03 Mei 2009

VII. ALLAH TRITUNGGAL : SEBUAH URAIAN FILOSOFIS

Esra Alfred Soru

Doktrin tentang Allah Tritunggal adalah doktrin yang paling banyak memancing perdebatan dan kontroversi sepanjang sejarah gereja. Doktrin in pulalah yang memisahkan agama Yahudi, Kristen dan Islam pada jalan dan konsep yang berbeda tentang keesaan Allah. Yahudi dan Islam memandang keesaan Allah sebagai Allah yang satu-satunya dan tak ada yang dapat disamakan dengan Dia (Unity) sedangkan Kristen (Doktrin tritunggal) memandang keesaan Allah sebagai Allah yang esa dalam tiga pribadi atau tiga pribadi dalam satu esensi/hakikat Allah (Trinity).

Jika Alkitab dipelajari dengan seksama, maka akan ditemukan dua aksioma di dalamnya yaitu :

(1). Allah itu esa

(2) Ada tiga pribadi yang digambarkan sebagai Allah dan memiliki kualitas yang sama dalam segala hal.

Dua aksioma ini membawa kepada tuntunan rasional untuk mengambil kesimpulan tanpa meruntuhkan atau mengabaikan salah satu dari dua aksioma tadi.

Jika kesimpulan yang diambil adalah Allah itu esa (Unity) maka itu berarti mengutamakan aksioma pertama dan mengabaikan aksioma kedua. Sedangkan jika kesimpulan yang diambil adalah ada tiga pribadi Allah maka itu berarti mengutamakan aksioma kedua dan mengabaikan aksioma pertama. Supaya kesimpulan yang diambil mencakup dua aksioma (tidak mengabaikan salah satunya), maka harus berkesimpulan bahwa Allah itu esa dalam tiga pribadi. Itulah Tritunggal. (Lihat kembali bagian “Arti Tritunggal”).

Pertanyaan penting yang tidak boleh dilalaikan dalam pembahasan ini adalah “Mengapa Allah Tritunggal?” Harus disadari bahwa pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan adakah karena Allah itu memang Tritunggal. Mengapa demikian? Tak ada yang tahu (No body knows) sebab ini adalah misteri Allah.

Kebenaran Tritunggal bersifat wahyu, dan wahyu berasal dari Allah. Jadi dengan kata lain, pengertian tentang Allah Tritunggal bergantung pada Seberapa besar dan banyak yang Allah nyatakan tentang diri-Nya. Fakta Tritunggal merupakan “The mystery of God”. Karena itu tidak bisa menemukan jawaban lain selain Allah itu memang Tritunggal.

Sekalipun demikian, demi kepentingan polemika dan Apologetika, penting juga untuk melihat beberapa bahan pemikiran tentang hal itu agar dapat sedikit memahami misteri yang besar ini. Baiklah, pembahasan dimulai dengan cara berpikir silogisme yang memberikan dua premis yang diambil dari sifat-sifat Allah :

Premis mayor: Allah itu kekal

Premis minor: Allah itu kasih

Jika Allah itu kekal dan juga kasih, maka kesimpulannya adalah bahwa kasih Allah itu kekal. Hal ini dibenarkan juga dengan kenyataan bahwa sifat sosial dan sumber kasih adalah esensi makhluk kekal. (Hutton dalam A.H. Strong; 1907: 351)

Berbicara tentang kasih, tak mungkin terlepas dari relasi, sebab kasih itu bersifat relasional dan bukan substansial. Maksudnya adalah bahwa keberadaan kasih itu selalu “mengalir” dalam relasi-relasi. Bagi manusia, kasih itu mengalir dalam tiga relasi yaitu relasi antara manusia dengan Allah, relasi antara manusia dengan sesamanya dan relasi antara manusia dengan dirinya sendiri. Sedangkan bagi Allah, kasih itu mengalir dalam dua relasi, antara Allah dengan diri-Nya sendiri dan relasi antara Allah dengan ciptaan-ciptaan-Nya.

Jika berbicara dalam konteks kekekalan (masa pra penciptaan), maka tentunya akan ditemukan kenyataan bahwa relasi antara Allah dan ciptaan-ciptaan-Nya belum terjadi sebab saat itu belum ada ciptaan. Itu berarti bahwa pada “saat” itu Allah hanya memiliki satu relasi saja yaitu antara Ia dan diri-Nya sendiri. Jika demikian kenyataannya, maka pastilah akan ada benturan berat tentang makna kasih yang sesungguhnya, karena Allah hanya mengasihi diri-Nya sendiri atau kasih-Nya hanya berpusat pada diri-Nya sendiri (egosentris). Kasih yang egosentris ini memang tetap kasih, tetapi merupakan kasih yang “sakit” dan mengalami “distorsi” sebab kasih yang “sehat” adalah kasih yang menjadikan diri yang lain atau pihak lain menjadi objek di samping diri sendiri. Dalam konteks ini Stephen Neil mengatakan bahwa : “Cinta kasih berarti memasrahkan diri kepada orang (pihak) lain. Ini berarti keluarnya sesuatu dari kita sendiri menuju kepada orang lain yang kita cintai, dan apabila cinta kasih itu telah mencapai taraf kesempurnaannya, kembalinya kepada kita suatu pemberian yang serupa dari orang lain tadi dengan cara yang sama”. (Stephen Neil: Allah Orang Kristen, 1967: 74). Inilah kasih yang “sehat” dan tidak distortif.

