02 Mei 2009

MENJAWAB KEBERATAN KAUM “ANTI NATAL” (Part 3)

Merayakan Natal = Kafir?

Bagian Terakhir Dari Tiga Tulisan

Esra Alfred Soru

Keberatan lainnya dari kaum anti Natal adalah bahwa Natal dikatakan berasal dari kekafiran. Herbert W. Armstrong dalam ‘The Plain Truth About Christmas’ (www.geocities.com/pakguruonline/kebohongan_natal.html) dengan merujuk pada beberapa Encyclopedia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa : "Natal bukanlah upacara-upacara awal gereja. Yesus Kristus atau para muridnya tidak pernah menyelenggarakannya, dan Bible (Alkitab) juga tidak pernah menganjurkannya. Upacara ini diambil oleh gereja dari kepercayaan kafir penyembah berhala." Ia melanjutkan : "Menurut para ahli, pada abad-abad permulaan, Natal tidak pernah dirayakan oleh umat Kristen. Pada umumnya, umat Kristen hanya merayakan hari kematian orang-orang terkemuka saja, dan tidak pernah merayakan hari kelahiran orang tersebut.." ("Perjamuan Suci" yang termaktub dalam Kitab Perjanjian Baru, hanyalah untuk mengenang kematian Yesus Kristus.)". Perayaan Natal yang dianggap sebagai hari kelahiran Yesus mulai diresmikan pada abad keempat Masehi. Pada abad kelima, Gereja Barat memerintahkan kepada umat Kristen untuk merayakan hari kelahiran Yesus, yang diambil dari hari pesta bangsa Roma yang merayakan hari "Kelahiran Dewa Matahari." Sebab tidak seorang pun yang mengetahui hari kelahiran Yesus."(ibid). Simak juga tulisan Brian Schwertley berikut ini : “Catatan-catatan sejarah di dalam Ensiklopedia, yang bisa kita dapatkan di perpustakaan-perpustakaan, dan yang dapat dipercaya, memberikan fakta-fakta ini: bahwa Natal berasal dari bangsa kafir. Jika ditelusuri, Natal merupakan kepanjangan dari penyembah-penyembah matahari di antara bangsa-bangsa kafir. Banyak hari kelahiran dari para pemimpin kafir dirayakan oleh bangsa Babilonia. Semua perayaan penyembahan berhala ini berasal dari bangsa kafir. Kata Christmas (Natal) berarti Misa Kristus. Kata ini kemudian disingkat menjadi Christ-Mass; dan akhirnya menjadi Christmas. Kita kenal misa ini sebagai Misa Roma Katolik. Tetapi dari mana mereka mendapatkannya? Oleh karena kita mengenalnya lewat Gereja Roma Katolik, dan tidak ada wewenang selain Gereja Roma Katolik, marilah kita selidiki Ensiklopedia Katolik, yang diterbitkan oleh denominasi ini. Di bawah judul Christmas (Natal) engkau akan menemukan kata-kata ini: Natal tidak terdapat pada perayaan-perayaan Gereja jaman dahulu … Bukti awal dari perayaan ini adalah dari Mesir. Adat kebiasaan dari para penyembah berhala yang berlangsung sekitar bulan Januari ini kemudian dijadikan Natal. ... ENSIKLOPEDIA AMERICANA, edisi 1969, berkata: Natal, nama ini berasal dari bahasa Inggris kuno Chrites Maesse dan ejaan sekarang ini nampaknya mulai digunakan pada sekitar abad ke 16. Semua gereja Kristen kecuali gereja Armenia merayakan hari kelahiran Kristus pada tanggal 25 Desember. Tanggal ini tidak dikenal di negeri Barat sampai kira-kira pertengahan abad ke 4 dan di Timur sampai kira-kira seabad kemudian”. (http://www.prcedm.netfirms.com/). Masih dari sumber yang sama : “Tradisi ini mungkin berasal dari perayaan Saturnalia, di mana para budak menjadi sejajar dengan tuannya. Membakar kayu Natal dimasukkan menjadi adat orang Inggris yang asalnya dari adat orang Skandinavia tatkala mereka menghormati titik balik matahari pada musim dingin”. Schwertley melanjutkan : “Asal mula Natal. Alasan mengapa menetapkan tanggal 25 Desember sebagai Natal adalah tidak jelas, tetapi seperti yang dipercayai tanggal ini dipilih untuk menyesuaikan dengan perayaan penyembahan berhala yang berlangsung pada musim dingin waktu terjadi titik balik matahari, yaitu ketika siang hari mulai panjang, untuk merayakan lahirnya kembali sang matahari. Suku-suku bangsa Eropa Utara merayakan Natal mereka pada musim dingin waktu titik balik matahari untuk merayakan kelahiran kembali sang matahari (dewa) sebagai yang memberikan terang dan kehangatan. Saturnalia Romawi (perayaan yang dipersembahkan kepada Saturnus, dewa pertanian) juga berlangsung pada waktu tersebut, dan beberapa adat Natal diperkirakan berakar pada perayaan penyembahan berhala ini. Perayaan ini diadakan oleh beberapa orang terpelajar bahwa kelahiran Kristus sebagai Terang Dunia dianalogikan dengan kelahiran kembali sang matahari agar supaya kekristenan menjadi lebih berarti bagi para petobat baru yang dulunya menyembah matahari”.

