11 Juni 2009

DERAJAT LAKI-LAKI LEBIH TINGGI DARI DERAJAT PEREMPUAN?


Esra Alfred Soru


Menyikapi maraknya isu kesetaraan gender di kota Kupang dan sekitarnya, beberapa saat lalu Buang Sine (yang dalam tulisan-tulisannya selalu menyebut diri sebagai ‘To’o Mahatahu’) mengangkat sebuah tulisan dengan judul “GENDER” (Dialog To’o Mahatahu deng Ama Tukangbatanya)”. Inti tulisannya adalah penentangan terhadap perjuangan kesetaraan gender yang dinilainya tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Banyak ayat Alkitab dikutipnya untuk mendukung pandangannya yang mengatakan bahwa laki-laki memang lebih tinggi derajatnya dari perempuan. Tulisan ini mendapat tanggapan balik dari Esra Soru yang juga dimuat di koran Timex, 29-31 Agustus 2007. Simak tanggapan Esra atas tulisan Buang Sine ini.


Ada pertanyaan yang diajukan kepada saya : “Pak Esra, di Timex beberapa waktu yang lalu (25 Juli 2007) ada opini dengan judul “GENDER” (Dialog To’o Mahatahu deng Ama Tukangbatanya)” yang ditulis oleh Buang Sine. Dalam opini tersebut Buang Sine menggunakan sejumlah ayat Alkitab untuk mendukung pendapatnya dan berakhir pada kesimpulan bahwa kesetaraan gender itu tidak perlu karena memang perempuan itu derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Mohon tanggapan Pak Esra!”

Ya, saya juga sudah membaca tulisan tersebut dan saya kira kelemahan Buang Sine (To’o Mahatahu) adalah dia tidak bisa membedakan antara masalah “DERAJAT” dan “POSISI”. Itulah sebabnya ia akhirnya menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang harusnya menunjuk kepada masalah “POSISI” untuk membuktikan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan. Nah, untuk lebih jelasnya saya akan memberikan tanggapan terhadap setiap statement dari Buang Sine alias To’o Mahatahu (selanjutnya disingkat BS).

BS : “Apakah derajat laki-laki dan perempuan sama?” “Tidak!” “Antara laki-laki dan perempuan ada perbedaan kodrati yang hakiki”. “Buktinya?” “Penciptaan laki-laki dan perempuan berbeda dari segi waktu dan materi. Dari segi waktu, Allah memprioritaskan laki-laki terlebih dahulu. Penciptaan Adam berlangsung seirama dengan penciptaan bumi dan segala isinya, barulah Hawa diciptakan.

Tanggapan Esra Soru : Benarkah fakta bahwa Adam diciptakan lebih dahulu dari Hawa membuktikan bahwa Adam (laki-laki) lebih tinggi derajatnya dari Hawa (perempuan)? Kelihatannya bagi Buang Sine (To’o Mahatahu), urut-urutan penciptaan menentukan tinggi dan rendahnya derajat seseorang atau sesuatu. Jika demikian maka seharusnya derajat dari ciptaan yang lain (hari pertama hingga hari kelima penciptaan) lebih tinggi dari manusia karena manusia baru diciptakan terakhir (hari keenam) setelah semuanya diciptakan. Begitukah? Selain itu pada penciptaan hari keenam, ternyata ternak dan binatang diciptakan lebih dahulu dari manusia. Kej 1:24-26 : “Berfirmanlah Allah: "Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan binatang melata dan segala jenis binatang liar." Dan jadilah demikian. Allah menjadikan segala jenis binatang liar dan segala jenis ternak dan segala jenis binatang melata di muka bumi. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Apakah itu berarti bahwa ternak dan binatang melata serta binatang liar lebih tinggi derajatnya dari manusia? Soalnya kan mereka diciptakan lebih dahulu dari manusia? Mengikuti cara berpikir Buang Sine (To’o Mahatahu) maka kesimpulan seperti itu yang harus diambil. Kenyataannya justru terbalik. Manusia yang diciptakan pada urutan terakhir justru jauh lebih mulia daripada ciptaan yang lain. Ini dibuktikan minimal dengan tiga hal : (1) Pada waktu Allah menciptakan yang lain, Ia hanya berfirman saja dan semuanya jadi tetapi pada waktu Ia menciptakan manusia, itu didahului dengan perundingan ilahi antara pribadi-pribadi Allah Tritunggal sebagaimana yang dikatakan Kej 1:26 : “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." (2) Dari semua ciptaan Allah, hanya manusialah satu-satunya yang diciptakan menurut rupa dan gambar Allah (Kej 1:26-27) (3) Alkitab mencatat bahwa setiap kali Allah selesai mencipta, itu diakhiri dengan kalimat “Allah melihat bahwa semuanya itu baik (Kej 1:4, 10, 12, 18, 21, 25) tetapi pada waktu Allah selesai menciptakan manusia, Alkitab berkata : “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik…” (Kej 1:31). Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa manusia lebih tinggi daripada ciptaan yang lain meskipun ia diciptakan paling akhir. Apa yang saya maksudkan dengan fakta ini? Yang saya maksudkan adalah sebenarnya urut-urutan penciptaan tidak menentukan derajat sesuatu/seseorang. Bahwa sesuatu diciptakan lebih dahulu dari yang lain tidak berarti bahwa sesuatu itu lebih tinggi derajatnya daripada yang lain itu. Faktanya, manusia yang diciptakan paling akhir bukan hanya tidak lebih rendah dari ciptaan yang lain malah lebih tinggi derajatnya daripada semua ciptaan yang lain. Dengan demikian tafsiran yang dibuat oleh Buang Sine adalah tafsiran yang keliru. Ia menafsirkan Alkitab secara keliru karena ia berangkat dari asumsi yang keliru di mana jika sesuatu dicipta lebih dahulu maka derajatnya lebih tinggi.

