26 Januari 2011

KEDAULATAN ALLAH & KEBEBASAN MANUSIA (Part 4)

Tanggapan Atas Tulisan Dr. Steven E.Liauw

Oleh : Pdt. Budi Asali, M. Div

Note : Warna hitam adalah tulisan Steven Liauw dan warna biru adalah tanggapan Pdt. Budi Asali.


V. Kedaulatan Allah yang Alkitabiah

Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk melihat kedaulatan Allah yang Alkitabiah, kita perlu tahu dulu apa yang dimaksud dengan “kedaulatan.” Webster menjelaskan bahwa kata “sovereign” (Indonesia: berdaulat), memiliki arti:

1 above or superior to all others; chief; greatest; supreme 2 supreme in power, rank, or authority
3 of or holding the position of a ruler; royal; reigning 4 independent of all others 5 . . .

1 Di atas atau superior dibanding semua yang lain; pemimpin; yang terbesar; tertinggi 2 tertinggi dalam kuasa, tingkat, atau otoritas 3 memegang posisi seorang penguasa; rajani; bertahta 4 independen terhadap semua yang lain 5 . . .

Jadi, dapat kita lihat bahwa “kedaulatan” berhubungan dengan “kuasa,” “pemerintahan” dan “otoritas.” Dari definisi “kedaulatan” tidak ada suatu keharusan bahwa pribadi yang berdaulat menentukan segala sesuatu. Berikut ini kita akan menggali beberapa hal berhubungan dengan kedaulatan Allah dan kebebasan manusia.


Tanggapan saya:

Lagi-lagi anda mengutip dari buku saya tanpa memberitahu (hebatnya, di atas saya sudah lebih dulu mengutip arti kata ‘Sovereign’ dari Webster, sebelum saya membaca tulisan anda di sini!). Supaya kelihatan pintar, Liauw? Sekarang anda justru kelihatan sebagai pendusta, dan pendusta akan masuk neraka (Wah 21:8)! Jadi, percayalah kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat anda, Liauw, atau anda akan masuk neraka! By the way, sekarang ini saya memberitakan Injil kepada anda, Liauw! Anda malah tak pernah memberitakan Injil kepada saya!


A. Kedaulatan Allah Konsisten Dengan Sifat-SifatNya

Allah adalah pribadi yang mahakuasa dan mahaberdaulat. Tidak ada orang Kristen lahir baru yang meragukan kedua sifat Allah tersebut. Walaupun demikian, satu hal yang perlu diingat, kedaulatan dan kekuasaan Allah tidak berarti Allah tidak dibatasi. Memang, tidak ada suatu hal pun atau suatu makhluk pun yang dapat membatasi Allah di luar dari Allah sendiri. Tetapi, Allah dibatasi oleh sifat-sifatNya sendiri. Walaupun Allah mahakuasa dan berdaulat, tetapi ada hal-hal yang tidak dapat Allah lakukan. Sebagai contoh, Allah tidak dapat berdosa, bukan karena halangan dari luar, tetapi karena itu bertentangan dengan sifatNya yang mahakudus. Allah tidak bisa membuat diriNya sendiri tidak eksis, karena sifat Allah adalah mahaada. Sekali lagi, kemahakuasaan dan kedaulatan Allah akan selalu konsisten dengan segala sifatNya yang lain.

Manusia patut mengucap syukur bahwa Allah bukan saja mahakuasa dan maha berdaulat, tetapi juga mahakasih, mahaadil, mahakudus, dan maha penyayang. Oleh karena itu, segala sesuatu yang Allah perbuat melalui kuasa dan kedaulatanNya, pastilah mencerminkan kasih, keadilan, dan kekudusanNya. Jika Allah hanya mahakuasa dan maha berdaulat, tanpa disertai sifat kasih dan kudusNya, maka Allah tidak lebih dari Saddam Hussein yang omnipotent! Bagi pribadi yang demikian, semakin banyak kuasanya, justru semakin berbahaya. Tentu, kalau Allah benar-benar tidak mahakasih atau benar-benar tidak mahakudus, kita tidak bisa protes, karena Dia toh adalah Allah yang menciptakan kita. Kita hanya tinggal tunggu nasib saja! Tetapi puji syukur, Allah menyatakan diriNya dalam Alkitab, dan Ia menyatakan diriNya sebagai Allah yang mahakudus dan mahakasih.

Karena kedaulatan Allah pastilah konsisten dengan sifat-sifatNya yang lain, maka Allah tidak mungkin menetapkan dosa. Kalau Allah menetapkan dosa, maka Allah adalah sumber dosa dan penyebab dosa. Ini tidak mungkin terjadi karena Allah adalah mahakudus. Kalau ada satu sifat Allah yang paling banyak disinggung dalam Alkitab, maka pastinya bukanlah kedaulatanNya, melainkan kekudusanNya. Dalam Alkitab (Indonesia Terjemahan Baru), kata “kudus” dan turunannya, muncul 1008 kali dalam 878 ayat! Sebaliknya, kata “daulat” dalam segala bentuk tidak dapat ditemukan dalam Alkitab Indonesia. Kata “kuasa” hanya muncul 562 kali, sudah termasuk segala jenis “kuasa,” bahkan kuasa kejahatan sekalipun. Sedangkan tidak mungkin ada “kekudusan” kejahatan. Setiap kali kata “kudus” dipakai secara positif, pastilah berbicara mengenai Allah atau hal-hal (benda maupun pribadi) yang berkaitan dengan Allah atau yang dikhususkan untuk Allah. Ini pun belum menghitung penggunaan kata “suci.” Jangan salah! Saya tidak meragukan sedikitpun bahwa Allah maha berdaulat. Pemazmur berkata, “Oleh sebab itu kita bersukacita karena Dia, yang memerintah dengan perkasa untuk selama-lamanya, yang mata-Nya mengawasi bangsa-bangsa. Pemberontak-pemberontak tidak dapat meninggikan diri” (Maz. 66:6-7). Tetapi, manusia tidak ada hak sedikit pun, demi suatu definisi “kedaulatan” yang salah, membuat Allah sebagai pribadi yang menetapkan, mendekritkan, dan merencanakan segala dosa yang ada, yang adalah pelanggaran terhadap kekudusanNya!


Tanggapan saya:

1) Saya juga ingin mengingatkan Liauw ini bahwa kata-kata ‘kehendak bebas’ (free will) juga tak pernah ditemukan dalam Alkitab, demikian juga kata-kata ‘Allah Tritunggal’, dan kata ‘sakramen’. Jadi, kata itu muncul atau tidak, tak terlalu jadi soal. Yang penting ajarannya ada.

2) Banyak sedikitnya kata itu muncul, tak menunjukkan bahwa itu lebih ditekankan atau kurang ditekankan. Kelihatannya Liauw menunjukkan jumlah munculnya kata ‘kudus’ untuk menunjukkan bahwa itu lebih ditekankan. Tetapi saya tanya: apa dasarnya kalau suatu kata muncul lebih banyak, itu menunjukkan bahwa kata itu lebih ditekankan? Kalau yang muncul banyak yang ditekankan, dan yang muncul kurang banyak tidak ditekankan, maka kita harus menyimpulkan bahwa Alkitab tidak menekankan Allah Tritunggal, karena kata-kata itu tak pernah muncul. Alkitab juga tidak menekankan ‘sakramen’ karena kata itu tidak pernah muncul dalam Alkitab! Dan kita juga harus menyimpulkan bahwa Alkitab sangat menekankan ‘orang’, karena kata itu muncul ribuan kali dalam Alkitab. Tak percaya? Lihat konkordansi dan hitung sendiri! Dan apa sebabnya orang Arminian menekankan ‘free will’ / kehendak bebas, padahal kata-kata itu tak pernah ada dalam Alkitab?

3) Kata ‘daulat’ tak pernah muncul, tetapi ayat yang menunjukkan bahwa Allah itu tertinggi, dan bahwa segala sesuatu tergantung kepada Allah, dan bahwa Allah menentukan segala sesuatu, ada banyak.

4) Lagi-lagi Liauw terlalu cepat meloncat pada suatu kesimpulan. Hanya karena Allah itu kudus, ia lalu menyimpulkan bahwa Allah itu tidak mungkin menentukan dosa. Kesimpulan ini dilakukan tanpa mempedulikan ayat-ayat yang secara explicit mengatakan bahwa Allah menentukan dosa. Saya beri beberapa contoh:

· Daniel 11:36 - “Raja itu akan berbuat sekehendak hati; ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah. Juga terhadap Allah yang mengatasi segala allah ia akan mengucapkan kata-kata yang tak senonoh sama sekali, dan ia akan beruntung sampai akhir murka itu; sebab apa yang telah ditetapkan akan terjadi”.

Ini menunjukkan bahwa dosa dari raja ini, dimana ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah, dan akan mengucapkan kata-kata tak senonoh terhadap Allah, sudah ditetapkan, dan karena itu pasti akan terjadi.

· Hab 1:12 - “Bukankah Engkau, ya TUHAN, dari dahulu Allahku, Yang Mahakudus? Tidak akan mati kami. Ya TUHAN, telah Kautetapkan dia untuk menghukumkan; ya Gunung Batu, telah Kautentukan dia untuk menyiksa.

Biarpun penindasan yang dilakukan oleh orang Kasdim terhadap orang Israel / Yehuda merupakan hukuman Tuhan bagi mereka, tetapi itu tetap merupakan suatu dosa. Tetapi ayat ini mengatakan bahwa hal itu ditetapkan / ditentukan oleh Tuhan!

· Mat 18:7 - “Celakalah dunia dengan segala penyesatan­nya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya!”.

Ini menunjukkan bahwa penyesatan harus ada. Ini jelas adalah dosa, tetapi ini telah ditetapkan oleh Allah.

· Luk 17:25 - “Tetapi Ia harus menanggung banyak penderitaan dahulu dan ditolak oleh angkatan ini”.

Perhatikan kata ‘harus’ di sini. Penolakan dan penyiksaan terhadap Yesus itu harus terjadi.

· Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan”.

Ayat ini menunjukkan bahwa pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas terhadap Yesus, yang jelas adalah suatu dosa, telah ditetapkan oleh Allah.

· Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.

Kis 3:18 - “Tetapi dengan jalan demikian Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya harus menderita”.

Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.

Ayat-ayat di atas ini menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap Kristus (ini adalah dosa yang paling terkutuk) sudah ditentu­kan sejak semula. Perhatikan khususnya kata-kata ‘menurut maksud dan rencanaNya’ dalam Kis 2:23, dan juga kata ‘tentukan’ dalam Kis 4:28. Jelas ini bukan sekedar menunjuk pada foreknowledge (= pengetahuan lebih dulu) dari Allah, tetapi menunjuk pada foreordination (= penetapan lebih dulu) dari Allah.

Seandainya tak ada ayat-ayat seperti ini, maka mungkin Liauw bisa dibenarkan pada waktu ia mengambil kesimpulan logis seperti itu. Tetapi pada waktu kesimpulan logisnya bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab, seperti dalam kasus ini, saya bertanya: haruskah kita tunduk pada logika lebih dari pada pada Firman Tuhan?

Bdk. Amsal 3:5 - “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

5) Liauw berkata ‘manusia tidak ada hak sedikit pun, demi suatu definisi “kedaulatan” yang salah, membuat Allah sebagai pribadi yang menetapkan, mendekritkan, dan merencanakan segala dosa yang ada’. Saya setuju! Tetapi bagaimana kalau yang memberikan definisi kedaulatan itu adalah Alkitab sendiri? Saya sudah memberikan banyak ayat di atas. Bagaimana Liauw menafsirkan ayat-ayat itu? Mau diabaikan / dibuang saja ayat-ayat Alkitab, yang adalah Firman Tuhan itu?? Jangan lupa ancaman Alkitab terhadap orang-orang yang membuang Firman Tuhan, seperti yang ada dalam Mat 5:19a dan Wah 22:19!


Ketika Yesaya diizinkan untuk melihat takhta Tuhan, dia menyaksikan para Serafim saling berteriak, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam.” Penglihatan akan kekudusan Tuhan begitu melanda dan melingkupi Yesaya, sehingga ia menganggap dirinya celaka karena dosa-dosanya. Minimal 2600 tahun setelah Yesaya, Rasul Yohanes, dalam penglihatannya akan masa depan, melihat kata-kata yang sama tentang kekudusan Tuhan masih dinyanyikan di hadapan takhta Allah (Wah. 4:8). Apakah kita harus percaya, bahwa Allah yang sedemikian MahaKudus, yang tidak memperbolehkan dosa sekecil apapun untuk menghampiri takhtaNya, ternyata adalah pribadi yang menyebabkan segala dosa yang pernah ada? Ini tidak kurang dari penghujatan! Ini adalah skandal! Oh, wahai teman-temanku Kalvinis, mengapakah anda tidak dapat melihat hal ini?


Tanggapan saya:

Yang anda sebut penghujatan itu adalah ajaran dari ayat-ayat Firman Tuhan sendiri seperti yang sudah saya berikan di atas. Andalah yang menghujat Firman Tuhan, Liauw! Seandainya anda bisa menafsirkan ayat-ayat itu sehingga sesuai dengan ajaran anda, saya mau menerimanya! Tetapi apa yang anda lakukan sampai saat ini adalah menghindari pembahasan ayat-ayat itu!

B. Allah Menciptakan Makhluk dengan Kehendak Bebas

Jika Allah tidak menetapkan adanya dosa, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: kalau begitu dari manakah datangnya dosa dan kejahatan? Bukankah di masa kekekalan lampau hanya ada Allah saja? Kalau pada mulanya hanya ada Allah, bukankah berarti segala sesuatu berasal dari Allah?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab jika kita mengerti bahwa Allah selain menciptakan berbagai benda dan hal, juga menciptakan makhluk-makhluk yang Dia berikan kehendak bebas. Manusia adalah salah satu makhluk yang Dia berikan kehendak bebas tersebut. Allah jelas memiliki kehendak bebas, itu adalah salah satu sifatNya. Oleh karena itu, ketika Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupaNya, manusia mewarisi sifat-sifat Allah sampai tingkat tertentu. Manusia sadar diri, manusia memiliki perasaan, manusia dapat berkomunikasi, dan manusia memiliki kehendak bebas, sama seperti Allah.

Banyak pihak yang mencoba untuk mengadu “kedaulatan Allah” dengan “kehendak bebas manusia.” Mereka merasa bahwa kalau manusia memiliki kehendak bebas, maka manusia bisa memilih untuk menentang Allah, dan itu berarti Allah tidak berdaulat penuh. Tetapi ini adalah logika yang salah. Ingat bahwa kehendak bebas manusia diberikan oleh Allah sendiri. Apakah Allah yang berdaulat itu tidak boleh memutuskan untuk memberikan kehendak bebas kepada salah satu ciptaanNya? Seseorang yang berdaulat tidak berarti ia harus menentukan segala sesuatu. Seorang raja yang paling berdaulat sekalipun, memiliki hak untuk mendelegasikan banyak hal kepada bawahannya. Ia bisa berkata kepada seorang pegawainya: “Coba kamu yang kendalikan seluruh pasukan kita.” Walaupun pengendalian pasukan adalah hak raja, tetapi raja memutuskan untuk membiarkan pegawainya yang mengendalikan. Kita bisa juga katakan bahwa sang pegawai mengendalikan pasukan berdasarkan otoritas yang diberikan raja padanya. Raja yang tidak boleh mendelegasikan apapun, melainkan harus menentukan segalanya, justru dia bukanlah raja yang berdaulat!


Tanggapan saya:

Lihat ajaran Liauw ini, Ia tidak memberikan ayat-ayat Alkitab sebagai dasar, tetapi hanya memberikan ilustrasi dan logika! Dan orang ini menamakan dirinya Alkitabiah?

Saya tanya: kalau raja itu memutuskan untuk membiarkan terjadinya sesuatu di luar ijinnya, apakah ia tetap adalah raja yang berdaulat? Menurut saya: itu adalah omong kosong. Itu sama dengan mengatakan bahwa raja yang menyerahkan takhta dan makhkotanya kepada orang lain, tetap adalah raja! Karena itu, tidak mungkin Allah mengijinkan terjadinya sesuatu di luar penentuan dan pengaturanNya. Supaya jangan ada yang mengatakan bahwa saya mengajar tanpa dasar Alkitab, maka di sini saya memberikan dasarnya.


Mat 10:29-30 - “(29) Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. (30) Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya”.


Ay 29nya menunjukkan bahwa jatuhnya burung pipit, yang merupakan sesuatu yang remeh, tidak mungkin terjadi di luar kehendak Tuhan. Dan ay 30nya harus diartikan searah dengan ay 29nya. Jadi tidak mungkin ada satu rambut yang jatuh kalau bukan karena kehendak Tuhan!

Saya beri ayat lain lagi.

Ayub 37:6 - “karena kepada salju Ia berfirman: Jatuhlah ke bumi, dan kepada hujan lebat dan hujan deras: Jadilah deras!”.

Jadi, bukan hanya hujan dan turunnya salju tergantung Tuhan, tetapi juga apakah hujan itu deras atau tidak, tergantung kepada Tuhan!

Demikianlah kita lihat Allah yang adalah raja atas seluruh alam ciptaan, Ia mendelegasikan kepengurusan laut dan bumi kepada manusia. Dan Ia pula yang memberikan kepada manusia kehendak bebas, yaitu kemampuan untuk memilih suatu tindakan atau sikap. Dengan kehendak bebas itu, manusia bisa memilih dari banyak pilihan tindakan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya sendiri. Jelas pertimbangan-pertimbangan manusia dipengaruhi oleh banyak hal di sekelilingnya, tetapi tidak ditentukan oleh apapun selain dirinya sendiri. Jadi, tidak ada pertentangan antara “kedaulatan Allah” dengan “kebebasan manusia,” karena Allah secara berdaulat memberikan kepada manusia kemampuan untuk memilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya sendiri. Dengan kata lain, kebebasan manusia adalah kebebasan yang diberikan oleh Allah. Karena Allah yang memberikan kebebasan tersebut, maka Allah juga membiarkan manusia untuk memilih sendiri, dan tidak menentukan segalanya bagi manusia. Di sinilah perbedaan pandangan Alkitab dengan pandangan Kalvinis.


Tanggapan saya:

1) Saya pikir kata-kata Liauw pada bagian awal kutipan di atas ini, yang berbunyi ‘Demikianlah kita lihat Allah yang adalah raja atas seluruh alam ciptaan, Ia mendelegasikan kepengurusan laut dan bumi kepada manusia’, adalah kata-kata yang gila! Kalau demikian, maka seharusnya manusia betul-betul menguasai laut dan bumi, sehingga pasti bisa menghindarkan badai, tsunami, gempa bumi, gunung meletus dan sebagainya. Buktinya? Manusia tidak bisa!

2) Kata-kata Liauw pada bagian akhir kutipan di atas lagi-lagi hanya diajarkan demikian saja tanpa dasar Alkitab. Alkitab justru bertentangan dengan kata-kata Liauw itu. Sebagai contoh: Petrus dan penyangkalannya. Yesus menubuatkan bahwa Petrus akan menyangkal Dia. Petrus mati-matian menolak hal itu, dan tidak mau menyangkalNya. Tetapi apa yang akhirnya terjadi?

Ada Kalvinis yang menolak bahwa manusia punya kehendak bebas. Kalvinis-Kalvinis lain di satu sisi menerima kehendak bebas manusia, tetapi di sisi lain menyatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Menurut saya, jenis Kalvinis yang pertama lebih jujur pada premis dasar mereka.


Tanggapan saya:

Saya ingin membahas tentang free will / kehendak bebas, karena pada waktu Liauw mengatakan ada Calvinist yang menerima dan ada yang menolak free will, saya kira ia tidak mengerti apa yang ia katakan. Untuk bisa jelas tentang hal ini, mari kita melihat penjelasan di bawah ini.


1) Banyak orang Reformed / Calvinist yang tidak setuju dengan istilah free will ( = kehendak bebas).