Asal-usul yang tidak jelas

Pertama-tama yang ingin saya katakan adalah bahwa Schwertley tidaklah konsisten dalam kata-katanya. Dalam kutipan pertama dia mengatakan bahwa hal itu (bahwa Natal berasal dari kekafiran) ‘dapat dipercaya’. Tetapi dalam kutipan kedua ia mengatakan ‘mungkin’, dan dalam kutipan ketiga ia mengatakan ‘Alasan mengapa menetapkan tanggal 25 Desember sebagai Natal adalah tidak jelas’ dan pada bagian akhir ia menggunakan kata ‘diperkirakan’. Dengan demikian jelas bahwa asal usul dari kekafiran bukanlah merupakan sesuatu yang pasti. Itu baru perkiraan saja. Perhatikan penjelasan Encyclopedia Britannica 2000 tentang sejarah Natal, kata ‘Christmas’, dan asal usul tanggal 25 Desember dan perayaannya : “Alasan mengapa Natal sampai dirayakan pada tanggal 25 Desember tetap tidak pasti, tetapi paling mungkin alasannya adalah bahwa orang-orang Kristen mula-mula ingin tanggal itu bertepatan dengan hari raya kafir Romawi yang menandai ‘hari lahir dari matahari yang tak terkalahkan’ ...; hari raya ini merayakan titik balik matahari pada musim dingin, di mana siang hari kembali memanjang dan matahari mulai naik lebih tinggi di langit. Jadi, kebiasaan yang bersifat tradisionil yang berhubungan dengan Natal telah berkembang dari beberapa sumber sebagai suatu akibat dari bertepatannya perayaan kelahiran Kristus dengan perayaan kafir yang berhubungan dengan pertanian dan matahari pada pertengahan musim dingin. ... Tanggal 25 Desember juga dianggap sebagai hari kelahiran dari dewa misterius bangsa Iran, yang bernama Mithra, sang Surya Kebenaran”. Selanjutnya : “Tidak ada tradisi tertentu yang pasti tentang tanggal kelahiran Kristus. Para penghitung waktu Kristen dari abad ketiga percaya bahwa penciptaan dunia / alam semesta terjadi pada musim semi di saat siang dan malam sama lamanya, yang pada saat itu dianggap sebagai tanggal 25 Maret; karena itu penciptaan baru dalam inkarnasi (yaitu ‘pembuahan’ / mulai adanya janin Kristus) dan kematian Kristus harus terjadi pada hari yang sama, dengan kelahiranNya 9 bulan berikutnya pada titik balik matahari pada musim dingin, 25 Desember. ... Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari. ... Keadaan yang tepat tentang permulaan / asal usul hari Natal tetap kabur”. (Perhatikan kata-kat yang dicetak tebal). Alfred Edersheim memberikan informasi lain tentang tanggal 25 Desember : tanggal dari hari raya Penthabisan Bait Allah - bulan Kislew tanggal 25 - kelihatannya telah diadopsi oleh Gereja kuno sebagai tanggal kelahiran dari Tuhan kita yang terpuji - Natal - Penthabisan dari Bait Allah yang sejati, yang adalah tubuh dari Yesus (bdk. Yoh 2:19-22) – (The Temple, hal 334). Dengan demikian dari semua data, sekurang-kurangnya ada 4 pendapat di sekitar asal usul tanggal 25 Desember ini yakni :
(1) hari raya Romawi yang memperingati titik balik matahari (2) hari lahir dari dewa bangsa Iran (3) ditentukan oleh para penghitung waktu Kristen (sekalipun dengan cara yang sangat tidak masuk akal). (4) hari raya pentahbisan Bait Allah. Dari sini nampak bahwa ada 2 pendapat yang menyatakan bahwa Natal (mungkin) berasal dari tradisi kafir (pandangan 1 & 2) dan ada 2 pendapat yang tidak menunjuk pada asal usul kafir (pandangan 3 & 4). Semua ini jelas menunjukkan bahwa asal usul tanggal 25 Desember sebagai hari Natal masih simpang siur dan tidak ada kepastiannya. Tetapi orang-orang anti Natal itu dengan berani/cerobohnya menuduh tanpa fakta yang pasti bahwa Natal berasal dari kekafiran. Saya kira mereka perlu belajar lebih banyak lagi.

