banyak pandangan yang membedakan kedua kata ini. Misalnya Irenaeus dan Tertullian mengatakan bahwa “gambar” itu berhubungan dengan tubuh sedangkan “rupa” berhubungan dengan natur spiritual. Aliran Skolastik beranggapan bahwa “gambar” mencakup kekuatan intelektual untuk berpikir dan kebebasan, sedangkan “rupa” dianggap sebagai kebenaran asali. Selain itu, “gambar” dilihat sebagai karunia natural bagi manusia (sesuatu yang menjadi milik manusia sebagai manusia), sedangkan “rupa” dilihat sebagai kebenaran asali, karunia supra natural sebagai sebuah cek bagi natur manusia. Namun demikian, nampaknya tidak ada perbedaan berarti antara “gambar” dan “rupa” sehingga kita tidak perlu mencari-cari perbedaan itu. Alkitab memperlihatkan bahwa kedua kata ini dipakai secara sinonim dan saling bergantian dalam berbagai konteks. Dalam Kej 1:26, kedua kata ini muncul bersama-sama : “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" tetapi dalam Kej 1:27 hanya “gambar” yang muncul : “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Selanjutnya dalam Kej 5:1 hanya digunakan kata “rupa” : “… Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah” sedangkan dalam Kej 5:3 kedua kata ini muncul bersama-sama : “Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya”. Kej 9:6 hanya memunculkan kata “gambar” : “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Di dalam PB kita juga menemukan hal yang sama. 1 Kor 11:7 mencatat kata “gambar” dan “kemuliaan”, Kol 3:10 hanya menggunakan kata “gambar” dan Yak 3:9 hanya menggunakan kata “rupa”. Dari semua data Alkitab ini kita harus berkesimpulan bahwa kedua kata ini (“gambar” dan “rupa”) sesungguhnya menunjuk pada hal yang sama.


Diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah


Kita sudah memahami makna kata “gambar” dan “rupa”. Kalau begitu apakah yang dimaksudkan ketika Alkitab berkata bahwa manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah? Ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang makna “gambar” dan “rupa” Allah ini dalam diri manusia. Ada yang mengatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah ini menunjuk kepada hal yang bersifat jasmani saja. Mereka berkata bahwa andaikata Allah datang di tengah-tengah kita, dalam dunia materi ini, Ia akan menjadi manusia. (David Atkinson; Kejadian 1-11 : 41). Sebaliknya, ada pula yang melihatnya sebagai hal yang menunjuk kepada segi kerohanian saja dengan alasan bahwa Allah adalah Roh (tidak bertubuh) seperti pandangan Louis Berkhof yang mengatakan ‘…Allah adalah Roh, maka wajar jika kita beranggapan bahwa elemen kerohanian ada juga dalam diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah’ (Teologi Sistematika (Doktrin Manusia); 1995 : 51). Ada pula yang mengatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah ini menunjuk kepada 2 hal sekaligus, jasmani dan rohani seperti pandangan Walter Lempp : “Diciptakannya manusia menurut gambar dan rupa Allah itu tidak boleh dimengerti hanya mengenai hal kerohanian saja, melainkan harus dimengerti secara kejasmanian. Manusia selengkapnya lahiriah dan batiniah diciptakan secara Allah, menurut Allah, seakhlak, sebakat, setabiat dengan Allah. (Tafsiran Kitab Kejadian 1:1-4:6 (Cetakan Ketiga); 1974 : 37), tetapi ada juga yang menolak bahwa “gambar” dan “rupa” Allah menunjuk kepada hal yang bersifat jasmani maupun rohani. Salah satunya adalah Cristoph Barth yang berpendapat bahwa : Jika gambar dan rupa Allah ini dihubungkan dengan kejasmanian, maka Allah terpaksa dibayangkan sebagai “manusia raksasa” dan sebaliknya manusia sebagai “tiruan Allah” dalam bentuk yang lebih kecil. Tetapi jika dihubungkan dengan hal yang bersifat rohani maka kita tidak luput dari kesulitan bahwa Sang Khalik terlalu didekatkan dengan makhluk-Nya. (Theologia Perjanjian Lama; 1991 : 61). Bagi Barth, gambar dan rupa Allah hanya menunjuk kepada cara hidup dan bertindak.


