03 Mei 2009

IV. SIKAP DALAM MEMPELAJARI DOKTRIN TRITUNGGAL

Esra Alfred Soru

Seperti dikatakan di atas bahwa doktrin Tritunggal ini sulit dipahami, maka menemukan sikap yang tepat dalam mempelajari atau memahaminya merupakan hal yang sangat penting. Tanpa sikap yang benar dalam mempelajari kebenaran ini, maka konsep yang benar tentang kebenaran ini akan tetap merupakan suatu misteri tak terpecahkan. Sikap-sikap itu antara lain:


1. Penghargaan yang Tinggi Terhadap Kemisteriusan dan Keunikan Allah

Allah adalah misterius dan unik (God is the mystery and unique Being). Jikalau Ia misterius dan unik, maka tentunya ada sisi dalam diri-Nya yang tak terjangkau oleh akal dan pikiran manusia. Jikalau ia terjangkau oleh akal dan pikiran manusia, maka Ia bukanlah pribadi yang misterius dan unik. Jikalau Ia bukan pribadi yang misterius dan unik, maka pada dasarnya Ia bukanlah Allah, sebab Allah harus memiliki sisi misteri dan keunikan dalam diri-Nya. Allah akan kehilangan nilai keallahan-Nya jikalau sisi misteri dan keunikan menjadi hilang dari diri-Nya. Barth berkata, “Allah bukanlah Allah, seandainya Dia bukan Dia yang sama sekali lain, Dia Yang Asing, Yang tak terpahami, seandainya Dia Cuma perpanjangan dunia.” (Barth dalam buku Horst G. Poehlmann; 1998: 13-14). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah yang dapat dipahami seluruhnya adalah bukan Allah (Robert Crossley: Tritunggal Yang Esa; 1983: 40)

Dalam ajarannya tentang Allah, Luther memaparkan dua aspek yang unik dari diri Allah yaitu Allah yang diwahyukan (Revelated God) dan Allah yang disembunyikan (The Hidden God). Menurutnya, Allah yang disembunyikan (The Hidden God) adalah seperti bulan di langit yang hanya dapat dilihat bagian depannya, tanpa dapat dilihat bagian belakangnya. Demikianlah Allah itu begitu ajaib dan besar sehingga ada bagian yang tersembunyi yang belum pernah diwahyukan kepada kita. Inilah sisi misterius dari Allah itu. Jadi “Deus Revelatus” (Allah yang dinyatakan) masih merupakan “Deus Apconditus” (Allah yang tersembunyi). Senada dengan Luther, Calvin pun berkata bahwa : “Allah dalam keberadaan-Nya yang terdalam tak terselami, Kecuali melalui wahyu Allah, hakikat Allah itu tak terpahami sehingga keilahian-Nya sepenuhnya luput dari pengertian manusia”. Dengan demikian di dalam mempelajari dan memahami doktrin Tritunggal, sikap yang harus dimiliki adalah sikap penghargaan yang tinggi terhadap sisi kemisteriusan dan keunikan Allah ini. Dengan mengakui dan menghargai serta mempertahankan sisi misteri dan keunikan dalam diri Allah, maka hal itu sama dengan tetap menjadikan Allah sebagai Allah. Tetapi sebaliknya, setiap usaha untuk memahami-Nya dengan sempurna dan menghilangkan sisi kemisteriusan dan keunikan-Nya adalah sama dengan mencoba menjadikan Allah menjadi bukan Allah, menurunkan-Nya dari takhta, serta menobatkan pikiran atau akal manusia menjadi Allah. Barth menulis dalam bukunya “Der Romerbrief” bahwa keunikan pada Allah akan lenyap, apabila orang tidak melihat jurang, daerah es, wilayah gurun yang harus diseberangi, jika kita sungguh ingin melangkah dari kefanaan dan kebakaan. (Karl Barth dalam buku Poelhmann; 1998:14). Biarkanlah Allah tetap menjadi Allah dengan membiarkan atau menghargai ruang gelap dalam diri-Nya tanpa usaha untuk menjadikan-Nya seterang mungkin. Michael de Milinos berkata : “Kita akan dapat mengunjung Allah lebih tinggi, jikalau kita mengetahui bahwa Allah itu tak dapat dimengerti dan berada di luar jangkauan pengertian kita…” (A.W.Tozer, 1995: 31-32).


2. Sikap Iman yang Mendahului Pengertian

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kebenaran Tritunggal adalah kebenaran yang bersifat dan berdasarkan wahyu. Jika demikian maka pada saat seseorang belajar tentang Tritunggal, berarti orang tersebut sementara belajar dari Dia dan tentang Dia. Pengenalan tentang Allah hanya dapat terjadi sepanjang hal itu dinyatakan oleh Allah sendiri. Bahkan Martin Luther berkata bahwa Deus Revelatus (Allah yang dinyatakan) sekalipun, masih merupakan Deus Abconditus (Allah yang tersembunyi). Dalam keberadaan yang terbatas, tak mungkin dapat memahami yang sepenuhnya Allah Yang Tak Terbatas. (Floyd C. Woodworth, Jr & David D. Duncan; 1989:27). Jadi pengenalan itu adalah “inadaequaat”, oleh karena seperti apa yang dikatakan oleh Calvin bahwa “finitum non capax infiniti” (Yang fana tidak mungkin memahami yang tidak fana/kekal) (R. Sudarmo: Ikhtisar Dogmatika;1985: 93; lihat juga Poehlmann; 1998:15). Wahyu adalah cara dan tindakan Allah yang keluar dari selubung-selubung-Nya, serta memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Jadi dalam hal pengertian tentang kebenaran Tritunggal, Allah selalu bertindak sebagai Subyek dan tidak pernah sebagai obyek, dan Ia selalu mengawasi setiap orang sementara orang tersebut mempelajari-Nya. (Stephen Tong; 1990:13). G. Van Schie: Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain (Buku 1); 1994:55).