Seandainya dari kafir

Sekarang, SEANDAINYA tanggal 25 Desember itu memang diadopsi dari hari raya kafir, kita masih harus memperhitungkan apa motivasi orang-orang Kristen pada saat itu untuk melakukan hal tersebut. Encyclopedia Britannica 2000 mengatakan bahwa ada teori yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen mengadopsi tanggal itu supaya perayaan Natal menyaingi perayaan kafir tersebut. Untuk jelasnya saya mengutip ulang bagian itu : “Banyak orang memberikan teori bahwa hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari Surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari”. Baiklah saya juga kutipkan kembali dari tulisan saya tahun lalu : “Harus diingat bahwa perayaan Natal yang bertepatan dengan perayaan kafir itu bukan berarti bahwa umat Kristen waktu itu menyembah dewa-dewa kafir. Sebaliknya justru mereka ingin menjauhkan diri dari kekafiran. Perhatikan kata-kata Herlianto : “Pada tahun 274, di Roma dimulai perayaan hari kelahiran matahari pada tanggal 25 Desember sebagai penutup festival saturnalia (17-24 Desember) karena diakhir musim salju matahari mulai menampakkan sinarnya pada hari itu. Menghadapi perayaan kafir itu, umat Kristen umumnya meninggalkannya dan tidak lagi mengikuti upacara itu, namun dengan adanya kristenisasi masal di masa Konstantin, banyak orang Kristen Roma masih merayakannya sekalipun sudah mengikuti agama Kristen. Kenyataan ini mendorong pimpinan gereja di Roma mengganti hari perayaan ‘kelahiran matahari’ itu menjadi perayaan ‘kelahiran Matahari Kebenaran’ dengan maksud mengalihkan umat Kristen dari ibadat kafir pada tanggal itu dan kemudian menggantinya menjadi perayaan ‘Natal.’ Pada tahun 336, perayaan Natal mulai dirayakan tanggal 25 Desember sebagai pengganti tanggal 6 Januari. Ketentuan ini diresmikan kaisar Konstantin yang saat itu dijadikan lambang raja Kristen. Perayaan Natal kemudian dirayakan di Anthiokia (375), Konstantinopel (380), dan Alexandria (430), kemudian menyebar ke tempat-tempat lain”. (
http://www.yabina.org/). Herlianto melanjutkan : “Dari kenyataan sejarah tersebut kita mengetahui bahwa Natal bukanlah perayaan dewa matahari, namun usaha pimpinan gereja untuk mengalihkan umat Roma dari dewa matahari kepada Tuhan Yesus Kristus dengan cara menggeser tanggal 6 Januari menjadi 25 Desember, dengan maksud agar umat Kristen tidak lagi mengikuti upacara kekafiran Romawi. Masa kini umat Kristen tidak ada yang mengkaitkan hari Natal dengan hari dewa matahari, dan tanggal 25 Desember pun tidak lagi mengikat, sebab setidaknya umat Kristen