Secara pribadi saya lebih condong melihat “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia ini dalam hubungan dengan aspek-aspek non fisik (rohani) di mana hal ini diperoleh sebagai refleksi dari keadaan rohani yang sempurna yang dimiliki oleh Allah. Allah adalah roh dan tidak bertubuh karenanya “gambar” dan “rupa” Allah tidak boleh diarahkan/dihubungkan dengan aspek fisik. Alkitab memang berkali-kali mengindikasikan bahwa Allah mempunyai tubuh (seperti : tangan Tuhan, mata Tuhan, kaki Tuhan, dll) namun semuanya ini adalah bahasa anthropomorfisme yaitu penggambaran Allah seolah-olah manusia. Ini harus dipahami dari segi gaya bahasa dan sastra Alkitab. Dengan demikian arti dari manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah adalah sebagai berikut : (1) Manusia diciptakan dengan sifat rohani. Sifat rohani dalam diri manusia ini nampak dari adanya jiwa atau roh yang sebenarnya adalah refleksi dari keberadaan Allah yang adalah Roh. Aspek rohani ini hanya ada pada manusia saja, sebab hanya manusia sajalah yang diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah. Berkhof berkata : “Allah adalah Roh, maka wajar jika kita beranggapan bahwa elemen kerohanian ada juga di dalam diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah”. (Berkhof : 51). (2) Manusia diciptakan dengan sifat moral. Manusia diciptakan dengan sifat moral artinya manusia diberikan kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang jahat. Atas dasar kemampuan membedakan yang baik dan yang jahat inilah manusia selalu diperhadapkan dengan pilihan moral antara yang baik dan yang jahat. Sifat moral ini adalah refleksi dari kesucian Allah. Atau dengan kata lain sifat kesucian Allah ini ditransferkan dalam diri manusia berupa atau sebagai sifat moral. (3) Manusia diciptakan dengan sifat rasional. Allah adalah kebenaran. Kebenaran Allah ini terefleksi dalam diri manusia berupa sifat rasional. Sifat inilah yang membuat manusia dapat berpikir, berencana, berargumentasi, dll. (4) Manusia diciptakan dengan sifat kekal. Allah itu kekal adanya. Ketika Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya, maka kekekalan-Nya itu ada dalam diri manusia walaupun dalam kualitas yang lebih rendah. Kekekalan Allah adalah kekekalan yang tak berawal dan tak berakhir, sedangkan kekekalan manusia adalah kekekalan yang berawal dan tak berakhir. Berkhof membedakan kekekalan Allah dan kekekalan manusia ini sebagai berikut : “…hanya Allah sajalah yang memiliki kekekalan sebagai kualitas esensial, yang memilikinya di dalam dan hanya dari diri-Nya sendiri, sedangkan kekekalan manusia adalah pemberian yang diperoleh dari Allah. (Berkhof : 52). Demikian juga Stephen Tong yang membedakan arti kata “eternal” dan kata “immortal” : Kata eternal “eternal” itu berarti kekal, sedangkan kata “immortal” lebih berarti tidak rusak. Hanya Allah-lah satu-satunya “Ada” yang tak akan mengalami kerusakan. Ketidakrusakan Allah ini diberikan kepada manusia dalam bentuk sifat kekal’. (Majalah “MOMENTUM” No. 8 Bulan Juni, 1990: 5) (5) Manusia diciptakan dengan sifat kreatif. Sifat kreatif (daya cipta) ini diperoleh dari Allah yang adalah Sang Pencipta (Creator). Sewaktu Sang Pencipta mencipta manusia, ia memasukkan ke dalam diri manusia itu sifat yang sama yang ada pada diri-Nya dalam kualitas yang lebih rendah sehingga manusia itu mempunyai daya cipta dan akhirnya menjadi “pencipta-pencipta” kecil yang adalah gambaran Sang Pencipta sendiri. Allah adalah pencipta awal (dari ketiadaan menjadi ada) atau penyebab awal (Causa Prima). Manusia adalah ciptaan yang mempunyai kemampuan untuk “mencipta” (karena diberi daya cipta). Jadi dapat dikatakan bahwa manusia adalah penyebab kedua (Causa Sekundar). Sang Pencipta menciptakan kita sebagai ciptaan dengan daya cipta sehingga kita juga dapat menjadi “pencipta” dari apa yang kita “ciptakan”. (6) Manusia diciptakan dengan sifat sosial. Setelah menciptakan Adam maka Allah melihat bahwa “tidak baik kalau manusia itu seorang diri” itulah sebabnya Ia menciptakan Hawa sebagai sahabat manusia itu (Adam) sehingga Adam dapat berhubungan, berkomunikasi, berbicara dan berinteraksi dengan Hawa, demikian pula sebaliknya. Manusia tidak dibiarkan sendiri dan kesepian. Jadi manusia diciptakan sebagai suatu makhluk sosial. Manusia diciptakan untuk hidup bersama. Sesungguhnya hal semacam ini bersumber dari sifat sosial Allah. Allah bukanlah Allah yang “seorang diri” atau sendirian dan kesepian. Kenyataan ketritunggalan Allah mengajarkan kepada kita bahwa pribadi-pribadi itu (Bapa, Anak dan Roh Kudus) saling berhubungan, berkomunikasi, berbicara satu sama lain-Nya pada masa pra created (sebelum penciptaan). Allah kita adalah Allah sosial. Sifat sosial Allah inilah yang ditularkan kepada manusia. Itulah “gambar dan “rupa” Allah dalam diri manusia. Selain 6 hal di atas, masih juga ada sifat yang lain di antaranya sifat relasi, sifat persekutuan, sifat kesempurnaan, sifat pengharapan, dll. (Baca lengkap sifat-sifat ini dalam buku Stephen Tong; Peta dan Teladan Allah; 1990: 55-57).