Charles Haddon Spurgeon: “Any man who should deny that man is a free agent might well be thought unreasonable, but free-will is a different thing from free-agency. Luther denounces free-will when he said that ‘free-will is the name for nothing’; and President Edwards demolished the idea in his mastery treatise” (= Orang yang menyangkal bahwa manusia adalah agen bebas akan dianggap tidak masuk akal / tidak rasionil, tetapi kebebasan kehendak berbeda dengan tindakan bebas. Luther mencela kehendak bebas ketika ia berkata bahwa ‘kehendak bebas adalah nama untuk sesuatu yang tidak ada’; dan Presiden Edwards menghancurkan gagasan / idee ini dalam bukunya yang luar biasa) - ‘Spurgeon’s Expository Encyclopedia’, vol 7, hal 10.

Robert L. Dabney: “... I have not used the phrase ‘freedom of the will’. I exclude it, because persuaded that it is inaccurate, and that it has occasioned much confusion and error. Freedom is properly predicated of a person, not of a faculty. ... I have preferred therefore to use the phrase, at once popular and exact: ‘free agency’ and ‘free agent’” (= Saya tidak memakai ungkapan ‘kebebasan kehendak’. Saya meniadakannya karena diyakinkan bahwa itu adalah tidak tepat, dan bahwa itu menimbulkan banyak kebingungan dan kesalahan. Kebebasan secara tepat ditujukan kepada seseorang, bukan pada bagian dari jiwa / pikiran. ... Karena itu saya lebih menyukai untuk menggunakan ungkapan yang sekaligus populer dan tepat: ‘tindakan bebas’ dan ‘agen bebas’) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 129.

Catatan:

· Istilah ‘agent’ berarti ‘a person that performs actions or is able to do so’ (= seseorang yang melakukan tindakan-tindakan atau yang mampu melakukannya).

· Istilah ‘agency’ berarti ‘action’ (= tindakan) atau ‘the business of a person’ (= kegiatan / kesibukan seseorang).

Ini diambil dari Webster’s New World Dictionary.

Tetapi karena istilah ‘free will’ sudah begitu populer, dan lebih-lebih dalam kalangan orang awam di Indonesia istilah kehendak bebas sangat populer sedangkan istilah ‘agen bebas’ dan ‘tindakan bebas’ tidak pernah terdengar, maka saya tetap menggunakan istilah free will / kehendak bebas. Tetapi tentu saja kita harus berhati-hati terhadap penyalahgunaan dari istilah free will / kehendak bebas ini.

2) Arti yang salah dan benar dari free will ( = kehendak bebas).

a) Adanya free will / kehendak bebas tidak berarti bahwa manusia itu bebas secara mutlak.

Kalau kita meninjau doktrin Allah (theology), maka kita bisa melihat bahwa satu-satunya makhluk yang bebas mutlak adalah Allah, dan Allah menciptakan segala sesuatu dan membuat segala sesuatu tergantung kepada diriNya (Neh 9:6 Maz 94:17-19 Maz 104:27-30 Kis 17:28 1Tim 6:13 Ibr 1:3). Jadi jelas bahwa manusia tidak bebas secara mutlak, tetapi sebaliknya tergantung kepada Allah.

b) Adanya free will / kehendak bebas tidak berarti bahwa manusia selalu bisa / mampu melakukan apa yang ia kehendaki.

Ini berlaku dalam hal:

1. Biasa / jasmani. Misalnya manusia boleh saja ingin terbang, tetapi ia tidak bisa terbang.

2. Rohani. Orang berdosa di luar Kristus tidak bisa berbuat baik atau datang kepada Kristus dengan kekuatannya sendiri. Bahkan orang kristenpun sering menginginkan hal yang baik tetapi tidak mampu melakukannya (Ro 7:18-23 Mat 26:41).

Jadi free will / kehendak bebas tidak berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan apa yang ia kehendaki.

c) Adanya free will / kehendak bebas tidak berarti pada saat manapun dalam kehidupannya, manusia itu betul-betul bisa memilih beberapa tindakan sesuai dengan kehendaknya sendiri.

Orang Reformed / Calvinist mempercayai bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Allah, dan pasti akan terjadi sesuai kehendak Allah. Karena itu adalah omong kosong kalau kita dalam hal ini beranggapan bahwa manusia betul-betul bisa memilih tindakan sesuai dengan kemauannya. Sebaliknya, ia pasti akan melakukan tindakan yang telah ditentukan oleh Allah.

d) Free will / kehendak bebas berarti: semua yang manusia lakukan, ia lakukan sesuai dengan ketetapan Tuhan, tetapi pada saat yang sama, ia tetap melakukan itu karena itu memang adalah kehendaknya / keputusannya. Ia tidak dipaksa oleh Allah untuk melakukan kehendak / ketetapan Allah tersebut. Ia akan secara sukarela melakukan ketetapan Allah tersebut.

Bahkan pada saat manusia itu dipaksa untuk melakukan sesuatu, ia tetap melakukan sesuai keputusan / kehendaknya sendiri. Misalnya: seseorang ditodong dan dipaksa untuk menyerahkan uangnya. Ia bisa saja memutuskan untuk melawan, apapun resikonya. Tetapi setelah ia mempertimbangkan resiko kehilangan nyawa / terluka, maka ia mengambil keputusan untuk menyerahkan uangnya. Ini tetap adalah keputusan / kehendak bebasnya. Karena itu sebetulnya ungkapan bahasa Inggris ‘I did it against my will’ (= aku melakukan itu bertentangan kehendakku) adalah sesuatu yang salah.

Yang bisa terjadi adalah: sesuatu dilakukan terhadap kita bertentangan dengan kehendak kita. Misalnya kita diikat lalu dibawa ke tempat yang tidak kita ingini. Tetapi ini bukan kita yang melakukan.

Jadi, kalau kita melakukan sesuatu, itu karena kita mau / menghendaki untuk melakukan hal itu.

Jadi, dari point-point di atas terlihat jelas bahwa Calvinisme menerima free will dalam arti yang berbeda dengan yang diterima oleh orang-orang Arminian!

Jadi, apakah Calvinist setuju dengan free will? Tergantung dalam arti apa? Dalam arti seperti yang dipakai oleh orang-orang Arminian, Calvinist tidak setuju free will, tetapi dalam arti seperti yang digunakan oleh Calvinisme, Calvinist setuju dengan free will!

3) Penetapan Allah / Predestinasi tidak menghancurkan kebebasan manusia.

Sekalipun Calvinisme mempercayai kedaulatan Allah yang menentukan keselamatan seseorang dan bahkan juga menentukan segala sesuatu yang lain, tetapi Calvinisme tetap mempercayai kebebasan manusia. Mengapa? Karena dalam Kitab Suci kita melihat bahwa sekalipun segala sesuatu terjadi sesuai kehendak / rencana Allah, tetapi pada waktu manusianya melakukan hal itu, ia tidak dipaksa, tetapi melakukannya dengan sukarela.

Misalnya:

a) Pada waktu mengutus Musa kepada Firaun, Tuhan berkata bahwa Ia akan mengeraskan hati Firaun (Kel 4:21 7:3). Ini menunjukkan bahwa Tuhan sudah menentukan bahwa Firaun tidak akan melepaskan Israel. Tetapi pada waktu Musa sampai kepada Firaun, dikatakan bahwa ‘Firaun mengeraskan hatinya sendiri’ (Kel 7:22 8:15,19,32 9:34-35 14:5).

b) Yudas mengkhianati / menyerahkan Yesus sesuai dengan ketetapan Allah (Luk 22:22), tetapi pada waktu Yudas melakukan hal itu, ia betul-betul melakukannya dengan kehendaknya sendiri. Kita tidak melihat bahwa Allah memaksa dia untuk mengkhianati Yesus.

c) Orang-orang yang membunuh Yesus melakukan hal itu sesuai dengan apa yang sudah Allah tentukan dari semula (Kis 4:27-28), tetapi pada waktu mereka melakukannya, mereka betul-betul bebas, dan melakukannya atas kehendak mereka sendiri.


Nah, apa kata Alkitab? Alkitab penuh dengan bukti implisit maupun eksplisit bahwa manusia diciptakan dengan kehendak bebas. Alkitab tidak banyak berusaha membuktikan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, sama seperti Alkitab tidak banyak berusaha membuktikan bahwa Allah ada. Kedua fakta ini diterima secara implisit dan sudah dianggap benar oleh para penulis Alkitab. Setiap kali ada himbauan dalam Firman Tuhan, itu adalah bukti implisit bahwa manusia dapat memilih.

Tanggapan saya:

1) Omong kosong! Kata-kata Liauw di atas benar tentang keberadaan Allah, tetapi salah kalau berkenaan dengan free will. Yang benar adalah dalam Alkitab ada banyak ayat yang menunjukkan bahwa manusia tidak bisa melakukan apa-apa selain yang Allah tentukan. Contoh:


Amsal 16:1,9 - “(1) Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN. ... (9) Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.

Amsal 20:24 - Langkah orang ditentukan oleh TUHAN, tetapi bagaimanakah manusia dapat mengerti jalan hidupnya?”.

Yer 10:23 - “Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya.

Kel 21:13 - “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan menunjukkan bagimu suatu tempat, ke mana ia dapat lari”.


2) Liauw mengatakan ‘Setiap kali ada himbauan dalam Firman Tuhan, itu adalah bukti implisit bahwa manusia dapat memilih’. Saya akan buktikan bahwa kata-kata Liauw ini salah sama sekali.


a) Bukti pertama. Alkitab menyuruh orang percaya kepada Yesus (Kis 16:31). Apakah manusia, dengan kekuatannya sendiri bisa percaya? Jawabannya ada dalam Yoh 6:44,65 - “(44) Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman. ... (65) Lalu Ia berkata: ‘Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorangpun dapat datang kepadaKu, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.’”. Jadi, jawabannya jelas adalah ‘Tidak!’.


b) Bukti kedua. Alkitab mendesak manusia untuk tidak berdosa.


1Yoh 2:1 - “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil”.


Apakah manusia bisa memilih untuk tidak berbuat dosa. Rasul Yohanes yang menulis ayat di atas, sudah menulis lebih dulu jawabannya dalam 1Yoh 1:8,10 - “(8) Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. ... (10) Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firmanNya tidak ada di dalam kita”.


Jadi jelas bahwa jawabannya lagi-lagi adalah ‘Tidak bisa!’.


Setiap kali para penulis Alkitab memaparkan argumen, itu adalah bukti bahwa mereka mencoba untuk menyodorkan pertimbangan-pertimbangan kepada intelek para pembaca, agar pembaca membuat keputusan yang benar. Ini adalah bukti implisit bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Bahkan Allah sendiri berkata: “Marilah, baiklah kita berperkara” (Yes. 1:18). Tuhan berusaha untuk meyakinkan manusia agar memilih yang baik. Ini adalah bukti kuat bahwa Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia. Tetapi, bukankah Tuhan itu berdaulat dan dapat menentukan apa yang akan dipilih oleh manusia? Benar! Tetapi Tuhan yang berdaulat itu telah memutuskan untuk membiarkan manusia yang memilih sendiri. Dan Tuhan konsisten dengan keputusanNya, sehingga Ia hanya akan meyakinkan manusia, bukan menentukan bagi manusia. Tentu manusia akan mempertanggungjawabkan pilihannya di hadapan Tuhan suatu hari.


Tanggapan saya:

1) Lagi-lagi suatu pengambilan kesimpulan berdasarkan logika (yang tolol), yang bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab! Di atas sudah saya berikan contoh, bahwa kalau ada perintah dalam Alkitab, belum tentu manusia bisa memilih untuk mentaatinya. Sekarang saya beri contoh-contoh lagi, yaitu ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia tidak bisa mentaati Tuhan dengan kekuatannya sendiri.


· Kej 6:5 - “Ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, ...”.

· Yer 4:22 - “Sungguh, bodohlah umatKu itu, mereka tidak mengenal Aku! Mereka adalah anak-anak tolol, dan tidak mempunyai pengertian! Mereka pintar untuk berbuat jahat, tetapi untuk berbuat baik mereka tidak tahu.

· Yer 13:23 - “Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik, hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat?”.

· Yoh 8:34b - “setiap orang yang berbuat dosa adalah hamba dosa”.

Istilah ‘hamba’ perlu ditekankan di sini. Dengan manusia dinyatakan sebagai ‘hamba dosa’, itu jelas menunjukkan bahwa ia selalu / terus menerus menuruti dosa, dan tidak bisa berbuat baik. Ini dinyatakan secara lebih jelas oleh Ro 6:16-17,20-21. Perhatikan khususnya Ro 6:20 yang berbunyi: “Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran. Istilah ‘bebas dari kebenaran’ itu jelas menunjukkan bahwa manusia berdosa itu tidak bisa berbuat apapun yang benar!

· Ro 7:18-19 - “(18) Sebab aku tahu bahwa di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. (19) Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat”.

Dari ayat ini kelihatan sepintas bahwa dalam diri manusia ada kehendak yang baik. Tetapi jelas bahwa ayat ini tidak boleh ditafsirkan bahwa dalam diri manusia berdosa di luar Kristus itu sendiri bisa ada kehendak yang baik, karena:

* penafsiran ini akan bertentangan dengan Ro 7:18nya yang mengatakan ‘tidak ada sesuatu yang baik’.

* penafsiran ini juga akan bertentangan dengan Fil 2:13 yang berbunyi:

Fil 2:13 berbunyi: ”karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaanNya”.

Ini terjemahannya kurang jelas. Perhatikan terjemahan-terjemahan Kitab Suci bahasa Inggris di bawah ini:

KJV: “For it is God which worketh in you both to will and to do of his good pleasure” (= Karena Allahlah yang bekerja dalam kamu baik untuk menghendaki maupun untuk melakukan kehendakNya yang baik).

RSV: “for God is at work in you, both to will and to work for his good pleasure” (= karena Allah bekerja dalam kamu, baik untuk menghendaki maupun untuk mengerjakan untuk kehendakNya yang baik).

NASB: “for it is God who is at work in you, both to will and to work for His good pleasure” (= karena Allahlah yang bekerja dalam ka-mu, baik untuk menghendaki maupun untuk mengerjakan untuk kehendakNya yang baik).

NIV: “for it is God who works in you to will and to act according to his good purpose” (= karena Allahlah yang bekerja dalam kamu untuk menghendaki dan untuk berbuat menurut rencanaNya yang baik).

Ini menunjukkan bahwa baik keinginan maupun kemampuan untuk melakukan apa yang baik itu datang dari Tuhan.


Jadi, Ro 7:18-19 ini bukan menggambarkan Paulus pada waktu belum kristen, tetapi sesudah ia menjadi kristen (perhatikan bahwa ayat itu menggunakan present tense, bukan past tense). Karena itu ia sudah mempunyai kemauan / kehendak yang baik (dari Roh Kudus), tetapi bagaimanapun apa yang ia capai / lakukan jauh lebih rendah dari apa yang ia kehendaki, dan berdasarkan pengalaman itu ia menuliskan ayat itu.

· Ro 8:7-8 - “(7) Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya. (8) Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah”.

2) Bagian akhir dari kata-kata Liauw sangat bertentangan dengan akal sehat maupun Alkitab.

Ia berkata ‘Tetapi, bukankah Tuhan itu berdaulat dan dapat menentukan apa yang akan dipilih oleh manusia? Benar! Tetapi Tuhan yang berdaulat itu telah memutuskan untuk membiarkan manusia yang memilih sendiri.’. Ini mustahil, dan sama saja dengan mengatakan bahwa Tuhan yang berdaulat itu memilih untuk menjadi tidak berdaulat! Di atas Liauw sendiri mengatakan bahwa Tuhan tidak mungkin melakukan apa yang bertentangan dengan sifatNya / keberadaanNya. Itu benar. Tuhan tidak bisa memilih untuk tidak ada di tempat manapun, karena Ia memang maha ada. Tuhan tidak bisa memilih untuk musnah, karena Ia kekal. Tuhan tidak bisa memilih untuk berubah, karena Ia memang tidak bisa berubah. Dan dalam persoalan ini, kedaulatanNya tidak memungkinkanNya untuk memutuskan memberikan kebebasan kepada manusia.

Catatan: yang saya maksudkan dengan ‘kebebasan’ disini adalah kebebasan dalam arti Arminian!

Saya kira Liauw melihat hanya ayat-ayat dari sudut pandang manusia, dan tidak melihat ayat-ayat dari sudut pandang Tuhan (dan yang terakhir ini adalah realita yang sebenarnya!). Dan ini memang merupakan kesalahan cara berpikir orang-orang Arminian.

Contoh:

a) Pada waktu Musa menghadap Firaun, Firaun menolak melepaskan Israel (Kel 5). Dari sudut pandang manusia, kelihatannya ini merupakan keputusan Furaun sendiri. Tetapi dari sudut pandang Allah keputusan Firaun itu terjadi karena pekerjaan Allah, karena Kel 4:21 berkata: “Firman TUHAN kepada Musa: ‘Pada waktu engkau hendak kembali ini ke Mesir, ingatlah, supaya segala mujizat yang telah Kuserahkan ke dalam tanganmu, kauperbuat di depan Firaun. Tetapi Aku akan mengeraskan hatinya, sehingga ia tidak membiarkan bangsa itu pergi.

b) Paulus, atau Saulus, bertobat dan percaya kepada Yesus setelah ia melihat mujijat (Kis 9). Dari sudut pandang manusia kelihatannya ini merupakan keputusan Paulus sendiri. Tetapi dari sudut pandang Allah, Gal 1:15-16 mengatakan: “(15) Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karuniaNya, (16) berkenan menyatakan AnakNya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia”.

c) 12 murid Yesus ikut Yesus. Dari sudut pandang manusia, mereka ikut karena mereka memilih seperti itu. Tetapi Yoh 15:16 menunjukkannya dari sudut pandang Tuhan. Yoh 15:16 - Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu”.

d) Yudas Iskariot menjadi pengkhianat dan akhirnya binasa. Dari sudut pandang manusia, kelihatannya ia melakukan hal itu semata-mata karena pilihannya sendiri. Tetapi dari sudut pandang Allah, Luk 22:22 mengatakan “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”. Dan Yoh 17:12 - “Selama Aku bersama mereka, Aku memelihara mereka dalam namaMu, yaitu namaMu yang telah Engkau berikan kepadaKu; Aku telah menjaga mereka dan tidak ada seorangpun dari mereka yang binasa selain dari pada dia yang telah ditentukan untuk binasa, supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci”.

e) Orang mendengar Injil dan percaya Yesus, kelihatannya (dari sudut pandang manusia) karena pemilihan mereka sendiri. Tetapi perhatikan Kis 13:48 - “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya”.

f) Yakub beriman, Esau tidak. Kelihatannya semua ini terjadi semata-mata karena pemilihan mereka sendiri. Tetapi itu drt sudut pandang manusia. Dari sudut pandang Allah berlaku Ro 9:11-13 - “(11) Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, - supaya rencana Allah tentang pemilihanNya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilanNya - (12) dikatakan kepada Ribka: ‘Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda,’ (13) seperti ada tertulis: ‘Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.’”.


Bahkan kisah pencobaan di taman Eden pun merupakan bukti implisit bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Perintah Tuhan kepada manusia untuk tidak makan dari buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat adalah bukti bahwa minimal ada dua pilihan! Dan fakta bahwa Tuhan sangat marah dan kecewa saat Adam dan Hawa makan buah itu, membuktikan bahwa Tuhan tidak menetapkan demikian.


Tanggapan saya:

1) Memang dari sudut pandang manusia ada dua pilihan. Tetapi dari sudut pandang Tuhan, jelas Dia sudah menentukan hal itu.

Saya kutipkan dari buku saya ‘providence of God’ di bawah ini.

Dosa / kejatuhan Adam mempunyai 3 kemungkinan:

a) Adam ditentukan untuk tidak jatuh.