Selain itu ada hal yang perlu diperhatikan. Buang Sine (To’o Mahatahu) mengambil kesimpulan dari kitab Kejadian pasal 2 di mana Adam dicipta terlebih dahulu dari Hawa tanpa memperhatikan bahwa di dalam Kejadian pasal 1, ada kesan laki-laki dan perempuan diciptakan secara bersama-sama. Kej 1:27 : “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Apa itu berarti bahwa Kejadian pasal 1 dan pasal 2 bertentangan? Tidak! Ini adalah gaya berpikir orang Ibrani yang selalu mulai dari kesimpulan barulah menguraikan detailnya. Itu berarti bahwa Kej 1:27 adalah kesimpulan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sedangkan Kej 2 memberikan detail di mana Adam dicipta lebih dahulu. Jadi memang benar bahwa Adam (laki-laki) dicipta lebih dahulu dari Hawa (perempuan) tetapi hal yang tidak boleh tidak diperhatikan adalah bahwa Kej 1:27 memberikan gambaraan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di mana mereka berdua dicipta menurut gambar Allah. Perhatikan sekali lagi Kej 1:26-27 : “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, ….Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Manusia diciptakan menurut gambar Allah. Perempuan juga diciptakan menurut gambar Allah. Ini harus membawa kita kepada kesimpulan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan derajat karena keduanya diciptakan menurut gambar Allah. Tidak peduli siapa dicipta lebih dahulu, tetapi sepanjang mereka dicipta menurut gambar Allah maka mereka setara dalam hal derajat. Saya kira Buang Sine lupa membaca satu bagian Alkitab yakni 1 Kor 11:8-12: Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki. … Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah. Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa memang perempuan berasal dari laki-laki atau perempuan diciptakan karena laki-laki namun yang paling penting yang perlu dicamkan adalah dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Jika keberadaan terlebih dahulu dijadikan standar tingkatan derajat maka kita tidak dapat berkata bahwa perempuan lebih rendah derajatnya. Mengapa? Karena setiap laki-laki yang ada di dunia ini berada lebih kemudian dari ibunya yang adalah seorang perempuan. Dengan demikian derajat seorang ibu (perempuan) masih lebih tinggi dari derajat semua orang laki-laki. Kesimpulan ini tidak terhindarkan. Itulah persoalannya! Dengan demikian fakta berasalnya perempuan dari laki-laki tidak boleh ditafsirkan bahwa perempuan lebih rendah derajatnya dari laki-laki. Itu adalah tafsiran keliru yang diambil tanpa pemikiran yang matang.

BS : “Dari segi materi, Allah membentuk Adam dari tanah liat sedangkan Hawa dari rusuk Adam”…Dari tulang rusuk laki-laki, perempuan diciptakan. Dengan demikian, menjadi kodrat, perempuan harus tunduk kepada laki-laki dan laki-laki berkuasa atas perempuan.

Tanggapan Esra Soru : Apakah karena Adam dicipta dari tanah liat maka derajatnya lebih tinggi dari Hawa? Apakah karena Hawa diciptakan dari rusuk Adam maka Hawa lebih rendah derajatnya daripada Adam? Apakah kelebihan tanah liat dari tulang rusuk? Andaikata mau dipikir lebih dalam justru tulang rusuk harusnya lebih tinggi daripada tanah liat karena itu adalah tulang rusuk dari Adam yang hidup sedangkan tanah liat jelas adalah benda mati. Jadi Adam berasal dari sesuatu yang mati sedangkan Hawa berasal dari sesuatu yang hidup. Mana yang lebih tinggi? Meskipun demikian, bagi saya, baik tanah liat maupun tulang rusuk sama sekali tidak menentukan tinggi dan rendahnya derajat. Derajat manusia tidak boleh dilihat dari materi apa darimana ia diciptakan melainkan dari rupa dan gambar Allah yang ada padanya.

Mungkin kita bertanya, mengapa Hawa (perempuan) harus dicipta dari tulang rusuk Adam (laki-laki)? Mengapa tidak saja dicipta dari tanah liat sama seperti Adam? Perlu diingat bahwa fakta ini mempunyai arti theologis yang penting karena dengan demikian semua umat manusia adalah satu kesatuan yang berasal dari satu orang saja. Kis 17:26 berbunyi : Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi ...” Jika Hawa dicipta juga dari tanah liat maka manusia berasal dari dua orang bukan satu orang. Nah karena seluruh manusia berasal dari satu orang saja yakni Adam, maka Adam bisa menjadi wakil seluruh umat manusia (bdk. Roma 5:12,18,19).