Jikalau kebenaran ini bersifat dan berdasarkan wahyu, maka satu-satunya jalan untuk memahami-Nya adalah dengan sikap iman dan kepasrahan dan kebenaran. Iman inilah yang nantinya menuntun kepada pengertian tentang Kebenaran itu, seperti apa yang dikatakan oleh Anselmus dalam “I believe in order to know and not I know in order to believe” (Aku percaya supaya aku mengerti dan bukan aku mengerti supaya aku percaya). Sikap yang demikian tidak memerlukan bukti lebih lanjut, sebab meminta bukti berarti menunjukkan kebimbangan dan memperoleh bukti berarti menyatakan bahwa iman itu sia-sia. (A.W.Tozer; 1995: 32). Ini cocok dengan pendapat Jaspers bahwa ‘bukti berarti kematian iman’. (Jaspers dalam buku Poehlmann; 1998: 18). A.W.Tozer mengawali pembahasan tentang “Allah yang tak dapat dimengerti” dengan sebuah kalimat doa yang berbunyi : “Tuhan, dilema yang kami hadapi besar sekali! Di hadirat-Mu kami patut berdiam diri, tetapi kasih bergelora di hati kami dan memaksa kami untuk berbicara. Seandainya kami berdiam diri, maka batu-batu akan berseru; namun apabila kami harus berbicara, apa yang harus kami katakan? Ajarlah kami untuk mengetahui apa yang belum kami ketahui, karena tidak ada manusia yang dapat mengetahui hal-hal tentang Allah, hanya Roh Allah yang dapat. Apabila akal yak berdaya, biarlah iman yang menyangga kami, dan kami akan berpikir bahwa kami sudah percaya, bukan supaya kami percaya. Dalam nama Tuhan Yesus, Amin”.

Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu kesulitan dalam mempelajari doktrin Tritunggal adalah kesulitan filosofis, di mana kebenaran Tritunggal tergolong ke dalam hal yang supra natural. Supra rasional berarti berada di atas jangkauan kemampuan akal, dengan demikian rasio akan mengalami kesulitan untuk memahami hal-hal yang supra rasional. Tentunya hal ini menimbulkan kesulitan rasional-filosofis untuk memahami doktrin Tritunggal. Bukankah hal ini rasional? Jika ingin sungguh-sungguh rasional, maka harus berani menerima keberadaan yang supra rasional berarti gagal menjadi orang yang rasional.


3. Sikap Hormat dan Berbakti Kepada-Nya

Selain dua sikap di atas, sikap praktis lain yang harus dimiliki dalam mempelajari doktrin Tritunggal adalah sikap hormat, berbakti dan memuliakan keagungan dan kebesaran-Nya seperti yang dilakukan Barth. Ia membiarkan rahasia Allah dengan seluruh kesungguhannya tak tersentuh, dan tidak berusaha membongkarnya dengan akal budi. Ia tidak berikhtiar untuk membedah rahasia ilahi dengan pisau rasio, melainkan menyembah-Nya. (Sebuah penilaian terhadap Barth oleh Poehlmann; 1998:22). Anselmus berkata, “Biarkanlah aku mencari Engkau di dalam kerinduan, dan merindukan Engkau di dalam mencari Engkau; biarkanlah aku menemukan Engkau di dalam kasih, dan mengasihi Engkau di dalam menemukan Engkau” (St.Anselm dalam A.W.Tozer; 1995:33).

Kebenaran Tritunggal yang jauh melampaui akal dan pengertian manusia, seharusnya menuntun manusia untuk masuk ke dalam puji-pujian kepada-Nya. Dogma tentang ketritunggalan itu tidak memecahkan rahasia hakikat Allah, melainkan mau mengajak untuk turut serta memuliakan Allah dengan lagu pujian gereja segala abad…(Niftrik & Boland; 1984: 560). Doa pada perayaan ulang tahun yang ketujuh puluh dari Krister Stendahl pada tanggal 21 April 1991 berbunyi : “Ya, Engkau Hikmat abadi, sebagian saja yang kami tahu; Ya, Engkau Keadilan abadi yang sebagian saja kami akui tetapi tidak sepenuhnya kami turuti; Ya, Engkau Kasih abad yang kami hanya kasihi sebagian, tetapi takut mengasihi sepenuh-penuhnya; bukalah pikiran kami agar kami mengerti; bekerjalah dalam kehendak hati kami, agar kami menuruti; nyalakanlah hati kami agar kami dapat mencintai-Mu”. (Hans Ucko: Akar Bersama (Belajar tentang iman Kristen dari dialog Kristen-Yahudi); 1995; viii).

1 komentar:

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)