Kemungkinan ini harus dibuang, karena kalau Adam direncanakan untuk tidak jatuh, maka ia pasti tidak jatuh (ingat bahwa Rencana Allah tidak bisa gagal - lihat pelajaran II, point B,C di atas).

Ayat-ayat dalam pelajaran II, point B,C akan saya berikan di bawah ini.

· Yes 14:24,26-27 - “(24) TUHAN semesta alam telah bersumpah, firmanNya: ‘Sesungguhnya seperti yang Kumaksud, demikianlah akan terjadi, dan seperti yang Kurancang, demikianlah akan terlaksana: ... (26) Itulah rancangan yang telah dibuat mengenai seluruh bumi, dan itulah tangan yang teracung terhadap segala bangsa. (27) TUHAN semesta alam telah merancang, siapakah yang dapat menggagalkannya? TanganNya telah teracung, siapakah yang dapat membuatnya ditarik kembali?”.

· Yes 25:1 - “Ya TUHAN, Engkaulah Allahku; aku mau meninggikan Engkau, mau menyanyikan syukur bagi namaMu; sebab dengan kesetiaan yang teguh Engkau telah melaksanakan rancanganMu yang ajaib yang telah ada sejak dahulu”.

· Yes 37:26 - “Bukankah telah kaudengar, bahwa Aku telah menentukannya dari jauh hari dan telah merancangnya dari zaman purbakala? Sekarang Aku mewujudkannya, bahwa engkau membuat sunyi senyap kota-kota yang berkubu menjadi timbunan batu”.

· Yes 43:13 - “Juga seterusnya Aku tetap Dia, dan tidak ada yang dapat melepaskan dari tanganKu; Aku melakukannya, siapakah yang dapat mencegahnya?”.

· Ayub 42:1-2 - “(1) Maka jawab Ayub kepada TUHAN: (2) ‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal’”.

· Yes 46:10-11 - “(10) yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: KeputusanKu akan sampai, dan segala kehendakKu akan Kulaksanakan, (11) yang memanggil burung buas dari timur, dan orang yang melaksanakan putusanKu dari negeri yang jauh. Aku telah mengatakannya, maka Aku hendak melangsungkannya, Aku telah merencanakannya, maka Aku hendak melaksanakannya”.

b) Allah tidak merencanakan apa-apa tentang hal itu.

Ini juga tidak mungkin karena kalau Allah mempunyai Rencana / kehendak tentang hal-hal yang remeh / tidak berarti seperti jatuhnya burung pipit ke bumi atau rontoknya rambut kita (bdk. Mat 10:29-30), bagaimana mungkin tentang hal yang begitu besar dan penting, yang menyangkut kejatuhan dari ciptaanNya yang tertinggi, Ia tidak mempunyai Rencana?

c) Allah memang merencanakan / menetapkan kejatuhan Adam ke dalam dosa.

Inilah satu-satunya kemungkinan yang tertinggal, dan inilah satu-satunya kemungkinan yang benar, dan ini menunjukkan bahwa dosa sudah ada dalam Rencana Allah.

Jerome Zanchius: “That he fell in consequence of the Divine decree we prove thus: God was either willing that Adam should fall, or unwilling, or indifferent about it. If God was unwilling that Adam should transgress, how came it to pass that he did? ... Surely, If God had not willed the fall, He could, and no doubt would, have prevented it; but He did not prevent it: ergo, He willed it. And if he willed it, He certainly decreed it, for the decree of God is nothing else but the seal and ratification of His will. He does nothing but what He decreed, and He decreed nothing which He did not will, and both will and decree are absolutely eter­nal, though the execution of both be in time. The only way to evade the force of this reasoning is to say that ‘God was indifferent and unconcerned whether man stood or fell’. But in what a shameful, unwor­thy light does this represent the Deity! Is it possible for us to imagine that God could be an idle, careless spectator of one of the most important events that ever came to pass? Are not ‘the very hairs of our head are numbered’? Or does ‘a sparrow fall to the ground without our heavenly Father’? If, then, things the most trivial and worthless are subject to the appointment of His decree and the control of His providence, how much more is man, the masterpiece of this lower creation?” (= Bahwa ia (Adam) jatuh sebagai akibat dari ketetapan ilahi kami buktikan demikian: Allah itu atau menghendaki Adam jatuh, atau tidak menghendaki, atau acuh tak acuh / tak peduli tentang hal itu. Jika Allah tidak menghendaki Adam melanggar, bagaimana mungkin ia melanggar? ... Tentu saja, jika Allah tidak menghendaki kejatuhan itu, Ia bisa, dan tidak diragukan Ia akan mencegahnya; tetapi Ia tidak mencegahnya: jadi, Ia menghendakinya. Dan jika Ia menghendakinya, Ia pasti menetapkannya, karena ketetapan Allah tidak lain adalah meterai dan pengesahan kehendakNya. Ia tidak melakukan apapun kecuali apa yang telah Ia tetapkan, dan Ia tidak menetapkan apapun yang tidak Ia kehendaki, dan baik kehendak maupun ketetapan adalah kekal secara mutlak, sekalipun pelaksanaan keduanya ada dalam waktu. Satu-satunya cara untuk menghindarkan kekuatan dari pemikiran ini adalah dengan mengatakan bahwa ‘Allah bersikap acuh tak acuh dan tidak peduli apakah manusia itu jatuh atau tetap berdiri’. Tetapi alangkah memalukan dan tak berharganya terang seperti ini dalam menggambarkan Allah! Mungkinkah bagi kita untuk membayangkan bahwa Allah bisa menjadi penonton yang malas dan tak peduli terhadap salah satu peristiwa yang terpenting yang akan terjadi? Bukankah ‘rambut kepala kita dihitung’? Atau apakah ‘seekor burung pipit jatuh ke tanah tanpa Bapa surgawi kita’? Jika hal-hal yang paling remeh dan tak berharga tunduk pada penentuan ketetapanNya dan pada kontrol dari providensiaNya, betapa lebih lagi manusia, karya terbesar dari ciptaan yang lebih rendah ini?) - ‘The Doctrine of Absolute Predestination’, hal 88-89.

2) Tuhan kecewa?


Liauw berkata: ‘Dan fakta bahwa Tuhan sangat marah dan kecewa saat Adam dan Hawa makan buah itu, membuktikan bahwa Tuhan tidak menetapkan demikian’.

a) Dari mana anda menemukan dalam Alkitab bahwa Tuhan kecewa atas hal itu? Dan anda mengatakan bahwa itu adalah ‘fakta’?


Kecewa hanya bisa terjadi karena seseorang tadinya tidak tahu, dan sekarang baru tahu. Misalnya, saya bertemu seseorang yang saya kira baik, dan lalu saya jadikan rekan bisnis saya. Tahu-tahu semua uang saya ia makan, dan sekarang saya kecewa. Saya membaca tulisan seorang doktor kristen, dan saya kira tulisannya akan bermutu dan Alkitabiah. Ternyata, tulisannya konyol, bodoh, penuh dengan dusta dan fitnahan. Maka sekarang saya menjadi kecewa!


Jadi, dalam arti sebenarnya, bisakah Tuhan kecewa? Kalau Ia bisa kecewa, Ia tidak maha tahu, dan kalau Ia tidak maha tahu, Ia bukan Allah.

b) Kalau Tuhan tidak menetapkan demikian, lalu Ia menetapkan apa? Dari penjelasan saya di atas cuma ada 2 kemungkinan lain, yaitu Ia menetapkan Adam tidak jatuh, atau Ia tidak menetapkan apa-apa. Keduanya sudah saya buktikan salah!


Hanya seorang yang telah dicuci otak oleh Kalvinisme yang dapat menyimpulkan dari Kejadian pasal 2 dan 3, bahwa Allah telah menetapkan Adam untuk jatuh ke dalam dosa!


Tanggapan saya:

Bukan hanya otaknya, Liauw! Juga seluruh hati, jiwa / rohnya. Dicuci oleh darah Yesus, dikuduskan oleh Roh Kudus dengan menggunakan FirmanNya! Saya tidak tahu apakah orang Arminian seperti anda juga mengalami itu. Tetapi saya mengalaminya!


Disamping, kalau harus memilih antara ‘menjadi Calvinist yang dicuci otaknya’ dan ‘menjadi Arminian yang tidak punya otak’, maka saya memilih yang pertama!

Calvinist memang percaya bahwa Allah telah menetapkan Adam jatuh ke dalam dosa. Tetapi Calvinist mana yang mengatakan bahwa kami menyimpulkan itu dari Kej 2 dan 3? Lagi-lagi tuduhan bersifat memfitnah, yang saya kira merupakan kebiasaan / tradisi dari orang-orang Arminian pada umumnya!

Alkitab penuh dengan bukti implisit akan kehendak bebas manusia. Namun Alkitab juga mengandung pernyataan-pernyataan langsung tentang kehendak manusia tersebut. Ada banyak ayat tentang “kehendak manusia.” Yonatan pernah berkata kepada Daud demikian, “Apapun kehendak hatimu, aku akan melakukannya bagimu” (1 Sam. 20:4).


Tanggapan saya:

Tentu manusia punya kehendak, dan ia bertindak sesuai kehendaknya. Tetapi yang dibicarakan di sini apakah kehendak itu sepenuhnya muncul dari dirinya sendiri atau karena ketetapan dan pengaturan Tuhan?


Tuan dalam perumpamaan Yesus membuat pernyataan yang sangat menarik: “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku?” (Mat. 20:15).


Tanggapan saya:

Penggunaan ayat ini sangat bodoh, Liauw! Mengapa? Karena ‘Tuan’ itu (dalam Mat 20:15) menunjuk kepada Tuhan sendiri! Jelas Ia memang bebas, karena Ia adalah Allah!


Ayat-ayat ini membuktikan bahwa keputusan manusia mengalir dari hatinya sendiri bukan ditentukan oleh pribadi lain. Kalvinis ingin agar kita percaya bahwa telah terjadi suatu sandiwara kosmik yang besar, tanpa disadari oleh para pemainnya. Manusia mengira ia menentukan keputusan-keputusannya sendiri, dan Alkitab pun mengacu kepada kehendak hati manusia, tetapi suatu hari nanti akan nyata bahwa ternyata kehendak hati itu telah ditentukan Tuhan! Satu-satunya yang kurang dari skenario ini adalah dukungan Alkitab.


Tanggapan saya:

Kalau dibaca seluruh tulisan Liauw sampai saat ini dan tanggapan saya sampai saat ini, yang mana yang lebih banyak menggunakan Alkitab? Liauw hanya menggunakan logika, saya yang menggunakan Alkitab. Bukan hanya dalam jawaban terhadap tulisan Liauw ini, tetapi juga dalam buku ‘Providence of God’ saya, yang jelas sudah dibaca oleh Liauw (karena ia bisa mengutip sangat banyak dari sana). Buku saya itu menggunakan sangat banyak ayat, dan Liauw mengatakan ‘Satu-satunya yang kurang dari skenario ini adalah dukungan Alkitab’. Liauw, anda seorang pendusta! Bertobatlah, dan percayalah kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat anda, atau anda akan masuk neraka!


Anda tidak akan menemukan satu petunjuk pun dari Alkitab bahwa Allah telah menentukan segala keputusan, perasaan, dan tindakan manusia.


Tanggapan saya:

Saya sudah memberikan banyak ayat, Liauw! Anda terlalu bodoh untuk mengerti, atau memang mau mendustai pembaca?

Saya beri contoh lagi.


· Kis 13:48 - “Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya”.

Orang-orang itu memutuskan untuk menjadi percaya. Mengapa? Karena Allah yang telah menentukan mereka untuk hidup kekal bekerja dalam diri mereka sehingga mereka menjadi percaya!

· Luk 22:21-22 - “(21) Tetapi, lihat, tangan orang yang menyerahkan Aku, ada bersama dengan Aku di meja ini. (22) Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!’”.

Yudas Iskariot berkhianat. Mengapa? Karena Allah telah menetapkan hal itu.

· Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu.

Banyak orang itu melawan Yesus. Mengapa? Dari sudut manusia itu keputusan mereka sendiri, tetapi Kis 4:28nya menunjukkan bahwa dari sudut Tuhan, mereka melakukan semua itu karena itu ketetapan Tuhan.

· 1Sam 2:22-25 - “(22) Eli telah sangat tua. Apabila didengarnya segala sesuatu yang dilakukan anak-anaknya terhadap semua orang Israel dan bahwa mereka itu tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan, (23) berkatalah ia kepada mereka: ‘Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari segenap bangsa ini tentang perbuatan-perbuatanmu yang jahat itu? (24) Janganlah begitu, anak-anakku. Bukan kabar baik yang kudengar itu bahwa kamu menyebabkan umat TUHAN melakukan pelanggaran. (25) Jika seseorang berdosa terhadap seorang yang lain, maka Allah yang akan mengadili; tetapi jika seseorang berdosa terhadap TUHAN, siapakah yang menjadi perantara baginya?’ Tetapi tidaklah didengarkan mereka perkataan ayahnya itu, sebab TUHAN hendak mematikan mereka.


Eli menasehati anak-anaknya yang brengsek. Mereka tidak mempedulikannya. Dari sudut pandang manusia, itu terjadi semata-mata karena keputusan mereka. Tetapi Ay 25b-nya menunjukkan bahwa dari sudut pandang Allah, Allah yang mengatur hal itu, karena Ia hendak membunuh / menghukum mati mereka.


Sebaliknya, dalam kasus-kasus tertentu, justru Allah yang mengikuti kehendak manusia. Demikianlah pemazmur mengumandangkan kebenaran ini: “Ia melakukan kehendak orang-orang yang takut akan Dia, mendengarkan teriak mereka minta tolong dan menyelamatkan mereka” (Maz. 145:19).


Tanggapan saya:

Konyol dan bodoh sekali, Liauw! Ayat ini bicara tentang orang-orang yang berdoa, yang doanya dikabulkan oleh Allah. Dan ini anda jadikan bukti bahwa ‘Allah yang mengikuti kehendak manusia’? Salah, Liauw, karena doa kita hanya dikabulkan oleh Allah kalau doa itu sesuai dengan kehendakNya.


1Yoh 5:14 - “Dan inilah keberanian percaya kita kepadaNya, yaitu bahwa Ia mengabulkan doa kita, jikalau kita meminta sesuatu kepadaNya menurut kehendakNya.


Karena itu, Yesus mengajar kita berdoa: “datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga” (Mat 6:10). Dan Yesus sendiri mempraktekkannya dalam Mat 26:39,42 - “(39) Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kataNya: ‘Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.’ ... (42) Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kataNya: ‘Ya BapaKu jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendakMu!’”.


Jadi, siapa yang menuruti kehendak siapa, Liauw?


Apakah kita harus percaya, sebagaimana pengajaran Kalvinis, bahwa Allah menentukan dulu kehendak orang-orang itu, lalu membiarkan orang-orang itu merasa bahwa mereka berkehendak dari diri mereka sendiri, dan lalu menyatakan bahwa Dia mengikuti kehendak mereka? Saya tidak percaya bahwa Allah menipu kita dengan sandiwara kosmik seperti itu!


Tanggapan saya:

Anda bukan ditipu oleh Allah, tetapi oleh pengajaran / penafsiran Arminian yang salah! Anda menipu diri anda sendiri, dan sekarang malah menuduh Allah? Lagi-lagi, Liauw, bertobatlah, dan percayalah kepada Yesus Kristus!


Itu bertentangan dengan kesaksian Alkitab!


Tanggapan saya:

Kesaksian Alkitab yang mana? Dari awal anda hampir tidak menggunakan ayat, dan hanya menggunakan logika. Dan semuanya sudah saya patahkan!


Kalau Allah menentukan segala sesuatu, maka adalah olok-olok bagi Allah untuk menyuruh manusia memilih. Tuhan, melalui Yosua, pernah menantang orang Israel: “pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yos. 24:15). Bukankah ini semua suatu sandiwara besar jika ternyata Tuhan telah menentukan siapa yang akan memilih Dia, dan siapa yang memilih ilah lain? Bukankah olok-olok jika kemudian Tuhan memarahi mereka yang melaksanakan ketetapanNya sendiri untuk memilih ilah lain? Bukankah bertentangan dengan keadilan Tuhan jika kemudian Tuhan menghukum orang-orang yang tidak dapat berbuat lain daripada rencana rahasiaNya? O, teman-temanku Kalvinis, tidak dapatkah engkau melihat, betapa Kalvinisme menjatuhkan karakter Tuhan?


Tanggapan saya:

Lagi-lagi Liauw menggunakan ayat yang disertai penafsiran berdasarkan logika bodohnya, yang akhirnya menabrak ayat-ayat Alkitab. Memang Tuhan menyuruh mereka memilih, tetapi Tuhan juga sudah menentukan mereka akan memilih apa. Ini terlihat karena pada jaman Musa sudah ada nubuat bahwa mereka akan menyembah berhala kalau mereka sudah tiba di Kanaan.


Ul 32 (nyanyian Musa), pada ayat ke 15-18 berbunyi sebagai berikut: “(15) Lalu menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, - bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun - dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya. (16) Mereka membangkitkan cemburuNya dengan allah asing, mereka menimbulkan sakit hatiNya dengan dewa kekejian, (17) mereka mempersembahkan korban kepada roh-roh jahat yang bukan Allah, kepada allah yang tidak mereka kenal, allah baru yang belum lama timbul, yang kepadanya nenek moyangmu tidak gentar. (18) Gunung batu yang memperanakkan engkau, telah kaulalaikan, dan telah kaulupakan Allah yang melahirkan engkau”.


Saya tahu apa yang kira-kira akan diberikan sebagai tanggapan tentang hal ini oleh orang-orang Arminian seperti Liauw ini. mereka akan mengatakan: ‘Itu kan cuma nubuat. Jadi, cuma menunjukkan bahwa Allah tahu hal itu akan terjadi, tetapi bukannya menentukan hal itu!’.


Tidak, kalau ada nubuat, itu karena Allah terlebih dulu sudah menentukan hal itu. Saya akan membuktikannya dari ayat-ayat Alkitab. Bagian di bawah ini lagi-lagi saya kutip dari buku ‘Providence of God’ saya.

Kalau Tuhan menubuatkan tentang akan terjadinya suatu hal tertentu, itu disebabkan karena Ia sudah lebih dulu menentukan terjadinya hal itu.

Ini terlihat dari:

¨ perbandingan Mat 26:24 dengan Luk 22:22.

Mat 26:24 - “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan”.

Luk 22:22 - “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan”.

Kedua ayat ini paralel dan sama-sama berbicara tentang pengkhianatan Yudas, tetapi kalau Mat 26:24 mengatakan bahwa hal itu ‘sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia’, yang hanya menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena sudah dinubuatkan, maka Luk 22:22 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘seperti yang telah ditetapkan’, yang menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena sudah ditetapkan oleh Allah dalam kekekalan.

¨ perbandingan Kis 2:23 Kis 3:18 dan Kis 4:27-28.

Kis 2:23 - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka”.

Kis 3:18 - “Tetapi dengan jalan demikian Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa Mesias yang diutusNya harus menderita”.

Kis 4:27-28 - “(27) Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dan suku-suku bangsa Israel melawan Yesus, HambaMu yang kudus, yang Engkau urapi, (28) untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu”.

Semua ayat di atas ini berbicara tentang penderitaan / penyaliban yang dialami oleh Kristus. Tetapi kalau Kis 3:18 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘menggenapi apa yang telah difirmankannya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya’, yang hanya menunjuk-kan bahwa hal itu terjadi karena sudah dinubuatkan, maka Kis 2:23 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘menurut maksud dan rencanaNya’ dan Kis 4:28 mengatakan bahwa hal itu terjadi ‘untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendakMu’, yang jelas menunjukkan bahwa hal itu terjadi karena sudah ditentukan oleh Allah dalam kekekalan.

¨ Yes 44:26a - “Akulah yang menguatkan perkataan hamba-hambaKu dan melaksanakan keputusan-keputusan yang diberitakan utusan-utusanKu”.