Dalam kaitannya dengan persoalan ini, saya ingin kita melihat beberapa ayat Alkitab. Ayub 34:14-15 : Jikalau Ia menarik kembali Roh-Nya, dan mengembalikan nafas-Nya pada-Nya, maka binasalah bersama-sama segala yang hidup, dan kembalilah manusia kepada debu. Maz 90:3 : “Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata: "Kembalilah, hai anak-anak manusia!" Maz 103:14 : “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu. Pengk 3:20 : “Kedua-duanya (manusia dan binatang) menuju satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu. Pengk 12:7 : “dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya. Sejumlah ayat di atas berbicara bahwa manusia (tanpa membedakan laki-laki dan perempuan) akan kembali menjadi debu darimana mereka berasal. Aneh memang! Seharusnya kalau melihat materi yang digunakan waktu manusia dicipta, harusnya manusia laki-laki kembali kepada debu dan manusia perempuan kembali kepada tulang rusuk. Tapi kenyataannya tidak ada ayat Alkitab yang mengatakan bahwa manusia perempuan akan kembali menjadi tulang. Justru sebaliknya banyak ayat Alkitab yang mengatakan bahwa manusia (laki-laki dan perempuan) akan kembali menjadi debu. Mengapa perempuan juga akan kembali menjadi debu? Karena dia berasal dari tulang rusuknya adam dan tulang rusuknya Adam berasal dari debu. Jadi pada titik akhir perempuan juga akan kembali menjadi debu. Dengan demikian lepas dari materi apa manusia itu diciptakan tapi pada akhirnya kembali juga pada debu. Maka di sini kita bisa melihat bahwa derajat manusia laki-laki dan perempuan itu sama saja. Pada titik akhir akan kembali menjadi debu. Jadi adalah teori omong kosong kalau derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki karena ia diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Seorang pernah berkata : “Perempuan diciptakan bukan dari tulang kepala sehingga berkuasa atas suami; bukan dari tulang kaki sehingga boleh diinjak-injak oleh suami; tetapi dari tulang rusuk sehingga setingkat dengan suami, dekat dengan jantung dan hati untuk dikasihi, disayangi dan dilindungi”.

BS : 1 Kor 11:3 : “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah”. Firman ini menegaskan perbedaan derajat antara perempuan dan laki-laki. Jika kelapa laki-laki adalah Kristus, kepala perempuan adalah laki-laki. Artinya, yang menjadi kepala seorang perempuan bukan dirinya sendir, tetapi harus seorang laki-laki. Dapatkah seorang berjalan tanpa kepala?

Tanggapan Esra Soru : Lagi-lagi kesalahan yang sama dibuat oleh Buang Sine. Jelas ayat ini tidak berbicara tentang tinggi rendahnya derajat di mana derajat laki-laki lebih tinggi dari derajat perempuan. Jika penafsiran semacam ini diterapkan maka ini juga akan berlaku bagi Kristus karena ayat ini juga berkata “Kepala dari Kristus ialah Allah”. Jadi apakah Buang Sine mau berkata bahwa derajat Kristus lebih rendah dari derajat Allah? Ini adalah doktrin bidat Saksi Yehovah yang mengatakan bahwa Yesus tidak setara dalam hakikat (sederajat) dengan Allah (Bapa). Alkitab sendiri menunjukkan kesetaraan hakikat antara Yesus dan Allah (Bapa). Fil 2:5-6 : “…Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan…” Jadi Yesus itu setara dengan Allah! Jelas bahwa melihat istilah “kepala” dalam ayat ini untuk menunjukkan ketidaksetaraan derajat adalah tafsiran yang keliru. Kalau begitu ayat ini berbicara tentang apa? Sekali lagi ayat ini berbicara tentang posisi atau kedudukan. Dalam kaitan dengan Kristus, Ia memang lebih rendah dari Allah (Bapa) dalam hal posisi atau kedudukannya pada saat Ia berinkarnasi (menjelma menjadi manusia) sebagaimana yang diungkapkan Fil 2 :5-8. Di sini, Kristus tidak ditinjau sebagai pribadi ke 2 dari Allah Tritunggal, tetapi sebagai pengantara antara Allah dan manusia, atau sebagai Allah yang telah berinkarnasi menjadi manusia. Karena itulah maka Ia lebih rendah dari pada Allah, dan Ia tunduk kepada Allah. Dengan demikian hubungan antara suami dan isteri di mana suami (laki-laki) adalah kepala dari isteri (perempuan) hanya menjelaskan perbedaan posisi atau kedudukan dalam hirarki rumah tangga. Seorang penafsir berkata : ‘Kepala dari perempuan ialah laki-laki’, dan itu berarti bahwa laki-lakilah yang memegang otoritas, dan perempuan harus tunduk kepada laki-laki. Laki-laki dan perempuan setara secara hakiki tetapi demi keteraturan, maka baik dalam gereja maupun dalam keluarga, Tuhan menetapkan bahwa laki-laki adalah pemegang otoritas, dan perempuan harus tunduk kepada laki-laki’. Jadi jelas ayat ini tidak berbicara tenjtang perbedaan derajat laki-laki dan perempuan. Pernyataan Buang Sine : ‘Firman ini menegaskan perbedaan derajat antara perempuan dan laki-laki’ hanyalah pernyataan dari orang yang tidak memahami konteks suatu ayat Alkitab.

BS : Kejadian 3:16-20 : “Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu." Firman ini secara tegas memposisikan kedudukan isteri di bawah kekuasaan suami.