secara umum merayakan hari Natal pada salah satu hari di bulan Desember sampai Januari demi keseragaman. Karenanya Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘from church year Christmas’ menulis : “...hari raya tentang kelahiran Kristus, hari lahir dari ‘surya kebenaran’ (Mal 4:2) ditetapkan di Roma, atau mungkin di Afrika Utara, sebagai suatu saingan Kristen terhadap hari raya kafir dari surya yang tak terkalahkan pada titik balik matahari. ...” Demikianlah asal usul perayaan Natal pada tanggal 25 Desember. (Esra Alfred Soru; Kapan Sesungguhnya Yesus Dilahirkan?; Timex, 23 Desember 2004). Jadi seandainya tanggal 25 Desember itu diadopsi dari asal-usul kafir, itu tidak berarti bahwa orang Kristen saat itu menyembah berhal kekafiran. Justru sebaliknya mereka membuat sebuah saingan bagi berhala kekafiran saat itu dengan memberikan makna baru bagi perayaan/tanggal tersebut. Hal yang mirip dengan itu adalah baik Nebukadnezar dan Artahsasta disebut dengan istilah ‘raja di atas segala raja’ (Dan 2:37 Ezra 7:12). Tetapi gelar dari raja kafir itu lalu diberikan kepada Yesus / Allah (1 Tim 6:15 Wah 17:14 Wah 19:16). Mengapa bisa demikian? The International Standard Bible Encyclopedia, vol II menyatakan : Gelar ‘Raja segala raja’ lebih menunjukkan otoritas mutlak dari pada keilahian sendiri, digunakan terhadap Allah dan Kristus dalam PB (selalu dengan ‘Tuhan segala Tuhan’: 1 Tim 6:15; Wah 17:14; 19:16). Penggunaannya merupakan suatu tanggapan baik oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen terhadap praktek pendewaan penguasa-penguasa politik duniawi (hal 508). Jadi rupanya pada jaman itu banyak raja duniawi disebut dengan istilah ‘raja di atas segala raja’. Orang-orang Kristen merasakan itu sebagai tidak tepat, dan mereka menganggap hanya Yesus / Allah yang pantas memakai gelar itu, dan mereka lalu memberikan gelar itu kepada Allah / Yesus, dan bahkan setiap kali gelar itu mereka berikan kepada Allah / Yesus, maka mereka menambahi dengan kata-kata ‘Tuhan atas segala Tuhan’. Jadi mereka menampilkan Yesus / Allah sebagai saingan terhadap raja-raja kafir yang didewakan oleh rakyat kafir mereka. Apakah ini juga mau kita anggap berasal dari kafir? Kalau mau dikatakan berasal dari kafir, memang jelas berasal dari kafir. Tetapi apakah kita mau menyalahkan motivasi mereka, yang sebetulnya bisa dikatakan sebagai ‘mulia’? Demikian juga, andaikata Natal memang diambil dari kafir, tetapi motivasinya adalah untuk menyaingi hari-hari raya kafir, itu adalah sesuatu yang ‘mulia’, dan bertujuan untuk memuliakan Tuhan.