Perhatikan bahwa apa yang diberitakan (dinubuatkan) oleh utusan-utusan Tuhan itu adalah keputusan dari Tuhan.

¨ Yes 46:10-11 - “(10) yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: KeputusanKu akan sampai, dan segala kehendakKu akan Kulaksanakan, (11) yang memanggil burung buas dari timur, dan orang yang melaksanakan putusanKu dari negeri yang jauh. Aku telah mengatakannya, maka Aku hendak melangsungkannya, Aku telah merencanakannya, maka Aku hendak melaksanakannya”.

Perhatikan bahwa dalam Yes 46:10a dikatakan bahwa Tuhan ‘memberitahukan’, tetapi dalam Yes 46:10b-11a dikatakan bahwa itu adalah ‘keputusanKu’, ‘kehendakKu’, dan ‘putusanKu’. Selanjutnya Yes 46:11b terdiri dari 2 kalimat paralel yang sebetulnya memaksudkan hal yang sama, tetapi kalimat pertama menggunakan istilah ‘mengatakannya’, yang hanya menunjukkan nubuat Allah, sedangkan kalimat kedua menggunakan istilah ‘merencanakannya’, yang jelas menunjuk pada rencana / ketetapan Allah.

¨ Yer 4:28 - “Karena hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi gelap, sebab Aku telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu”.

Ayat ini baru mengatakan ‘Aku telah mengatakannya’ dan lalu langsung menyambungnya dengan ‘Aku telah merancangnya’. Ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan mengatakan sesuatu kepada nabi-nabi (yang lalu dinubuatkan oleh para nabi itu), karena Tuhan telah merancang / merencanakannya.

¨ Amos 3:7 - “Sungguh, Tuhan Allah tidak berbuat sesuatu tanpa menyatakan keputusanNya kepada hamba-hambaNya, para nabi”.

Ayat ini menunjukkan secara jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Tuhan kepada pada nabi (dan lalu dinubuatkan oleh nabi-nabi itu) adalah keputusanNya [NIV: ‘his plan’ (= rencanaNya)].

¨ Rat 2:17a - “TUHAN telah menjalankan yang dirancangkanNya, Ia melaksanakan yang difirmankanNya”.

Bagian akhir dari ayat ini mengatakan bahwa Tuhan melaksanakan yang difirmankanNya / dinubuatkanNya; tetapi bagian awal dari ayat ini mengatakan bahwa Tuhan menjalankan yang dirancangkanNya. Jelas bahwa apa yang dinubuatkan adalah apa yang dahulu telah dirancangkanNya.

¨ Rat 3:37 - “Siapa berfirman, maka semuanya jadi? Bukankah Tuhan yang memerintahkannya?”.

NIV: ‘Who can speak and have it happen if the Lord has not decreed it’ (= Siapa yang bisa berbicara dan membuatnya terjadi jika Tuhan tidak menetapkannya?).

Ini jelas menunjukkan bahwa tidak ada nabi atau siapapun juga yang bisa menubuatkan apapun kecuali Tuhan lebih dulu menetapkan hal itu.

¨ Yes 28:22b - “sebab kudengar tentang kebinasaan yang sudah pasti yang datang dari Tuhan ALLAH semesta alam atas seluruh negeri itu”.

NIV: ‘The Lord, the LORD Almighty, has told me of the destruction decreed against the whole land’ (= Tuhan, TUHAN yang mahakuasa, telah memberitahu aku tentang kehancuran yang telah ditetapkan terhadap seluruh negeri itu).

Ini jelas menunjukkan bahwa kehancuran yang oleh Tuhan diberitahukan kepada Yesaya, dan lalu dinubuatkan oleh Yesaya, merupakan ketetapan Allah (decree of God)

Jadi, kalau dalam Kitab Suci dinubuatkan sesuatu, itu tidak sekedar berarti bahwa Allah hanya tahu lebih dulu bahwa hal itu akan terjadi (foreknowledge) dan lalu memberitahukan hal itu kepada manusia, tetapi itu berarti bahwa Allah sudah menetapkan lebih dulu akan hal itu (foreordination) dan lalu memberitahukan ketentuan / rencanaNya itu kepada manusia! Dengan demikian jelas bahwa ayat-ayat diatas yang seakan-akan hanya memberitahukan akan adanya dosa-dosa tertentu, sebetulnya menunjukkan bahwa dosa-dosa tertentu itu sudah ditetapkan dan karenanya harus terjadi!

Lihatlah betapa banyak ayat-ayat Alkitab yang saya gunakan! O orang-orang Arminian, khususnya Liauw, tidak bisakah engkau melihat bahwa dengan menyerang Calvinisme, engkau sudah menyerang Alkitab / Firman Tuhan sendiri? Dan pada waktu engkau menolak Calvinisme, engkau sudah menolak Alkitab / Firman Tuhan sendiri? Dan pada waktu memfitnah Calvinisme, engkau sudah memfitnah Alkitab / Firman Tuhan sendiri?

C. Kemahatahuan yang Benar-Benar Mahatahu

Kalvinis menganggap bahwa kemahatahuan Allah adalah benteng yang kuat bagi doktrinnya. Mereka mengumandangkan bahwa jika seseorang menerima kemahatahuan Allah, maka ia harus juga percaya bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Boettner bahkan berkata: “Keberatan Arminian terhadap penentuan lebih dulu mengandung kekuatan yang sama terhadap pengetahuan lebih dulu dari Allah. Apa yang Allah ketahui lebih dulu pastilah sama tertentunya dan pastinya seperti apa yang ditentukan lebih dulu.”



Tanggapan saya:

Lagi-lagi mengutip dari buku saya, tetapi anda melakukannya seakan-akan anda mengutip langsung dari Boettner. Dan anda mengutip sebagian laginya. Saya berikan kutipan penuh dari buku saya itu.

Loraine Boettner: “The Arminian objection against foreordination bears with equal force against the foreknowledge of God. What God foreknows must, in the very nature of the case, be as fixed and certain as what is foreordained; and if one is inconsistent with the free agency of man, the other is also. Foreordination renders the events certain, while foreknowledge presupposes that they are certain” (= Keberatan Arminian terhadap penentuan lebih dulu mengandung / menghasilkan kekuatan yang sama terhadap pengetahuan lebih dulu dari Allah. Apa yang Allah ketahui lebih dulu pastilah sama tertentunya dan pastinya seperti apa yang ditentukan lebih dulu; dan jika yang satu tidak konsisten dengan kebebasan manusia, yang lain juga demikian. Penentuan lebih dulu membuat peristiwa-peristiwa pasti / tertentu, sedangkan pengetahuan lebih dulu mensyaratkan bahwa mereka itu pasti / tertentu) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 42.

Kita sudah melihat di bagian sebelumnya, bagaimana Kalvinis mengkaitkan kemahatahuan Allah dengan doktrinnya. Berikut ini saya kutip lagi penjelasan dari bagian sebelumnya:

Walaupun Non-Kalvinis mempercayai Allah mahatahu, Kalvinis memiliki pengertian yang lain tentang kemahatahuan. Kalvinis percaya bahwa jika Allah mahatahu, berarti Allah menentukan segala sesuatu. Logika Kalvinis berjalan seperti ini:

“Bayangkan suatu saat (minus tak terhingga) dimana alam semesta, malaikat, manusia, dsb belum diciptakan. Yang ada hanyalah Allah sendiri. Ini adalah sesuatu yang alkitabiah, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (Kej 1 Yoh 1:1-3). Pada saat itu, karena Allah itu mahatahu (1Sam 2:3 – “Karena TUHAN itu Allah yang mahatahu”), maka Ia sudah mengetahui segala sesuatu (dalam arti kata yang mutlak) yang akan terjadi, termasuk dosa. Semua yang Ia tahu akan terjadi itu, pasti terjadi persis seperti yang Ia ketahui. Dengan kata lain, semua itu sudah tertentu pada saat itu. Kalau sudah tertentu, pasti ada yang menentukan (karena tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri). Karena pada saat itu hanya ada Allah sendiri, maka jelas bahwa Ialah yang menentukan semua itu” (Budi Asali).

Saya akan memperjelas lagi dengan mengambil suatu contoh kasus imajiner, yaitu seorang bernama Budi yang suatu hari tertentu memilih untuk memakai baju merah. Allah sudah mengetahui bahwa Budi akan memakai baju merah pada hari itu. Pengetahuan Allah akan hal ini sudah sejak kekekalan lampau. Dan, pengetahuan Allah tentu tidak dapat salah atau gagal, karena Ia Allah dan Ia Mahatahu. Jadi, menurut filosofi Kalvinis, Budi tidak memiliki pilihan lain. Kalau Budi pada hari itu memilih baju biru, maka pengetahuan Allah menjadi salah, dan ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, walaupun tampaknya seolah-olah Budi menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih baju merah dari berbagai pilihan berwarna-warni baju di lemari, menurut Kalvinis sebenarnya Budi sudah ditetapkan untuk memilih baju merah, dan bahwa Budi tidak bisa memilih baju warna lain karena Allah sudah tahu dia akan pilih merah, dan pengetahuan Allah tidak bisa salah.

Lebih lanjut lagi, Kalvinis mengajarkan bahwa Allah mahatahu karena Allah telah menetapkan segala sesuatu! Kita sudah mengutip Shedd yang berkata, “Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”

Di sinilah letak kesalahan dari Kalvinisme. Mereka membuat suatu asumsi filosofis bahwa:

1. Allah mengetahui lebih dahulu sama dengan Allah menentukan lebih dahulu

2. Pengetahuan Allah menyebabkan hal yang diketahui untuk terjadi

Padahal, tidak ada dukungan Alkitab, dukungan logis, ataupun dukungan praktis untuk asumsi tersebut.
Dalam dunia nyata, bukanlah pengetahuan seseorang akan peristiwa yang membuat suatu peristiwa terjadi. Adalah peristiwa yang menimbulkan pengetahuan. Untuk menyederhanakan, kita mulai dengan contoh pengetahuan manusia pada umumnya (pasca-kejadian / post-knowledge). Misalnya kemarin terjadi gempa bumi di Surabaya. Saya yang di Jakarta, setelah membaca koran, menjadi tahu akan peristiwa tersebut. Tentu tidak ada seorangpun yang cukup gila untuk menegaskan bahwa karena saya tahu akan peristiwa tersebut, maka sayalah yang telah menyebabkan/menentukan terjadinya gempa bumi.

Nah, hal yang sama dapat kita lihat dalam hal pengetahuan awal Allah (pra-kejadian / fore-knowledge). Memang ada perbedaan dalam hal waktu mengetahui. Allah mengetahui sebelumnya, sedangkan manusia mengetahui setelahnya. Tetapi, kita masih berurusan dengan hal yang sama, yaitu pengetahuan! Dan bagaimanakah hubungan “pengetahuan” dengan “peristiwa”? Sebagaimana dalam post-knowledge, “peristiwa” menghasilkan “pengetahuan” dan bukan sebaliknya, demikian juga dalam fore-knowledge, “peristiwa” menghasilkan “pengetahuan” dan bukan sebaliknya. Perbedaannya hanyalah dari sudut waktu. Dalam postknowledge, pengetahuan terjadi setelah peristiwa, dalam foreknowledge, pengetahuan terjadi sebelum peristiwa. Tetapi, dalam kedua-duanya, “pengetahuan” tidak menyebabkan “peristiwa,” melainkan sebaliknya.


Tanggapan saya:

Anda luar biasa tololnya, Liauw. Tak heran anda tak mengerti apa yang saya katakan. Coba perhatikan dua point di bawah ini:

1) Dari mana anda mengatakan ‘Sebagaimana dalam post-knowledge, “peristiwa” menghasilkan “pengetahuan” dan bukan sebaliknya, demikian juga dalam fore-knowledge, “peristiwa” menghasilkan “pengetahuan” dan bukan sebaliknya.’??? Kalau dalam fore-knowledge ‘peristiwa’ menghasilkan ‘pengetahuan’, bagaimana itu bisa disebut ‘fore-knowledge’? Luar biasa bodohnya, Liauw! ‘Peristiwa’ menghasilkan ‘pengetahuan’, hanya terjadi dalam post-knowledge!

2) Kata ‘hanyalah’ dalam kata-kata anda di atas (yang saya beri garis bawah), sebetulnya membuat perbedaan antara langit dengan bumi antara contoh anda (tentang gempa bumi), dan argumentasi saya.

Sekarang saya beri contoh lain. Ada orang bernama Steven, yang membuat sebuah tulisan yang sangat tolol. Sebelum membaca tulisan itu, saya tidak tahu kalau Steven itu tolol, mengingat dia punya gelar doktor! Tetapi setelah membaca tulisannya, saya menjadi tahu bahwa Steven itu sangat tolol, sekalipun mempunyai gelar doktor. Dalam kasus ini, seluruhnya tidak menunjukkan bahwa saya maha tahu, karena saya baru tahu hal itu setelah membaca tulisannya. Dan kalau hal ini tidak menunjukkan kemahatahuan saya, maka tentu saja juga tidak menunjukkan bahwa saya menentukan hal itu.

Tetapi sangat berbeda kalau kita melihat bahwa pada minus tak terhingga, sebelum ada apapun dan siapapun kecuali Allah, Allah sudah tahu bahwa pada abad ke 20 dan 21 akan ada seorang yang bernama Steven, dan sekalipun orang itu disekolahkan sampai mempunyai gelar doktor, tetapi sebetulnya ia ber IQ rendah. Apa yang Allah ketahui ini, tidak mungkin tidak terjadi. Itu berarti bahwa apa yang Allah ketahui itu sebetulnya sudah tertentu (saya belum mengatakan ‘ditentukan’ tetapi ‘tertentu’). Sekarang bagaimana mungkin gelar doktor dan ketololan Steven itu bisa sudah tertentu pada minus tak terhingga? Saya tantang seadanya orang Arminian, atau non Reformed, atau orang-orang yang mengaku Reformed tetapi tak mempercayai doktrin penentuan segala sesuatu ini, untuk menjawab pertanyaan yang saya garis-bawahi ini! Menurut saya, satu-satunya jawaban adalah: Allah sudah menentukannya. Kalau anda tak mau terima jawaban itu, coba berikan jawaban alternatif / lain! Jangan lari dari argumentasi ini, Liauw. Jawab pertanyaan ini: bagaimana mungkin pada minus tak terhingga, pada saat hanya ada Allah sendiri, segala sesuatu, termasuk gelar doktor dan ketololan Steven, sudah tertentu?

Tetapi bagaimanakah “peristiwa” dapat menyebabkan “pengetahuan” yang sudah ada sebelum peristiwa itu? Bagi manusia memang tidak mungkin, tetapi Allah berada di luar waktu. Istilah “fore” dan “post” knowledge adalah demi memudahkan manusia untuk mengerti, karena manusia berada dalam waktu. Allah berada di luar waktu. Allah melihat garis waktu bagaikan seseorang yang berada di tempat tinggi memperhatikan banyak kendaraan di jalanan yang panjang. Sedangkan manusia yang berada di dalam waktu, bagaikan salah satu mobil di jalan tersebut, yang sedang “menjalani waktu.” Kapanpun sebuah peristiwa terjadi dalam garis waktu, Allah tahu akan peristiwa itu, bahkan di luar dari waktu.
Jadi, urutan logis (bukan urutan kronologis) yang terjadi adalah:

1. Allah memutuskan untuk memberikan kehendak bebas pada manusia (di luar waktu)

2. Allah menempatkan manusia dalam garis waktu (dalam waktu)

3. Manusia memilih dengan kehendak bebasnya (dalam waktu)

4. Allah tahu pilihan manusia tersebut (di luar waktu)


Tanggapan saya:

1) Bahwa Allah ada di atas (saya tidak menggunakan istilah ‘di luar’ tetapi ‘di atas’) waktu, juga menjadi argumentasi saya bahwa Allah menentukan sesuatu. Karena Allah ada di atas waktu, maka bagi Dia semua hal yang akan datangpun sudah ada / sudah terjadi. Jadi, bagaimana mungkin hal-hal itu tidak tertentu? Dan kalau tertentu, siapa yang menentukan, selain Dia sendiri? Jadi, Liauw berusaha untuk lari dari argumentasi saya yang menggunakan kemahatahuan Allah, tetapi itu menyebabkan ia jatuh dalam argumentasi saya tentang Allah yang ada di atas waktu.

2) Coba perhatikan kata-kata Liauw di atas ini. Apa maksudnya dengan urut-urutan logis, tetapi bukan khronologis? Terus terang saya tak bisa membedakan omong kosong itu. Coba perhatikan bagian kata-kata Liauw yang saya beri garis bawah tunggal dan yang saya beri garis bawah ganda! Pada bagian yang saya beri garis bawah ganda, ia berkata itu bukan urutan khronologis. Tetapi pada bagian yang saya beri garis bawah tunggal, ia mengatakan ‘Tetapi bagaimanakah “peristiwa” dapat menyebabkan “pengetahuan” yang sudah ada sebelum peristiwa itu?’. Kalau ‘peristiwa’ itu menyebabkan ‘pengetahuan’, maka sudah pasti ‘peristiwa’ itu secara khronologis terjadi lebih dulu dari ‘pengetahuan’ itu. Jadi, kata-kata Liauw ini saling bertentangan sendiri!

3) Antara point ke 3 dan ke 4 yang mana yang secara khronologis terjadi lebih dulu? Kalau point ke 3 terjadi lebih dulu, adalah lucu / tak masuk akal dan salah, untuk mengatakan bahwa manusia memilih dulu, baru Allah tahu hal itu. Ini akan menyebabkan kita harus mempercayai bahwa Allah tidak maha tahu! Tetapi kalau dikatakan bahwa point ke 4 terjadi dulu, maka ini mendukung argumentasi saya! Allah tahu pilihan manusia, dan karena pengetahuan Allah itu tidak mungkin salah, manusia itu pasti akan bertindak sesuai dengan pengetahuan Allah itu. Itu berarti tindakan manusia itu sudah tertentu. Dan kalau sudah tertentu, lalu siapa yang menentukannya?

Kita lihat bahwa fakta Allah mengetahui suatu tindakan manusia, bukan berarti Allah menentukan tindakan tersebut. Manusialah yang menentukan tindakannya, dan Allah tahu akan tindakan itu. Foreknowledge Allah dapat saya ilustrasikan dengan rekaman video. Misalnya saya merekam sebuah pertandingan sepakbola. Lalu saya mempertunjukkan rekaman itu kepada teman saya yang tidak sempat menonton. Bagi dia, seolah-olah hasil rekaman saya itu terjadi “live” karena dia belum tahu apa yang terjadi. Bagi saya, seolah-olah saya punya “foreknowledge” akan pertandingan itu. Kalau teman saya tidak tahu bahwa itu adalah rekaman (menyangka sedang menonton “live”), maka dia akan heran bahwa saya bisa mengetahui segala sesuatu dengan sempurna. Saya bisa menceritakan alur permainan, keputusan wasit, gol-gol yang tercipta pada menit yang tepat, cidera yang terjadi, dan lain sebagainya. Tetapi, setinggi apapun kekaguman dia pada kehebatan pengetauan saya, tidak mungkin dia berpendapat bahwa “pengetahuan” sayalah yang menyebabkan semuanya terjadi seperti yang saya katakan. Juga tidak ada orang waras yang akan mengatakan bahwa saya tahu apa yang terjadi karena saya telah menentukan semua itu. Faktanya adalah, walaupun saya sudah “tahu” apa yang terjadi, tetapi “peristiwa” itulah yang membuat saya tahu, bukan “pengetahuan” saya yang menimbulkan “peristiwa.”


Tanggapan saya:

1) Anda ‘mencuri’ ilustrasi saya, tetapi anda terapkan secara sangat tolol, Liauw! Tak heran semua jadi kacau.