Tanggapan Esra Soru : Kalau dalam bagian-bagian sebelumnya Buang Sine (To’o Mahatahu) membicarakan tentang “DERAJAT” perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, pada bagian ini ia berbicara tentang “POSISI” atau “KEDUDUKAN” perempuan (isteri) yang lebih rendah dari laki-laki. Perhatikan kalimatnya : “Firman ini secara tegas memposisikan kedudukan isteri di bawah kekuasaan suami. Dari sini nampak bahwa sebenarnya Buang Sine (To’o Mahatahu) ini tidak tahu perbedaan antara “DERAJAT” dan “POSISI” atau “KEDUDUKAN”. Kalau begitu apa itu derajat? Banyak kamus bahasa Indonesia yang menghubungkan “derajat” dengan “harkat dan martabat” misalnya Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KLBI) karangan Pius Abdillah & Danu Prasetya yang mengartikan “derajat” sebagai “harkat” atau “martabat” (hal. 160). Demikian juga KLBI karangan Drs. Yandianto (hal. 85). Selain itu ada juga kamus Bahasa Indonesia yang mengartikan “harkat” sebagai “derajat” seperti KLBI karangan Ahmad A.K. Muda (hal.251), KLBI karangan Indrawan WS,. Kalau begitu apa sebenarnya arti “derajat” atau “harkat” atau “martabat” itu sendiri? KLBI karangan Ahmad A.K. Muda (hal.364), KLBI karangan Pius Abdillah & Danu Prasetya (hal.390) mengartikannya sebagai ‘harga diri manusia’. KLBI karangan Indrawan WS (hal. 194) mengartikannya sebagai ‘harga, mutu manusia’. KLBI karangan Windy Novia (hal. 232) mengartikannya sebagai ‘kemuliaan’. KLBI karangan Amran YS. Chaniago (hal.240) mengartikannya sebagai ‘tingkat harga diri, kehormatan, taraf, nilai’. KLBI karangan Drs.Yandianto (hal.345) mengartikannya sebagai ‘tingkatan harkat kemanusiaan’. Dari semuanya ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa DERAJAT itu berbicara tentang nilai, harga, kehormatan, kemuliaan dari manusia itu sesungguhnya sebagai manusia. Dengan pengertian semacam ini maka tidak peduli apa pun jenis kelaminnya (laki-laki atau perempuan), tidak peduli keadaan ekonominya (miskin atau kaya), tidak peduli kondisi fisiknya (normal atau cacat), tidak peduli warna kulitnya (hitam, putih, kuning atau sawo matang), dll. Yang penting jika dia adalah manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah maka nilainya sama di hadapan Tuhan. Derajatnya sama di hadapan Tuhan. Ini berbeda dengan POSISI atau KEDUDUKAN. POSISI atau KEDUDUKAN berbicara tentang hal-hal dari luar yang ‘ditempelkan’ pada manusia itu (kekayaan, jabatan, status sosial, hirarki organisasi, dll). Dengan demikian kesamaan derajat sebagai manusia tidak berarti bahwa manusia harus setara dalam hal posisi dan kedudukan. Sebaliknya, perbedaan posisi dan kedudukan tidak berarti bahwa manusia berbeda dalam derajatnya.

SI A adalah presiden dan si B adalah rakyat jelata. Secara posisi atau kedudukan jelas si A lebih tinggi daripada si B tetapi secara derajat, si A tidak lebih tinggi dari si B dan si B tidak lebih rendah dari si A. Mereka sama-sama adalah manusia. Contoh lain, Pak R.B. Sadarum adalah Kapolda NTT dan Buang Sine adalah Bintara bagian Analisis Dit. Reskrim di Polda NTT. Secara posisi atau kedudukan jelas Pak Sadarum lebih tinggi daripada Buang Sine tetapi secara derajat, keduanya sama. Pak Sadarum tidak lebih tinggi dari Buang Sine dan Buang Sine tidak lebih rendah dari Pak Sadarum. Keduanya sederajat karena keduanya sama-sama manusia. Jadi di sini kita bisa melihat bahwa perbedaan posisi atau kedudukan tidak berarti perbedaan derajat. Kalau berbicara soal posisi dan kedudukan maka memang ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah, tidak peduli apa pun jenis kelaminnya. Ada laki-laki yang lebih tinggi dari perempuan dan ada perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki. Tetapi dalam hal derajat, baik laki-laki dan perempuan sama di hadapan Tuhan. Nah, di dalam ayat Kej 3 :16 yang dikutip oleh Buang Sine di atas, jelas berbicara tentang hirarki organisasi sebuah keluarga, dalam hal ini suami isteri. Di sana dikatakan : ‘ ….namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu." Jadi yang dipersoalkan adalah masalah posisi atau kedudukan sebagai suami dan isteri di mana suami akan berkuasa atas isteri. Jadi ini bukan masalah derajat. Sebenarnya Buang Sine menyadari hal ini makanya dia berkata : “Firman ini secara tegas memposisikan kedudukan isteri di bawah kekuasaan suami’ namun karena tidak bisa membedakan masalah posisi atau kedudukan dengan masalah derajat maka dia memakai ayat Alkitab yang menunjuk pada perbedaan posisi atau kedudukan untuk membuktikan perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Inilah kekeliruan Buang Sine. Kesalahan yang sama yang dia buat di dalam bagian-bagian selanjutnya dari tulisannya.

BS : Bil 30:6-7 : “Tetapi jika perempuan itu bersuami, dan ia masih berhutang karena salah satu nazar atau salah satu janji yang diucapkan begitu saja dan yang mengikat dirinya, dan suaminya mendengar tentang hal itu, tetapi tidak berkata apa-apa kepadanya pada waktu mendengarnya, maka nazarnya itu akan tetap berlaku dan janji yang mengikat dirinya akan tetap berlaku juga”. Artinya, berlaku dan tidaknya suatu nazar yang terjanji oleh seorang isteri, ditentukan suaminya. Lagi-lagi firman ini mengungkapkan derajat laki-laki berada di atas perempuan.