Hal lain yang dapat saya tambahkan adalah bahwa dalam Kristen maupun dalam kehidupan kita sehari-hari ada banyak hal yang berasal dari kekafiran, tetapi tetap dipertahankan, setelah dibuang kekafirannya. Misalnya kata ‘Behold’ / ‘Lihatlah’ (dalam terjemahan Indonesia “sesungguhnya”) dalam Yes 7:14 diambil dari kekafiran dan diterapkan pada kelahiran Kristus. E. J. Young menulis : “‘Lihatlah!’ ... Kata itu juga muncul dalam teks-teks dari Ugarit. ... Di Ugarit kata itu telah digunakan untuk mengumumkan kelahiran allah-allah/dewa-dewa, makhluk-makhluk yang tidak mempunyai keberadaan yang merupakan sebagian dari jaringan takhyul yang meliputi dunia kafir kuno. Tetapi di bibir Yesaya, formula ini diangkat dari konteks kafir kunonya dan digunakan untuk mengajukan pengumuman tentang kelahiran dari satu-satunya ‘Makhluk’ yang sungguh-sungguh adalah Allah dan Raja”.- (The Book of Isaiah, vol I, hal 284-285). Kalau Yesaya boleh menggunakan kata yang berasal dari orang kafir dalam urusan berhala mereka, dan menggunakannya untuk menubuatkan kelahiran Kristus, mengapa orang Kristen jaman sekarang menolak Natal dengan alasan itu berasal dari orang kafir / penyembah berhala? Demikian juga dengan Yunani THEOS (Allah) mungkin juga berhubungan dengan kekafiran, seperti yang dikatakan oleh Bavinck : Dahulu dipercaya bahwa kata Yunani THEOS diturunkan dari TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI. Pada saat ini beberapa ahli bahasa menghubungkannya dengan Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu. Ditafsirkan demikian, maka kata itu menjadi identik dengan kata Sansekerta ‘deva’, ‘langit / surga yang berkilau / bersinar’, dan berasal dari kata ‘div’ yang berarti ‘berkilau / bersinar’. Tetapi para ahli bahasa yang lain menyangkal semua hubungan asal usul kata antara kata Yunani THEOS dan kata Latin DEUS dan menghubungkan kata THEOS itu dengan akar kata THES dalam THESSASTHAI, yang berarti ‘menginginkan’, ‘meminta / memohon’ (The Doctrine of God, hal 98-99). Orang Kristen berbakti pada hari yang dalam bahasa Inggris disebut ‘Sunday’, yang berasal dari nama dewa. Apakah kita tidak boleh berbakti pada hari itu, karena hari itu menggunakan nama dewa, atau apakah kita sebagai orang-orang Kristen harus mengubah nama hari itu? Semua nama hari dalam bahasa Inggris dan juga nama-nama bulan seperti Januari, dan sebagainya, juga berasal dari nama-nama dewa atau dari nama-nama kaisar Romawi yang didewakan. Apakah kita sebagai orang-orang Kristen tidak boleh memakai nama-nama bulan itu? Bukankah seluruh Kanaan dulunya adalah negeri kafir yang dipenuhi dengan penyembahan berhala. Tetapi Tuhan mengambilnya dan memberikannya kepada bangsa pilihan-Nya, dan Kanaan lalu menjadi Holy Land, dan Bait Allah dibangun di sana? Bukankah bahasa Yunani juga merupakan bahasa bangsa kafir, tetapi lalu diambil dan digunakan sebagai bahasa asli dari Kitab Suci. Semua ini seharusnya membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa karena dunia ini dulunya seluruhnya kafir, adalah mustahil bagi kita untuk menghindari hal-hal yang berasal dari kekafiran. Jadi selama kekafiran itu bisa disaring / dibersihkan, tidak jadi soal dengan hal-hal yang asal usulnya kafir itu. Dengan demikian SEANDAINYA berlatar belakang kafirpun tidak ada salahnya kita merayakan Natal. Pada kenyataannya asal usul Natal tidaklah jelas dalam arti BELUM TENTU berasal dari kafir. Dengan demikian tuduhan kaum anti Natal sama sekali tidak berdasar.

Penutup / kesimpulan

Dari semua pembahasan ini jelas bahwa keberatan kaum anti Natal sama sekali tidak mempunyai dasar yang cukup kuat dan karenanya usul mereka agar perayaan Natal dihapuskan dari kekristenan juga tidak dapat diterima. Saya menganggap bahwa perayaan Natal itu sangat berguna karena Natal mengingatkan kita akan kasih Allah, mengingatkan kita akan karya Allah yang penting dalam sejarah umat manusia. Jadi perayaan Natal tetap penting dan perlu. Tetapi supaya perayaan Natal itu tidak menjadi batu sandungan bagi orang-orang tertentu, mari kita memurnikan perayaan Natal tersebut. Selalulah berhati-hati supaya tidak memasukkan unsur-unsur yang salah ke dalam perayaan Natal. Juga selalulah membuatnya berguna dan membangun, baik dengan memberitakan Injil, mengadakan acara untuk mengakrabkan, dan juga mengambil waktu secara pribadi untuk merenungkan kasih Tuhan pada Natal, supaya anda sendiri bertumbuh dalam kasih kepada Tuhan melalui perayaan Natal tersebut. Selamat Natal 2007 dan Tahun Baru 2008. Soli Deo Gloria!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)