2) Anda berkata ‘Kita lihat bahwa fakta Allah mengetahui suatu tindakan manusia, bukan berarti Allah menentukan tindakan tersebut. Manusialah yang menentukan tindakannya, dan Allah tahu akan tindakan itu.’. Coba pikir baik-baik, Liauw! Kalau manusia bertindak, baru Allahnya tahu, apakah Allahnya maha tahu? Manusia dicipta pada hari ke 6, baru ia bisa bertindak. Jadi, pada hari ke 2 atau ke 3, apakah Allah tahu apa yang AKAN dilakukan oleh manusia yang AKAN Ia ciptakan itu? Kalau anda mengatakan Allah tidak tahu, itu berarti Allah tidak maha tahu. Kalau anda mengatakan Allah tahu, maka akan bertentangan dengan kata-kata anda yang saya kutip ulang di sini!

3) Sekarang perhatikan kata-kata ‘Bagi saya, seolah-olah saya punya “foreknowledge” akan pertandingan itu’. Tidakkah anda bisa melihat bahwa ini merupakan kata-kata konyol? Kata ‘seolah-olah’ sudah menunjukkan bahwa faktanya bukan itu. Dan anda jadikan ini suatu ilustrasi dari apa yang sungguh-sungguh adalah fore-knowledge! Dalam kasus yang anda jadikan ilustrasi ini, memang teman anda itu sangat tidak waras, kalau dari apa yang hanya seolah-olah merupakan fore-knowledge, ia lalu menganggap bahwa anda yang menentukan semua itu. Tetapi dari ilustrasi saya, dimana saya mengatakan bahwa Allah betul-betul / sungguh-sungguh mempunyai fore-knowledge, dan itu menunjukkan segala sesuatu tertentu, dan ini menunjukkan Allah menentukan, maka adalah sangat tidak waras, atau sangat tolol dan tidak berlogika, kalau anda tetap tidak mau menerima bahwa Allah yang menentukan semua itu!



Dalam kasus Allah, pengetahuanNya adalah sempurna dan tidak mungkin salah. Oleh karena itu, apapun yang Allah ketahui lebih dahulu, PASTI terjadi. Saya mengaminkan pernyataan ini! Tetapi tidak berarti Allah telah menentukannya. Walaupun segala sesuatu sudah PASTI, segala sesuatu TIDAKLAH HARUS. Kalau segala sesuatu itu HARUS, berarti manusia tidak punya pilihan. Ini adalah konsep Kalvinis, bahwa Allah mengetahui dengan cara menentukan. Tetapi Allah telah memberi kebebasan bagi manusia. Manusia itu memilih, dan Allah tahu akan pilihan itu. Bukan Allah yang memilih bagi dia, tetapi Allah tahu pilihan dia.


Tanggapan saya:

Terus terang, saya tak bisa mengerti kata-kata tolol yang saya garis-bawahi ini. Saya kutip ulang bagian yang tolol ini. Anda mengatakan ‘Walaupun segala sesuatu sudah PASTI, segala sesuatu TIDAKLAH HARUS’. Anda memotong / menghilangkan satu kata yang seandainya tidak dipotong / dihilangkan, akan membuat semuanya jadi jelas. Kata itu adalah kata ‘terjadi’. Di bagian atas anda menggunakan kata ‘terjadi’ itu (perhatikan bagian yang saya beri warna merah). Tetapi di kalimat selanjutnya anda membuang kata ‘terjadi’ itu. Sekarang kalau kata ‘terjadi’ itu saya tambahkan / kembalikan, maka kata-kata anda menjadi sebagai berikut: ‘Walaupun segala sesuatu sudah PASTI terjadi, segala sesuatu TIDAKLAH HARUS terjadi’. Coba pikir dengan logika anda yang sedikit itu (if you have any), masuk akalkah kalimat itu? Memang kata ‘harus’ berbeda artinya dengan ‘pasti’. Tetapi ‘pasti terjadi’ adalah sama dengan ‘harus terjadi’!

Sekarang saya lanjutkan dengan membahas bagian yang saya beri garis bawah ganda. Anda mengatakan ‘Kalau segala sesuatu itu HARUS, berarti manusia tidak punya pilihan. Ini adalah konsep Kalvinis’. Saya melakukan hal yang sama dengan yang saya lakukan di atas. Saya kembalikan kata ‘terjadi’ yang anda buang itu, maka artinya akan jadi jelas. Kalau kata ‘terjadi’ itu dikembalikan, maka kata-kata anda akan menjadi sebagai berikut: ‘Kalau segala sesuatu itu HARUS terjadi, berarti manusia tidak punya pilihan. Ini adalah konsep Kalvinis’. Saya setuju, Liauw! Amin. Hanya ada sedikit catatan, yaitu bahwa kata-kata ‘tidak punya pilihan’ bukan diartikan bahwa manusia itu tidak bebas. Ia pasti melakukan apa yang Allah ketahui itu, tetapi ia tetap melakukan dengan kemauannya sendiri. Jadi saya tetap menggunakan free will dalam arti dari Calvinisme, bukan dalam arti dalam Arminianisme!


Sebagai ilustrasi, saya ambil contoh lagi tokoh Budi yang memilih warna baju. Dalam konsep Kalvinis, Allah menentukan Budi untuk memilih baju merah. Ia tidak punya pilihan yang riil sebenarnya. Dari sudut pra-pengetahuan Allah, tindakan Budi sudah PASTI sekaligus HARUS.


Tanggapan saya:

Lagi-lagi anda membuang kata ‘terjadi’ itu. Kalau kata itu dikembalikan maka kata-kata anda akan menjadi: ‘Dari sudut pra-pengetahuan Allah, tindakan Budi sudah PASTI terjadi sekaligus HARUS terjadi’. Coba pikir, kata-kata ini benar atau tidak!


Tetapi dalam konsep Alkitabiah, Tuhan tidak menentukan bagi Budi. Budi benar-benar punya pilihan, apakah merah atau biru. Karena Budi memilih Merah, Allah tahu akan hal itu (di luar waktu). Sehingga, sebelum Budi memilih pun, dari sudut pra-pengetahuan Allah, sudah PASTI dia memilih merah. Tetapi Budi TIDAK HARUS memilih merah. Kalau Budi memilih biru, maka pengetahuan Allah menjadi “Budi akan memilih biru.” Sekali lagi, maka sejak kekal sudah PASTI Budi memilih biru, walaupun ia TIDAK HARUS memilih biru. Jadi kita lihat, “peristiwa” pemilihan oleh Budi, menyebabkan “pengetahuan” Allah akan pilihan Budi, walaupun pengetahuan (di luar waktu) itu sebelum peristiwa (dalam waktu).


Tanggapan saya:

Perhatikan kata ‘menjadi’ yang saya beri garis bawah itu! Jadi, pra-pengetahuan Allah (yang anda sebut pengetahuan Allah di luar waktu) itu berubah-ubah sesuai pemilihan dari Budi? Gila, Liauw, anda memang bukan hanya bodoh, tetapi gila!

Di atas saya sudah membahas tentang kata ‘harus’ dan ‘pasti’ dan karena itu tidak perlu saya ulang di sini.

Gagal untuk memahami perbedaan antara PASTI dan HARUS, menyebabkan pernyataan seperti berikut dari Berkhof: “Telah ditentukan bahwa orang Ibrani harus menyalibkan Yesus.” Ini adalah posisi Kalvinis, manusia HARUS melakukan yang sudah ditetapkan. Tetapi seperti telah kita lihat, jika mereka “harus,” berarti mereka tidak bisa dan tidak boleh melakukan yang lain. Itu berarti mereka tidak bebas dan tidak bertanggung jawab. Seorang non-Kalvinis yang Alkitabiah dapat mengatakan: “Berdasarkan pra-pengetahuan Tuhan yang sempurna dan tak dapat salah, orang-orang Ibrani PASTI menyalibkan Yesus, tetapi mereka TIDAK HARUS menyalibkanNya.” Artinya, orang-orang Ibrani bisa saja memilih untuk tidak menyalibkan Yesus. Opsi itu riil dan terbuka bagi mereka! Tetapi Tuhan tahu dengan pasti pilihan mereka, sejak kekekalan.


Tanggapan saya:

1) Bukan orang-orang Calvinist yang gagal memahami perbedaan antara ‘pasti’ dan ‘harus’. Anda yang gagal memahaminya! Apa yang Allah ketahui lebih dulu (foreknew), pasti akan terjadi, atau, harus terjadi!

2) Kata-kata ‘Seorang non-Kalvinis yang Alkitabiah dapat mengatakan’ seharusnya anda ganti ‘Seorang non-Kalvinis yang tolol dapat mengatakan’! Mengapa saya katakan mereka tolol, Liauw? Karena mereka mengatakan: ‘orang-orang Ibrani PASTI menyalibkan Yesus, tetapi mereka TIDAK HARUS menyalibkanNya.” Artinya, orang-orang Ibrani bisa saja memilih untuk tidak menyalibkan Yesus’. Mereka pasti menyalibkan Yesus, tetapi mereka bisa memilih untuk tidak menyalibkan Yesus. Kata-kata apa ini, Liauw, kalau bukan kata-kata dari orang tolol??? Kalau mereka bisa memilih untuk tidak menyalibkan Yesus, maka penyaliban Yesus oleh mereka menjadi tidak pasti!

4) Saya kira anda menjadi bingung dan kacau pemikirannya, karena anda menggunakan istilah ‘free will’ (kehendak bebas) dalam arti yang dipakai oleh orang Arminian. Kalau anda menggunakannya dalam arti yang dipakai oleh Calvinisme, maka tak akan ada kebingungan / kekacauan. ‘Harus terjadi’, memang bukan berarti bahwa mereka diperintahkan oleh Allah melakukan hal itu. Juga bukan berarti bahwa mereka akan dipaksa oleh Allah untuk melakukan hal itu. Mereka pasti akan melakukannya, tetapi mereka melakukan dengan kemauan mereka sendiri.


William Lane Craig memberikan pengertian yang sangat baik sekali tentang hubungan antara kemahatahuan Allah dengan peristiwa-peristiwa dalam dunia: “Dari pra-pengetahuan (foreknowledge) Allah tentang suatu aksi yang bebas, seseorang hanya dapat menyimpulkan bahwa aksi itu akan terjadi, bukan bahwa aksi itu harus terjadi. Agen yang melakukan aksi tersebut memiliki kekuatan untuk menahan diri (dari aksi tersebut), dan jika agen tersebut melakukan seperti itu, maka pra-pengetahuan Allah tentunya menjadi berbeda. Agen-agen (pelaku-pelaku) tidak bisa berlaku sedemikian rupa sehingga Allah mengetahui mereka melakukan suatu tindakan, namun mereka tidak melakukan tindakan itu. Tetapi ini bukanlah suatu batasan terhadap kebebasan mereka. Mereka bebas untuk melakukan atau tidak melakukan, dan yang mana pun yang mereka pilih, Allah akan sudah mengetahuinya. Karena pengetahuan Allah, walaupun secara kronologis adalah sebelum aksi tersebut, namun secara logis adalah setelah aksi tersebut dan ditentukan oleh aksi itu. Oleh karena itu, pra-pengetahuan ilahi dan kebebasan manusia tidaklah saling bertentangan.”


Tanggapan saya:

1) Ini adalah contoh dari orang non Calvinist yang tolol yang anda bicarakan di atas, Liauw? Coba saya analisa kata-katanya, khususnya yang bagian awal. Ia berkata ‘Dari pra-pengetahuan (foreknowledge) Allah tentang suatu aksi yang bebas, seseorang hanya dapat menyimpulkan bahwa aksi itu akan terjadi, bukan bahwa aksi itu harus terjadi. Agen yang melakukan aksi tersebut memiliki kekuatan untuk menahan diri (dari aksi tersebut), dan jika agen tersebut melakukan seperti itu, maka pra-pengetahuan Allah tentunya menjadi berbeda’.


Lagi-lagi, pra pengetahuan Allah itu menjadi tergantung pada apa yang agen itu lakukan. Bukan begitu, Liauw? Padahal pra-pengetahuan Allah itu sudah ada di minus tak terhingga, jauh sebelum agen itu ada. Dan ini anda sebut ‘memberikan pengertian yang sangat baik sekali’? Lucu dan tolol sekali. Tidak heran, orang tolol sering kali lucu, saking tololnya!

2) Sekarang saya bahas kalimat orang tolol itu selanjutnya dimana ia mengatakan ‘Mereka bebas untuk melakukan atau tidak melakukan, dan yang mana pun yang mereka pilih, Allah akan sudah mengetahuinya’.

Ada 2 hal:

a) ‘Akan’ atau ‘sudah’?? Dua kata itu saling bertentangan! Hapuskan salah satu, karena kalau tidak akan menjadi sesuatu yang menggelikan! Mungkin anda menterjemahkan dari kata-kata bahasa Inggris ‘would have known’, tetapi menurut saya dalam kalimat ini tidak bisa diterjemahkan seperti itu. Dalam faktanya, ‘akan’ atau ‘sudah’??? Jawab ini, Liauw!

b) Kalau kata ‘akan’ itu anda pertahankan, maka lagi-lagi akan menunjukkan bahwa pra pengetahuan Allah itu tergantung pada apa yang mereka lakukan! Sesuatu yang ada di minus tak terhingga (di luar waktu / di atas waktu) tergantung pada sesuatu yang terjadi dalam waktu. Betul-betul pemikiran yang luar biasa!


Tidak ada satu ayatpun dalam Alkitab yang menyatakan bahwa pengetahuan Allah berasal dari penentuan Allah. Ini hanyalah suatu asumsi dasar Kalvinisme. Pink berusaha untuk menggunakan Kisah Para Rasul 2:23 untuk membuktikan asumsi Kalvinisme tersebut.

Him, being delivered by the determinate counsel and foreknowledge of God, ye have taken, and by wicked hands have crucified and slain:

Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan pra-pengetahuanNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.

Pink bersikukuh bahwa pra-pengetahuan Allah didasarkan pada dekrit-dekrit Allah, dan meminta kita untuk “perhatikan urutannya: pertama adalah maksud Allah (dekritNya), dan kedua pra-pengetahuanNya.” Berdasarkan urutan ini, Pink mengajarkan bahwa dekrit Allah menyebabkan Allah tahu. Tetapi ini logika yang kacau. Hanya karena “maksud” lebih dulu disebut dari “pra-pengetahuan,” sama sekali tidak membuktikan bahwa yang satu mendasari yang lain. Bagaimana dengan ayat-ayat yang menyebut “pra-pengetahuan” duluan? Roma 8:29 berbunyi: “Sebab semua orang yang diketahuiNya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Ayat ini justru mengajarkan bahwa pra-pengetahuan Allah menjadi dasar dari penentuanNya. Artinya, Allah menentukan berbagai hal dalam dunia, bukan secara sembarangan, tetapi berdasarkan hal-hal yang Allah ketahui.


Tanggapan saya:

1) Anda mengutip kata-kata Pink dari mana? Rasanya itu bukan dari buku saya, karena saya tidak ingat pernah menulis seperti itu. Tetapi argumentasi seperti itu, kalau Pink memang mengatakannya, menurut saya memang memungkinkan. Kalau anda berusaha menabrakkan cara berpikir Pink dengan Ro 8:29, maka saya kira saya bisa menjelaskannya. Ini saya kutip dari buku saya ‘Providence of God’, jadi anda sebetulnya sudah tahu. Tetapi saya kutipkan bagi pembaca tulisan ini.

Roma 8:29 (NIV) - ‘For those He foreknew, He also predestined ...’ (= Karena mereka yang Ia ketahui lebih dulu, juga Ia tentukan ...).

Ayat ini sering dipakai oleh orang Arminian sebagai dasar untuk mengatakan bahwa Allah menentukan karena Dia sudah tahu bahwa hal itu akan terjadi. Jadi, Allah menentukan supaya si A menjadi orang beriman, karena Ia tahu bahwa orang itu akan menjadi orang beriman. Allah menentukan si B menjadi orang saleh, karena Ia tahu si B akan mentaati Dia, dsb. ... penafsiran Arminian ini menafsirkan kata ‘foreknew’ (= mengetahui lebih dulu) sekedar sebagai suatu pengetahuan intelektual. Tetapi saya percaya bahwa penafsiran seperti itu adalah salah. Untuk itu mari kita melihat penjelasan di bawah ini:

a) Pembahasan kata ‘know’ (= tahu / kenal) dalam Kitab Suci.

1. Dalam Perjanjian Lama.

Kata ‘know’ (= tahu) dalam bahasa Ibrani adalah YADA. Sekalipun YADA memang bisa diartikan sebagai ‘tahu secara intelektual’ tetapi seringkali kata YADA tidak bisa diartikan demikian. Saya akan memberikan beberapa contoh dimana kata YADA tidak bisa diartikan sekedar sebagai ‘tahu secara intelektual’:

a. Kej 4:1 (KJV/Lit): ‘Adam knew Eve his wife, and she conceived’ (= Adam tahu / kenal Hawa istrinya, dan ia mengandung).

Di sini jelas bahwa YADA tidak mungkin diartikan ‘tahu secara intelektual’! Tidak mungkin Adam hanya mengetahui Hawa secara intelektual, dan itu menyebabkan Hawa lalu mengandung! Jelas bahwa YADA / ‘to know’ di sini tidak sekedar berarti ‘tahu’, tetapi ada kasih / hubungan intim di dalamnya.

Karena itu kalau Ro 8:29 mengatakan Allah tahu / kenal, lalu menentukan, maksudnya adalah Allah mengasihi, lalu menentukan. Jadi penekanannya adalah: penentuan itu didasarkan atas kasih. Bdk. Ef 1:5 - ‘Dalam kasih Allah telah memilih kita ...’.

Catatan: tafsiran ini saya ambil dari buku tafsiran kitab Roma oleh John Murray (NICNT).

b. Dalam Kej 18:19, kata YADA ini diterjemahkan ‘memilih’ oleh Kitab Suci Indonesia.

“Sebab Aku telah memilih dia, supaya diperintahkannya kepada anak-anaknya dan kepada keturunannya supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan TUHAN, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, dan supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dijanjikan-Nya kepadanya”.

RSV, NIV, NASB menterjemahkan seperti Kitab Suci Indonesia! ASV / KJV / NKJV tetap menterjemahkan ‘know’, tetapi kalimatnya jadi aneh.

Kej 18:19 (KJV): ‘For I know him, that he will command his children and his household after him, and they shall keep the way of the LORD, to do justice and judgment; that the LORD may bring upon Abraham that which he hath spoken of him’ (= Karena Aku mengetahui / mengenalnya, bahwa ia akan memerintahkan anak-anaknya dan seisi rumahnya / keturunannya, dan mereka akan hidup menurut jalan TUHAN, melakukan keadilan dan penghakiman; supaya TUHAN memenuhi kepada Abraham apa yang dikatakanNya kepadanya).

c. Dalam Amos 3:2, kata YADA diterjemahkan ‘kenal’ oleh Kitab Suci Indonesia.

“Hanya kamu yang Kukenal dari segala kaum di muka bumi, sebab itu Aku akan menghukum kamu karena segala kesalahanmu”.

KJV/ASV/RSV tetap menterjemahkan ‘know’, tetapi NIV/NASB menterjemahkan ‘choose’ (= memilih).

Tentang kata YADA dalam Amos 3:2 ini B. B. Warfield berkata: “what is thrown prominently forward is clearly the elective love which has singled Israel out for special care” (= apa yang ditonjolkan ke depan secara menyolok jelas adalah kasih yang memilih yang telah memilih / mengkhu-suskan Israel untuk perhatian istimewa) - ‘Biblical and Theological Studies’, hal 288.