Tanggapan Esra Soru: Terlihat bahwa Buang Sine mengutip ayat Alkitab tanpa memperhatikan konteks ayat tersebut dan lalu mengambil kesimpulan bahwa derajat laki-laki berada di atas perempuan. Konteks ayat tersebut adalah tentang perarturan pemberian nazar. Bil 30 :2 mengatur pemberian nazar dari seorang laki-laki sedangkan ayat-ayat selanjutnya mengatur tentang nazar seorang perempuan di mana berlakunya nazar seorang gadis bergantung dari ayahnya (ay.3-5) dan berlakunya nazar seorang isteri bergantung pada suaminya (ay.3-8). Nah, karena berlakunya nazar seorang isteri bergantung pada suaminya, apakah itu berarti bahwa derajat laki-laki lebih tinggi dari derajat perempuan? Jawaban saya yang pertama adalah ayat-ayat ini berbicara dalam konteks keluarga (anak, ayah, suami, isteri). Ini berarti yang dibicarakan bukan masalah DERAJAT tetapi masalah POSISI atau KEDUDUKAN atau hirarki dalam kehidupan keluarga di mana memang orang tua lebih tinggi dari anak-anak dan suami lebih tinggi dari isteri. Wajar kalau nazar anak bergantung pada orang tua dan nazar isteri bergantung pada suami. Adalah sesuatu yang naif kalau melihat perbedaan posisi dan kedudukan dalam hirarki kehidupan rumah tangga sebagai bukti lebih tingginya derajat laki-laki daripada perempuan. Sekali lagi Buang Sine tidak bisa membedakan antara POSISI atau KEDUDUKAN dan DERAJAT. Selain itu perlu diketahui mengapa nazar seorang anak laki-laki tidak bergantung pada ayahnya sedangkan seorang gadis harus bergantung pada ayahnya? Dan mengapa pula nazar seorang isteri harus bergantung pada suaminya? Jawabannya : (1) Karena anak laki-laki itu adalah seorang laki-laki (2) Karena ayah dari anak gadis itu adalah seorang laki-laki (3) Karena suami dari isteri itu adalah seorang laki-laki. Nah, apakah jawaban ini bukannya mendukung teorinya Buang Sine bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan? Tunggu dulu! Kita harusnya bertanya lagi, mengapa justru nazar-nazar itu harus bergantung pada kaum laki-laki? Apakah memang karena derajatnya lebih tinggi dari perempuan? Tidak! Jawabannya sederhana saja seperti yang diungkapkan Elmer Smick dalam The Wycliffe Bible Commentary (pg.412) bahwa : “Perempuan pada umumnya tidak mengetahui rincian-rincian upacara religius sehingga dapat mengikrarkan nazar-nazar yang berat atau yang merugikan rumah tangganya”. Ini nampak dalam bunyi ayat 6 : “Tetapi jika perempuan itu bersuami, dan ia masih berhutang karena salah satu nazar atau salah satu janji yang diucapkan begitu saja dan yang mengikat dirinya,…” Frase “diucapkan begitu saja” oleh Alkitab Terjemahan Lama diterjemahkan sebagai “dengan kurang pikir” dan terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) menerjemahkannya sebagai “entah dengan dipertimbangkan lebih dahulu atau dengan begitu saja”. Jelas bahwa kondisi kebudayaan saat itu di mana perempuan tidak memahami atau mengerti seluk beluk atau rincian-rincian uparaca religius dapat saja menyebabkan kaum perempuan mengucapkan nazar-nazar yang gegabah, tidak pikir panjang atau tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu sehingga nazar itu bisa memberatkan dirinya sendiri atau rumah tangganya. Itulah sebabnya penentuan nazar kaum perempuan ditentukan oleh laki-laki (ayah atau suami) yang jelas lebih mengerti rincian-rincian upacara religius. Inilah persoalannya! Jadi hukum nazar ini tidak ada sangkut pautnya dengan perbedaan derajat antar laki-laki dan perempuan. Inilah persoalannya jika kita hanya asal comot ayat Alkitab tanpa mengetahui latar belakang dan konteks budaya saat ayat tersebut ditulis. Akhirnya memunculkan ajaran atau pandangan yang aneh-aneh.

BS : Ulangan 22:5 berbunyi : "Seorang perempuan janganlah memakai pakaian laki-laki dan seorang laki-laki janganlah mengenakan pakaian perempuan, sebab setiap orang yang melakukan hal ini adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu”. Dalam ayat ini TUHAN Allah menegaskan perbedaan antar laki-laki dan perempuan. Perempuan dilarang mengenakan pakaian laki-laki dan sebaliknya, karena itu kekejian bagi Allah. Artinya, antara perempuan dan laki-laki ada perbedaan yang tidak bisa disederajatkan”