Mengapa Demikian?



Setelah kita melihat pengertian di atas, marilah kita membahas pertanyaan intinya yaitu “mengapa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya?” Pertama-tama marilah kita lihat bahwa manusia diciptakan Allah dan diberi tanggung jawab sebagai wakil Allah untuk menaklukkan, menguasai dan mengatur ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Inilah yang kita kenal sebagai mandat kebudayaan (Kejadian 1:28). Hal ini berarti bahwa manusia memiliki dua status : (1) Manusia sebagai wakil Allah di bumi (2) Manusia sebagai penguasa/pengatur ciptaan-ciptaan yang lain. Jika kita bandingkan kedua status ini, maka status pertama lebih penting dan dominan dalam diri manusia daripada status kedua. Maksudnya adalah kualitas sebagai wakil Allah lebih besar atau lebih tinggi daripada kualitas sebagai penguasa ciptaan yang lain. Dengan kata lain manusia lebih dekat dengan Allah sebagai Tuhannya, daripada dengan ciptaan lain sebagai “hambanya”. Oleh sebab itu sebagai wujud dari status pertama ini, manusia perlu dilengkapi dengan “gambar” dan “rupa” Allah. Jadi “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya?” Di satu sisi Allah ingin menyatakan bahwa manusia lebih dekat dengan Allah sebagai pencipta dan Tuhannya daripada dengan ciptaan yang lain sebagai “hambanya”, dan di sisi lain Allah ingin membedakan manusia dengan ciptaan lain. Dapat juga dikatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia dimaksudkan untuk “mendekatkan jarak” antara manusia dengan Allah dan “menjauhkan jarak” antara manusia dengan ciptaan yang lain (binatang). Dengan demikian manusia sama seperti Allah (tetapi bukan Allah, dan berbeda dengan binatang). Selain itu dalam hubungan dengan status keduanya sebagai penguasa atau pengatur ciptaan-ciptaan Allah yang lain maka manusia perlu dilengkapi untuk melaksanakan tugasnya itu. Tugas yang berat itu tidak akan mungkin dilakukan tanpa sesuatu dari Allah. Itulah sebabnya manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah. “Gambar” dan “rupa” Allah inilah yang merupakan potensi, kekuatan dan modal bagi manusia untuk melaksanakan tugasnya itu. Charles Hodge berkata : “Manusia adalah gambar Allah, sehingga membawa dan mencerminkan kesamaan ilahi di antara penghuni-penghuni lain di bumi, karena manusia itu roh, unsur yang cerdas dan berkehendak bebas; dan oleh karena itu sudah sepantasnya manusia ditetapkan untuk menguasai bumi’. (Systematic Theology : 99).


Dalam bagian pertama tulisan ini (Mengapa Allah Menciptakan Manusia?) telah dijelaskan bahwa penciptaan manusia oleh Allah dengan tujuan untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam manusia. Kemuliaan Allah yang telah ada dalam manusia ini perlu dinyatakan melalui hidup manusia sehingga melalui itu terjadi pengakuan terhadap kemuliaan Allah yang telah dinyatakan (Kemuliaan Allah formal). Louis Leahy mengatakan bahwa : ‘kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup’ (Louis Leahy; 1993 : 234). Sekarang persoalannya adalah bagaimana caranya agar kemuliaan Allah dapat dipancarkan melalui kehidupan manusia? Caranya adalah manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah, sehingga dengan mengamati manusia, pikiran kita langsung terarah kepada pencipta manusia itu yaitu Allah. Jika kita melihat bahwa manusia itu adalah makhluk rohani, maka kita langsung berpikir tentang Allah yang Roh adanya. Jika kita melihat bahwa manusia bermoral, maka pikiran kita langsung terarah kepada Allah yang suci. Jika kita melihat bahwa manusia berrasio, maka pikiran kita langsung terarah kepada Allah yang adalah Kebenaran. Jika kita melihat bahwa manusia itu adalah makhluk yang kekal, maka pikiran kita langsung terarah kepada Allah yang kekal adanya. Jika kita melihat adanya daya cipta (kreatifitas) dalam diri manusia, maka pikiran kita akan terarah kepada Allah sebagai Pencipta segala sesuatu. Dan jika kita melihat manusia sebagai makhluk sosial maka kita dapat memahami Allah sebagai Allah sosial dalam ketritunggalan yang kudus. Singkatnya “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia menuntun kita kepada Allah sebagai wujud asli dari “gambar” dan “rupa” itu.


Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka gambar dan rupa Allah yang ada padanya mengalami kerusakan (distorsi, sehingga kadang kemuliaan Allah tak nampak/terpencar dari kehidupan manusia, malah sebaliknya manusia melawan dan menentang Allah. Suatu contoh, manusia yang seharusnya dengan rasionya mempermuliakan Allah justru memperilah rasionya dan menentang Allah. Segala sesuatu (termasuk Allah) harus diukur dengan rasio (Rasiosentris). Yang masuk akal dapat diterima dan yang tak masuk akal ditolak. Inilah krisis rasio dalam diri manusia. Sekalipun demikian, kita patut bersyukur sebab “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia itu telah diperbaharui di dalam manusia Yesus Kristus. Ia adalah manusia pertama pasca kejatuhan yang memiliki “gambar” dan “rupa” Allah yang sempurna (tidak distortif) dalam diri-Nya, dan melalui hidup-Nya selama di dunia kemuliaan Allah dinyatakan dan terpencar dengan sempurna. Itulah sebabnya Ia dapat berkata “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa-Ku”.


Tujuan lain dari pemberian gambar dan rupa Allah dalam diri manusia adalah sebagai pemberian atau penyediaan sarana persekutuan demi terjalinnya hubungan atau persekutuan secara pribadi antara manusia dengan Allah. Dengan adanya “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia, memungkinkan manusia untuk berrelasi dengan Allah. Stephen Tong berkata bahwa : “Manusia adalah makhluk rohani sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan dunia yang tak kelihatan”. (Stephen Tong : 57) Louis Berkhof melihat “gambar” dan “rupa” Allah sebagai : ‘kualitas yang menjadikan manusia istimewa dalam hubungan dengan Allah’ (Louis Berkhof; Teologi Sistematika (Doktrin Allah); 1993 : 53), bahkan Robert Davidson mengatakan bahwa : “Manusia diciptakan untuk hidup dalam hubungan pribadi yang mesra dengan Allah’. (Robert Davidson; Alkitab Berbicara; 1986 : 14-15). Semuanya itu memberikan jawaban bagi kita bahwa hubungan pribadi dengan Allah hanya dimungkinkan dengan adanya “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia. Binatang dan ciptaan yang lain tak dapat berhubungan secara pribadi dengan Allah, sebab “gambar” dan “rupa” Allah tidak ada dalam mereka. Binatang dan ciptaan yang lain bisa taat pada perintah Allah seperti bintang yang menuntun para Majus mencari Yesus, seperti gagak yang mengantarkan makanan bagi Elia, seperti ikan yang menelan Yunus namun mereka tidak bisa berkomunikasi, tidak bisa berdialog atau tidak bisa memberi jawab kepada Allah. Bandingkan kenyataan ini dengan manusia yang diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah. Kej 3:9-10 : “Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya “Di manakah engkau?” Ia menjawab , Yer 1:3-4 : “…berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya “Musa-Musa!” dan Ia menjawab “Ya Allah”, Yer 1:4,6 : “Firman Tuhan datang kepadaku bunyinya… maka aku menjawab…”. Jadi pemberian “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia adalah sebagai sarana demi terjalinnya hubungan pribadi antara Allah dan manusia. “Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia dapat bertanya kepada Allah sekaligus mengharapkan jawaban dari Allah. Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat Allah dapat bertanya kepada manusia dan mengharapkan jawaban dari manusia. Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa mengatakan “ya” dan “tidak” kepada Allah. Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa mengerti “ya” dan “tidak” sebagai jawaban dari Allah. Singkatnya, “gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa berbicara ‘tentang Allah’, ‘kepada Allah’ dan ‘dengan Allah’.


Kita dapat simpulkan keseluruhan pembahasan ini dan menjawab pertanyaan “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya? Sebagai berikut : (1) Karena Allah ingin membedakan manusia dari ciptaan yang lain (binatang), sekaligus untuk menyatakan bahwa manusia lebih mirip dengan-Nya daripada dengan binatang. (menentang teori evolusi). (2) Karena Allah ingin agar melalui kehidupan manusia, kemuliaan-Nya yang telah dinyatakan itu dapat terpancar. (3) Karena Allah ingin menjalin hubungan pribadi yang intim dan mesra dengan manusia. Atau lebih tepat dikatakan bahwa agar manusia dapat berhubungan secara pribadi dengan Allah.


Lihat bagian 3 : Mengapa Allah Menciptakan Manusia Pada Hari Keenam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)