Loraine Boettner: “The word ‘know’ is sometimes used in a sense other than that of having merely an intellectual perception of the thing mentioned. It occasionally means that the persons so ‘known’ are the special and peculiar objects of God’s favor, as when it was said of the Jews, ‘You only have I known of all the families of the earth,’ Amos 3:2.” [= Kata ‘tahu’ kadang-kadang digunakan bukan dalam arti sekedar pengetahuan intelektual tentang hal yang disebutkan. Kadang-kadang kata ini berarti bahwa orang yang ‘diketahui’ merupakan obyek istimewa dan khusus dari kemurahan / kebaikan hati Allah, seperti pada waktu dikatakan tentang orang-orang Yahudi: ‘Hanya kamu yang Kukenal / Kuketahui dari segala kaum di muka bumi’ (Amos 3:2)] - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 100.

d. Kel 2:25 - diterjemahkan ‘memperhatikan’.

e. Maz 1:6 - diterjemahkan ‘mengenal’.

f. Maz 101:4 - diterjemahkan ‘tahu’.

g. Nahum 1:7 - diterjemahkan ‘mengenal’.

Dalam semua ayat-ayat di atas ini kata YADA tidak mungkin diartikan sebagai sekedar tahu secara intelektual.

2. Dalam Perjanjian Baru.

Kata ‘know’ (= tahu) dalam bahasa Yunani adalah GINOSKO, dan digunakan dalam ayat-ayat di bawah ini:

* Mat 7:23 - “Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!”.

* Yoh 10:14,27 - “Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-dombaKu dan domba-dombaKu mengenal Aku. ... Domba-dombaKu mendengarkan suaraKu dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku”.

* 1Kor 8:3 - “Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah”.

* Gal 4:9 - “Tetapi sekarang sesudah kamu mengenal Allah, atau lebih baik, sesudah kamu dikenal Allah, bagaimanakah kamu berbalik lagi kepada roh-roh dunia yang lemah dan miskin dan mau mulai memperhambakan diri lagi kepadanya?”.

* 2Tim 2:19a - “Tetapi dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan meterainya ialah: ‘Tuhan mengenal siapa kepunyaanNya’”.

Dalam semua ayat-ayat ini kata GINOSKO itu tidak mungkin diartikan sekedar ‘mengetahui secara intelektual’.

b) Pembahasan kata ‘foreknow’ (= mengetahui lebih dulu) / ‘foreknowledge’ (= pengetahuan lebih dulu).

Ayat-ayat yang mengandung kata-kata foreknowledge, fore-knew, dsb:

· Kis 2:23a - “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya”.

NASB: ‘this Man, delivered up by the predetermined plan and foreknowledge of God (= Orang ini, diserahkan oleh rencana yang ditentukan lebih dulu dan pengetahuan lebih dulu dari Allah).

Jelas bahwa ‘foreknowledge’ (= pengetahuan lebih dulu) di sini tidak sekedar berarti pengetahuan intelektual, karena Allah menyerahkan Anak Manusia untuk mewujudkan ‘fore-knowledge’ itu. Karena itu tidak heran Kitab Suci Indonesia menterjemahkan seperti itu.

· Ro 11:2a - “Allah tidak menolak umatNya yang dipilihNya”.

NASB: ‘God has not rejected His people whom He foreknew (= Allah tidak menolak umatNya yang diketahuiNya lebih dulu).

Ini lagi-lagi menunjukkan secara jelas bahwa ‘foreknew’ ti-dak bisa diartikan ‘mengetahui lebih dulu secara intelektual’.

Loraine Boettner menghubungkan Ro 8:29 dengan Ro 11:2a ini dengan berkata: “Those in Romans 8:29 are foreknown in the sense that they are fore-appointed to be the special objects of His favor. This is shown more plainly in Rom. 11:2-5, where we read, ‘God did not cast off His people whom He foreknew’” (= Mereka dalam Ro 8:29 diketahui lebih dulu dalam arti bahwa mereka ditetapkan lebih dulu untuk menjadi obyek khusus kemurahan hatiNya. Ini ditunjukkan lebih jelas dalam Ro 11:2-5, dimana kita membaca: ‘Allah tidak menolak / membuang umatNya yang dipilihNya / diketahuiNya lebih dulu’) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 100.

· 1Pet 1:2a - “yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita”.

NASB: ‘who are chosen according to the foreknowledge of God the Father’ (= yang dipilih sesuai dengan pengetahuan lebih dulu dari Allah Bapa).

· 1Pet 1:20 - “Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena kamu baru menyatakan diriNya pada zaman akhir”.

NASB: ‘For He was foreknown before the foundation of the world, but has appeared in these last times for the sake of you’ (= Karena Ia diketahui lebih dulu sebelum penciptaan dunia, tetapi menampakkan diri pada jaman akhir karena kamu).

Melihat ayat-ayat di atas ini, saya berpendapat bahwa bukan tanpa alasan Kitab Suci Indonesia tidak pernah mau menterjemahkan ‘tahu lebih dulu’ atau ‘pengetahuan lebih dulu’, tetapi menterjemahkan dengan kata ‘pilih’ atau ‘rencana’. Karena itu, sekalipun Ro 8:29 versi Kitab Suci Indonesia itu memang bukan terjemahan yang hurufiah, tetapi saya berpendapat bahwa Kitab Suci Indonesia memberikan arti yang benar!

Saya tambahkan komentar Albert Barnes tentang Kis 2:23.

Barnes’ Notes (tentang Kis 2:23): “‘Foreknowledge.’ This word denotes the seeing beforehand of an event yet to take place. It implies: 1. Omniscience; and, 2. That the event is fixed and certain. To foresee a contingent event, that is, to foresee that an event will take place when it may or may not take place, is an absurdity. Foreknowledge, therefore, implies that for some reason the event will certainly take place. What that reason is, the word itself does not determine. As, however, God is represented in the Scriptures as purposing or determining future events; as they could not be foreseen by him unless he had so determined, so the word sometimes is used in the sense of determining beforehand, or as synonymous with decreeing, Rom. 8:29; 11:2. In this place the word is used to denote that the delivering up of Jesus was something more than a bare or naked decree. It implies that God did it according to his foresight of what would be the best time, place, and manner of its being done. It was not the result merely of will; it was will directed by a wise foreknowledge of what would be best. And this is the case with all the decrees of God (= ‘Pengetahuan lebih dulu’. Kata ini menunjukkan ‘melihat suatu peristiwa sebelum peristiwa itu terjadi’. Ini secara implicit menunjukkan: 1. Kemahatahuan; dan, 2. Bahwa peristiwa itu tertentu dan pasti. Melihat lebih dulu suatu peristiwa yang bisa terjadi bisa tidak, berarti melihat lebih dulu bahwa suatu peristiwa akan terjadi, pada saat itu bisa terjadi atau bisa tidak terjadi, merupakan sesuatu yang menggelikan. Karena itu, pengetahuan lebih dulu, menunjukkan secara implicit untuk alasan tertentu peristiwa itu pasti akan terjadi. Tetapi karena Allah digambarkan dalam Kitab Suci sebagai merencanakan atau menentukan peristiwa-peristiwa yang akan datang; karena hal-hal itu tidak bisa dilihat lebih dulu olehNya kecuali Ia lebih dulu menentukannya demikian, maka kata itu kadang-kadang digunakan dalam arti ‘menentukan lebih dulu’, atau sinonim dengan ‘menetapkan’, Ro 8:29; 11:2. Di tempat ini kata itu digunakan untuk menunjukkan bahwa penyerahan Yesus merupakan sesuatu yang lebih dari pada sekedar suatu ketetapan semata-mata atau biasa. Ini secara implicit menunjukkan bahwa Allah melakukannya sesuai dengan penglihatan lebih duluNya tentang apa yang akan merupakan saat, tempat dan cara yang terbaik, tentang pelaksanaan hal itu. Itu bukan semata-mata akibat / hasil dari kehendak; itu merupakan kehendak yang diarahkan oleh suatu pengetahuan lebih dulu yang bijaksana tentang apa yang terbaik. Dan ini adalah kasus dari semua ketetapan-ketetapan Allah).

Inti dari semua yang saya jelaskan panjang lebar di atas ini adalah: Dalam Ro 8:29 tidak mungkin yang dimaksudkan dengan kata ‘foreknew’ hanyalah bahwa Allah tahu lebih dulu secara intelektual. Kata itu di sini, kalau dilihat dari arti dan penggunaan kata itu dalam seluruh Alkitab, harus diartikan sebagai ‘menetapkan’ atau ‘memilih’. Jadi, argumentasi anda pergi ke bulan, Liauw!

2) Anda mengatakan ‘Tidak ada satu ayatpun dalam Alkitab yang menyatakan bahwa pengetahuan Allah berasal dari penentuan Allah’.

Saya kira anda harus setuju bahwa kalaupun tak ada ayat yang mengatakannya secara explicit, belum tentu ajarannya salah / tidak ada. Anda sendiri percaya freel will, sedangkan kata / istilah itu tak pernah muncul dalam Alkitab.

Barnes’ Notes (tentang Kis 2:23): To foresee a contingent event, that is, to foresee that an event will take place when it may or may not take place, is an absurdity (= Mengetahui lebih dulu suatu peristiwa yang contingent, yaitu, melihat lebih dulu bahwa suatu peristiwa akan terjadi pada waktu peristiwa itu bisa terjadi atau tidak terjadi, adalah sesuatu yang menggelikan / mustahil).

Catatan: kata ‘contingent’ sudah dijelaskan oleh kata-kata selanjutnya. Peristiwa yang ‘contingent’ adalah peristiwa yang bisa terjadi, tetapi juga bisa tidak terjadi. Atau, peristiwa yang belum tentu terjadi / sama sekali tidak ada kepastian dalam hal terjadi atau tidak terjadinya.

Apa yang sudah saya jelaskan di atas, akan saya ulang di sini.

Kalau suatu peristiwa itu contingent, berarti peristiwa itu bisa terjadi, bisa tidak. Seandainya Allah bisa tahu peristiwa yang contingent, apa yang Dia ketahui tentang peristiwa itu? Terjadi atau tidak terjadi? Cuma ada dua kemungkinan, bukan? Kalau Ia tahu pertistiwa itu terjadi, maka peristiwa itu pasti terjadi, dan dengan demikian bukan lagi contingent! Demikian juga sebaliknya, kalau Ia tahu peristiwa itu tidak akan terjadi, maka pasti peristiwa itu pasti tidak akan terjadi, dan dengan demikian, peristiwa itu bukan lagi contingent! Jadi, benarlah kata-kata Albert Barnes di atas: ‘Mengetahui lebih dulu suatu peristiwa yang contingent, yaitu, melihat lebih dulu bahwa suatu peristiwa akan terjadi pada waktu peristiwa itu bisa terjadi atau tidak terjadi, adalah sesuatu yang menggelikan / mustahil’.

Coba bantah kata-kata ini, Liauw!


Mazmur 139, salah satu pasal yang paling indah menggambarkan kemahatahuan Tuhan, tidak mendukung sama sekali konsep Kalvinis. Dalam Mazmur ini, Daud menjelaskan:

TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.

Kata-kata Daud sama sekali tidak mencerminkan bahwa segala yang Tuhan ketahui berarti sudah Tuhan tentukan. Justru sebaliknya! Tuhan “menyelidiki” dan “mengenal” Daud. Ini berarti Tuhan tidak menentukan pikiran-pikiran Daud. Kalau Tuhan menentukan pikiran Daud, maka tidak perlu lagi “diselidiki”! Tuhan juga “memeriksa” Daud. Semua kata-kata yang dipakai menunjukkan bahwa Daud adalah makhluk dengan kehendak bebas (diciptakan Tuhan demikian), dan menentukan pikiran dan pilihannya sendiri. Tetapi pengetahuan Tuhan sedemikian hebat, sehingga hal-hal yang paling rahasia pun, yang hanya ada dalam pikiran Daud, adalah terbuka bagi pengetahuan Tuhan!
Saking hebatnya pengetahuan Tuhan, Daud berkata, “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya” (139:6). Ini sangat kontras dengan konsep Kalvinis. Sekali lagi saya mengutip Shedd: “Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.” Saya rasa pra-pengetahuan ala Kalvinis sama sekali tidak mengesankan. Kalau perlu menentukan dulu, baru bisa tahu, itu saya juga bisa, bahkan anak-anak juga bisa! Sekali lagi, sama sekali tidak ada yang spektakuler mengenai pengetahuan yang harus menentukan dulu untuk bisa tahu.


Tanggapan saya:

1) Anda mengatakan ‘Mazmur 139, salah satu pasal yang paling indah menggambarkan kemahatahuan Tuhan, tidak mendukung sama sekali konsep Kalvinis’. Lalu anda mengatakan ‘Kata-kata Daud sama sekali tidak mencerminkan bahwa segala yang Tuhan ketahui berarti sudah Tuhan tentukan’.

Maz 139 boleh jadi memang tidak mengatakan secara explicit bahwa segala yang Tuhan ketahui berarti sudah Tuhan tentukan. Tetapi:

a) Siapa yang mengharuskan saya mengambil doktrin itu secara explicit dari Maz 139? Saya mengambil doktrin itu dari hal-hal sebagai berikut:

1. Allah maha tahu, sehingga Ia tahu segala sesuatu. Dan apa yang Ia ketahui itu pasti terjadi. Kalau pasti terjadi, itu berarti hal-hal itu tertentu. Kalau tertentu, lalu siapa yang menentukan? Tidak ada lain. Pasti Allah yang menentukan. Dari argumentasi ini saya mendapatkan doktrin bahwa Allah menentukan segala sesuatu.

2. Sekarang saya mau tahu, yang mana yang lebih dulu ada: kemahatahuan Allah, atau penentuan Allah? Saya menjawab: kalau kemahatahuan itu ada dulu, maka tak perlu lagi ditentukan, karena apa yang Dia ketahui sudah pasti akan terjadi. Disamping, merupakan ssyg tidak masuk akal untuk bisa tahu apa yang belum ditentukan. Karena itu, saya Calvinisme mengambil posisi ‘Allah menentukan lebih dulu, baru Ia tahu’. Dengan kata lain, kemahatahuan Allah adalah kemahatahuanNya tentang RencanaNya sendiri.

b) Maz 139 bukannya sama sekali tidak berbicara tentang penentuan Allah dalam hubungannya dengan kemahatahuan Allah. Kelihatannya Maz 139 justru membicarakan hal itu, sekalipun tidak secara explicit, karena dalam Maz 139:16 dikatakan: “mataMu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitabMu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.

Ini jelas menunjukkan bahwa Sebelum Daud / pemazmur itu ada sebagai janin, Allah sudah mengetahuinya, dan semua hari-hari yang akan terjadi, sudah tertulis dalam kitab Allah, yang berarti bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah, sebelum semuanya terjadi.

Barnes’ Notes (tentang Maz 139:16): “‘And in thy book.’ Where thou recordest all things. Perhaps the allusion here would be to the book of an architect or draftsman, who, before his work is begun, draws his plan, or sketches it for the direction of the workmen. ‘All my members were written.’ The words ‘my members’ are not in the original. The Hebrew is, as in the margin, ‘all of them.’ The reference may be, not to the members of his body, but to his ‘days’ (see the margin on the succeeding phrase) - and then the sense would be, all my ‘days,’ or all the periods of my life, were delineated in thy book. That is, When my substance - my form - was not yet developed, when yet an embryo, and when nothing could be determined from that by the eye of man as to what I was to be, all the future was known to God, and was written down - just what should be my form and vigor; how long I should live; what I should be; what would be the events of my life. ‘Which in continuance were fashioned.’ Margin, ‘What days they should be fashioned.’ Literally, ‘Days should be formed.’ DeWette renders this, ‘The days were determined before any one of them was.’ There is nothing in the Hebrew to correspond with the phrase ‘in continuance.’ The simple idea is, The days of my life were determined on, the whole matter was fixed and settled, not by anything seen in the embryo, but ‘before’ there was any form - before there were any means of judging from what I then was to what I would be - all was seen and arranged in the divine mind. ‘When as yet there was none of them.’ literally, ‘And not one among them.’ Before there was one of them in actual existence. Not one development had yet occurred from which it could be inferred what the rest would be. The entire knowledge on the subject must have been based on Omniscience (= ).

Jamieson, Fausset & Brown (tentang Maz 139:16): “‘Thy book’ is the book of God’s fore-ordering purpose. The same holds good in the case of the body of Christ, the Church, chosen in Him before the foundation of the world; because ‘we are members of His body, of His flesh, and of His bones’ (Eph 5:30; 1:4). The development of this eternal purpose in time is gradual, the members being formed in union with the one Head and the one Body successively by the Spirit of God, the Author of spiritual as well as of natural life. The Chaldaic Targum supplies the ellipsis with ‘days:’ ‘In the book of thy memory were written all my days.’ In the book of God’s predestination (Mal 3:16; Ps 56:8), as distinguished from the actual execution, were written all my days, both their number (Job 14:5), and what events were to befall me in them, ‘(which) in continuance were fashioned’ - literally, ‘(which in) days were fashioned;’ i.e., not all in one day, but in successive development. Two hundred and seventy-three days generally pass in the gestation, Hengstenberg translates, ‘In thy book were they all written (namely), the days (which) were formed’ - i.e., divinely pre-destined to be. The English version gives the more natural sense to the Hebrew, yatzar, ‘fashioned:’ members, not days, can be said to be formed or fashioned. ‘When (as yet there was) none of them.’ - (Rom 9:11.)” (= ).

Ayub 14:1-5 - “(1) ‘Manusia yang lahir dari perempuan, singkat umurnya dan penuh kegelisahan. (2) Seperti bunga ia berkembang, lalu layu, seperti bayang-bayang ia hilang lenyap dan tidak dapat bertahan. (3) Masakan Engkau menujukan pandanganMu kepada orang seperti itu, dan menghadapkan kepadaMu untuk diadili? (4) Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorangpun tidak! (5) Jikalau hari-harinya sudah pasti, dan jumlah bulannya sudah tentu padaMu, dan batas-batasnya sudah Kautetapkan, sehingga tidak dapat dilangkahinya.

Ro 9:11 - “Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, - supaya rencana Allah tentang pemilihanNya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilanNya -”.

Bible Knowledge Commentary (tentang Maz 139:16): “But God saw every detail. David’s frame means his skeleton and his unformed body is his embryo. Moreover, God prerecorded all the days of the psalmist before he was even born. This statement may mean that God determined how long he would live, but in view of verses 1-4, it more likely refers to everyday details. God marvelously planned out his life (= ).

Pulpit Commentary (tentang Maz 139:16): “Modern critics mostly translate ‘the days,’ or ‘my days,’ ‘were fashioned, when as yet there was none of them;’ i.e. ‘my life was planned out by God, and settled, before I began to be.’ (= ).

The Bible Exposition Commentary: Old Testament (tentang Maz 139:16): “This is one of the greatest passages in literature about the miracle of human conception and birth. ‘In the presence of birth,’ said Eugene Petersen, ‘we don’t calculate - we marvel.’ David declared that God is present at conception and birth, because we are made in the image of God and God has a special purpose for each person who is born. ... But the Lord did more than design and form our bodies; He also planned and determined our days (v. 16). This probably includes the length of life (Job 14:5) and the tasks He wants us to perform (Eph 2:10; Phil 2:12-13). This is not some form of fatalism or heartless predestination, for what we are and what He plans for us come from God’s loving heart (33:11) and are the very best He has for us (Rom 12:2)” (= ).

Spurgeon (tentang Maz 139:16): “And in thy book all my members were written, which in continuance were fashioned, when as yet there was none of them. An architect draws his plans, and makes out his specifications; even so did the great Maker of our frame write down all our members in the book of his purposes. That we have eyes, and ears, and hands, and feet, is all due to the wise and gracious purpose of heaven: it was so ordered in the secret decree by which all things are as they are. God’s purposes concern our limbs and faculties. Their form, and shape, and everything about them were appointed of God long before they had any existence. God saw us when we could not be seen, and he wrote about us when there was nothing of us to write about. When as yet there were none of our members in existence, all those members were before the eye of God in the sketch book of his foreknowledge and predestination (= ) - ‘Treasury of David’.

Catatan: sekalipun para penafsir yang saya kutip ini mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang Maz 139:16 ini, tetapi semuanya setuju bahwa ayat ini membicarakan tentang predestinasi! Dan Albert Barnes jelas menghubungkan predestinasi itu dengan kemahatahuan Allah!