Tanggapan Esra Soru : Rasanya aneh sekali bahwa ayat ini dipakai oleh Buang Sine untuk membuktikan bahwa derajat laki-laki lebih tinggi dari derajat perempuan. Kesimpulan Buang Sine ini baru benar jika perempuan dilarang memakai pakaian laki-laki tetapi laki-laki boleh memakai pakaian perempuan. Jadi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Tetapi ayat ini jelas melarang perempuan memakai pakaian laki-laki dan juga laki-laki memakai pakaian perempuan. Jadi di sini terlihat kedudukannya imbang (“satu sama”). Buang Sine berkata : “Dalam ayat ini TUHAN Allah menegaskan perbedaan antar laki-laki dan perempuan. Memang benar bahwa firman ini disampaikan Tuhan Allah untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Tetapi untuk membedakan apanya? Derajat mereka? Jelas tidak! Tuhan sudah menciptakan manusia dengan jenis kelamin berbeda yakni laki-laki dan perempuan dan Tuhan tidak ingin kalau perbedaan jenis kelamin atau perbedaan ciri sebagai laki-laki dan perempuan itu dikaburkan manusia. Itulah sebabnya Ia memberikan firman tentang peraturan berpakaian untuk mempertahankan perbedaan jenis kelamin atau perbedaan ciri sebagai laki-laki dan perempuan. Atau dengan kata lain firman ini diberikan agar perbedaan di antara laki-laki dan perempuan dengan tabiat dan cirinya sendiri jangan dikaburkan dengan saling memakai barang ciri khas dari yang lain. Jadi perbedaan yang dibicarakan di sini bukanlah perbedaan derajat laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan jenis kelamin/ciri khas sebagai laki-laki dan perempuan.

BS : Efesus 5:22-28 berbunyi : Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami….kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat ….demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri…’ Sekali lagi firman ini menegaskan, isteri harus tunduk kepada suami. Bahkan ketundukkan seorang isteri kepada suaminya harus sama seperti ia tunduk kepada TUHAN. Bayangkan, betapa pentingnya posisi suami di mata TUHAN.

Tanggapan Esra Soru : Sama seperti ayat sebelumnya (1 Kor 3:11), ayat ini tidak membicarakan perbedaan derajat tetapi perbedaan posisi atau kedudukan dalam hirarki rumah tangga. Di sini terlihat jelas sekali ketidakpahaman Buang Sine terhadap perbedaan derajat dan posisi. Ia mengutip ayat-ayat Alkitab untuk membuktikan bahwa laki-laki dan perempuan tidak sederajat tetapi di atas ia berkata ‘Bayangkan, betapa pentingnya posisi suami di mata TUHAN’. Jadi sepertinya bagi Buang Sine, derajat itu sama dengan posisi. Asumsi inilah yang membuat dia menafsirkan ayat-ayat Alkitab secara salah.

BS : ‘Kesetaraan gender itu perlu atau tidak ?’ ‘Tidak perlu !’ ‘Mengapa ?’ ‘Alkitab telah menegaskan perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan. Pedomani saja firman ini. Laksanakanlah ia di dalam kehidupan rumah tangga kita. Para perempuan dan isteri-isteri janganlah berpikir untuk menyetarakan diri dengan laki-laki. Karena hal itu merupakan perlawanan terhadap perintah Allah.

Tanggapan Esra Soru : Sekali lagi pernyataan-pernyataan Buang Sine ini disebabkan ketidakmampuannya membedakan masalah derajat dan posisi atau kedudukan. Soal kedudukan/posisi (terutama dalam keluarga), kita harus akui bahwa suami lebih tinggi dari isteri. Tetapi dalam hal derajat atau nilai manusia secara hakiki jelas tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Maka pertanyaan ‘Kesetaraan gender itu perlu atau tidak ?’ masih bergantung pada apa yang diperjuangkan para pejuang gender ini ? Kesetaraan derajat? Atau kesetaraan posisi dan kedudukan (terutama dalam keluarga)? Jika yang diperjuangkan adalah kesetaraan posisi dan kedudukan (terutama dalam keluarga) maka saya setuju dengan Buang Sine bahwa itu tidak perlu. Itu melawan firman Tuhan. Tetapi kalau yang diperjuangkan adalah masalah derajat atau nilai hakiki seorang perempuan maka saya sangat setuju dengan perjuangan gender! Apakah perjuangan ntuk mencapai kesetaraan derajat merupakan perlawanan terhadap perintah Allah? Menurut saya tidak! Mengapa? Karena firman Tuhan sendiri menegaskan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Gal 3:28 berkata : “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus”. Entah bagaimana Buang Sine mengartikan ayat ini. Bagi Buang Sine jelas ayat ini tidak bisa diharmoniskan dengan 1 Kor 11:3 yang dikutipnya. Tapi kalau kita bisa membedakan antara masalah derajat dan posisi maka kedua ayat ini bisa diharmoniskan. Jelas Gal 3:28 meninjau nilai manusia secara hakiki (derajat) sedangkan 1 Kor 11:3 meninjau posisi atau kedudukan dalam hirarki kehidupan rumah tangga. Jadi dalam hal derajat tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, bahkan tidak ada perbedaan antara orang tua dan anak. Perempuan tidak lebih hina daripada laki-laki, dan laki-laki tidak lebih mulia daripada perempuan. Perempuan tidak lebih rendah daripada laki-laki dan laki-laki tidak lebih tinggi daripada perempuan. Dan dengan demikian, sesuai dengan konteks Gal 3:28, baik laki-laki maupun perempuan, kalau ia percaya Yesus, ia menjadi anak Allah dan ia diselamatkan. Laki-laki dan perempuan boleh berbakti bersama-sama dalam kebaktian (tidak seperti dalam Yudaisme di mana mereka dipisahkan). Jadi perjuangan gender (jika yang diperjuangkan adalah masalah derajat) maka itu tidak melawab firman Tuhan.