Jika Allah hanya mengasihi dirinya sendiri sepanjang kekekalan maka itu berarti bahwa kasih Allah berada dalam keadaan “sakit” dan distortif, sampai Ia menciptakan manusia sebagai objek kasih di luar diri-Nya. Seperti yang dikatakan D’Arcy, bahwa jika Allah adalah hanya satu pribadi yang agung, maka kita harus berpikir bahwa Dia menunggu sampai seluruh alam semesta diciptakan sebelum kasih-Nya bisa menemukan objek untuk memberi kasih-Nya. (D’Arcy dalam A.H. Strong; Op.cit: 351). Apakah demikian? Tidak! Kasih Allah adalah kasih yang sempurna (sebab kasih Allah merupakan standar tertinggi dari semua kasih) yang tak mungkin mengalami “kesakitan” atau distorsi. Oleh sebab itu tak dapat diterima bahwa jauh dalam kekekalan Allah hanya mengasihi diri-Nya sendiri. Pastilah Ia mempunyai objek lain di samping diri-Nya sebagai sasaran dan tujuan kasih-Nya.

Jika argumentasi ini dikaitkan dengan kesimpulan dari kedua premis di atas, yaitu bahwa kasih Allah itu kekal, maka kebenaran itu menuntun kepada pemikiran tentang kenyataan bahwa ada pribadi lain yang berada di samping Allah yang dapat menjadi objek, sasaran dan tujuan kasih-Nya. Pribadi tersebut tidak boleh tidak, harus kekal, dan bukan suatu ciptaan. Sebab jika pribadi tersebut adalah ciptaan maka itu berarti bahwa ia pernah diadakan atau disebabkan untuk menjadi ada. Jika ia pernah diadakan atau disebabkan untuk menjadi ada, itu berarti bahwa ia pernah tidak ada. Dan kalau ia pernah tidak ada, maka Allah yang kekal dan kasih-Nya pun yang kekal itu, pasti pernah tidak berobjek, tidak bersasaran dan tidak bertujuan di luar diri-Nya. Sebab, kepada apa atau kepada siapakah kasih-Nya dinyatakan, sedangkan suatu pribadi itu belum diadakan? Kalau ini yang terjadi, maka tetap tak bisa dihindari bahwa kasih Allah itu “sakit” dan distortif. Jadi, pribadi tersebut tidak boleh pernah tidak ada. Atau dengan kata lain pribadi tersebut haruslah kekal, sebab Allah itu kekal, dan kasih-Nya pun kekal. Hanya pribadi yang kekal sajalah yang dapat menerima kasih yang kekal sejak kekal sampai kekal, atau kasih yang kekal hanya dapat terjadi dari dan kepada “Yang Kekal”.

Sekarang timbullah pertanyaan yang serius: “Yang Kekal itu siapa?” Tak lain adalah Allah, sebab hanya Allah sajalah yang kekal. Selain Allah tak ada yang kekal (God is the only eternal Being). Jika demikian, maka pribadi yang menjadi objek, sasaran dan tujuan kasih Allah itu juga harus mempunyai nilai ilahi. Atau dengan kata lain Ia haruslah Allah juga. Alkitab bersaksi bahwa ada dua pribadi lain yang memiliki kekekalan dalam kualitas yang sama dengan Allah (Bapa) yaitu Anak dan Roh Kudus (Yesaya 9:6; Yohanes 8:58; Ibrani 9:14; lihat kembali bagian “Allah Tritunggal [Sebuah Pembahasan Teologia Alkitabiah]”). Itu berarti bahwa Anak dan Roh Kudus inilah yang merupakan pribadi-pribadi kekal yang menjadi objek dan sasaran kasih Allah (Bapa) sejak kekekalan, dan sebaliknya (Mereka saling mengasihi atau menjadi subjek sekaligus objek kasih) dan itu berarti pula bahwa Mereka adalah Allah. William W. Menzies dan Stanley M. Horton mengatakan bahwa : “Trinitas ini merupakan suatu persekutuan yang harmonis dalam keallahan. Persekutuan ini juga adalah persekutuan kasih, sebab Allah adalah kasih. Tetapi kasih-Nya adalah kasih yang ramah, bukan kasih yang berpusat pada diri sendiri. Kasih seperti ini membutuhkan lebih dari satu oknum dalam keallahan”. (William W. Menzies & Stanley M. Horton: Doktrin Alkitab; 1998: 55). Dan Stephen Neil mengatakan : “Ada Bapa yang dari kekal sampai kekal merupakan sumber segala hakikat dan segala cinta kasih; ada Putra yang dari kekal sampai kekal dicintai oleh Bapa dan yang sebaliknya mencintai Bapa; ada cinta kasih yang menjadikan Mereka satu, dan cinta kasih itu adalah Roh Kudus”. (Stephen Neil, Op.cit: 75)

Dalam konteks kasih ini pernyataan di atas sungguh benar, hanya dalam konteks keilahian oknum-oknum Tritunggal dapat saja menimbulkan kesan bahwa Roh Kudus bukanlah suatu pribadi yang terlibat dalam aktivitas kasih ilahi, tetapi semata-mata hanyalah kekuatan kasih saja. Padahal Roh Kudus juga turut dikasihi dan mengasihi dengan kasih yang kekal seperti yang diungkapkan Thiessen “kasih senantiasa mengalir di antara ketiga oknum Trinitas”. (Thiessen, 1992: 151). Jadi, Apakah ada tiga Allah? Tidak! Hanya ada satu Allah dengan tiga pribadi atau tiga pribadi dalam satu esensi atau hakikat Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda dan jangan lupa mencantumkan nama dan kota.propinsi tempat anda berdomisili. Misalnya : Yutmen (Jogja)