2) Anda mengatakan ‘Dalam Mazmur ini, Daud menjelaskan: TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN. Kata-kata Daud sama sekali tidak mencerminkan bahwa segala yang Tuhan ketahui berarti sudah Tuhan tentukan. Justru sebaliknya! Tuhan “menyelidiki” dan “mengenal” Daud. Ini berarti Tuhan tidak menentukan pikiran-pikiran Daud. Kalau Tuhan menentukan pikiran Daud, maka tidak perlu lagi “diselidiki”! Tuhan juga “memeriksa” Daud. Semua kata-kata yang dipakai menunjukkan bahwa Daud adalah makhluk dengan kehendak bebas (diciptakan Tuhan demikian), dan menentukan pikiran dan pilihannya sendiri.’.

a) Anda mengutip / menganalisa Maz 139:1-4, mengapa tidak mengutip / menganalisa Maz 139:16? Suatu pengutipan / analisa yang tidak fair / jujur, Liauw!

b) Kata ‘menyelidiki’ jelas merupakan suatu gaya bahasa Anthropomorphism, yaitu gaya bahasa yang menggambarkan Allah seakan-akan Ia adalah manusia seperti kita (sama seperti kata-kata ‘Allah menyesal’ dsb). Sekalipun anda tidak mempercayai predestinasi, tetap saja kalau kata ‘menyelidiki’ itu anda artikan secara hurufiah, itu merupakan hal yang tolol, karena itu akan bertabrakan dengan kemahatahuan Allah, yang menurut anda sendiri sangat ditekankan dalam Maz 139 ini!

Anda mengatakan ‘Kalau Tuhan menentukan pikiran Daud, maka tidak perlu lagi “diselidiki”!’. dengan cara yang sama saya bisa mengatakan ‘Kalau Tuhan maha tahu, maka tidak perlu lagi “diselidiki”!’.

Senjata anda menjadi boomerang, Liauw?

c) Anda mengatakan ‘Semua kata-kata yang dipakai menunjukkan bahwa Daud adalah makhluk dengan kehendak bebas (diciptakan Tuhan demikian), dan menentukan pikiran dan pilihannya sendiri.’’.

Saya tidak bisa melihat bahwa kata-kata itu menunjukkan bahwa Daud adalah makhluk dengan kehendak bebas. Apa hubungannya? Apalagi ‘kehendak bebas’ dalam arti yang digunakan oleh orang Arminian. Apa hubungannya? Anda terlalu cepat meloncat pada suatu kesimpulan, Liauw!

3) Sekarang saya bahas bagian akhir dari kutipan kata-kata anda di atas.

Anda berkata ‘Saya rasa pra-pengetahuan ala Kalvinis sama sekali tidak mengesankan. Kalau perlu menentukan dulu, baru bisa tahu, itu saya juga bisa, bahkan anak-anak juga bisa! Sekali lagi, sama sekali tidak ada yang spektakuler mengenai pengetahuan yang harus menentukan dulu untuk bisa tahu’.

a) Anda tidak bisa, Liauw, dan anak-anak yang manapun juga tidak bisa. Ingat, Allah menentukan segala sesuatu, dan karena itu Ia tahu. Cobalah menentukan segala sesuatu, Liauw! Anda bahkan tidak bisa menentukan apapun, kecuali itu sesuai dengan kehendak / rencana Allah! Tidak setuju? Coba bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini.


Kel 21:13 - “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan menunjukkan bagimu suatu tempat, ke mana ia dapat lari”.


Amsal 16:1,9 - “(1) Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN. ... (9) Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya.


Yer 10:23 - “Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya.


Jadi, Allah yang menentukan, Liauw, bukan manusia, dan jelas bukan anda!

b) Dan bicara tentang ‘mengesankan’ dan ‘spektakuler’, apakah itu merupakan suatu syarat dari kebenaran? Dengan kata lain, apakah hanya kalau sesuatu itu mengesankan dan spektakuler, baru itu bisa merupakan kebenaran? Dari mana anda belajar hal ini, Liauw?


Doktrin anda tentang free will, apakah itu mengesankan dan spektakuler? Kalau ya, tunjukkan dimana dan bagaimana hal itu mengesankan dan spektakuler. Kalau tidak, lalu mengapa anda tetap mempercayainya, sementara anda menolak doktrin Calvinisme karena tidak mengesankan dan tidak spektakuler? Bukankah ini tidak konsisten, Liauw?

Coba kita perjelas dengan ilustrasi sehari-hari.

“Saya adalah seorang dosen, dan tentunya memiliki kuasa untuk menentukan banyak hal di dalam kelas. Suatu hari, saya memutuskan untuk memberikan ujian mendadak kepada para mahasiswa. Mahasiswa yang tidak siap untuk ujian tentunya kaget sekali. Mungkin pula ada yang protes. Tetapi satu hal yang pasti, mereka tidak akan terkesan bila saya mengatakan, ‘saya sudah tahu bahwa hari ini akan ada ujian.’ So what!!?? Ya jelaslah sang dosen tahu, toh dia yang memutuskannya! Sebaliknya, bila ternyata salah satu mahasiswa, karena kepintarannya menganalisa gerak-gerik, pola mengajar, dan pola pikir saya, ternyata dapat mengetahui bahwa akan ada ujian mendadak hari itu, maka itu adalah pengetahuan yang cukup spesial.”

Tanggapan saya:

Lagi-lagi tidak benar, Liauw! Allah yang menentukan, bukan anda. Misalnya anda menentukan besok ujian, maka ada dua hal yang perlu dicamkan:

1) Anda mengatakan ‘Saya adalah seorang dosen, dan tentunya memiliki kuasa untuk menentukan banyak hal di dalam kelas’.


Bdk. Yer 10:23 - Aku tahu, ya TUHAN, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya.


Kalau sebagai dosen anda bisa menentukan kapan ujian, bahan ujian dsb, maka perlu diingat bahwa penentuan anda itu juga datang dari Allah yang mengatur / mengerakkan pikiran anda.


Bdk. Amsal 21:1 - “Hati raja seperti batang air di dalam tangan TUHAN, dialirkanNya ke mana Ia ingini.


Ezra 1:1 - “Pada tahun pertama zaman Koresh, raja negeri Persia, TUHAN menggerakkan hati Koresh, raja Persia itu untuk menggenapkan firman yang diucapkan oleh Yeremia, sehingga disiarkan di seluruh kerajaan Koresh secara lisan dan tulisan pengumuman ini”.


Perhatikan dua ayat di atas ini. Ini Firman Tuhan, Liauw! Raja saja pikiran / hatinya ada dalam tangan Tuhan, apalagi anda yang cuma dosen! Anda kira anda siapa?

Bdk. Yoh 19:10-11 - “(10) Maka kata Pilatus kepadaNya: ‘Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?’ (11) Yesus menjawab: ‘Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya.’”.


Kata-kata anda seperti kata-kata Pontius Pilatus, kata-kata saya seperti kata-kata Yesus!

2) Kalau anda memutuskan sesuatu yang ternyata bukan kehendak Allah untuk terjadi, anda pikir Allah tidak bisa membatalkan keputusan itu? Ada banyak cara yang Allah bisa lakukan untuk membatalkan / membuat tidak terjadi suatu keputusan yang dibuat manusia, misalnya dengan mengubah pikiran orang itu, atau membuat terjadinya sesuatu yang membuat orang itu tidak bisa melaksanakan keputusannya. Dalam kasus keputusan memberikan ujian, kalau Tuhan tahu-tahu membuat anda kecelakaan, masuk rumah sakit, lalu mati, bagaimana anda mau melaksanakan keputusan itu? Roh anda yang melakukannya?

Bdk. Maz 33:10-11 - “(10) TUHAN menggagalkan rencana bangsa-bangsa; Ia meniadakan rancangan suku-suku bangsa; (11) tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hatiNya turun-temurun”.


Tidak mungkin Daud terkesan dan berkata, “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya” jika ternyata pengetahuan itu adalah karena suatu penentuan. Bahkan bisa dipertanyakan, apakah “pengetahuan karena penentuan” bisa disebut sebagai keMAHAtahuan. Sebagaimana telah dikutip sebelumnya, Warfield mewakili para Kalvinis untuk menjelaskan tentang pengetahuan Allah: “Alah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri.” Mengetahui kehendak sendiri sama sekali tidak ajaib! Pribadi yang hanya tahu apa yang telah ia tentukan, sebenarnya bahkan tidak masuk kategori mahatahu.


Tanggapan saya:

Anda memang bodoh, Liauw! Penentuan Allah mencakup segala sesuatu dalam arti kata yang mutlak. Jadi tanpa kecuali apapun. Karena itu, pada waktu Ia menentukan segala sesuatu, dan lalu mengetahui rencanaNya sendiri, Ia mengetahui segala sesuatu, dan itu berarti Ia maha tahu. Seandainya Ia hanya menentukan satu atau dua hal, dan lalu mengetahui apa yang Ia tentukan / rencanakan itu, maka itu menyebabkan Ia hanya tahu sedikit. Tetapi faktanya Ia menentukan segala sesuatu, dan karena itu Ia mengetahui segala sesuatu, dan itu adalah maha tahu.

Dalam bagian awal dari Maz 139 itu Daud hanya bicara tentang kemahatahuan Allah, bukan dalam hubungannya dengan penentuan Allah. Tentu tidak salah untuk kagum terhadap kemahatahuan Allah itu!

Kalvinis, karena semangat mereka mempertahankan premis dasar “Allah menentukan segala sesuatu,” justru malah menyerang kemahatahuan Tuhan sendiri! Arminius, tokoh yang paling banyak diserang oleh Kalvinis, justru memiliki pandangan tentang kemahatahuan yang jauh lebih baik. Tentang Allah, Arminius menegaskan:

“Ia tahu segala hal yang mungkin, apakah mengenai kapabilitas Allah ataupun makhluk; dalam kapabilitas aktif maupun pasif; dalam kapabilitas tindakan, atau imajinasi, atau ucapan: Ia tahu segala sesuatu yang dapat eksis, dalam hal hipotesis apapun: Ia tahu hal-hal lain di luar diriNya, baik yang harus maupun yang tergantung, baik atau buruk, umum atau khusus, masa depan, masa kini dan masa lampau, agung ataupun tercela: Ia tahu hal-hal yang substansial maupun segala jenis yang tak disengaja; aksi dan emosi, modus dan keadaan segala hal; kata-kata dan perbuatan eksternal, pikiran-pikiran internal, pertimbangan-pertimbangan, maksud rencana, dan keputusan-keputusan, dan entitas akal budi, apakah kompleks atau sederhana.”


Tanggapan saya:

Anda memberikan kutipan dalam bahasa Indonesia. Mengapa tidak bahasa Inggrisnya supaya saya tahu apakah anda menterjemahkannya dengan benar atau tidak, apa kata persisnya dalam bahasa Inggris, dsb?

Kata-kata yang saya garis-bawahi itu, khususnya yang saya beri garis bawah ganda, kelihatannya menunjuk pada hal-hal yang ‘contingent’ (bisa terjadi, bisa tidak). Kalau memang demikian, saya berpendapat kata-kata Arminius itu salah!


James Arminius justru mengakui kemahatahuan Tuhan yang lebih komplit daripada Kalvinis. Secara tradisional, umat Kristiani percaya bahwa Allah tahu segala sesuatu, termasuk apa yang disebut “middle knowledge.” Allah memiliki “middle knowledge,” yang berarti bahwa Allah bukan hanya tahu semua apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi, tetapi Allah juga tahu semua yang MUNGKIN terjadi. Jadi, walaupun Allah sudah tahu tentang perzinahan Daud dengan Batsyeba, dan segala konsekuensinya, misalnya kekacauan keluarga Daud karena contoh buruk yang ia berikan, dan juga pemberontakan anaknya dan penasihatnya, Allah juga tahu, apa yang akan terjadi jika saja Daud tidak berzinah dengan Batsyeba! Allah tahu tentang semua konsekuensi, semua pilihan orang-orang lain di sekitar Daud, jika saja Daud memilih untuk melakukan hal lain! Jadi, Allah bukan saja tahu apa yang benar-benar terjadi, Allah bahkan tahu tentang segala kemungkinan! Itulah sebabnya, dalam Alkitab, banyak sekali referensi tentang pengetahuan Allah “jika” sesuatu hal terjadi, padahal hal tersebut tidak terjadi. Contoh:

Celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena jika di Tirus dan di Sidon terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung. Tetapi Aku berkata kepadamu: Pada hari penghakiman, tanggungan Tirus dan Sidon akan lebih ringan dari pada tanggunganmu. Dan engkau Kapernaum, apakah engkau akan dinaikkan sampai ke langit? Tidak, engkau akan diturunkan sampai ke dunia orang mati! Karena jika di Sodom terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, kota itu tentu masih berdiri sampai hari ini. Tetapi Aku berkata kepadamu: Pada hari penghakiman, tanggungan negeri Sodom akan lebih ringan dari pada tanggunganmu. (Mat. 11:21-24)

Pernyataan Tuhan Yesus ini adalah contoh yang sangat baik. Tirus, Sidon, dan Sodom tidak bertobat. Oleh karena itu tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa Allah menentukan mereka bertobat. Namun, Tuhan tahu, bahwa jika di kota-kota itu terjadi mujizat-mujizat tertentu, mereka tentunya telah bertobat. Ini adalah salah satu perikop yang membuktikan bahwa Tuhan bukan hanya tahu hal-hal yang Ia tentukan! Ia tahu segala kemungkinan. Ia tahu apa yang makhluk akan lakukan dalam segala kondisi dan situasi.


Tanggapan saya:

1) Berbicara tentang James Arminius, tahukah anda bahwa ia sangat menghormati Calvin dan buku-buku Calvin, dan bahkan menasehati semua orang untuk mempelajarinya?

Philip Schaff: “Next to the study of Scripture which I earnestly inculcate, I exhort my pupils to peruse Calvin’s Commentaries, which I extol in loftier terms than Helmich himself (a Dutch divine, 1551-1608); for I affirm that he excels beyond comparison (incomparabilem esse) in the interpretation of Scripture, and that his commentaries ought to be more highly valued than all that is handed down to us by the library of the fathers; so that I acknowledge him to have possessed above most others, or rather above all other men, what may be called an eminent spirit of prophecy (spiritum aliquem prophetic eximium). His Institutes ought to be studied after the (Heidelberg) Catechism, as containing a fuller explanation, but with discrimination (cum delectu), like the writings of all men” [= Disamping belajar Kitab Suci yang dengan sungguh-sungguh aku tanamkan, aku mendesak murid-muridku untuk membaca dengan teliti buku-buku tafsiran Calvin, yang aku puji dengan istilah-istilah yang lebih tinggi / mulia dari pada Helmich sendiri (seorang ahli theologia Belanda, 1551-1608); karena aku menegaskan bahwa ia jauh melebihi orang lain dalam penafsiran Kitab Suci, dan bahwa buku-buku tafsirannya harus dinilai lebih lebih tinggi dari pada semua perpustakaan bapa-bapa gereja yang diwariskan kepada kita; sehingga aku mengakui bahwa ia mempunyai, lebih dari kebanyakan orang lain, atau lebih tepat lebih dari semua manusia lain, apa yang disebut roh nubuat yang ulung. Buku ‘Institutes’nya harus dipelajari setelah Katekisasi (Heidelberg), karena berisikan penjelasan yang lebih penuh, tetapi dengan diskriminasi, seperti tulisan dari semua orang] - History of the Christian Church’, vol VIII, hal 280.

Catatan: kata-kata ini dikutip oleh Schaff dari James Arminius!

Kita sudah melihat bagaimana pandangan James Arminius tentang Calvin dan ajarannya / buku-bukunya. Sekalipun James Arminius tidak setuju dengan Calvin dalam hal-hal tertentu, tetapi ia tetap sangat menghormati Calvin dan ajarannya, dan bahkan menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk membaca buku-buku tafsiran Calvin dan buku ‘Institutes of the Christian Religion’.

Andaikata saja ia bangkit dari antara orang mati, mungkin sekali ia akan menghajar pengikut-pengikut / anak-anak buahnya pada jaman sekarang, yang begitu kurang ajar terhadap Calvin dan ajarannya, yang ia sendiri sangat hormati!

Mau menuruti kata-kata bapa gereja anda sendiri, Liauw?

2) Anda mengatakan ‘Secara tradisional, umat Kristiani percaya bahwa Allah tahu segala sesuatu, termasuk apa yang disebut “middle knowledge.”’? Umat Kristiani yang mana? Anda kurang ajar sekali mencatut nama ‘umat Kristiani’! Jadi yang tidak percaya hal ini bukan Kristen?

Liauw percaya bahwa Allah mempunyai apa yang ia sebut ‘middle knowledge’, ‘yang berarti bahwa Allah bukan hanya tahu semua apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi, tetapi Allah juga tahu semua yang MUNGKIN terjadi’.


Kelihatannya Lenski juga mempercayai hal seperti itu, karena dalam tafsirannya tentang Mat 11:21 ia berkata seperti di bawah ini.

Lenski: “God’s omniscience includes all posssible actions. Since the possible lies between the absolutely necessary (God himself) and things that are free (such as actual human actions), the knowledge of the possible is called scientia media; under certain conditions certain possible things would become actual which, however, for lack of the conditions do not become actual; yet God knows all about them” [= Kemahatahuan Allah mencakup semua tindakan-tindakan yang memungkinkan. Karena yang memungkinkan itu terletak di antara yang perlu secara mutlak (Allah sendiri) dan hal-hal yang bebas (seperti tindakan-tindakan manusia yang sungguh-sungguh), pengetahuan tentang yang memungkinkan itu disebut SCIENTIA MEDIA; di bawah kondisi tertentu hal-hal memungkinkan yang pasti akan menjadi sungguh-sungguh, sekalipun karena tidak adanya kondisi itu hal-hal itu tidak menjadi sungguh-sungguh; tetapi Allah mengetahui semua tentang hal-hal itu] - hal 446.

Catatan:

· Tak usah heran kalau Lenski mempunyai pandangan yang sama dengan Liauw, karena Lenski juga adalah seorang Arminian.

· Saya tidak mengerti dengan pasti arti kata-kata ‘Scientia Media’, karena kata-kata ini ada dalam bahasa Latin, tetapi bisa saya duga bahwa kata-kata ini artinya adalah ‘middle knowledge’.

Bahwa tidak semua orang Kristen mempercayai apa yang Liauw katakan bisa saya tunjukkan dari kata-kata Louis Berkhof di bawah ini.

Louis Berkhof: “Jesuit, Lutheran, and Arminian theologians suggested the so-called scientia media as a solution of the problem. The name is indicative of the fact that it occupies a middle ground between the neccessary and the free knowledge of God. It differs from the former in that its object is not all possible things, but a special class of things actually future; and from the latter in that its ground is not the eternal purpose of God, but the free action of the creature as simply foreseen.” (= Ahli-ahli theologia Jesuit, Lutheran, dan Arminian mengusulkan apa yang disebut SCIENTIA MEDIA sebagai suatu solusi / penyelesaian dari problem itu. Nama itu merupakan petunjuk dari fakta bahwa itu menempati daerah di tengah-tengah di antara pengetahuan yang perlu / tak terhindarkan dan pengetahuan yang bebas dari Allah. Itu berbeda dengan yang pertama dalam hal obyeknya bukanlah semua hal yang memungkinkan, tetapi suatu golongan khusus dari hal-hal yang betul-betul akan datang; dan berbeda dengan yang terakhir dalam hal bahwa dasarnya bukanlah rencana kekal dari Allah, tetapi tindakan bebas dari makhluk-makhluk ciptaan yang sekedar dilihat lebih dulu) - ‘Systematic Theology’, hal 68.

Catatan:

· yang Louis Berkhof maksudkan dengan ‘the problem’ (problem itu) adalah ‘kontradiksi antara penentuan lebih dulu dari Allah dan kebebasan kehendak dari manusia’.