BS : Selama ini penerapan firman Allah dalam kehidupan rumah tangga Kristen sudah berjalan dengan baik.

Tanggapan Esra Soru : Benarkah demikian? Apa Buang Sine lupa dengan segala macam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang banyak diberitakan di media massa kita?

BS : Para isteri tunduk kepada suami. Ketertundukan isteri kepada suami ini telah menciptakan rasa simpati suami terhadap isteri karena dengan tunduknya isteri kepada suami, suami merasa dihargai dan disanjung sebagai kepala keluarga.

Tanggapan Esra Soru : Kelihatannya bagi Buang Sine, kasih suami kepada isteri adalah hasil sebuah reaksi dari pihak suami terhadap ketertundukan isterinya. Jika isteri tunduk kepada suami maka suami akan mengasihi isteri. Persoalannya adalah ada isteri yang tunduk kepada suami tetapi suami tetap kurang ajar dan tidak mengasihi isterinya. Selain itu, menurut Alkitab, tindakan suami mengasihi isteri bukanlah sebuah reaksi terhadap ketertundukan isteri kepadanya. Itu adalah perintah langsung dari Tuhan. Tidak peduli isteri mau tunduk atau tidak tetapi tanggung jawab suami adalah mengasihi isterinya. Efs 5:25 : Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat…” Perintah ini setara dengan perintah sebelumnya : Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Efs 5:22). Jadi suami diperintahkan untuk mengasihi isteri sama seperti isteri diperintahkan untuk tunduk kepada suami. Itu adalah suatu kewajiban dan bukan hasil sebuah reaksi.

BS : Saya khawatir dengan gencarnya sosialisasi soal kesetaraan isteri dan suami, memberikan angin segar bagi isteri untuk bersikap ego terhadap suami.

Tanggapan Esra Soru : Kita perlu meneliti apa sebenarnya yang diperjuangkan para pejuang gender itu. Kalau memang yang mereka perjuangkan adalah kesetaraan isteri dan suami (kesetaraan posisi/kedudukan dalam hirarki keluarga) maka saya juga mempunyai kekuatiran yang sama dengan Buang Sine. Dan itu berarti bahwa mereka telah melawan firman Tuhan. Tetapi jika yang mereka perjuangkan adalah kesetaraan derajat sebagai sesama manusia antara suami (laki-laki) dan isteri (perempuan) maka itu bukanlah sebuah persoalan bahkan itu adalah sebuah keharusan. Kita memang harus kuatir bahwa isteri akan bersikap ego terhadap suami tetapi apakah kita juga memiliki kekuatiran bahwa suami akan bersikap ego terhadap isteri? Dan faktanya, itu terjadi sangat banyak.

BS : Dulu, ketika seorang isteri dicubit suaminya, sang isteri tidak pernah berpikir untuk mempolisikan suaminya, karena dianggap cubitan suaminya adalah warna warni dan seni hidup berumah tangga. Tetapi, ketika isu gender didengungkan, ketika isteri dicubiti suaminya, pengadilan tempat penyelesaiannya. Suaminya harus dimeja hijaukan.

Tanggapan Esra Soru : Masalahnya, yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga itu bukan hanya cubit-cubitan bung. Bagaimana mungkin hanya karena dicubit suami kok kepala sang isteri berdarah-darah? Bagaimana mungkin hanya karena dicubit suami kok kaki tangan isteri bisa patah-patah? Bagaimana mungkin hanya karena dicubut suami kok sekujur tubuh isteri bengkak-bengkak dan memar-memar di sana sini? Apakah ini yang namanya warna-warni kehidupan rumah tangga? Jadi masalahnya tidak sesederhana itu! Fakta membuktikan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga dari suami terhadap isteri. Tentang masalah isteri mempolisikan suami, saya juga tidak setuju kalau polisi merupakan tujuan pertama dari setiap ketidakberesan dalam rumah tangga. Jika isteri tunduk kepada suami dan suami mengasihi isteri, maka setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus ke polisi. Tetapi bagaimana dengan tindakan para suami yang kurang ajar dan tidak tahu perikemanusiaan dan bahkan terjadi berulang kali bahkan kekerasan-kekerasan itu sudah menjadi ‘makanan’ isteri setiap harinya? Ya polisikan saja! Biar kapok! Kita memang harus menyerukan pada para isteri untuk tunduk pada suami tetapi seruan itu harus sama kerasnya dengan seruan kepada para suami untuk mengasihi isterinya. Firman Tuhan berkata : “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat…” tetapi persoalannya banyak suami bertindak seperti setan daripada seperti Kristus. Kalau mau dihitung, saya kira jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang ditangani polisi dan pengadilan masih terlalu sedikit dibandingkan dengan yang tidak diangani polisi dan pengadilan.

BS : Sebenarnya isu kesetaraan gender ini ide siapa? Ide manusia atau ide Tuhan? Jika ide manusia berlawanan dengan ide Tuhan, mengapa kita harus menerimanya? Tuhan sudah memikirkan baik buruknya memposisikan perempuan atau isteri di bawah kuasa suaminya ketika Ia menegaskan suami adalah kepala isteri, itu harga mati! Tidak ada lagi tawar menawar. Isteri harus tunduk kepada suami! Jadi tidak perlu kesetaraan gender? Tidak perlu! Isteri harus tunduk kepada suami? Begitulah kata Alkitab.

Tanggapan Esra Soru : Sekali lagi kita harus mengerti dengan jelas apa yang diperjuangkan para pejuang gender. Kalau yang diperjuangkan adalah kesetaraan posisi/kedudukan dalam hirarki rumah tangga sebagai suami isteri, maka jelas itu adalah ide manusia bukan ide Tuhan dan itu tidak perlu. Tetapi kalau ternyata yang diperjuangkan adalah kesetaraan derajat sebagai laki-laki dan perempuan yang adalah sama-sama manusia, maka itu bukan ide manusia semata. Firman Tuhan menjelaskan : “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Jelas bahwa di hadapan Tuhan secara hakiki tidak ada perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Jadi itu perlu sekali! Benar bahwa isteri harus tunduk kepada suami, itu adalah harga mati! Tetapi bahwa derajat isteri sebagai seorang perempuan lebih rendah daripada derajat seorang suami sebagai laki-laki jelas bukan harga mati tapi harga ‘hidup’ artinya, harus dipikirkan kembali di samping perlu juga ditekankan bahwa suami harus mengasihi isteri. Itu juga harga mati! Tidak ada lagi tawar menawar! Begitulah kata Alkitab.

BS : Isteri harus tunduk kepada suami? Begitulah kata Alkitab. Suami harus berkuasa atas isteri? Begitulah firman Allah. Kepala isteri adalah suami? Ya! Kata Alkitab!

Tanggapan Esra Soru : Isteri memang harus tunduk kepada suami. Ini persoalan posisi/kedudukan bukan persoalan derajat. Jadi ketundukan isteri kepada suami tidak menyebabkan derajatnya lebih rendah. Buang Sine harus tunduk kepada Kapolda karena Kapolda adalah atasannya (bosnya) tetapi derajat antara keduanya sama yakni sama-sama manusia. Memang benar Alkitab juga mengatakan bahwa suami akan berkuasa atas isterinya tetapi dalam konteks isteri harus tunduk kepada suami, itu tidak dikaitkan langsung oleh Alkitab dengan suami harus BERKUASA atas isteri melainkan suami harus MENGASIHI isteri. Coba bandingkan kalimat Buang Sine : “Isteri harus tunduk kepada suami? …..Suami harus berkuasa atas isteri? dengan firman Tuhan : “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu….Hai suami, kasihilah isterimu….” (Efs 5:22, 25). Jadi firman Tuhan mengaitkan TUNDUK isteri kepada suami dengan KASIH suami kepada isteri sedangkan Buang Sine mengaitkan TUNDUK isteri kepada suami dengan KEKUASAAN suami atas isteri. Semoga ini tidak memberikan kesan adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan (isteri). Jika ya, maka saya kira perjuangan ke arah kesetaraan gender (dalam artian kesetaraan derajat) sangat dibutuhkan. Isteri harus tunduk kepada suami? Begitulah kata Alkitab. Suami harus mengasihi isteri? Begitulah firman Allah. Kepala isteri adalah suami? Ya! Tetapi suami dan isteri sama derajatnya di hadapan Tuhan? Ya! Kata Alkitab!

Catatan Bagi Para Pejuang kesetaraan Gender :

Apa yang ditulis oleh Sdr. Buang Sine (lepas dari beberapa kelemahan penafsiran Alkitab) adalah baik. Ini harusnya menjadi bahan perenungan kita semua, termasuk anda-anda yang getol memperjuangkan dan mensosialisasikan kesetaraan gender. Anda perlu tahu apa sebenarnya yang anda perjuangkan. Kalau anda-anda memperjuangkan kesetaraan posisi dalam hirarki kehidupan keluarga sebagai suami dan isteri maka sesungguhnya anda-anda sementara melawan firman Tuhan dan hanya akan menyebabkan banyak kekacauan dalam kehidupan berkeluarga. Tetapi kalau yang anda perjuangkan adalah kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan, (lebih tepatnya pengakuan kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan) yang mempunyai nilai yang sama di hadapan Tuhan maka perjuangan anda sungguh mulia. Itulah sebabnya saya tidak berkata bahwa perjuangan gender tidak perlu ! Saran saya adalah di tengah gencarnya sosialisasi kesetaraan gender, anda-anda perlu juga mensosialisasikan atau mengingatkan peserta bahwa demi keteraturan kehidupan berkeluarga maka Tuhan telah menetapkan para suami sebagai kepala dari isteri. Karena itu perjuangan kesetaraan gender tidak boleh menyebabkan para isteri menjadi sombong, angkuh dan tidak menghargai suami di rumah. Dengan harapan bahwa para suami taat kepada firman Tuhan untuk mengasihi isteri, kiranya setiap persoalan rumah tangga dapat diselesaikan dengan kasih dan pengampunan tanpa harus ke kantor polisi dan kantor pengadilan. Kalau yang diberikan suami hanyalah cubitan-cubitan kecil, balaslah dia dengan ciuman-ciuman mesra sehingga itu dapat dinikmati sebagai warna warni kehidupan rumah tangga seperti yang dikatakan Sdr. Buang Sine. Selamat berbenah diri dan selamat berjuang sambil mengingat firman Tuhan : "Tidak baik, kalau manusia (laki-laki) itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya (perempuan), yang sepadan dengan dia." Dan juga terima kasih buat Sdr. Buang Sine. Tulisan anda membawa sumbangsih dan koreksi yang berarti bagi perjuangan kesetaraan gender! Salam hangat dari saya dengan harapan suatu hari dapat duduk dan ngopi bersama di ‘pak Laru’!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)