· sangat perlu dicamkan bahwa Louis Berkhof menggunakan kata ‘possible’ (memungkinkan) yang saya beri warna merah itu, dalam arti yang berbeda dengan arti dari kata itu pada waktu digunakan oleh Liauw / Lenski! Untuk mengerti tentang hal itu, dan juga tentang apa yang Louis Berkhof maksudkan dengan ‘the necessary and free knowledge of God’ (pengetahuan yang perlu / tak terhindarkan dan pengetahuan yang bebas dari Allah), kita harus melihat penjelasan Louis Berkhof sebelumnya.

Louis Berkhof: “A distinction is made between the ‘necessary’ and ‘free’ knowledge of God. The former is the knowledge which God has of Himself and of all things possible, a knowledge resting on the consciousness of His omnipotence. It is called ‘necessary knowledge’, because it is not determined by an action of the divine will. ... ‘The free knowledge of God’ is the knowledge which He has of all things actual, that is, of things that existed in the past, that exists in the present, or that will exist in the future. It is founded on God’s infinite knowledge of His own all-comprehensive and unchangeable eternal purpose, and is called ‘free knowledge’, because it is determined by a concurrent act of the will (= Suatu pembedaan dibuat antara pengetahuan yang ‘perlu / harus / tak terhindarkan’ dan ‘bebas’ dari Allah. Yang pertama adalah pengetahuan yang dimiliki Allah tentang DiriNya sendiri dan tentang segala sesuatu yang memungkinkan akan terjadi, suatu pengetahuan yang didasarkan pada kesadaran akan kemaha-kuasaanNya. Itu disebut ‘pengetahuan yang perlu / harus’, karena itu tidak ditentukan oleh suatu tindakan dari kehendak ilahi. ... ‘Pengetahuan yang bebas dari Allah’ adalah pengetahuan yang Ia miliki tentang segala sesuatu yang sungguh-sungguh, yaitu tentang hal-hal yang ada pada masa lalu, yang ada pada masa ini, dan yang akan ada pada masa yang akan datang. Ini didasarkan pada pengetahuan yang tak terbatas dari Allah tentang rencana kekalNya yang tak berubah dan mencakup segala sesuatu, dan disebut ‘pengetahuan bebas’, karena itu ditentukan oleh suatu tindakan bersamaan dari kehendak) - ‘Systematic Theology’, hal 66-67.

Jadi, kalau Louis Berkhof mengatakan hal-hal yang ‘possible’ (memungkinkan), ia tidak memaksudkan hal-hal yang contingent (hal yang bisa terjadi bisa tidak / tidak ada kepastian terjadi atau tidak). Ia memaksudkan hal yang bisa saja dilakukan oleh Allah yang maha kuasa seandainya Ia menghendakinya. Saya memberi contoh: pada minus tak terhingga, sebelum Allah menciptakan apapun, Ia tentu tahu bahwa Ia bisa saja menciptakan 10 Adam dan 10 Hawa, atau, Ia tentu tahu bahwa Ia bisa saja menciptakan 10 alam semesta. Hal-hal ini dalam kenyataannya tidak Ia lakukan, karena hal-hal itu bukan merupakan rencanaNya. Tetapi Ia tahu hal-hal itu memungkinkan untuk Ia lakukan, karena Ia tahu bahwa kemahakuasaanNya mampu untuk melakukan hal-hal itu. Ini sangat berbeda dengan, dan harus sangat dibedakan dari, kepercayaan bahwa Allah tahu akan hal-hal yang bersifat contingent.

Louis Berkhof melanjutkan dengan berkata sebagai berikut: “It is called ‘mediate’, says Dabney, ‘because they suppose God by His infinite insight into the manner in which the contingent second cause will act, under given outward circumstances, foreseen or produced by God.’ But this is no solution of the problem at all. It is an attempt to reconcile two things which logically exclude each other, namely, freedom of action in the Pelagian sense and a certain foreknowledge of that action (= Itu disebut ‘di antara / di tengah-tengah’, kata Dabney, ‘karena mereka menganggap Allah oleh kemampuan melihatNya yang tak terbatas ke dalam cara dalam mana penyebab kedua yang tak terduga akan bertindak, di bawah keadaan-keadaan luar yang diberikan, dilihat lebih dulu atau dihasilkan / dibuat oleh Allah’. Tetapi ini sama sekali bukan solusi / penyelesaian dari problem itu. Itu merupakan suatu usaha untuk memperdamaikan dua hal yang secara logika saling bertentangan, yaitu kebebasan tindakan dalam arti Pelagian dan suatu pra pengetahuan yang pasti tentang tindakan itu) - ‘Systematic Theology’, hal 68.

Catatan:

· Dabney adalah seorang ahli theologia Reformed / Calvinist.

· ‘kebebasan tindakan dalam arti Pelagian’ adalah tindakan yang bebas secara mutlak. Sekalipun Arminianisme terletak di antara Calvinisme dan Pelagianisme, dan merupakan ‘tawaran’ di tengah-tengah yang diberikan oleh setan setelah Pelagianisme dikecam sebagai ajaran sesat, tetapi dalam persoalan kebebasan kehendak saya kira Pelagianisme dan Arminianisme mempunyai pandangan yang sama.

· Bagian yang saya garis-bawahi menunjukkan bahwa Louis Berkhof sama sekali tidak percaya tentang Scientia Media / middle knowledge (pengetahuan di tengah-tengah) itu.

Dan Dabney juga menolak secara mutlak gagasan tersebut.

R. L. Dabney: “scientia media ... The existence of such a species of knowledge the Calvinists deny in toto” (= scientia media ... Keberadaan dari jenis pengetahuan seperti itu, orang-orang Calvinist menolak sebagai suatu keseluruhan) - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 156.

· Di bagian akhir dari point 2) di bawah saya memberikan lagi kata-kata Louis Berkhof yang merupakan sambungan langsung dari kata-katanya di sini.

3) Dari mana / apa dasarnya anda mengatakan ‘Allah sudah tahu tentang perzinahan Daud dengan Batsyeba, dan segala konsekuensinya, misalnya kekacauan keluarga Daud karena contoh buruk yang ia berikan, dan juga pemberontakan anaknya dan penasihatnya, Allah juga tahu, apa yang akan terjadi jika saja Daud tidak berzinah dengan Batsyeba! Allah tahu tentang semua konsekuensi, semua pilihan orang-orang lain di sekitar Daud, jika saja Daud memilih untuk melakukan hal lain!’?

Bagian awalnya saya setuju (kalau Daud berzinah), karena memang ada ayat-ayat yang menunjukkan hal itu. Tetapi bagian akhirnya belum tentu (kalau Daud tidak berzinah), karena tidak ada ayat-ayat yang menunjukkan pengetahuan Tuhan tentang hal itu.

Dalam kasus Daud, ada kemungkinan persoalannya adalah sebagai berikut: Allah sudah memikirkan kalau Daud berzinah, hal-hal apa yang akan terjadi, dan juga memikirkan kalau Daud tidak berzinah, hal-hal apa yang akan terjadi. Tetapi Ia tidak mau menentukan Daud tidak berzinah. Saya percaya Allah menentukan kejatuhan Daud, dan karena itu Ia juga tahu hal-hal apa yang akan terjadi.

Tetapi ini sangat berbeda halnya dengan kalau kejatuhan Daud itu sesuatu yang sepenuhnya contingent (bisa terjadi, bisa tidak), dan Allah tidak / belum menentukan apapun berkenaan dengan hal itu. Dalam hal ini Allah tidak bisa tahu apakah Daud akan jatuh atau tidak! Kalau anda tak setuju dengan hal ini, saya tanya: kalau kejatuhan Daud itu memang contingent, apa yang Allah ketahui tentang hal itu? Kalau anda katakan Allah tahu Daud bakal jatuh, maka kejatuhan itu sudah pasti, bukan lagi contingent. Demikian juga kalau anda katakan Allah tahu Daud bakal tidak jatuh, maka kejatuhan itu pasti tidak terjadi, dan lagi-lagi itu bukan lagi sesuatu yang contingent!

Saya harap dengan penjelasan ini anda bisa melihat bahwa ‘mengetahui lebih dulu tentang sesuatu yang contingent’ merupakan kata-kata yang kontradiksi!

Karena itu sangat tepatlah kata-kata Louis Berkhof di atas (saya kutip ulang sebagian di sini).

Louis Berkhof: “It is an attempt to reconcile two things which logically exclude each other, namely, freedom of action in the Pelagian sense and a certain foreknowledge of that action (= Itu merupakan suatu usaha untuk memperdamaikan dua hal yang secara logika saling bertentangan, yaitu kebebasan tindakan dalam arti Pelagian dan suatu pra pengetahuan yang pasti tentang tindakan itu) - ‘Systematic Theology’, hal 68.

Louis Berkhof: “Actions that are in no way determined by God, directly or indirectly, but are wholly dependent on the arbitrary will of man, can hardly be the object of divine foreknowledge” (= Tindakan-tindakan yang tidak ditentukan oleh Allah dengan cara apapun, secara langsung atau tidak langsung, tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak manusia yang berubah-ubah, tidak mungkin bisa merupakan obyek dari pra-pengetahuan ilahi) - ‘Systematic Theology’, hal 68.

Catatan: kata ‘hardly’ di sini tidak boleh diterjemahkan ‘hampir tidak’ seperti biasanya, tetapi harus diterjemahkan ‘improbable’ (= ‘tidak mungkin’) atau ‘not at all’ (= ‘sama sekali tidak’). Arti seperti ini memang diberikan dalam Webster’s New World Dictionary (College Edition).

4) Persoalan Mat 11:20-24.

Saya kira ada 2 kemungkinan untuk menafsirkan:

a) Calvin memberi penjelasan, yang bisa kita lihat dari tafsirannya tentang Mat 11:20-24 di bawah ini.

Calvin (tentang Mat 11:20-24): Lest any should raise thorny questions about the secret decrees of God, we must remember, that this discourse of our Lord is accommodated to the ordinary capacity of the human mind. Comparing the citizens of Bethsaida, and their neighbors, with the inhabitants of Tyre and Sidon, he reasons, not of what God foresaw would be done either by the one or by the other, but of what both parties would have done, so far as could be judged from the facts (= Supaya jangan ada siapapun menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sukar tentang ketetapan-ketetapan rahasia dari Allah, kita harus mengingat, bahwa pembicaraan Tuhan kita ini disesuaikan dengan kapasitas biasa dari pikiran manusia. Membandingkan orang-orang Betsaida, dan tetangga-tetangga mereka, dengan penduduk-penduduk dari Tirus dan Sidon, Ia menganalisa secara logis, bukan tentang apa yang Allah lihat lebih dulu akan dilakukan atau oleh yang satu atau oleh yang lain, tetapi tentang apa yang kedua pihak akan lakukan, sejauh seperti yang bisa dinilai dari fakta-fakta).

Matthew Poole (tentang Mat 11:22): “Our Saviour might here speak after the manner of men, according to rational conjectures and probabilities” (= Juruselamat kita di sini bisa / mungkin berbicara menurut cara manusia, sesuai dengan dugaan-dugaan dan kemungkinan-kemungkinan yang rasionil).

Jadi intinya, dalam bagian ini dalam Yesus mengucapkan kata-kata itu, Ia berbicara sambil menyesuaikan diri dengan kapasitas pengertian manusia. Ini adalah penganalisaan secara logis, bukan tentang pra-pengetahuan dari Allah.

b) Kita harus membedakan antara ‘ditentukan untuk tidak terjadi’ dengan ‘tidak ditentukan untuk terjadi’. Dalam kata-kata yang pertama, ada penentuan Allah, yaitu hal itu tidak akan terjadi. Tetapi dalam hal yang kedua, betul-betul tidak ada penentuan Allah berkenaan dengan terjadi atau tidak terjadinya hal itu. Dalam hal yang pertama, karena ada penentuan, maka Allah tahu hal itu. Dalam hal kedua, karena memang tidak ada penentuan apa-apa / tidak ada penentuan sama sekali, Allah tidak bisa tahu tentang hal itu.

Kasus Mat 11:20-24 (tentang pertobatan orang-orang Sidon dsb) termasuk yang mana? Jelas termasuk yang pertama, bukan yang kedua. Mungkin kalau kita membayangkan Allah seakan-akan Dia adalah manusia dengan pemikiran terbatas seperti manusia, maka pada waktu mau merencanakan / menentukan, Ia berpikir: Aku bisa memberi mujijat-mujijat kepada mereka, dan mempertobatkan mereka menggunakan mujijat-mujijat itu, atau, Aku bisa langsung menghancurkan mereka, tanpa memberi mujijat-mujijat yang akan mempertobatkan mereka. Sebetulnya, mungkin Ia juga memikirkan kemungkinan yang ketiga: Aku juga bisa memberi mujijat-mujijat kepada mereka, tetapi tetap tidak mempertobatkan mereka. Akhirnya Ia memilih untuk menentukan untuk tidak memberi mujijat-mujijat yang akan mempertobatkan mereka. Jadi dalam hal ini ada penentuan Allah, yaitu Ia tidak mau memberi mereka mujijat-mujijat, dan Ia tidak mau mereka bertobat. Karena hal ini ada dalam perencanaan Allah, maka Ia tahu akan hal itu.

Karena itu perhatikan kata-kata Louis Berkhof di atas, yang akan saya kutip ulang di sini.

Louis Berkhof: “Actions that are in no way determined by God, directly or indirectly, but are wholly dependent on the arbitrary will of man, can hardly be the object of divine foreknowledge” (= Tindakan-tindakan yang tidak ditentukan oleh Allah dengan cara apapun, secara langsung atau tidak langsung, tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak manusia yang berubah-ubah, tidak mungkin bisa merupakan obyek dari pra-pengetahuan ilahi) - ‘Systematic Theology’, hal 68.

Saya kira bagian-bagian yang saya garis-bawahi menunjukkan betapa hati-hatinya Louis Berkhof dalam menyusun kalimatnya. Jadi, hal-hal yang tidak mungkin diketahui lebih dulu oleh Allah hanyalah:

· hal-hal yang sama sekali tidak ditentukan oleh Allah dalam cara apapun. Ini pasti tidak mencakup hal yang ‘ditentukan untuk tidak terjadi’!

· hal-hal yang betul-betul tergantung pada kehendak manusia yang berubah-ubah, sehingga ini adalah hal-hal yang betul-betul tidak pasti / tertentu.

Perikop lain yang mengilustrasikan kebenaran ini ada dalam kitab 1 Samuel:

Ketika diketahui Daud, bahwa Saul berniat jahat terhadap dia, berkatalah ia kepada imam Abyatar: “Bawalah efod itu ke mari.” Berkatalah Daud: “TUHAN, Allah Israel, hamba-Mu ini telah mendengar kabar pasti, bahwa Saul berikhtiar untuk datang ke Kehila dan memusnahkan kota ini oleh karena aku. Akan diserahkan oleh warga-warga kota Kehila itukah aku ke dalam tangannya? Akan datangkah Saul seperti yang telah didengar oleh hamba-Mu ini? TUHAN, Allah Israel, beritahukanlah kiranya kepada hamba-Mu ini.” Jawab TUHAN: “Ia akan datang.” Kemudian bertanyalah Daud: “Akan diserahkan oleh warga-warga kota Kehila itukah aku dengan orang-orangku ke dalam tangan Saul?” Firman TUHAN: “Akan mereka serahkan.” (1 Sam. 23:9-12).

Pada waktu itu, Daud sedang bersembunyi dari Saul di sebuah kota bernama Kehila. Saul rupanya mendapat kabar bahwa Daud berada di sana, dan Saul berniat untuk membawa pasukan dan mengepung Daud di Kehila. Namun rencana itu bocor ke telinga Daud, sehingga Daud bertanya kepada Tuhan: “Apakah orang-orang Kehila akan menyerahkan aku kepada Saul?” Tentu pertanyaan ini adalah dengan asumsi bahwa Daud terus berada di Kehila. Pada kenyataannya, Daud akhirnya segara keluar dari Kehila. Walaupun demikian, Tuhan bisa tahu dengan pasti, bahwa jika Daud berada di Kehila, orang-orang kota itu akan menyerahkan Daud kepada Saul. Ini adalah suatu kondisi hipotetis, dan tidak pernah terjadi. Tetapi demikianlah kemahatahuan Tuhan, sedemikian ajaib, sehingga Ia tahu segala kemungkinan dan Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh makhluk-makhlukNya dalam segala jenis kondisi. Jelaslah bahwa Tuhan bukan hanya tahu apa yang Ia tetapkan! Tuhan bukan hanya tahu apa yang menjadi kehendakNya sendiri!

Kalau mau direnung-renungkan, pernyataan Warfield bahwa “Allah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri,” sebenarnya adalah pengakuan Kalvinis bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas! Dengan satu kalimat ini, Warfield menerangkan apa yang sebenarnya dipercayai oleh Kalvinis, tidak peduli betapa gigihnya mereka berusaha menyangkalinya, yaitu bahwa segala “kehendak” makhluk adalah sebenarnya “kehendak Allah.” Tanpa sadar (atau mungkin dengan sadar), Warfield menegaskan bahwa makhluk tidak memiliki kehendak sendiri, melainkan dikendalikan oleh “kehendak Allah.”


Tanggapan saya:

Calvin tidak menulis buku tafsiran tentang kitab 1Samuel, tetapi saya kira ia akan menafsirkan secara sama dengan pada waktu ia menafsirkan tentang Mat 11:20-24. Ini bukan berhubungan dengan pra pengetahuan Allah, tetapi hanya suatu pemikiran logis. Jadi, Allah bicara dengan menyesuaikan diri dengan pemikiran manusia yang terbatas.

Atau, bisa juga saya menafsirkan bagian ini seperti saya menafsirkan Mat 11:20-24 di atas. Jadi, kalau kita membayangkan Allah sebagai manusia dengan pemikiran yang terbatas, Ia mungkin berpikir: Aku bisa menentukan Daud untuk tetap di Kehila, dan Saul akan datang ke sana, dan warga Kehila akan menyerahkan Daud kepada Saul. Atau, Aku bisa menentukan Daud meninggalkan Kehila, sehingga Saul tidak pergi ke Kehila, dan warga Kehila tidak menyerahkan dia ke tangan Saul. Akhirnya Tuhan memutuskan untuk tidak menentukan yang pertama tetapi menentukan yang kedua. Jadi, lagi-lagi dalam hal ini ada penentuan Tuhan, yaitu bahwa Daud tidak tetap di Kehila, sehingga Saul tidak datang ke Kehila, dan warga Kehila tidak menyerahkan dia ke tangan Saul. Jadi, karena di sini ada penentuan Allah, tentu Allah tahu tentang hal itu.

Dari dua penafsiran ini, saya lebih condong pada yang pertama.

Jadi, usaha Kalvinis untuk memakai kemahatahuan Allah untuk mendukung premis dasarnya bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu, justru membawa dua dampak. Pertama, ia semakin memperlihatkan posisi Kalvinis sebenarnya, bahwa manusia hanyalah pion-pion pintar yang melakukan segenap “dekrit Allah” sambil berpikir dan merasa bahwa ia melakukannya atas keinginan sendiri. Kedua, ia justru memperlemah kemahatahuan Tuhan sendiri. Oh, teman-temanku Kalvinis, tidak dapatkah kalian melihat, bahwa “allah” yang hanya bisa tahu apa yang ia tentukan, dan hanya tahu kehendaknya sendiri, bukanlah Allah yang Mahatahu dalam Alkitab?


Tanggapan saya:

1) Saya tidak mengerti bagaimana dari pembahasan tentang kemahatahuan Allah yang dijadikan dasar dari penentuan segala sesuatu, kok tahu-tahu anda bisa menyimpulkan tentang manusia sebagai pion-pion pintar dan sebagainya. Apa hubungannya?

2) Tak ada pelemahan terhadap kemahatahuan Allah, mengingat bahwa Allah menentukan segala sesuatu, dan dengan demikian, mengetahui segala sesuatu juga!



Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)